Nasehat

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

jangan menyerang orang lain dengan menuduh niatnya

JANGAN MENYERANG ORANG LAIN DENGAN MENUDUH NIATNYA بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله والصلاة والسلام على أشرف خلق الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد: Jangan Menyerang Orang Lain dengan Menuduh Niatnya Termasuk buruknya pengaruh fitnah terakhir ini –dan alangkah banyaknya– adalah mereka menyerang niat orang-orang yang mereka musuhi. Jadi tidaklah seorangpun bangkit membantah sebuah kebatilan yang dia ketahui kecuali mereka menghujaninya dengan tuduhan ingin tampil (bahkan tuduhan ini bisa saja muncul walaupun si penulis/penerjemah tidak mencantumkan jati dirinya –pent) dan memiliki niat buruk. Maka saya berfikir untuk membahas secara tersendiri perkara yang berbahaya ini dalam tulisan ringkas. Mudah-mudahan mereka mengambil manfaat lalu menghentikan lisan mereka dari berbicara dengan kebatilan. Dan Allah saja yang memberi taufik dan menunjukkan ke jalan yang lurus. Termasuk yang bagus untuk memulai di sini adalah mengingatkan keadaan para ulama salaf dalam membenahi niat-niat mereka. Contohnya Sufyan ats-Tsauri, dan siapa yang tidak kenal dengan Sufyan ats-Tsauri?! Beliau pernah mengatakan, . "Aku tidak pernah membenahi sesuatu yang lebih berat dari niatku, karena niatku selalu berubah-ubah." Jika sebesar imam yang seperti gunung ini niat beliau selalu berubah-ubah dan berat membenahinya, bahkan beliau merasa tidak ada yang lebih berat untuk dibenahi darinya, maka seharusnya orang yang menuduh niat orang lain lebih pantas untuk mengoreksi niatnya dan membenahinya, bukan malah menyerang niat orang-orang yang dia musuhi dengan tuduhan memiliki tujuan yang buruk dan menganggap mereka tidak ikhlas dan tidak bertujuan baik, karena keadaan dia seakan-akan mengungkapkan, "Aku orang yang ikhlas." Sesungguhnya termasuk perkara yang telah diketahui dari sejarah hidup para ulama salaf adalah menilai manusia berdasarkan lahiriah dan menyerahkan urusan hati kepada Allah. Bahkan Ibnu Abdil Barr menukil adanya ijmak atas perkara tersebut dengan mengatakan: أجمعوا أن أحكام الدنيا على الظاهر وأن أمر السرائر إلى الله. "Mereka ijmak bahwa hukum-hukum dunia berdasarkan lahiriah dan urusan hati diserahkan kepada Allah."  (At-Tamhid, 10/32) Makna seperti ini telah dihikayatkan dalam sebuah hadits yang marfu' namun tidak shahih. Sedangkan yang shahih adalah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mauquf dari Umar radliyallahu anhu: إِنَّمَا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّ الوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ، وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمُ الآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ. "Sesungguhnya dahulu manusia hanyalah dinilai dengan wahyu di masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan sesungguhnya wahyu telah berhenti, dan sekarang kami menilai kalian hanyalah berdasarkan apa yang nampak bagi kami dari perbuatan kalian." (Shahih al-Bukhari no. 2641) Jadi konsekuensi dari ijmak yang dinukil tadi adalah bahwa orang yang menyerang niat orang lain telah merebut dari Allah sesuatu yang tidak bisa mengetahuinya kecuali Dia. Memang, terkadang nampak berbagai indikasi kuat pada seseorang yang menyebabkan buruk sangka kepadanya sebagai bentuk hati-hati darinya. Namun perkecualian ini tidak boleh dijadikan sebagai prinsip dasar, dan alangkah banyaknya penyimpangan yang menyerang manusia melalui pintu ini karena mereka mengabaikan hukum yang pasti yang tetap sebagai dasar, lalu mereka menggunakan yang sifatnya darurat yang dikecualikan sebagai gantinya tanpa rambu-rambu. Walaupun demikian jangan sampai buruk sangka kepada siapapun menyeretmu untuk menuduhnya tidak memiliki keikhlasan untuk Allah! Jika hal ini telah diketahui dan diterima dengan baik, maka termasuk perkara yang sangat tercela jika seseorang mengatakan tentang sebagian masyayikh atau saudara kita bahwa dia tidak memiliki keikhlasan niat untuk Allah dalam makalah maupun tulisan mereka  serta kepentingan-kepentingan pribadi dan hawa nafsu menguasai mereka. (Lihat: Nashihah wa Taujih Ila Muntada at-Tashfiyyah). Anehnya tidak ada seorangpun yang mengingkarinya, bahkan para pengikut merasa gembira dengan ucapan ini. Dan yang semisalnya adalah ucapan temannya, "Diantaranya tulisan iparmu yang telah didorong oleh fanatisme jahiliyyah." (Al-Jawab Anil Jawab, bagian pertama) Sesungguhnya saya benar-benar berulang kali membaca ucapan ini dan keheranan saya tidak habis dengan berlalunya hari-hari. Bagaimana bisa orang yang mengatakannya menghukumi sesuatu yang sifatnya ghaib dan saya bertanya-tanya apakah mungkin seseorang bisa mengetahui tanda-tanda dan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa keikhlasan telah hilang dari orang yang dia musuhi atau dia telah didorong oleh fanatisme jahiliyyah?! Dan sangat disayangkan saya jadi teringat dengan ucapan orang munafik yang mencela pembagian harta yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alahi wa sallam dengan mengatakan, "Ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah." (muttafaqun alaih) Dan saya berharap tidak ada yang menganggap bahwa saya menyamakan gurunya dengan orang-orang munafik, hanya saja ucapannya sama persis. Kemudian saya teringat dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika sampai kepada beliau perbuatan Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma ketika membunuh seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallah:  يَا أُسامةُ! أَقَتَلْتَهُ بَعْدَمَا قَالَ: لا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ؟! "Wahai Usamah, apakah engkau masih tetap membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaha illallah?!" Usamah menjawab, "Dia mengucapkannya karena takut kepada senjata." Lalu beliau mengatakan: أَفَلا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لا؟! "Apakah engkau telah membelah hatinya hingga engkau bisa mengetahui apakah dia mengucapkannya karena itu atau tidak?! Usamah mengatakan, "Beliau terus mengulang-ulang pertanyaan tersebut hingga aku berangan-angan sekiranya aku baru masuk Islam hari itu." (muttafaqun alaihi dan ini redaksi Muslim hadits no. 96) Jadi walaupun dalam keadaan banyaknya pendorong buruk sangka terhadap seseorang dengan indikasi ketakutannya terhadap pedang ketika dia melihatnya diarahkan kepadanya, hanya saja Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menerima alasan Usamah radhiyallahu anhu. Jika demikian pada Nabi kita terdapat teladan yang baik, sehingga kami katakan kepada kalian, "Apakah kalian telah membelah hati orang-orang yang kalian musuhi hingga kalian bisa mengetahui apakah mereka menulis (bantahan) ikhlas karena Allah atau tidak?!" Wahai orang-orang yang menyerang niat-niat manusia: Berikut ini balasan surat yang sangat indah yang dinukil oleh al-Imam as-Sa'di dalam salah satu fatwa beliau tentang celaan sahabatnya terhadap niat beliau lalu beliau menjawabnya dengan surat tersebut. Perhatikan baik-baik –rahimakumullah– dan berhentilah pada setiap katanya, karena sungguh itu merupakan balsem bagi penyakit yang berbahaya yang telah menimpa kalian ini. _________________ "Wahai saudaraku, jika engkau meninggalkan perkara yang wajib atas dirimu yaitu cinta karena agama, dan engkau menempuh perkara yang haram atas dirimu yaitu menuduh saudaramu dengan niat yang buruk walaupun anggaplah dia telah melakukan kesalahan dan engkau menjauhi sikap hikmah dalam berdakwah dalam perkara-perkara seperti ini, maka sebelum masuk kepada jawaban saya kepadamu atas kritikanmu, saya ingin mengabarkan kepadamu: Saya tidak akan meninggalkan perkara yang wajib atas saya berupa menjaga kecintaan kepadamu dan terus mencintaimu berdasarkan apa yang saya ketahui dari agamamu semata-mata karena membela diri saya, bahkan saya akan menambahnya dengan memberikan udzur untukmu atas celaan terhadap saudaramu bahwa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu adalah niat yang baik. Hanya saja niat baik tersebut tidak disertai dengan ilmu yang membenarkannya, pengetahuan yang menjelaskan tingkatannya, dan tidak pula sikap wara' (kehati-hatian) yang menjadikan seorang hamba tidak melanggar batas yang ditetapkan oleh peletak syariat atasnya. Jadi karena baiknya niatmu maka saya memaafkan dirimu atas apa yang muncul darimu berupa tuduhan memiliki niat buruk kepada saya. Anggaplah kebenaran itu bersama dirimu secara meyakinkan, apakah kesalahan seseorang merupakan bukti buruknya niat dirinya. Jika perkaranya seperti itu niscaya wajib menuduh seluruh ulama umat ini dengan niat-niat yang buruk, karena apakah ada seorangpun yang bersih dari kesalahan?! Bukankah kelancangan yang engkau lakukan menyelisihi ijmak kaum muslimin, yaitu bahwasanya tidak halal menuduh seorang muslim memiliki niat yang buruk jika dia terjatuh dalam kesalahan?! Dan Allah telah memaafkan kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman dalam ucapan, perbuatan, dan semua keadaan. Kemudian kami katakan: Anggaplah boleh bagi seseorang untuk menuduh niat orang yang indikasi-indikasi kuat dan tanda-tanda menunjukkan niatnya yang buruk, apakah halal bagimu untuk mencela seseorang yang engkau memiliki bukti-bukti yang banyak yang menunjukkan baiknya niatnya dan jauhnya dari niat buruk, yang hal itu tidak membolehkan bagimu untuk membayangkan sedikitpun apa yang engkau tuduhkan kepadanya?! Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berbaik sangka kepada saudara-saudara mereka jika dituduhkan kepada mereka hal-hal yang menyelisihi konsekuensi iman. Allah Ta'ala berfirman: لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا. "Mengapa ketika kalian mendengar berita buruk itu orang-orang yang beriman baik pria maupun wanita tidak berbaik sangka kepada diri mereka sendiri." (An-Nur: 12) Dan ketahuilah bahwa pendahuluan ini bukan bertujuan untuk membalas ucapanmu, karena sesungguhnya saya seperti yang telah saya isyaratkan kepadamu bahwa saya telah memaafkanmu jika saya memiliki hak, tetapi tujuannya adalah nasehat dan menjelaskan posisi tuduhan semacam ini menurut akal, agama, dan kehormatan manusia." (Al-Fatawa as-Sa'diyyah, hlm. 61-62) _________________ Saya katakan: Allahu akbar, alangkah bersihnya kata-kata dan alangkah bagusnya sifat-sifat tersebut, seandainya orang-orang yang membicarakan niat manusia itu mau berhias dengan sepertiganya atau seperempatnya kita tidak akan sampai seperti ini. Apakah mereka ini tidak bisa mengucapkan seperti yang diucapkan oleh beliau bahwa yang mendorong orang yang mereka musuhi untuk melakukan hal itu adalah niat yang baik. Hanya saja niat baik tersebut tidak disertai dengan ilmu yang membenarkannya, pengetahuan yang menjelaskan tingkatannya, dan tidak pula sikap wara' (kehati-hatian) yang menjadikan seorang hamba tidak melanggar batas yang ditetapkan oleh peletak syariat atasnya. Tanpa perlu menyerang niat dan memvonis tujuannya. Ya Allah, benahilah niat-niat kami dan perbaguslah tujuan kami baik dalam perkara-perkara yang kecil maupun yang besar. Baca juga : Hidup Bernafas Ketulusan Ditulis oleh: Abu Anas Abdurrahman Habak Ibukota Aljazair, selepas matahari tergelincir, Selasa 27 Rabi'ul Akhir 1441 atau 24 Desember 2019 https://www.tasfiatarbia.org/vb/showthread.php?t=24637 Sumber : https://t.me/jujurlahselamanya/1763
5 tahun yang lalu
baca 10 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

faidah surat al ashr tentang keutamaan menjaga waktu

BERPACU DENGAN WAKTU Al-Ustadz Mukhtar bin Rifa'i حفظه الله تعالى وَٱلۡعَصۡرِ ١ . إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-Ashr: 1-3) Dahulu, sebelum 'Amr bin Al 'Ash masuk Islam, beliau pernah datang menemui MusaiIamah Al Kadzab, si pendusta pengaku nabi. "Pada hari-hari ini, ayat apa yang diturunkan kepada Muhammad?“ Musailamah bertanya.  'Amr bin AI 'Ash menjawab, "Sungguh, sebuah surat ringkas, namun penuh makna telah diturunkan untuknya"  "Surat apa itu?" Musailamah mengejar.  'Amr bin Al 'Ash Ialu membacakan surat AI ‘Ashr. Musailamah Ialu berfikir sesaat. Kemudian dia mengatakan, "Surat seperti itu juga telah diturunkan untukku❗️"  'Amr bertanya, "Apa itu?”  Musailamah Ialu membaca,  يَاوَ بْرُ يَاوَ بْرُ، إِنَّمَا أَنْتَ أُذُنَانِ وَصَدْرٌ، وَسَا ئِرُكَ حَفْزٌ نَقْزٌ  ”Wahai Wabr, Wahai Wabr (binatang sejenis marmut). Engkau hanya terdiri dari dua telinga dan dada. Gerakanmu hanya duduk dan meloncat." Setelah itu, Musailamah bertanya, "Bagaimana pendapatmu, wahai ’Amr?” 'Amr menjawab, ”Demi Allah, engkau sendiri pun menyadari jika aku yakin bahwa engkau pendusta." Kisah di atas cukup terkenal di tengah-tengah kaum muslimin. Hanya sayangnya, kisah tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. ’Amr bin Al 'Ash teIah masuk Islam sebelum Musailamah mengaku-aku sebagai seorang nabi. ’Amr bin Al ‘Ash masuk Islam pada tahun 8 hijriyah, sementara Musailamah mengaku-aku sebagai nabi pada tahun 16 hijriyah.  Memang benar, ’Amr bin Al ’Ash pernah bertemu Musailamah. Namun, itu terjadi setelah 'Amr masuk Islam. Ketika beliau kembali dari bertugas di daerah Bahrain. Wallahu a’Iam. Mengenai Asbab Nuzul surat ini, tidak ditemukan satu pun riwayat yang shahih. Berpacu dengan Waktu (Keutamaan Menjaga Waktu) Bagi yang pernah membaca, mempelajari bahkan mungkin menghapal kitab Al Ushul Ats Tsalatsah, tentu mengetahui pernyataan Imam Syafi’i رحمه الله tentang surat Al 'Ashr ini. Beliau menyatakan,  "Andai saja Allah tidak menurunkan hujjah untuk seluruh manusia kecuali surat ini saja, pasti sudah cukup untuk mereka." Sayangnya, kita tidak menemukan sumber sanad (mata rantai riwayat) sampai kepada Imam Syafi'i رحمه الله dengan susunan lafazh di atas. Namun, banyak ulama yang menukil pernyataan Imam Syafi'i رحمه الله tersebut dengan Iafazh yang berbeda. Di antaranya Syaikhul Islam lbnu Taimiyah رحمه الله di dalam Al Majmu’ AI Fatawa (28/152), lbnul Qayyim رحمه الله di dalam beberapa karya beliau (At Tibyan hal 57, lghatsah 1/25, Al Kalam 'ala Mas’alatis Sama’ hal 404, Miftah Daar Sa’adah 1/56), Ibnu Katsir رحمه الله di dalam tafsir surat ini, dan beberapa ulama lainnya.  "Andai saja kita meluangkan waktu untuk merenungkan surat ini, sungguh betapa ruginya kita selama ini." Waktu tetap terus beredar. Berjalan dan tanpa berpaling ke arah kita. Sementara kita, hanya berleha-leha, bermain-main tanpa makna dan membuang waktu sia-sia. Andai saja kita sesaat melihat ke belakang, berusaha mengingat-ingat kembali tentang segala cerita yang telah kita lalui, kemudian secara jujur bertanyalah kepada diri sendiri, "Amal kebaikan apa yang telah dilakukan? Amal keburukan apa yang telah dikerjakan?”  Mungkin, hanya sedikit amal kebaikan yang mampu kita ingat. Bukan karena lupa, akan tetapi memang hanya sedikit amal kebaikan yang telah kita lakukan. Namun, amal keburukan? Begitu banyak dan seringnya hingga kita pun kehabisan waktu untuk mengingat-ingat kembali. Allahumma Sallim, ya Allah selamatkanlah kami. Ibnul Qayyim رحمه الله (At Tibyan 57) menegaskan, ”Surat ini, meskipun ringkas, termasuk surat yang paling lengkap di dalam AI Qur’an. Surat ini menjelaskan seluruh kebaikan. Alhamdulillah, Dia سبحانه وتعالى Iah Dzat yang telah menetapkan kitab-Nya sebagai pencukup dari selainnya, lengkap, sehingga tidak butuh yang lain, penawar dari segala macam jenis penyakit dan sumber petunjuk untuk seluruh kebaikan.”  ”Andai saja kita meluangkan waktu untuk merenungkan surat ini, sungguh betapa ruginya kita selama ini.” Sempurna, dalam batas kewajaran manusia, adalah hamba yang dirinya sempurna dan mampu menyempurnakan orang lain. Sempurna, menurut kelemahan manusia, adalah hamba yang memiliki kekuatan ilmiyyah dan amaliyyah. Bagaimanakah jalan menuju ke sana? Mesti melewati empat tahap dan empat langkah untuk sampai ke sana. Mengenal kebenaran.  Melaksanakan kebenaran tersebut.  Mengajarkan kebenaran kepada yang belum mengenalnya.  Bersabar di dalam mengenal kebenaran, melaksanakan, dan mengajarkannya "Waktu adalah uang” adalah prinsip sebagian orang. Mereka tidak ingin melewatkan waktu barang sekejap pun jika tidak menghasilkan uang. Waktu bukanlah segala-galanya, akan tetapi uang adalah tujuan utama. Demi uang, waktu untuk apa pun siap dikorbankan. Sayangnya, orang-orang semacam ini akan merugi. Sungguh! Allah سبحانه وتعالى bersumpah dengan waktu dan masa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya arti waktu bagi hamba. Waktu adalah modal terbesar untuk mengumpulkan bekal sedikit demi  sedikit, guna menempuh perjalanan yang sangat panjang. Menuju kampung yang kekal abadi. Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassallam dalam hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما. Andainya kita benar-benar jujur untuk berkaca pada diri sendiri. Sungguh kita telah mengalami kerugian yang sangat besar selama ini. Ya,waktu yang berlalu begitu saja. Nastaghfirullah wa natuubu ilaih, kami memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda di dalam hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang dishahihkan oleh AI Albani رحمه الله di dalam Shahih At Targhib: اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَا غِكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ "Manfaatkanlah lima hal sebelum datang lima lainnya; Masa muda sebelum masa tua, Masa sehat sebelum masa sakit, Masa kecukupan sebelum masa kafakiran, Masa senggang sebelum masa sibuk, Hidupmu sebelum kematian." Bila waktu hilang tak berbekas tanpa menambah pundi-pundi amal, kerugian dan penyesalan yang akan dirasakan. Dan kerugian itu benar-benar nyata❗️Bahkan Allah سبحانه وتعالى menyebutkan tiga bentuk taukid (penguat) di dalam ayat ini; sumpah Allah, huruf inna, dan lam taukid.  "Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian." Hanya orang-orang tertentu yang dikecualikan Allah سبحانه وتعالى dari kerugian. Siapakah mereka❓ Hamba yang sempurna dan yang menyempurnakan orang lain. Beriman dan beramal shalih akan menyempurnakan diri sendiri. Sementara untuk menyempurnakan orang lain, kita mestinya aktif memberikan nasihat untuk orang Iain. Jangan sungkan dan jangan bakhil untuk berbagi nasihat kepada yang Iain. SURAT AL ASHR SEBAGAI PENGINGAT Alangkah beruntung seorang hamba yang benar-benar mampu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Surat AI Ashr memang sangat tepat untuk dibaca berulang -ulang, disertai penghayatan dan tadabbur. Apalagi jika disertai dengan ikhtiar untuk memahami tafsirnya. Tentu, surat Al Ashr cukup untuknya sebagai sebuah peringatan. Sebuah hadits diriwayatkan oleh shahabat Abu Madinah رضي الله عنه di dalam kitab AI Ausath karya Al Imam Thabarani. Hadits tersebut dishahihkan oleh Al Albani رحمه الله di dalam Sisilah As Shahihah 6/307. Abu Madinah رضي الله عنه bertutur:  كَانَ الرَّجُلَانِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ إِذَا الْتَقَيَا لَمْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَقْرَأَ أَحَدُھُمَا عَلَى الآخَرِ : *(وَالعَصْرِ إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِيْ خُسرٍ)*، ثُمَّ يُسَلِّمُ أَحَدُھُمَا عَلَى الآخَرِ  ”Dahulu, jika dua orang shahabat nabi bertemu, mereka tidak akan berpisah sebelum salah satunya membacakan: وَالعَصْرِ إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِيْ خُسرٍ Kemudian setelah itu salah satunya mengucapkan salam untuk yang lain." Asy Syaikh Al Albani (As Shahihah 6/307) menerangkan, "Faedah kedua dari hadits ini; kebiasaan para shahabat untuk membaca surat Al Ashr. Sebab, kita berkeyakinan, para shahabat adalah orang-orang yang paling tidak mungkin untuk melakukan ibadah baru di dalam beragama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى. (Tidak mungkin mereka beramal) kecuali berdasarkan petunjuk dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun persetujuan dari beliau. Saudara pembaca, renungkanlah kembali surat Al Ashr! Kemudian bertanyalah secara jujur kepada diri sendiri, "Apakah aku termasuk orang-orang yang merugi? Ataukah tergolong orang-orang yang beruntung?" وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” Sumber Majalah Qudwah Edisi 05 | https://t.me/Majalah_Qudwah
6 tahun yang lalu
baca 9 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

nasihat terkahir asy syaikh abdul aziz bin baz

NASEHAT TERAKHIR ASY-SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ RAHIMAHULLAH YANG BELIAU SAMPAIKAN DI MALAM TERAKHIR DI RIYADH SEBELUM BEROBAT KE RUMAH SAKIT RAJA FAISAL DI THAIF MENJELANG WAFATNYA الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن اهتداه بهداه، أما بعد: Nasihat Terkahir Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz Allah Jalla wa 'Ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (١٨) وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (١٩) لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ (٢٠) "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah dia usahakan untuk hari esok (kehidupan akhirat), dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa saja yang kalian perbuat. Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang telah melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidak sama antara penghuni neraka dan penduduk surga, penduduk surga itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Hasyr: 18-20) Rabb kita Azza wa Jalla memerintahkan orang-orang yang beriman dalam ayat ini agar bertakwa kepada-Nya, . dan di dalam ayat yang banyak Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa karena itu merupakan pangkal kebaikan. Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka sempurnalah kebahagiaan untuknya. Sebagaimana Dia telah memerintahkan hal itu kepada seluruh manusia dengan firman-Nya: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ. "Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu." (An-Nisa': 1) Dan juga firman-Nya: وقال: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ. "Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian, karena sesungguhnya kegoncangan hari kiamat nanti adalah sesuatu yang sangat besar." (Al-Hajj: 1) Wajib atas setiap mu'min untuk bertakwa kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh Allah di manapun dia berada, apakah di darat, di laut, di rumah, di pasar, dan di semua tempat hendaklah dia selalu merasa diawasi oleh Allah dalam semua perbuatan dan ucapannya, sehingga dia melakukan apa yang dibolehkan oleh Allah, menunaikan apa yang Dia wajibkan, dan berhenti dari apa saja yang diharamkan oleh Allah. Inilah yang wajib atas setiap mu'min yaitu dengan melakukan muhasabah (introspeksi diri) dan menundukkan jiwanya serta memperhatikan apa yang telah dia usahakan untuk kehidupan akhirat sebelum ajalnya tiba. Oleh karena inilah Allah Jalla wa Ala berfirman: وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ. "Dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah dia usahakan untuk hari esok (kehidupan akhirat)." (Al-Hasyr: 18) Maka perhatikanlah apa yang telah kalian usahakan untuk kehidupan akhirat, jika itu merupakan perbuatan baik maka teruslah di atasnya, pujilah Allah atasnya, dan mohonlah kepada-Nya kekokohan di atasnya. Adapun jika itu adalah perbuatan buruk maka wajib untuk segera bertaubat darinya, mewaspadainya, dan menyesali atas apa yang telah dia lakukan. Inilah yang wajib atas semua orang, yaitu bertaubat dari dosa-dosa yang telah lalu, dan jika dosa-dosa tersebut terkait dengan hak-hak orang lain maka harus meminta kepada mereka agar dihalalkan atau mengembalikan hak-hak mereka. Jadi seorang mu'min harus melakukan muhasabah dan harus selalu menundukkan jiwanya serta memperhatikan apa saja yang telah dia perbuat dan tidak boleh lalai. Kemudian Allah berfirman: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ. "Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang telah melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri." (Al-Hasyr: 19) Maksudnya janganlah kalian menyerupai musuh-musuh Allah yang berpaling dari Allah dan melupakan hak-Nya sehingga Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Jadi Allah membalas mereka sesuai dengan perbuatan mereka. Dan barangsiapa yang Allah jadikan melupakan dirinya sendiri maka dia akan melakukan hal-hal yang membawa kehancuran dan kebinasaan dirinya. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Jadi wajib untuk waspada, dan wajib atas setiap mu'min untuk bertakwa kepada Allah, selalu merasa diawasi oleh Allah, dan mengusahakan kebaikan untuk dirinya sebelum ajalnya tiba. Terlebih lagi para penuntut ilmu karena kewajiban atas mereka lebih besar lagi, yaitu menyampaikan dakwah dan mengamalkan ilmu yang mereka ketahui. Inilah yang wajib atas para penuntut ilmu, yaitu mengamalkan ilmu yang mereka ketahui, menyampaikan dakwah, dan jangan sampai ucapan dan perbuatan mereka menyelisihi ilmu yang mereka ketahui. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kami dan kalian sebagai orang-orang yang membimbing dan mendapatkan hidayah, dan kita memohon kepada Allah agar melindungi kami dan kalian dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan dari godaan setan. وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان. https://t.me/jujurlahselamanya/1415
6 tahun yang lalu
baca 5 menit