RANGKAIAN FATWA PUASA
(1⃣): DEFENISI SHIYAM (PUASA)
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin rahimahullah ditanya tentang defenisi shiyam (puasa)?
Maka beliau menjawab, “Shiyam secara bahasa artinya “menahan diri”, di antaranya (yang menunjukkan makna ini) adalah firman Allah Ta’ala,
“Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Rabb yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (QS. Maryam:26)
Yakni “aku bernadzar untuk menahan diri dari berbicara.”
Dan di antaranya pula ucapan seorang penyair,
"Ada kuda yang berpuasa (tidak bekerja) dan ada pula kuda yang tidak berpuasa"
"Di bawah debu ia meringik dan yang lainnya mengunyah tali kekangnya.”
Adapun (makna shiyam) secara syari’at adalah, “Beribadah kepada Allah dengan cara menahan diri dari pembatal-pembatal (puasa) dimulai terbitnya fajar dan berakhir hingga terbenamnya matahari.”
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/11)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
(2⃣): HUKUM PUASA RAMADHAN
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum berpuasa pada bulan ramadhan?
Maka beliau menjawab, "Berpuasa di bulan ramadhan hukumnya wajib dengan ketetapan Al-Qur'an, As Sunnah, dan kesepakatan kaum muslimin.
Allah ta'ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183)
Sampai firman Allah, “bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah:185)
Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda,
“Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak diibadahi selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakan sholat, menunaikan zakat, shaum di bulan ramadhan dan haji ke baitullah al harom.”
Beliau Shalallahu alaihi wa Sallam juga bersabda, “Jika kalian melihat (hilal ramadhan) maka berpuasalah.”
Dan kaum muslimin bersepakat bahwasanya puasa ramadhan hukumnya wajib, dan merupakan salah satu dari rukun Islam.
Maka barangsiapa mengingkari kewajiban puasa ramadhan, dia kafir. Kecuali jika dia hidup di negeri terpencil, sehingga tidak mengenal hukum-hukum Islam, maka ia harus dikenalkan terlebih dahulu, tapi bila ia terus (mengingkarinya) setelah ditegakkan hujah atasnya maka ia kafir.
Dan barangsiapa meninggalkan puasa ramadhan karena meremehkan kewajibannya maka dia di atas sesuatu yang membahayakan, karena sebagian ulama menganggapnya telah kafir keluar dari Islam. Tetapi pendapat yang kuat dia tidak kafir keluar dari Islam, hanyasaja digolongkan sebagai orang-orang yang fasik. Akan tetapi dia berada dalam bahaya yang sangat besar
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/11)
Diterjemahkan Oleh: al-Ustadz Abdulloh Majalengka hafizhahullahu Ta'ala
(3⃣): KEDUDUKAN PUASA DALAM ISLAM
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang kedudukan puasa dalam Islam ?
Maka beliau menjawab: "Kedudukan puasa di dalam Islam ialah puasa termasuk salah satu rukunnya yang agung, yang mana Islam tidak akan tegak kecuali dengannya dan tidak akan sempurna kecuali dengannya.
Adapun keutamaannya dalam Islam, maka telah shahih bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
من صام رمضان إيماناً واحتساباً غفر الله له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa berpuasa ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.”
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/12)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
(4⃣): RUKUN-RUKUN PUASA
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang rukun-rukun puasa?
Maka beliau menjawab: "Puasa memiliki satu rukun, yaitu beribadah kepada Allah dengan cara menahan diri dari pembatal-pembatal puasa, dimulai sejak terbitnya fajar dan berakhir hingga terbenamnya matahari.
Fajar yang dimaksud adalah fajar yang kedua, bukan pertama.
Ada 3 ciri pembeda antara fajar pertama dan kedua, yaitu;
1⃣ Pertama: Fajar kedua bentuknya melebar di ufuk, terbentang dari arah utara hingga ke selatan. Sedangkan fajar pertama mencuat vertikal dari arah timur hingga ke barat.
2⃣ Kedua: (Cahaya yang muncul) pada fajar kedua tidak akan kembali gelap, namun cahaya tersebut akan terus bertambah terang hingga terbit matahari. Adapun fajar pertama, cahaya yang muncul akan kembali gelap.
3⃣ Ketiga: cahaya putih yang muncul pada fajar kedua menyatu dengan ufuk. Sementara pada fajar pertama, antara cahaya dan ufuk terpisah oleh warna gelap langit.
Pada fajar pertama, tidak ada hukum syariat (yang wajib dilakukan),
👉 belum dibolehkan melaksanakan shalat subuh,
👉 dan tidak dilarang bagi seorang yang hendak berpuasa untuk makan, berbeda dengan fajar kedua.
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/13)
Diterjemahkan Oleh: al-ustadz Abdul Wahid bin Faiz at-Tamimi
(5⃣): HIKMAH DIWAJIBKANNYA PUASA
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya tentang hikmah diwajibkannya puasa?
Maka beliau menjawab: Apabila kita membaca firman Allah Azza wa Jalla,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183)
Kita akan mengetahui apa hikmah diwajibkannya puasa,
yaitu takwa dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Takwa adalah meninggalkan keharaman-keharaman, istilah itu secara mutlak mengandung makna melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan mengerjakan kedustaan itu, maka Allah tidak butuh pada upayanya dalam meninggalkan makan dan minumnya.”
Berdasarkan dalil ini, akan lebih menegaskan bagi orang yang berpuasa agar mengerjakan kewajiban-kewajiban, dan juga menjauhi hal-hal yang haram baik berupa perkataan maupun perbuatan.
- Hendaknya dia tidak menggunjing orang lain,
- tidak berdusta,
- tidak mengadu domba antara mereka,
- tidak menjual barang jualan yang haram,
- dan menjauhi segala bentuk keharaman.
Apabila seseorang mengerjakan itu semua selama satu bulan penuh maka itu akan memudahkannya kelak untuk berprilaku baik (istiqomah) di bulan-bulan yg tersisa dalam setahun.
Akan tetapi sangat disayangkan, banyak orang yang berpuasa tidak membedakan antara hari puasa dengan hari biasa,
🚫 mereka tetap menjalani kebiasaan yang biasa dijalaninya yakni meninggalkan kewajiban,
📛 mengerjakan pebuatan haram,
📛 dan tidak merasakan keagungan puasa;
💢 perbuatan ini tidak membatalkan puasa tetapi mengurangi pahalanya,
❌ seringkali kesalahan yang seperti itu merusak pahala puasa sehingga menjadi sia-sialah pahalanya.
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/14)
Diterjemahkan Oleh: al-Ustadz Muhammad Nur (Jember) Hafizhahullah
(6⃣): TIGA TAHAPAN KEWAJIBAN PUASA
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya,
"Apakah ada tahapan-tahapan pada (kewajiban) puasa ramadhan sebagaimana terjadi (tahapan) pada pengharaman khamr?
Maka beliau menjawab,
"Ya, terdapat beberapa tahapan.
1⃣ Awal kali turunnya (syari’at) puasa, (ada kebebasan) siapa yang mau boleh berpuasa dan siapa yang mau boleh memberi makan (orang miskin).
3⃣ Kemudian setelah itu puasa (ramadhan) menjadi wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah:185)
2⃣ Bentuk tahapan lainnya adalah, mereka dahulu apabila tertidur di waktu berbuka atau (terbangun ketika) shalat isya’, maka tidak boleh lagi makan, minum, dan jima’ kecuali setelah matahari terbenam di hari berikutnya. Kemudian diringankan bagi mereka, Allah Ta’ala berfirman,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:187)
Dahulu (makan, minum, dan jima’) termasuk perkara yang dilarang bagi orang yang berpuasa bila ia tidur (saat berbuka) atau (terbangun saat) shalat isya’,
kemudian hukum itu dihapus sehingga boleh (makan, minum, dan jima’) hingga munculnya waktu fajr.
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/16)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
(7⃣): Dengan Apa Menetapkan Masuknya Bulan Ramadhan ?
Fadhilatus Syaikh rahimahullah ditanya, "Dengan apa menetapkan masuknya bulan ramadhan?"
Maka beliau menjawab: "Penetapan masuknya bulan ramadhan bisa dengan ruyah hilal atau menyempurnakan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
“Apabila kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (hilal syawwal) maka berhari rayalah. Adapun jika terhalangi oleh kalian maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban menjadi tiga puluh (hari).”
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/36)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
(8⃣): METODE SYAR'I DALAM MENETAPKAN MASUK DAN KELUARNYA RAMADHAN
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah ditanya:
👉🏻 Apa metode yang syar’i dalam menetapkan masuknya bulan (ramadhan)?
👉🏻 Apakah boleh bersandar kepada hisab falaki dalam menetapkan masuk dan keluarnya bulan (ramadhan)?
👉🏻 Dan apakah boleh bagi seorang muslim menggunakan alat yang disebut darbil (teropong) untuk melihat hilal?
Maka beliau menjawab: Metode yang syar’i di dalam menetapkan masuknya bulan (ramadhan) adalah dengan berusaha melihat hilal,
dan seharusnya hal itu dilakukan oleh orang yang dipercaya agamanya dan memiliki penglihatan yang kuat.
Apabila mereka berhasil melihatnya maka wajib mengamalkan konsekuensi dari rukyah tersebut, yaitu berpuasa bila itu hilal ramadhan, dan berbuka bila itu hilal syawwal.
Tidak boleh bersandar pada Hisab Falaki ketika ru'yah tidak ada (tidak berhasil).
Apabila ada ru'yah (berhasil) meskipun menggunakan teropong, maka itulah yang dijadikan sandaran/dasar, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Apabila kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (hilal syawwal) maka berhari rayalah.”
Sedangkan hisab falaki maka tidak boleh beramal dengannya dan (tidak boleh) bersandar dengannya.
Adapun penggunaan alat yang disebut darbil yaitu teropong untuk melihat hilal maka tidak mengapa, akan tetapi hal itu tidak wajib. Karena zhahir dari sunnah bahwasanya sandaran dasar adalah ru’yah yang biasa (yaitu dengan mata telanjang,pen) bukan kepada selainnya. Akan tetapi, jikalau menggunakan (alat tersebut) kemudian hilal berhasil dilihat oleh orang yang terpercaya maka harus diamalkan rukyah tersebut.
Dahulu manusia juga menggunakan alat itu ketika mereka menaiki menara-menara di malam ke tiga puluh sya’ban atau malam 30 ramadhan, mereka berusaha melihat hilal dengan bantuan teropong.
Intinya, kapan saja hilal itu berhasil dilihat dengan perantara apa pun maka wajib mengamalkan konsekuensinya, berdasarkan keumuman sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Apabila kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (hilal syawwal) maka berbukalah.”
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/36)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
(9⃣): ANTARA HISAB DAN RU'YAH MANA YANG DIKEDEPANKAN ?
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah ditanya,
👉🏻 (dalam menetapkan masuknya bulan ramadhan) apakah hisab lebih didahulukan daripada ru’yah hilal?
👉🏻 Apabila hilal telah terlihat di suatu tempat apakah hukumnya berlaku bagi seluruh negeri?
👉🏻 apa hukum melihat hilal menggunakan teropong atau teleskop?
👉🏻 Dan apa pula hukum melihat hilal dari pesawat terbang dan satelit?
Maka beliau menjawab,
"Ru’yah hilal lebih didahulukan daripada hisab, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya mengganti), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah:185)
Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Apabila kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya (hilal syawwal) maka berhari rayalah.”
Akan tetapi dengan syarat, orang yang melihatnya adalah:
👉🏻 orang yang dipercaya dari sisi penglihatannya yang sehat,
👉🏻 adil dalam agamanya,
👉🏻 dan ucapannya dapat dipegang.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwasanya bila hilal telah terlihat di suatu tempat maka hukumnya berlaku bagi seluruh negeri,
tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa hukumnya tidak berlaku melainkan bagi negeri yang disitu terlihat hilal dan juga negeri-negeri yang matlaknya sama. Pendapat ini lebih shahih, akan tetapi ini merupakan wewenang waliyyul amr (pemerintah). Adapun masyakarat hanya mengikuti (keputusan) pemerintahnya.
Dan tidak mengapa kita berupaya melihat hilal dengan teleskop/teropong.
Adapun melalui pesawat terbang atau satelit maka tidak (boleh). Hal itu disebabkan pesawat terbang dan satelit berada di tempat yang tinggi di atas bumi yang mana bumi adalah tempat untuk melihat hilal.
Ditulis oleh: Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Pada 1/3/1409 H
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/61)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
(1⃣0⃣): BERPUASA DAN BERHARI RAYA MENGIKUTI NEGERI YANG DITINGGALI WALAUPUN HARUS BERPUASA LEBIH DARI 30 HARI ATAU KURANG DARI 29 HARI
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya,
"Apa hukum seseorang yang memulai puasa di negeri muslim, lalu ia pindah ke negeri lain yang penduduknya lebih telat (berpuasa) dari negeri yang pertama. Mengikuti mereka mengharuskan ia berpuasa lebih dari 30 hari atau sebaliknya (yakni kurang dari 29 hari,pen)?
Maka beliau menjawab: Apabila seseorang berpindah dari negeri Islam ke negeri islam, dan negeri yang ia pindah tersebut lebih telat berhari raya, maka ia tetap bersama mereka hingga mereka berbuka (berhari raya),
disebabkan puasa adalah pada hari dimana manusia berpuasa, dan berhari raya pada hari dimana manusia berhari raya, demikian pula berkurban pada hari di mana manusia berkurban.
Walaupun ia menambah satu hari atau lebih, itu sebagaimana halnya seorang yang berpuasa ke negeri yang telat terbenam matahari padanya, maka ia tetap berpuasa hingga (matahari) terbenam, walaupun ia harus menambah untuk hari tersebut dua jam, tiga jam, atau bahkan lebih.
Dan disebabkan pula, apabila ia pindah ke negeri yang kedua, tentu saja hilal belum terlihat, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan agar kita tidak berpuasa dan berbuka melainkan setelah melihatnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal ramadhan), dan berhari rayalah kalian karena melihatnya (hilal syawwal).”
Adapun (keadaan) yang sebaliknya, dimana ia pindah dari negeri yang telat penetapan masuknya bulan (ramadhan) kepada negeri yang lebih dahulu menetapkan masuknya bulan (ramadhan), maka ia juga berbuka bersama mereka.
Dan ia harus mengganti puasa yang kurang dari bulan ramadhan tersebut. Jika ia kurang satu hari maka ia mengganti satu hari, dan jika ia kurang dua hari maka ia mengganti dua hari.
Apabila ia berhari raya pada 28 hari maka ia harus mengganti sebanyak dua hari jika (hitungan) bulannya sempurna (yakni 30 hari ramadhan) pada dua negeri tersebut, dan (mengganti) satu hari jika (hitungan bulannya) kurang (yakni 29 hari) di kedua negeri tersebut atau di salah satunya.
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/66)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
(1⃣1⃣): KEADAAN SESEORANG YANG SAFAR DARI NEGERI YANG SUDAH MENETAPKAN SYAWWAL MENUJU NEGERI YANG BELUM MENETAPKAN SYAWWAL
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya,
"Apabila aku telah menunaikan puasa 29 hari dan aku akan berhari raya pada hari ke 30 di negeri yang aku berpuasa di situ. Akan tetapi pada pagi hari ied aku pergi menuju negeri lain, dalam keadaan aku berbuka. Ternyata aku mendapati penduduk negeri tersebut masih berpuasa. Maka apakah aku harus berpuasa ataukah aku berbuka dan tetap di atas ‘iedku?
Maka beliau menjawab, "Tidaklah mengharuskan bagimu untuk berpuasa, karena sesungguhnya engkau telah berbuka puasa dengan jalan yang dibenarkan syariat.
Maka hari tersebut menjadi hari yang mubah bagimu, engkau tidak diharuskan menahan diri (berpuasa).
Andaikata matahari terbenam dalam keadaan engkau berada di suatu negeri, kemudian engkau safar menuju negeri lain, kemudian engkau masih mendapati matahari sebelum terbenam, maka sesungguhnya yang demikian itu tidaklah megharuskan engkau untuk menahan diri (berpuasa).
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/72)
Diterjemahkan Oleh: al-Ustadz Huda Mantingan hafizhahullah
(1⃣2⃣): KETIKA SEORANG ANAK MEMAKSAKAN DIRI UNTUK BERPUASA
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya,
“Anakku yang masih kecil tetap berpuasa ramadhan meskipun puasa dapat membahayakannya, karena usianya yang masih kecil dan ia kurang sehat. Apakah aku boleh bersikap keras kepadanya agar ia berbuka?
Maka beliau menjawab:
"Jika ia masih kecil belum mencapai usia baligh maka tidak harus baginya untuk berpuasa,
namun jika ia sanggup berpuasa tanpa keberatan maka hendaknya ia disuruh agar berpuasa.
Dahulu para sahabat memerintahkan anak-anak mereka untuk berpuasa, sampai sebagian dari anak kecil tersebut menangis (karena lapar) maka mereka memberinya mainan untuk menghiburnya.
Akan tetapi jika jelas bahwa hal ini (yaitu puasa) membahayakannya maka ia (harus) dilarang melakukan puasa.
Bila Allah melarang kita untuk memberikan kepada anak kecil (yang belum baligh,pen) harta mereka karena takut terjadi kerusakan terhadap harta tersebut, maka sesungguhnya rasa takut terjadinya mudharat (dampak buruk/kerusakan) pada badan lebih-lebih lagi untuk melarang mereka darinya,
Akan tetapi pelarangan dilakukan bukan dengan cara kekerasan, karena hal itu tidak pantas dilakukan di dalam bermuamalah terhadap anak-anak ketika mentarbiyah (mendidik) mereka”
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/83)
Diterjemahkan Oleh: al-Ustadz Abu Ja'far (Jember) hafizhahullah
(1⃣3⃣): MEMERINTAHKAN ANAK KECIL UNTUK BERPUASA SEBAGAI BENTUK KASIH SAYANG KEPADA MEREKA
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya,
Apakah anak kecil yang berumur kurang dari 15 tahun diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana mereka diperintahkan untuk mengerjakan shalat?
Maka beliau menjawab:
"ya. Anak-anak yang belum baligh diperintahkan untuk berpuasa kalau mereka mampu. Sebagaimana dahulu para sahabat radhiallahu anhum melakukannya terhadap anak-anak mereka.
Para ulama telah menetapkan bahwa para wali harus memerintahkan anak-anak kecil yang berada dalam tanggung jawabnya untuk berpuasa, dalam rangka melatih dan membiasakan mereka, dan menanamkan dasar-dasar keislaman dalam jiwa mereka, sehingga puasa menjadi seperti sebuah tabiat bagi mereka.
Tetapi jika berpuasa memberatkan atau membahayakan mereka, maka sesungguhnya mereka tidak diharuskan berpuasa.
Hanya saja di sini aku ingin mengingatkan suatu permasalahan yang dilakukan sebagian orang tua, yaitu mereka MELARANG anak-anaknya untuk berpuasa menyelisihi apa yang dahulu para sahabat lakukan.
Para orang tua mengaku melarang anak-anaknya berpuasa sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka.
Padahal kasih sayang yang sebenarnya terhadap anak-anak adalah dengan memerintahkan mereka menjalankan syariat Islam dan membiasakannya, dan menjadikan anak-anak senang dengan syariat Islam. Karena tanpa diragukan lagi ini merupakan tarbiyah yang baik, dan kesempurnaan tanggung jawab.
Telah shahih dari Nabi shalallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
إن الرجل راع في أهل بيته ومسؤول عن رعيته
“Sesungguhnya seorang laki-laki adalah penanggung jawab bagi keluarganya, dan dia akan ditanya tentang tanggung jawabnya terhadap mereka”
Maka seyogyanya bagi para wali yang telah Allah bebankan kepadanya kewajiban mengurus/bertanggung jawab atas isteri dan anak-anak, hendaknya bertakwa kepada Allah dalam mengurusi mereka, dan hendaknya para wali menjalankan kewajibannya, yaitu memerintahkan mereka (isteri dan anak-anaknya) dengan syariat Islam."
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/83)
Diterjemahkan Oleh: al-Ustadz Abdulloh (Majalengka) hafizhahullah
(1⃣4⃣): ORANG YANG TERKADANG PUASA DAN TERKADANG TIDAK
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya,
Apa hukum seorang yang berpuasa selama beberapa hari dan tidak berpuasa di beberapa hari yang lainnya dari bulan ramadhan?
Maka beliau menjawab:
Jawaban dari pertanyaan ini mungkin bisa dipahami dari (penjelasan) yang telah lalu, yaitu bahwa orang yang berpuasa satu hari dan tidak berpuasa di hari yang lainnya tidaklah (menjadikannya) keluar dari Islam.
Akan tetapi ia menjadi seorang yang fasiq (melakukan dosa besar,pen) disebabkan ia telah meninggalkan kewajiban yang agung ini, yang mana ia bagian dari rukun-rukun Islam.
(Di harus bertaubat kepada Allah,pen) Dan dia tidak perlu mengqadha (mengganti) beberapa hari yang dia tidak berpuasa padanya. Karena perbuatannya mengqadha puasa itu TIDAK akan bermanfaat sedikitpun, dimana ia tidak akan diterima (oleh Allah,pen), berdasarkan apa yang telah kami isyaratkan pada (pembahasan) yang telah lalu,
“Bahwa ibadah yang telah ditentukan waktunya, apabila seseorang melaksanakannya di luar waktu yang telah ditentukan bukan karena udzur maka (ibadah itu) tidak akan diterima darinya.”
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/81)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
(1⃣5⃣): TIDAK BERPUASA KARENA ADA UJIAN SEKOLAH
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya,
“Saya seorang wanita, keadaan memaksaku untuk tidak berpuasa selama 6 hari pada bulan Ramadhan disebabkan ujian (sekolah), karena waktu ujian berlangsung pada bulan tersebut sementara materi ujian amatlah berat, kalau tidak berbuka pada hari-hari itu aku tidak mampu menguasai materi tersebut karena beratnya. Saya berharap mendapat faedah, apa yang semestinya saya kerjakan agar Allah mengampuniku?
Maka beliau menjawab:
"1⃣ yang pertama menyandarkan sesuatu kepada keadaan adalah salah, alangkah baiknya dengan perkataan; “aku terpaksa atau yang semisalnya”
2⃣ Yang kedua, berbuka pada bulan ramadhan karena alasan ujian itu salah juga, tidak boleh. Karena memungkinkan ia bisa memurojaah (belajar,pen) di malam harinya, tidak ada di sana sebab yang darurat untuk berbuka, maka wajib baginya bertaubat kepada Allah dan wajib mengqadha, karena ia mentakwil (menganalisa) bukan karena unsur meremehkan.”
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/84)
Diterjemahkan Oleh: al-Ustadz 'Arif Madiun (Jember)
(1⃣6⃣): KEADAAN ORANG YANG TIDAK BERPUASA BEBERAPA TAHUN TANPA UDZUR
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya,
Apa hukumnya seorang muslim yang telah melalui beberapa bulan dari ramadhan maksudnya beberapa tahun tanpa berpuasa, tapi ia melakukan kewajiban-kewajiban lainnya, dan ia tidak memiliki halangan (udzur) untuk berpuasa. Apakah ia harus mengaqadha’nya bila bertaubat?
Maka beliau menjawab:
“(pendapat) yang shahih bahwasanya ia tidak harus mengqadha bila bertaubat. Disebabkan setiap ibadah yang telah ditentukan waktunya, dan seseorang mengkahirkannya dari waktunya tanpa udzur maka Allah tidak akan menerima amalannya itu. Sehingga tidak ada faedahnya bila pun ia mengqadha.
Akan tetapi wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan memperbanyak amal shalih. Barangsiapa yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya.”
Sumber: Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/87)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
#silsilahfatawashiyam #shiyam #puasa
〰〰➰〰〰
🍉 Warisan Salaf menyajikan Artikel dan Fatawa Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah
🍏 Channel kami https://bit.ly/warisansalaf
💻 Situs Resmi http://www.warisansalaf.com