Oleh :
? Al Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed -hafidzahullah-
Dari Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa itu adalah hari ketika kalian seluruhnya berpuasa, Idul Fitri adalah hari di mana kalian berbuka dan Idul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih kurban”. (HR. Tirmidzi, dengan Tuhfatul Ahwadzi, 2/37)
Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam At- Tirmidzi dari Ishaq bin Ja’far bin Muhammad, dia berkata: “Menyampaikan kepadaku Abdullah bin Ja’far dari Utsman bin Muhammad dari Abi Hurairah -radhiallahu ‘anhu-”.
Imam At-Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ucapan: “Hadits hasan gharib.”
Asy-Syaikh al-Albani berkata : “Saya katakan bahwa sanad hadits ini bagus, para perawinya semua tsiqah (terpercaya). Hanya pada Utsman bin Muhammad yaitu Ibnul Mughirah bin Akhnas ada pembicaraan sedikit tentangnya. Berkata al-Hafidh dalam at-Taqrib: Jujur, namun kadang keliru”. (Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, hadits no. 224, hal. 440)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Ibnu Majah, Ad Daruquthni dan Abu Dawud, dari jalan-jalan yang lain.
Selain itu ada pula hadits mauquf yang semakna dengan ini dari Aisyah dikeluarkan oleh al-Baihaqi dari jalan Abu Hanifah, Ia berkata :
“menyampaikan kepadaku Ali bin Aqmar dari Masruq, bahwa ia mendatangi rumah Aisyah pada hari Arafah (dalam keadaan tidak berpuasa–pent.).
Aisyah berkata: “Berilah Masruq minuman dan perbanyaklah halwa untuknya” Masruq berkata: “Tidaklah menghalangiku untuk berpuasa pada hari ini, kecuali aku khawatir hari ini adalah hari raya nahr (Idul Adha). Maka Aisyah pun berkata:
النحر يوم ينحر الناس ، و الفطر يوم يفطر الناس
“Hari Raya Nahr adalah hari manusia menyembelih, dan Idul Fitri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa)”.
Berkata Asy-Syaikh al-Albani: “Saya katakan riwayat ini sanadnya baik, seperti riwayat yang sebelumnya”. (Silsilah al-Ahaa-dits ash-Shahihah, hal. 442)
Fiqh Hadits
Asy Syaikh al-Albani mengatakan:
Al-Imam At-Tirmidzi berkata setelah menukilkan hadits ini: “Hadits ini ditafsirkan oleh sebagian ulama bahwa maknanya adalah berpuasa dan Idul Fitri itu bersama jama’ah dan bersama kebanyakan manusia“. (Tuhfatul Ahwadzi, 2/37)
Al-Imam Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam 2/72 mengatakan: “Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal (bulan sabit) tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, Idul Fitri atau pun berkurban”.
Disebutkan pula ucapan senada oleh Al- Imam Ibnul-Qayyim dalam Tahdzibu as-Sunan, 3/214: “Pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata: “Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan sabit dengan mengukur hisabnya atau menghitung tempat-tempat terbitnya, boleh baginya berpuasa dan berhari raya sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya”. Dikatakan pula bahwa seorang yang melihat munculnya bulan sabit sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa”.
Abul Hasan as-Sindi dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah, setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- dalam riwayat di atas mengatakan sebagai berikut: “Tampaknya makna hadits ini adalah bahwa perkara-perkara tersebut bukan haknya pribadi-pribadi tertentu. Dan tidak boleh seseorang menyendiri dalam masalah tersebut, tetapi urusan ini dikembalikan kepada imam dan jama’ah kaum muslimin seluruhnya. Wajib bagi setiap pribadi mengikuti kebanyakan manusia dan penguasanya. Dengan demikian jika seseorang melihat hilal tetapi penguasa menolaknya, maka semestinya dia tidak menetapkan perkara-perkara tadi pada dirinya sendirian, sebaliknya wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia”.
Kata Asy-Syaikh al-Albani: saya katakan: “Inilah makna yang langsung dipahami dari hadits tersebut. Apalagi didukung dengan pendalilan Aisyah terhadap Masruq -radhiallahu ‘anhu- ketika ia khawatir hari itu adalah hari Arafah, maka Aisyah menerangkan bahwa pendapat dia tidak bisa diterima; tetapi ia harus mengikuti manusia atau al-jama’ah, seraya mengatakan: “Hari raya nahr adalah hari manusia menyembelih, dan idul fitri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa –pent.)”.
Hikmah Hadits
Asy-Syaikh al-Albani kemudian menambahkan : “Penafsiran inilah yang paling sesuai dengan syariat Islam yang sangat toleran. Hikmahnya adalah menyatukan seluruh manusia dan menggabungkannya dalam satu barisan serta menjauhkan mereka dari perpecahan karena sebab pendapat-pendapat yang bersifat pribadi. Maka syariat ini tidak menerima pendapat seseorang yang menyendiri –walaupun menurut dirinya benar– dalam ibadah-ibadah yang bersifat jama’i (dikerjakan secara berjamaah) seperti puasa, hari raya, shalat jama’ah.
Tidakkah kalian lihat para Shahabat ketika sebagian shalat di belakang yang lainnya, sedangkan di antara mereka terdapat orang-orang yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan dan keluarnya darah adalah termasuk pembatal-pembatal wudlu. Sedangkan di antara mereka ada yang tidak berpendapat demikian. Ada di antara mereka yang berpendapat untuk menyempurnakan shalat ketika safar, dan ada pula yang berpendapat untuk mengqasharnya. Namun perbedaan pendapat tersebut tidak menghalangi mereka untuk shalat berjamaah di belakang satu imam atau pun berhari raya bersama-sama. Yang demikian karena pengetahuan mereka bahwa perpecahan dalam agama adalah lebih jelek daripada perbedaan pendapat.
Bahkan dalam menjaga untuk tidak menganggap keberadaan satu pendapat yang berbeda dengan penguasa –apalagi dalam acara perkumpulan besar seperti di Mina (ketika haji)— sebagian mereka, sampai-sampai meninggalkan pendapat mereka sendiri yang mereka yakini untuk kemudian ikut bersama seluruh manusia. Yang demikian mereka lakukan dalam rangka menghindari kejelekan yang timbul karena bersikukuh dengan pendapat pribadi.
صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ
وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ زَادَ عَنْ حَفْصٍ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا زَادَ مِنْ هَا هُنَا عَنْ أَبِي مُعَاوِيَةَ ثُمَّ تَفَرَّقَتْ بِكُمْ الطُّرُقُ فَلَوَدِدْتُ أَنْ لِي مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ مُتَقَبَّلَتَيْنِ قَالَ الْأَعْمَشُ فَحَدَّثَنِي مُعَاوِيَةَ بْنُ قُرَّةَ عَنْ أَشْيَاخِهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ صَلَّى أَرْبَعًا قَالَ فَقِيلَ لَهُ عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتُ أَرْبَعًا قَالَ الْخِلَافُ شَرٌّ
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/307 bahwa Utsman -radhiallahu ‘anhu- ketika shalat di Mina empat rakaat. Maka Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu- mengingkari pendapat tersebut seraya berkata: “Aku shalat di belakang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dua rakat, aku shalat di belakang Abu Bakar dua rakaat dan aku shalat di belakang Umar dua rakaat, bahkan shalat di belakang Utsman beberapa waktu dalam pemerintahannya juga dua rakaat, namun kemudian ia sekarang menyempurnakannya empat rakaat, hingga terpecahlah jalan-jalan kalian. Sungguh aku sangat berharap dari empat rakaat ini ada dua rakaat yang diterima di sisi Allah.
Kemudian Ibnu Mas’ud shalat menggenapkan empat rakaat bersama Utsman -radhiallahu ‘anhu- . Maka beberapa orang bertanya kepada beliau: “Engkau salahkan Utsman, tetapi engkau shalat di belakangnya empat rakaat?!” Beliau menjawab: “Perpecahan adalah jelek”. Riwayat ini sanadnya shahih.
Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad (5/155) riwayat seperti ini dari Abu Dzar.
Sebagai penutup dari risalah ini, mari kita simak nasihat ‘Alim Rabbani Imam al-Albani.
Kata beliau : “Hendaklah perhatikan hadits Abu Dawud dan atsar di atas bagi orang-orang yang masih terus berpecah-belah dalam shalat mereka, tidak mau mengikuti imam-imam masjidnya, khususnya dalam shalat witir di bulan Ramadlan dengan alasan bahwa mereka berbeda pendapat dan madzhab. Dan sebagian lainnya dari kalangan orang-orang yang mengaku punya ilmu tentang ilmu falaq, yang berpuasa dan berhari raya sendirian; apakah mendahului sebagian besar kaum muslimin atau setelah mereka dengan berpegang pada pendapat pribadinya atau ilmu yang ia punyai tanpa mempedulikan bahwa dirinya telah keluar dari jamaah kaum muslimin.
Maka hendaklah mereka semua memperhatikan ilmu yang telah kami sebutkan di atas. Semoga mereka mendapati ketentraman dalam diri-diri mereka dan kesembuhan dari kebodohan dan kelalaian mereka hingga akhirnya mereka menjadi satu barisan bersama saudara-saudaranya dari kalangan kaum muslimin, karena tangan Allah selalu bersama jamaah.”
(Dinukil dari Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, juz I, hal. 443-444 ).
? Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 7 / V /8/2011