Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

jangan menyerang orang lain dengan menuduh niatnya

5 tahun yang lalu
baca 10 menit

JANGAN MENYERANG ORANG LAIN DENGAN MENUDUH NIATNYA

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على أشرف خلق الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد:
Jangan Menyerang Orang Lain dengan Menuduh Niatnya
Jangan Menyerang Orang Lain dengan Menuduh Niatnya
Termasuk buruknya pengaruh fitnah terakhir ini –dan alangkah banyaknya– adalah mereka menyerang niat orang-orang yang mereka musuhi.

Jadi tidaklah seorangpun bangkit membantah sebuah kebatilan yang dia ketahui kecuali mereka menghujaninya dengan tuduhan ingin tampil (bahkan tuduhan ini bisa saja muncul walaupun si penulis/penerjemah tidak mencantumkan jati dirinya –pent) dan memiliki niat buruk.

Maka saya berfikir untuk membahas secara tersendiri perkara yang berbahaya ini dalam tulisan ringkas. Mudah-mudahan mereka mengambil manfaat lalu menghentikan lisan mereka dari berbicara dengan kebatilan. Dan Allah saja yang memberi taufik dan menunjukkan ke jalan yang lurus.

Termasuk yang bagus untuk memulai di sini adalah mengingatkan keadaan para ulama salaf dalam membenahi niat-niat mereka.

Contohnya Sufyan ats-Tsauri, dan siapa yang tidak kenal dengan Sufyan ats-Tsauri?! Beliau pernah mengatakan, 
"Aku tidak pernah membenahi sesuatu yang lebih berat dari niatku, karena niatku selalu berubah-ubah."
Jika sebesar imam yang seperti gunung ini niat beliau selalu berubah-ubah dan berat membenahinya, bahkan beliau merasa tidak ada yang lebih berat untuk dibenahi darinya, maka seharusnya orang yang menuduh niat orang lain lebih pantas untuk mengoreksi niatnya dan membenahinya, bukan malah menyerang niat orang-orang yang dia musuhi dengan tuduhan memiliki tujuan yang buruk dan menganggap mereka tidak ikhlas dan tidak bertujuan baik, karena keadaan dia seakan-akan mengungkapkan, "Aku orang yang ikhlas."

Sesungguhnya termasuk perkara yang telah diketahui dari sejarah hidup para ulama salaf adalah menilai manusia berdasarkan lahiriah dan menyerahkan urusan hati kepada Allah. Bahkan Ibnu Abdil Barr menukil adanya ijmak atas perkara tersebut dengan mengatakan:

أجمعوا أن أحكام الدنيا على الظاهر وأن أمر السرائر إلى الله.

"Mereka ijmak bahwa hukum-hukum dunia berdasarkan lahiriah dan urusan hati diserahkan kepada Allah." (At-Tamhid, 10/32)

Makna seperti ini telah dihikayatkan dalam sebuah hadits yang marfu' namun tidak shahih. Sedangkan yang shahih adalah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mauquf dari Umar radliyallahu anhu:

إِنَّمَا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّ الوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ، وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمُ الآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ.

"Sesungguhnya dahulu manusia hanyalah dinilai dengan wahyu di masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan sesungguhnya wahyu telah berhenti, dan sekarang kami menilai kalian hanyalah berdasarkan apa yang nampak bagi kami dari perbuatan kalian." (Shahih al-Bukhari no. 2641)

Jadi konsekuensi dari ijmak yang dinukil tadi adalah bahwa orang yang menyerang niat orang lain telah merebut dari Allah sesuatu yang tidak bisa mengetahuinya kecuali Dia.

Memang, terkadang nampak berbagai indikasi kuat pada seseorang yang menyebabkan buruk sangka kepadanya sebagai bentuk hati-hati darinya.

Namun perkecualian ini tidak boleh dijadikan sebagai prinsip dasar, dan alangkah banyaknya penyimpangan yang menyerang manusia melalui pintu ini karena mereka mengabaikan hukum yang pasti yang tetap sebagai dasar, lalu mereka menggunakan yang sifatnya darurat yang dikecualikan sebagai gantinya tanpa rambu-rambu.

Walaupun demikian jangan sampai buruk sangka kepada siapapun menyeretmu untuk menuduhnya tidak memiliki keikhlasan untuk Allah!

Jika hal ini telah diketahui dan diterima dengan baik, maka termasuk perkara yang sangat tercela jika seseorang mengatakan tentang sebagian masyayikh atau saudara kita bahwa dia tidak memiliki keikhlasan niat untuk Allah dalam makalah maupun tulisan mereka  serta kepentingan-kepentingan pribadi dan hawa nafsu menguasai mereka. (Lihat: Nashihah wa Taujih Ila Muntada at-Tashfiyyah).

Anehnya tidak ada seorangpun yang mengingkarinya, bahkan para pengikut merasa gembira dengan ucapan ini. Dan yang semisalnya adalah ucapan temannya, "Diantaranya tulisan iparmu yang telah didorong oleh fanatisme jahiliyyah." (Al-Jawab Anil Jawab, bagian pertama)

Sesungguhnya saya benar-benar berulang kali membaca ucapan ini dan keheranan saya tidak habis dengan berlalunya hari-hari. Bagaimana bisa orang yang mengatakannya menghukumi sesuatu yang sifatnya ghaib dan saya bertanya-tanya apakah mungkin seseorang bisa mengetahui tanda-tanda dan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa keikhlasan telah hilang dari orang yang dia musuhi atau dia telah didorong oleh fanatisme jahiliyyah?!

Dan sangat disayangkan saya jadi teringat dengan ucapan orang munafik yang mencela pembagian harta yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alahi wa sallam dengan mengatakan, "Ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah." (muttafaqun alaih)

Dan saya berharap tidak ada yang menganggap bahwa saya menyamakan gurunya dengan orang-orang munafik, hanya saja ucapannya sama persis.

Kemudian saya teringat dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika sampai kepada beliau perbuatan Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma ketika membunuh seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallah:

 يَا أُسامةُ! أَقَتَلْتَهُ بَعْدَمَا قَالَ: لا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ؟!

"Wahai Usamah, apakah engkau masih tetap membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaha illallah?!"

Usamah menjawab, "Dia mengucapkannya karena takut kepada senjata."

Lalu beliau mengatakan:

أَفَلا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لا؟!

"Apakah engkau telah membelah hatinya hingga engkau bisa mengetahui apakah dia mengucapkannya karena itu atau tidak?!

Usamah mengatakan, "Beliau terus mengulang-ulang pertanyaan tersebut hingga aku berangan-angan sekiranya aku baru masuk Islam hari itu."

(muttafaqun alaihi dan ini redaksi Muslim hadits no. 96)

Jadi walaupun dalam keadaan banyaknya pendorong buruk sangka terhadap seseorang dengan indikasi ketakutannya terhadap pedang ketika dia melihatnya diarahkan kepadanya, hanya saja Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menerima alasan Usamah radhiyallahu anhu. Jika demikian pada Nabi kita terdapat teladan yang baik, sehingga kami katakan kepada kalian, "Apakah kalian telah membelah hati orang-orang yang kalian musuhi hingga kalian bisa mengetahui apakah mereka menulis (bantahan) ikhlas karena Allah atau tidak?!"

Wahai orang-orang yang menyerang niat-niat manusia:

Berikut ini balasan surat yang sangat indah yang dinukil oleh al-Imam as-Sa'di dalam salah satu fatwa beliau tentang celaan sahabatnya terhadap niat beliau lalu beliau menjawabnya dengan surat tersebut. Perhatikan baik-baik –rahimakumullah– dan berhentilah pada setiap katanya, karena sungguh itu merupakan balsem bagi penyakit yang berbahaya yang telah menimpa kalian ini.
_________________

"Wahai saudaraku, jika engkau meninggalkan perkara yang wajib atas dirimu yaitu cinta karena agama, dan engkau menempuh perkara yang haram atas dirimu yaitu menuduh saudaramu dengan niat yang buruk walaupun anggaplah dia telah melakukan kesalahan dan engkau menjauhi sikap hikmah dalam berdakwah dalam perkara-perkara seperti ini, maka sebelum masuk kepada jawaban saya kepadamu atas kritikanmu, saya ingin mengabarkan kepadamu:

Saya tidak akan meninggalkan perkara yang wajib atas saya berupa menjaga kecintaan kepadamu dan terus mencintaimu berdasarkan apa yang saya ketahui dari agamamu semata-mata karena membela diri saya, bahkan saya akan menambahnya dengan memberikan udzur untukmu atas celaan terhadap saudaramu bahwa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu adalah niat yang baik.

Hanya saja niat baik tersebut tidak disertai dengan ilmu yang membenarkannya, pengetahuan yang menjelaskan tingkatannya, dan tidak pula sikap wara' (kehati-hatian) yang menjadikan seorang hamba tidak melanggar batas yang ditetapkan oleh peletak syariat atasnya.

Jadi karena baiknya niatmu maka saya memaafkan dirimu atas apa yang muncul darimu berupa tuduhan memiliki niat buruk kepada saya. Anggaplah kebenaran itu bersama dirimu secara meyakinkan, apakah kesalahan seseorang merupakan bukti buruknya niat dirinya. Jika perkaranya seperti itu niscaya wajib menuduh seluruh ulama umat ini dengan niat-niat yang buruk, karena apakah ada seorangpun yang bersih dari kesalahan?!

Bukankah kelancangan yang engkau lakukan menyelisihi ijmak kaum muslimin, yaitu bahwasanya tidak halal menuduh seorang muslim memiliki niat yang buruk jika dia terjatuh dalam kesalahan?! Dan Allah telah memaafkan kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman dalam ucapan, perbuatan, dan semua keadaan.

Kemudian kami katakan:

Anggaplah boleh bagi seseorang untuk menuduh niat orang yang indikasi-indikasi kuat dan tanda-tanda menunjukkan niatnya yang buruk, apakah halal bagimu untuk mencela seseorang yang engkau memiliki bukti-bukti yang banyak yang menunjukkan baiknya niatnya dan jauhnya dari niat buruk, yang hal itu tidak membolehkan bagimu untuk membayangkan sedikitpun apa yang engkau tuduhkan kepadanya?!

Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berbaik sangka kepada saudara-saudara mereka jika dituduhkan kepada mereka hal-hal yang menyelisihi konsekuensi iman. Allah Ta'ala berfirman:

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا.

"Mengapa ketika kalian mendengar berita buruk itu orang-orang yang beriman baik pria maupun wanita tidak berbaik sangka kepada diri mereka sendiri." (An-Nur: 12)

Dan ketahuilah bahwa pendahuluan ini bukan bertujuan untuk membalas ucapanmu, karena sesungguhnya saya seperti yang telah saya isyaratkan kepadamu bahwa saya telah memaafkanmu jika saya memiliki hak, tetapi tujuannya adalah nasehat dan menjelaskan posisi tuduhan semacam ini menurut akal, agama, dan kehormatan manusia."

(Al-Fatawa as-Sa'diyyah, hlm. 61-62)
_________________

Saya katakan: Allahu akbar, alangkah bersihnya kata-kata dan alangkah bagusnya sifat-sifat tersebut, seandainya orang-orang yang membicarakan niat manusia itu mau berhias dengan sepertiganya atau seperempatnya kita tidak akan sampai seperti ini.

Apakah mereka ini tidak bisa mengucapkan seperti yang diucapkan oleh beliau bahwa yang mendorong orang yang mereka musuhi untuk melakukan hal itu adalah niat yang baik. Hanya saja niat baik tersebut tidak disertai dengan ilmu yang membenarkannya, pengetahuan yang menjelaskan tingkatannya, dan tidak pula sikap wara' (kehati-hatian) yang menjadikan seorang hamba tidak melanggar batas yang ditetapkan oleh peletak syariat atasnya. Tanpa perlu menyerang niat dan memvonis tujuannya.

Ya Allah, benahilah niat-niat kami dan perbaguslah tujuan kami baik dalam perkara-perkara yang kecil maupun yang besar.


Ditulis oleh: Abu Anas Abdurrahman Habak

Ibukota Aljazair, selepas matahari tergelincir, Selasa 27 Rabi'ul Akhir 1441 atau 24 Desember 2019
https://www.tasfiatarbia.org/vb/showthread.php?t=24637

Sumber : https://t.me/jujurlahselamanya/1763