HUKUM SHALAT DIANTARA DUA ADZAN SHALAT JUM'AT
[Terkandung Kaidah Penting dalam Melaksanakan atau Meninggalkan Sunnah demi Maslahat]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
".. Adzan (pertama) ini ketika (Khalifah) Utsman menyunnahkannya dan kaum muslimin menyepakatinya maka ia menjadi adzan yang syar'i.
Dan pada saat itu pula, . shalat antara adzan pertama dengan adzan kedua ini menjadi boleh dan baik. Namun BUKAN SHALAT RAWATIB , sama hukumnya seperti shalat sebelum shalat Maghrib.
Dengan demikian, siapa yang mengerjakannya tidak diingkari dan siapa yang meninggalkannya tidak pula diingkari.
Dan ini adalah pendapat yang paling pertengahan. Ucapan Imam Ahmad menunjukkan kepadanya.
Sehingga terkadang MENINGGALKANNYA ITU AFDHAL(LEBIH UTAMA) apabila orang-orang yang tidak tahu hukumnya AKAN MENGIRA bahwa shalat ini adalah Sunnah Rawatib. Atau menduga shalat (antara dua adzan shalat Jum'at) ini wajib. Maka ditinggalkan sehingga orang-orang memahami bahwa shalat itu bukan Sunnah Rawatib dan tidak wajib.
Terlebih lagi jika manusia TERUS-MENERUS MELAKSANAKANNYA maka sepatutnya untuk meninggalkannya sesekali, sehingga TIDAK menyerupai shalat fardhu.
Sebagaimana kebanyakan ulama menyukai untuk tidak dilakukan terus-menerus membaca surat As-Sajadah pada (shalat shubuh) hari Jum'at, bersamaan telah tetap riwayat di dalam shahih bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam melakukannya.
Maka, jikalah dibenci untuk konsisten atas bacaan itu (yang telah disunnahkan) maka meninggalkan dari terus-menerus atas sesuatu yang tidak disunnahkan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam tentu lebih utama.
Dan apabila seorang melaksanakan shalat antara dua adzan (pada shalat Jum'at) itu sesekali karena shalat mutlaq saja atau shalat antara dua adzan (secara umum) , sebagaimana ia shalat sebelum Ashar dan Isya, bukan karena menganggapnya sunnah rawatib, maka hal ini dibolehkan.
Dan apabila seseorang berada di suatu kaum yang mereka melaksanakan shalat tersebut (terus-menerus), jika ia adalah seorang yang ditaati (didengar ucapannya) ketika ia meninggalkan shalat tersebut dan apabila ia jelaskan kepada mereka perkara yang sunnah (dalam permasalahan ini) mereka tidak akan mengingkarinya BAHKAN mereka akan memahami Sunnah; maka (dalam kondisi ini) ia meninggalkan shalat tersebut adalah perkara kebaikan.
Dan apabila ia bukan orang yang ditaati dan ia memandang bahwa jika ia shalat akan menyatukan hati mereka kepada perkara yang lebih besar manfaatnya atau mencegah dari perdebatan dan hal yang jelek - karena tidak memiliki kekuatan untuk menerangkan perkara yang hak kepada mereka dan tidak ada penerimaan mereka kepadanya, dan yang semisalnya- ; maka pengerjaannya ini juga kebaikan.
Sehingga suatu amalan terkadang melaksanakannya itu disukai dan terkadang meninggalkannya disukai pula, sesuai dengan apa yang lebih kuat untuk mencapai maslahat dalam pelaksanaan atau meninggalkannya, sesuai dengan dalil-dalil yang syar'i.
Dan seorang muslim terkadang meninggalkan hal yang mustahab (berdasar bimbingan dalil yang syar'i) apabila dalam pengamalannya ada kerusakan yang lebih besar daripada maslahatnya."
Al-Fataawa al-Kubraa, Ibnu Taimiyyah, hal. 115-116.
Alih Bahasa: Al-Ustadz Abu Yahya al-Maidany hafizhahullah
https://t.me/ForumBerbagiFaidah [FBF]
www.alfawaaid.net | www.ilmusyari.com
BACA JUGA : KAPANKAH JUAL BELI DILARANG KETIKA HARI JUMAT?