Fiqih

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kesalahan fatal dalam takbiratul ihram

KESALAHAN FATAL DALAM MEMBACA TAKBIR Penting bagi imam, mu'adzdzin maupun kita yang sholat sendiri maupun sebagai makmum untuk memperhatikan bacaan takbir. Terutama takbir pembuka sholat yang diistilahkan dengan takbirotul ihrom, sangat perlu berhati-hati dari kesalahan bacaan yang bisa mengubah makna. Akibat salah dalam bacaan yang mengubah makna disebutkan ulama dapat menjadikan sholat seseorang tidak sah. Alhafidz Abu Zakariyya Yahya bin Syarof anNawawi rahimahullah menjelaskan dalam kitab alAdzkar juz 1 hal 66: ﻭﻟﻴﺤﺮﺹ ﻋﻠﻰ ﺗﺼﺤﻴﺢ ﺍﻟﺘﻜﺒﻴﺮ، ﻓﻼ ﻳﻤﺪّ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﻮﺿﻌﻪ، ﻓﺈﻥ ﻣﺪّ ﺍﻟﻬﻤﺰﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻠّﻪ، ﺃﻭ ﺃﺷﺒﻊ ﻓﺘﺤﺔ ﺍﻟﺒﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﻛﺒﺮ ﺑﺤﻴﺚ ﺻﺎﺭﺕ ﻋﻠﻰ ﻟﻔﻆ ﺃﻛﺒﺎﺭ ﻟﻢ ﺗﺼﺢّ ﺻﻼﺗﻪ "Dan hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengucapkan takbir secara benar, dengan tidak memanjangkan (bacaan) pada selain tempatnya. Karena sesungguhnya memanjangkan hamzah pada lafadz (jalalah) الله (hingga terbaca آلله, atau memanjangkan fathah pada huruf ba' dari أَكْبَر sehingga menjadi lafad أَكْبَار tidaklah sah sholatnya." Link cuplikan: http://islamic-books.org/cached-version.aspx?id=2836-1-66 Beliau kembali menjelaskan dalam Majmu' Syarah alMuhadzdzab 3/292 : ... ﻭَﻳَﺠِﺐُ ﺍﻟِﺎﺣْﺘِﺮَﺍﺯُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴﺮِ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻮَﻗْﻔَﺔِ ﺑَﻴْﻦَ ﻛَﻠِﻤَﺘَﻴْﻪِ ﻭَﻋَﻦْ ﺯِﻳَﺎﺩَﺓٍ ﺗُﻐَﻴِّﺮُ ﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﻓَﺈِﻥْ ﻭَﻗَﻒَ ﺃَﻭْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﺑِﻤَﺪِّ ﻫَﻤْﺰَﺓِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻭْ ﺑِﻬَﻤْﺰَﺗَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺎﺭُ ﺃَﻭْ ﺯَﺍﺩَ ﻭَﺍﻭًﺍ ﺳَﺎﻛِﻨَﺔً ﺃَﻭْ ﻣُﺘَﺤَﺮِّﻛَﺔً ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻜَﻠِﻤَﺘَﻴْﻦِ ﻟَﻢْ ﻳَﺼِﺢَّ ﺗَﻜْﺒِﻴﺮُﻩُ  .... "... dan wajib selalu menjaga dalam (pengucapan) takbir agar tidak: - terjadi jeda antara dua kata yang diucapkannya, dan dari - penambahan yang mengubah makna. Sehingga jika dia berhenti (jeda) atau mengucapkan dengan memanjangkan hamzah pada أٰلله atau membaca dua hamzah (أألله) atau membaca الله أكبار atau menambahkan wau sukun maupun wau berharakat (الله وأكبر) di antara kedua kata, tidaklah sah takbirnya..." Link nukilan: https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=155479 روى ﻣﺴﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : " ﻣﻦ ﺩﻝّ ﻋﻠﻰ ﺧﻴﺮ ﻓﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮ ﻓﺎﻋﻠﻪ ." Imam Muslim bersama ahli hadits lainnya meriwayatkan dari hadits Abu Mas'ud alAnshoriy, Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda: [[Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan dia berhak memperoleh pahala sebagaimana pelakunya]] Mari tebarkan kebaikan ilmu, agar kebaikannya bermanfaat bagi diri kita dan orang-orang yang diharapkan kebaikan bagi mereka. t.me/hikmahfatwaislam
8 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

keutamaan & amalan-amalan di bulan sya'ban

WAHAI AHLI IBADAH MENDEKATLAH, BULAN SYA'BAN TELAH TIBA بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن ولاه، أما بعد Alhamdulillah, senantiasa seorang mukmin dipertemukan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dengan musim kebaikan dan berkah. Ini merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk melipatgandakan pahala hamba-hamba-Nya, dan menambahkan kebaikan bagi orang-orang yang beribadah dan bersyukur. Sekarang kita berada di salah satu musim kebaikan dan berkah tersebut, yaitu bulan Sya'ban. . Jika kita melihat kepada pendahulu kita, kita akan mendapati bahwa mereka benar-benar memanfaatkan bulan Sya'ban (sebelum datangnya bulan Ramadhan) untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa tala'a. ✅ SHOUM (PUASA) Di antara ibadah yang giat dilakukan oleh salaf kita di bulan ini adalah berpuasa. Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memperbanyak puasa di bulan ini melebihi puasa di bulan lainnya selain Ramadhan.  Saking banyaknya puasa beliau, sampai-sampai sebagian periwayat hadits mengibaratkannya dengan puasa selama sebulan penuh (padahal tidak sebulan penuh), لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ  "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam satu bulan lebih banyak dari (puasa di) bulan Sya'ban. Sesungguhnya beliau berpuasa Sya'ban seutuhnya."  (HR. al-Bukhari no.1970 dari 'Aisyah radhiallahu 'anha)   Tentu saja yang dimaksud "seutuhnya" bukanlah satu bulan penuh, tetapi karena banyaknya puasa yang beliau lakukan di bulan Sya'ban maka digunakan istilah tersebut.  Hal ini diterangkan oleh 'Aisyah radhiallahu 'anha dalam riwayat lain,  فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ "Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan puasa selama satu bulan kecuali pada puasa Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya'ban."   (HR. al-Bukhari no.1969 dan Muslim no.1156)   Dipertegas lagi dalam riwayat muslim no.1156 كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا " "Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa di bulan Sya'ban kecuali hanya beberapa hari saja (beliau tidak berpuasa)." Oleh karenanya, sudah sepantasnya bagi seorang mukmin untuk meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Mari kita gunakan musim kebaikan ini dengan sebaik-baiknya... ✅ TATACARA PUASA SYA'BAN Tidak ada hadits yang shahih yang menerangkan tatacaranya. Sebagai gambaran seseorang bisa melakukannya dengan cara berikut: ☑️ Satu hari puasa dan satu hari berbuka, seperti puasa Nabi Daud. ☑️ Berpuasa beberapa hari lalu berbuka beberapa hari. ☑️ atau berpuasa terus menerus hingga satu atau dua hari menjelang Ramadhan lalu berbuka. Puasa di bulan Sya'ban memiliki keutamaan yang agung disebabkan waktunya yang berdekatan dengan puasa Ramadhan. Para ulama' menyebutnya sebagai puasa rowatib bagi Ramadhan Ibadah rowatib adalah ibadah sunnah yang dilakukan sebelum dan setelah ibadah fardhu. Fungsinya adalah menyempurnakan kekurangan yang ada pada ibadah wajib tersebut.  Tidak dipungkiri, ketika berpuasa Ramadhan sering kali seseorang terjatuh ke dalam perbuatan yang mengurangi nilai pahalanya, sehingga dengan berpuasa di bulan Sya'ban maka kekurangan-kekurangan tersebut akan tertutupi.  Sebagian ulama' berpendapat, bahwasanya ibadah sunnah rowatib (yang mengiringi ibadah fardhu) lebih afdhal daripada ibadah sunnah yang waktunya berjauhan dengan ibadah fardhu. Sebagai contoh, shalat sunnah rowatib (shalat sunnah yang dilakukan sebelum dan setelah shalat fardhu, pen) lebih afdhal daripada shalat sunnah lainnya yang waktunya berjauhan dengan shalat fardhu.  Demikian pula dengan puasa Sya'ban, karena kedudukannya sebagai ibadah rowatib bagi Ramadhan, maka ia lebih afdhal ketimbang puasa sunnah lainnya. Bahkan sebagian Ulama' mengutamakannya daripada puasa di bulan Muharram (dan dalam masalah ini ada khilaf di antara ulama',pen). WAKTU MANUSIA LALAI BERIBADAH Di antara yang membuat lebih istimewanya puasa Sya'ban adalah karena di bulan ini banyak manusia yang lalai dari ibadah. Dan beribadah di waktu manusia lalai lebih utama daripada melakukannya di saat manusia giat beribadah. Sebagai contoh shalat tahajjud di akhir malam, ia memiliki keistemawaan yang luar biasa disebabkan waktu pelaksanaannya di saat banyak manusia tertidur lelap (lalai dari ibadah).  Dari Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhu, "Aku bertanya (kepada Rasulullah), 'Wahai Rasulullah, aku tidak melihat engkau (banyak) berpuasa di bulan-bulan yang lain seperti (banyaknya) puasa engkau di bulan Sya'ban?' Beliau menjawab, 'Ini adalah bulan yang banyak manusia lalai darinya, yaitu (bulan sya'ban) yang terletak antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan. di bulan ini pula amalan manusia diangkat (dihadapkan,pen) kepada Rabbul 'alamin, dan aku senang amalanku diangkat dalam keadaan aku berpuasa."  (HR. an-Nasaa'i no.2357, dihasankan Syaikh al-Albani rahimahulla)  MEMBIASAKAN DIRI SEBELUM RAMADHAN Di antara tujuan puasa di bulan Sya'ban untuk melatih dan membiasakan diri dengan puasa, agar ketika memasuki bulan Ramadhan tidak merasa berat dengan puasa selama sebulan penuh.  Di saat jiwa terbiasa dengan puasa di bulan Sya'ban, maka bila tiba Ramadhan, ia dalam keadaan kuat dan bersemangat, sehingga ia benar-benar merasakan manisnya ibadah Ramadhan. Oleh karena itu, bulan Sya'ban ini seperti pendahuluan (muqoddimah) bagi Ramadhan. Akan Tetapi tidak disukai berpuasa satu atau dua hari menjelang Ramadhan bagi orang yang tidak biasa berpuasa sebelumnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, «لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا، فَلْيَصُمْهُ» "Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari (sebelumnya), kecuali seseorang yang berpuasa sebelum itu, maka hendaknya ia melanjutkan puasanya."  (HR. al-Bukhari no. 1914 dan Muslim no.1082)  BULAN MEMBACA AL-QUR'AN Sebagian salaf, sebagaimana disebutkan Ibnu Rajab rahimahullah, menyebut bulan Sya'ban sebagai bulannya para pembaca al-Qur'an. Karena di bulan ini, selain berpuasa, mereka juga menyibukkan diri dengan membaca al-Qur'anul karim. Salamah bin Kuhail (wafat 121H) rahimahullah berkata, كان يقال شهر شعبان شهر القراء "Dahulu dikatakan, bulan Sya'ban adalah bulannya Qurro' (para pembaca al-Qur'an)." dan Habib bin Abi Tsabit (wafat tahun 119H) rahimahullah, apabila memasuki bulan Sya'ban beliau mengatakan, "Ini adalah bulannya para pembaca al-Qur'an." Disebutkan bahwasanya Qois bin Amr al-Mula'i (wafat tahun 146 H) rahimahullah  apabila memasuki bulan Sya'ban, beliau mengunci tokonya dan menyibukkan diri dengan membaca al-Qur'an. Maka di bulan Sya'ban yang mulia ini sudah sepatutnya kita menyibukkan diri dengan ibadah. Dunia adalah tempat bagi seorang mukmin untuk menanam benih-benih ibadah. Jika seseorang berhasil dalam cocok tanam ini maka ia akan memanennya di akhirat dengan laba yang berlipat ganda, akan tetapi jika gagal, dia akan celaka dan merugi. Wallahul musta'an wallahu a'lam bish showab... MENGQADHA' PUASA RAMADHAN Perkara yang juga wajib diperhatikan di bulan Sya'ban ini adalah melunasi hutang puasa Ramadhan sebelumnya.  Bagi kaum muslimin dan muslimat yang masih memiliki tanggungan puasa hendaknya bersegera melunasi hutangnya sebelum bulan Ramadhan tiba. Karena banyak dari kaum muslimin yang bermudah-mudahan dalam perkara ini, dimana mereka tidak bersegera melunasi hutang puasanya hingga masuk Ramadhan berikutnya. Abu Salamah berkata,  سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، تَقُولُ: «كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ» "Aku mendengar 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata, 'dahulu aku memiliki hutang puasa Ramadhan, dan aku tidak mampu melunasinya melainkan di bulan Sya'ban."  ▶️ (HR. al-Bukhari no.1950 dan Muslim no.1146)  Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,  وَيُؤْخَذُ مِنْ حِرْصِهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَانَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الْقَضَاءِ حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَانُ آخَرُ "Diambil faedah dari semangat beliau yang mengqodho' puasanya di bulan Sya'ban, yaitu tidak bolehnya menunda qodho' (melunasi hutang puasa) hingga memasuki Ramadhan berikutnya."  (Fathul Baari 4/191)  Sebagai penutup... Kaum muslimin rahimakumullah.... Kesempatan hidup hanya sesaat, sedangkan hari berlalu begitu cepat. Setiap kali berlalu satu hari maka bertambah dekat ajal menyapa.  Orang yang beruntung adalah orang yang mampu memanfaatkan waktu dengan melakukan kebaikan... Sedangkan orang yang lalai adalah yang melupakan dzikrullah dan menyibukkan diri dengan perkara yang sia-sia.. Usia adalah tempat bercocok tanam, jika yang ditanam adalah kebaikan maka yang dipanen juga kebaikan... Namun jika yang ditanam adalah kejelekan maka jangan menyalahkan melainkan dirimu sendiri... Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-Mu yang taat dan bersyukur, dan bantulah kami untuk selalu berdzikir mengingat-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik.. Ya Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat, serta lindungilah kami dari siksa neraka.. Ya Allah, pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan, dan jadikanlah kami pada bulan tersebut termasuk hamba-Mu yang diterima amalannya.... Amin ya Rabbal 'alamin Wallahu a'lam bish showab.. -SELESAI- 🌍 Sumber Panduan: Khutbah Syaikh Khalid azh-Zhafiri yang berjudul شعبان أقبل فأين العابدون؟  📝 Oleh: Tim Warisan Salaf Telegram : bit.ly/warisansalaf Web : www.warisansalaf.com HUKUM MENGKHUSUSKAN MALAM NISHFU SYA'BAN DENGAN SHALAT DAN PUASA Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah الاحتفال بليلة النصف من شعبان بالصلاة أو غيرها, وتخصيص يومها بالصيام بدعة منكرة عند أكثر أهل العلم, وليس له أصل في الشرع المطهر, بل هو مما حدث في الإسلام بعد عصر الصحابة رضي الله عنهم . Perayaan malam nishfu Sya’ban dengan shalat dan selainnya, mengkhususkan siang harinya dengan puasa itu adalah bid'ah yang mungkar menurut kebanyakan ulama dan tidak memiliki dasar dalam syariat yang suci ini. Bahkan ini termasuk perkara yang diada-adakan dalam Islam setelah zaman sahabat radhiyallahu ’anhum. (Majmu’ Fatawa 1-191) Sumber || Channel al-Mahrah ad-Da'wiyah as-Salafiyah ⚪️ WhatsApp Salafy Indonesia ⏩ Channel Telegram || http://bit.ly/ForumSalafy Semangat para Salaf pada Bulan Sya'ban Dahulu 'Amr bin Qais –rahimahullah–, apabila masuk bulan Sya'ban, menutup dagangannya dan meluangkan waktunya untuk membaca al-Qur'an. Dan dia mengatakan, “Bergembiralah bagi siapa-siapa yang memperbaiki dirinya sebelum (bulan) Ramadhan.” [Lathaif Al-Ma'arif, 138] ➖➖➖➖➖➖➖➖➖ ✍️‏ كان عمرو بن قيس رحمه الله: إذا دخل شعبان أغلق تجارته وتفرغ لقراءة القرآن، وكان يقول: طوبى لمن أصلح نفسه قبل رمضان. 📜 لطائف المعارف: (١٣٨) Join Telegram http://telegram.me/buletinalhaq Situs Resmi http://www.buletin-alhaq.net ______________
8 tahun yang lalu
baca 12 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

fiqih shalat sunnah rawatib - sebelum & sesudah shalat wajib

FIQIH SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH SHALAT FARDHU Shalat-shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan setelah shalat fardhu adalah sebagai berikut: 1. SUNNAH RAWATIB Shalat sunnah rawatib adalah shalat yang dilakukan sebelum dan setelah shalat fardhu, jumlahnya 12 raka’at, yaitu: ➖ Empat raka'at sebelum dzuhur (salam setiap dua raka’at). ➖ Dua raka'at setelah zhuhur ➖ Dua raka'at setelah maghrib ➖ Dua raka'at setelah Isya' ➖ Dua raka'at sebelum shalat shubuh. Dalil yang menunjukkan shalat sunnah rawatib sebelum zhuhur 4 raka’at adalah sebagai berikut, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الغَدَاةِ “Bahsawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan shalat empat raka’at sebelum zhuhur dan dua raka’at sebelum subuh.”  .(HR. Al Bukhari no.1182) أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا لَمْ يُصَلِّ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ صَلَّاهُنَّ بَعْدَهَا “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila belum shalat empat raka’at sebelum zhuhur, beliau mengerjakannya setelah zhuhur.”  (HR. Tirmidzi no.426, hadits ini dihasankan Syaikh al Albani) Lihat  Majmu’ Fatawa Ibni Baaz (11/380) WAKTUNYA Waktu shalat rawatib mengikuti waktu shalat fardhu. Sunnah qobliyah dilakukan sejak masuknya waktu shalat hingga shalat fardhu dikerjakan, dan sunnah ba’diyah dikerjakan setelah shalat fardhu hingga akhir waktu shalat. Lihat Fatawa Arkanil Islam (hal.357) MENGERJAKAN SUNNAH RAWATIB DI LUAR WAKTU Tidak boleh mengerjakan shalat rawatib diluar waktu yang telah ditentukan. 🚫 Apabila seseorang melakukannya maka shalatnya tidak akan diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena ibadah yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya, apabila dikerjakan di luar waktunya tanpa udzur maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fatawa Arkanil Islam (hal.358) MENGAQADHA’ SUNNAH RAWATIB Boleh mengerjakan (qadha’) shalat sunnah qobliyah setelah shalat fardhu jika ada udzur. Sebagaimana dahulu Rasulullah Shallalalhu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan sunnah qobliyah zhuhur setelah shalat zhuhur. Adapun jika tidak ada udzur maka tidak boleh. Termasuk dalam kategori udzur adalah waktu shalat yang sempit, hanya cukup untuk berwudhu’ dan shalat fardhu saja; seperti seseorang yang baru pulang dari safar atau baru sembuh dari sakit. Maka cara pelaksanaannya adalah mendahulukan sunnah ba’diyah dua raka’at kemudian salam, setelah itu sunnah qobliyah (yaitu: yang dikerjakan lebih dahulu adalah sunnah ba’diyah). Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni Utsaimin (14/278-280) MENGQADHA’ SUNNAH RAWATIB PADA WAKTU TERLARANG Waktu terlarang yang dimaksud pada bab ini adalah: ➖ Setelah shalat shubuh ➖ Ketika matahari terbit hingga 15 menit kemudian, ➖ dan setelah ashar hingga matahari terbenam sempurna. Menurut pendapat yang kuat, mengaqadha’ sunnah rawatib boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Sehingga boleh mengerjakan sunnah qobliyah shubuh setelah shalat shubuh. Walaupun yang lebih utama adalah menunggu hingga masuk waktu dhuha. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu Utsaimin (14/280) KEUTAMAANNYA Keutamaannya telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya, مَنْ صَلَّى فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الجَنَّةِ: أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ صَلَاةِ الْغَدَاةِ “Barangsiapa mengerjakan shalat dua belas raka’at dalam sehari semalam, akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di surga, (shalat-shalat tersebut) iaitu: empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah isya’, dan dua raka’at sebelum shalat fajar.” (HR. At Tirmidzi no. 598 dari Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, hadits ini dishahihkan Syaikh al Albani) Shalat dua belas raka’at di atas adalah sunnah rawatib yang sempurna, jika seseorang mencukupkan dengan sepuluh raka’at karena mengamalkan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, yang menerangkan shalat rawatib sebelum zhuhur hanya dua raka’at maka tidak mengapa. Selain sunnah rawatib, ada beberapa shalat yang sunnah dikerjakan sebelum dan setelah shalat fardhu, di antaranya adalah: EMPAT RAKA’AT SETELAH ZHUHUR Sunnah rawatib setelah zhuhur dua raka’at, namun jika seseorang menambah dua raka'at sehingga menjadi empat raka’at maka lebih utama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, مَنْ صَلَّى قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ “Barangsiapa yang shalat empat raka’at sebelum zhuhur dan empat raka’at setelahnya, Allah haramkan neraka baginya.” (HR. Tirmidzi no.427 dan Ibnu Majah no.1160, disahihkan Syaikh al-Albani rahimahullah. Lihat Shahihul Jami’ no.6364) Keutamaan ini berlaku bagi seorang yang menjaga shalat tersebut; tidak hanya melakukannya sekali atau dua kali dalam hidupnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ “Barangsiapa menjaga shalat empat raka’at sebelum zhuhur dan empat raka’at setelahnya, Allah haramkan neraka baginya.” (HR. Tirmidzi no.428, dishahihkan Syaikh al-Albani) Adapun tatacara pelaksanaannya adalah dipisah dengan salam pada dua raka’atnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى “(cara pelaksanaan) shalat (sunnah) malam dan siang hari adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Abu Daud no.1297 dan Tirmidzi no.597, dishahihkan Syaikh al-Albani) EMPAT RAKA’AT SEBELUM ASHAR Disunnahkan juga mengerjakan shalat empat raka'at sebelum ashar. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ العَصْرِ أَرْبَعًا "Allah merahmati seseorang yang shalat empat raka'at sebelum ashar."  (HR. Abu Daud no.1271 dan Tirmidzi no.430, dihasankan Syaikh al-Albani) Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ العَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِالتَّسْلِيمِ عَلَى المَلَائِكَةِ المُقَرَّبِينَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُؤْمِنِينَ “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat empat raka’at sebelum ashar, beliau memisahkan antara (dua raka'at)nya dengan taslim (salam) kepada malaikat yang dekat dan kaum muslimin dan mukminin yang mengikuti mereka.”  (HR. Tirmidzi no.429) Ishaq bin Ibrahim bin Rahawaih rahimahullah menjelaskan bahwa makna taslim pada hadits ini adalah duduk tasyahud. Sehingga shalat empat raka’at dilakukan dengan duduk tasyahud pada raka’at kedua. Adapun Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal lebih condong memisahkan setiap dua raka’at dengan salam, karena berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى “(cara pelaksanaan) shalat (sunnah) malam dan siang hari adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Abu Daud no.1297 dan Tirmidzi no.597, dishahihkan Syaikh al-Albani) Jika seseorang melakukan shalat dua raka’at saja maka tidak mengapa. Al-Lajnah ad-Daimah lil Ifta’ (Komite fatwa Arab Saudi) dalam fatwanya ketika ditanya hukum shalat sunnah sebelum ashar, menjelaskan, “Shalat (sunnah) disyari’atkan untuk dikerjakan setelah adzan, berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua adzan (iaitu adzan dan iqomat,pen) itu ada shalat” Dan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, رحم الله امرأ صلى أربعا قبل العصر “Allah merahmati seseorang yang melakukan shalat empat raka’at sebelum ashar.” Sehingga disunnahkan setelah adzan melakukan shalat dua raka’at atau empat raka’at berdasarkan dua hadits tersebut, dan shalat itu tidak wajib atasnya. ➖ Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ➖ Wakil Ketua: Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi ➖ Anggota: Syaikh Abdullah Ghudayyan BACA JUGA : TUNTUNAN SHALAT TAHIYATUL MASJID hyacinth-flower-blossom-bloom by Pixabay Bersambung insyaallah.... Dirangkum oleh: Tim Warisan Salaf #Fawaidumum #fikihshalat #sholatsunnah 🍉 Warisan Salaf menyajikan Artikel dan Fatawa Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah 🍏 Channel kami https://t.me/warisansalaf ☀️ Twitter: https://twitter.com/warisansalaf 💻 Situs Resmi http://www.warisansalaf.com
8 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Rizal Kurnia R

adab / cara buang ludah / dahak ketika shalat

ADAB BUANG LUDAH ATAU DAHAK DALAM SHOLAT Berikut ini bimbingan syariat dalam membuang ludah atau dahak ketika sedang sholat. Adab Pertama: Tidak boleh membuang ludah atau dahak tersebut ke arah kiblat atau sebelah kanan. Adab Kedua: Hendaklah Ia membuang ludah atau dahak ke bawah kaki kirinya, baju sebelah kiri, atau selendangnya. Dua hal ini berdasarkan hadits  .Jabir bin Abdillah  rodhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ يُصَلِّي فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قِبَلَ وَجْهِهِ، فَلاَ يَبْصُقَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ وَلاَ عَنْ يَمِيْنِهِ. وَلِيَبْصُقْ عَنْ يَسَـارِهِ تَحْتَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى، فَإِنْ عَجِلَتْ بِهِ بَادِرَةٌ فَلْيَقُلْ بِثَوْبِهِ هكَذَا. ثُمَّ طَوَى ثَوْبَهُ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ. ”Sesungguhnya salah seorang di antara kalian; apabila sedang berdiri mengerjakan sholat; Allah -tabaroka wata’ala- ada di hadapannya. Oleh karena itu, Janganlah ia meludah ke depan (ke arah kiblat, pen.) atau ke sebelah kanannya. Hendaklah ia meludah ke sebelah kiri; di bawah kaki kirinya. Apabila ia harus segera mengeluarkannya, hendaklah ia tumpahkan ke atas bajunya seperti ini.” Kemudian beliau melipat bajunya, bagian yang bersih menutupi bagian yang lain (yang terkena ludahnya, pen). [ HR Muslim no.3008 dan Abu Dawud no.485 ] Derajat Hadits: Shohih. Di dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, Disebutkan;  “Beliau meludah pada ujung selempangnya (📌) , kemudian menggosok bagian yang satu (yang kotor terkena ludah, pen) dengan bagian yang lain (yang bersih, pen).” [ HR. Ahmad no. 13066 dan Al-Bukhori no.405 ] Derajat Hadits: Shohih. (📌) Selempang adalah suatu kain yang disandangkan di bahu, bisa di sebelah kanan atau sebelah kiri. Adab Ketiga: Membersihkan ludah atau dahak yang mengenai lantai masjid atau bagian lainnya. Jika lantai masjid dari tanah maka dengan menguburnya. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: «البُزَاقُ فِي المَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا» ”Meludah di dalam masjid adalah sebuah dosa, penghapusnya adalah; (dengan) menguburnya.” 📚 [ HR. Al-Bukhori no.415, Muslim no. 552-(55), dan Abu Dawud no.474. ] Derajat Hadits: Shohih. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani  rohimahullah menukilkan penjelasan Ibnu Abi Jamroh; “Mengapa dikubur bukan ditutupi (atau ditimbuni sesuatu)?”, Alasannya:  ”Karena dengan sekadar menutupi masih belum menjadikan ludah itu aman bagi orang yang duduk di atasnya; karena masih bisa mengganggu. Lain halnya dengan mengubur. Sehingga dari lafadz itu ipahami; bahwa ludah dikubur di bawah tanah.” (selesai). [ Lihat Fathul Bari (1/513) ] Wallahu a’lamu bisshowab  (AH) #Fikih #Ludah #Dahak #Sholat https://pixabay.com/en/drip-water-drop-of-water-close-351619/ Sumber: YOOK NGAJI YANG ILMIAH (Memfasilitasi Kajian Islam secara Ilmiah) 🌐🔻 Blog: https://Yookngaji.blogspot.com 🚀🌐🔻 Gabung Saluran Telegram: https://t.me/yookngaji
8 tahun yang lalu
baca 3 menit