ulama

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi ibnu syihab az zuhri, sang gunung ilmu

Sang Gunung Ilmu Beliau adalah ulama dengan andil besar dalam pembukuan hadis. Bahkan disebutkan dalam biografinya sebagai ulama yang pertama kali membukukan hadis atas perintah Umar bin Abdul Aziz .rahimahullah. Bukan saja kapasitas keilmuannya yang diakui ulama yang sezaman dengannya. Namun keuletan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu agama sangat mengagumkan. Nama beliau sebenarnya adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab bin Abdillah Al Qurasyi Az Zuhri rahimahullah . Lebih populer dengan nama Ibnu Syihab Az Zuhri . Satu pendapat menyebutkan bahwa Az Zuhri lahir pada tahun 51 H. Sejak awal beliau tumbuh dan berkembang di lingkungan yang agamis. Ayah beliau yang bernama Muslim bin Abdillah adalah seorang perawi hadis yang tsiqah (terpercaya). Adapun ibundanya adalah Ummu Ahban bintu Laqith bin Urwah bin Ya’mur. Az Zuhri memiliki seorang saudara laki yang lebih muda usianya bernama Abdullah bin Muslim. Dia sempat bertemu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan meriwayatkan darinya, namun meninggal sebelum Az Zuhri. AZ ZUHRI ULAMA BESAR DI MASANYA Meskipun berstatus sebagai  shighar tabiin (tabiin junior) namun beliau adalah ulama besar di masanya. Az Zuhri banyak menimba ilmu dari sebagian shahabat dan para pembesar ulama tabiin. Semisal Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah, Said bin Al Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Urwah bin Zubair, Atha bin Abi Rabah, dan masih banyak yang lainnya.  Terutama dari Said bin Al Musayyib rahimahullah, beliau adalah salah satu gurunya yang sangat istimewa. Hingga Az Zuhri berkisah,  “Lututku senantiasa menempel pada lutut Said bin Al Musayyib selama delapan tahun. ”  Dalam kurun waktu itu, beliau tinggal dan menimba ilmu dari Said bin Al Musayyib. Potensi besarnya sebagai ulama telah diketahui oleh Khalifah Bani Umayah saat itu, berawal dari pertemuannya dengan Abdul Malik bin Marwan untuk yang pertama kalinya. Lantas Abdul Malik bertanya kepadanya, “Apakah engkau hafal Al Quran?” “Ya,” jawab Az Zuhri. Kemudian Abdul Malik pun melanjutkan pertanyaannya seputar faraidh dan sunnah. Dijawablah semua itu dengan baik olehnya sehingga Abdul Malik terkesan dan kagum terhadapnya. Hingga Abdul Malik memberikan hadiah kepada Az Zuhri dan melunasi hutangnya. Tidak hanya itu, ia juga membelikan rumah dan pelayan untuk Az Zuhri seraya mengatakan kepadanya,  “Carilah ilmu agama, sungguh aku melihat potensi hafalan yang kuat pada dirimu dan kecerdasan dalam kalbumu. Datangilah orang-orang Anshar di rumah-rumah mereka.” Sejak saat itu, Zuhri mengambil ilmu dari para shahabat Anshar Madinah dan di sana ia menjumpai ilmu yang sangat berlimpah. Di antara faktor pendukung keberhasilannya menuntut ilmu adalah kesungguhannya dalam belajar. Bahkan Az Zuhri sangat tekun untuk selalu menulis setiap ilmu yang ia dengar.  Keseriusannya dalam menimba ilmu dipersaksikan oleh ulama di masanya. Ibrahim bin Sa’ad rahimahullah mengatakan, “Tidaklah Az Zuhri unggul atas kami dalam pencapaian ilmu kecuali karena kesungguhannya dalam mencari ilmu.” Abu Zinad juga menuturkan hal yang sama, “Kami menulis yang halal dan haram, sementara Ibnu Syihab menulis semua yang ia dengar. Tatkala ilmunya dibutuhkan, barulah kami sadar bahwa ia adalah orang yang paling berilmu di antara kami.” Menuntut ilmu agama memang membutuhkan perjuangan ekstra untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan segenap kemampuan yang dimiliki sekali pun tidak mungkin bisa menjangkau seluruh ilmu yang ada. Apalagi ketika seseorang hanya mengerahkan sebagian kemampuannya saja. Tentu hasil yang diperoleh tidak akan maksimal dan jauh dari harapan. Perihal kesungguhan Az Zuhri dalam menuntut ilmu juga diakui oleh Shalih bin Kaisan rahimahullah. Perjuangan dan kesungguhannya menuntut ilmu agama terkadang membuat sang istri cemburu. Amr bin Dinar berkisah, “Di antara aktivitas Az Zuhri di rumah adalah duduk dengan ditemani kitab-kitab di sekelilingnya. Jika sudah demikian, ia pun sibuk menelaah dan mempelajarinya hingga urusan dunianya terlupakan. Maka sang istri berkata kepadanya, “Demi Allah kitab-kitab ini lebih membuatku cemburu daripada tiga madu.” KEKOKOHAN HAFALANNYA Di antara sekian kelebihan Az Zuhri adalah kekuatan hafalan yang kokoh dan sangat kuat. Beliau adalah penghafal pilih tanding dengan memori hafalan yang sangat banyak. Pantas jika Az Zuhri sendiri pernah menyatakan, “Tidak pernah kalbuku menghafal sesuatu kemudian lupa.” Beliau mampu menghafal Al Quran hanya dalam jangka waktu 80 malam! Kekuatan hafalan ini berbanding lurus dengan pemahamannya yang sangat tajam dan jernih. Ia langsung bisa memahami pembicaraan lawan bicaranya tanpa perlu diulang lagi. Bahkan ulama sekaliber Imam Malik rahimahullahpernah dibuatnya kagum dengan kekokohan hafalannya. Imam Malik berkisah, “Suatu ketika Az Zuhri pernah menyampaikan hadis yang panjang kepadaku namun aku belum mampu menghafalnya. Maka aku pun bertanya kepadanya untuk yang kedua kalinya. Maka Az Zuhri berkata kepadaku, “Bukankah kami telah menyampaikannya kepada kalian?” Dalam versi yang lain Imam Malik bercerita,“ Az Zuhri pernah memberikan seratus hadis kepada kami.” Kemudian ia menengok ke arahku seraya mengatakan, “Berapa hadis yang telah engkau hafal wahai Malik?” Aku pun menjawab, “Empat puluh hadis.” Ia pun meletakkan tangan pada dahinya dan berkata, “Innaa lillaah, bagaimana kami akan menyampaikan hafalan?” Az Zuhri semakin disegani dengan dukungan wawasan ilmunya yang luas dan koleksi hadis yang banyak. Ali Al Madini rahimahullah berkata, “Az Zuhri mempunyai 2000 hadis.” Al Laits bin Sa’ad berkata, “Aku belum pernah melihat seorang ulama yang ilmunya lebih lengkap daripada Az Zuhri. Seandainya engkau mendengarnya berbicara tentang motivasi dan semangat, niscaya engkau akan mengatakan, “Tidaklah dia ahli kecuali dalam bidang ini.” Namun jika dia berbicara tentang kisah para nabi dan orang-orang ahli kitab, pasti engkau akan mengatakan hal yang sama. Apabila ia berbicara tentang ilmu nasab, engkau pasti juga akan mengatakan hal yang sama.” Ia adalah figur ulama yang menguasai dengan baik berbagai cabang ilmu. Tatkala menjelaskan suatu cabang ilmu agama, orang menilai bahwa ia sangat ahli dalam bidang tersebut. Sedangkan cabang ilmu yang lain tidak menguasainya dengan baik. Namun di luar dugaan, ternyata semuanya dikuasai dengan baik. Satu lagi keistimewaan beliau adalah jiwa sosial dan kedermawanan yang luar biasa. Hingga Al Laits bin Sa’ad Al Mishri rahimahullah menyatakan bahwa Az Zuhri termasuk manusia yang paling dermawan. Ia tidak pernah menolak permintaan setiap orang yang datang dan meminta kepadanya. Kebiasaan beliau adalah memberi makan tsarid dan madu kepada manusia. Bukan rahasia lagi kalau Az Zuhri sangat menyukai madu. “Karena madu bisa menguatkan hafalan,” kata Az Zuhri. Jiwa sosialnya yang tinggi mendorongnya gemar berinfak kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan. Ziyad bin As’ad mengatakan kepada Az Zuhri, “Sesungguhnya hadis-hadismu membuatku kagum. Namun aku tidak mempunyai bekal untuk mengikuti majelismu.” Sontak Az Zuhri mengatakan kepadanya, “Jangan khawatir, ikuti aku dan biayamu aku yang akan menanggungnya.” Limpahan uang dinar tidak membuat Az Zuhri silau dan tergoda. Ia meletakkan dinar di tangannya dan tidak memberikan ruang di hatinya. Berkata Amr bin Dinar rahimahullah, “Belum pernah aku melihat ada pribadi yang memandang rendah dirham dan dinar daripada Az Zuhri. Sungguh dinar dan dirham bagaikan kotoran hewan baginya.” Wajar jika ia sangat ringan tangan membagi-bagikan dinar kepada orang-orang yang membutuhkannya. SANJUNGAN ULAMA Az Zuhri menempati kedudukan ilmiyah yang sangat agung di mata para ulama sezamannya. Untaian pujian ulama-ulama besar tercurah kepadanya. Tidak jarang pula ia disejajarkan bahkan diunggulkan atas ulama tenar yang sezaman dengannya. Asy-Syafii mengatakan, “Kalau bukan karena Az Zuhri niscaya akan hilang sunnah-sunnah di Madinah.” ‘Irak bin Malik rahimahullahpernah ditanya tentang orang yang paling fakih di Madinah. Ia pun menyebutkan beberapa nama seperti Sa’id bin Musayyib, Urwah bin Zubair dan Abdullah bin Abdullah. Lantas ‘Irak mengatakan, “Yang paling berilmu di antara mereka semua menurutku adalah Ibnu Syihab. Karena dia telah menghimpun seluruh ilmu mereka dan menyatukannya dengan ilmu yang dia miliki.”  Hal senada juga disebutkan oleh Makhul, “Ibnu Syihab adalah orang yang paling berilmu tentang sunnah yang telah lalu.” Pujian pun datang dari Imam Malik, beliau berkata, “Ibnu Syihab tetap eksis dan tidak ada satu pun yang selevel dengannya. Jika ia datang ke Madinah, tidak ada satu pun yang berani menyampaikan hadis hingga ia keluar darinya.” Selain berbagai kelebihan di atas, Az Zuhri juga sangat menonjol dalam ilmu sejarah. Berkenaan dengan berita-berita para nabi yang diriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdillah, Urwah bin Zubair, Asy Sya’bi dan selainnya. Terutama perhatian besarnya terhadap sejarah kehidupan dan berbagai peperangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian beliau tidak hanya fokus meriwayatkan hadis dan mempelajari fikih. Namun beliau juga melakukan penelitian ilmiyah dan pembukuan terhadap ilmu sejarah. Setelah sekian lama menjalani kehidupan yang penuh ilmu dan dakwah, beliau pun wafat pada tanggal 17 Ramadhan tahun 124 H menurut pendapat sebagian ulama. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan balasan terbaik dan melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau. Allahu A’lam. Sumber: Majalah Qudwah edisi 65 vol. 06 1440 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah. | Sang Gunung Ilmu | Sumber :  https://ismailibnuisa.blogspot.com/2019/01/sang-gunung-ilmu.html Biografi Ibnu Syihab Az Zuhri
6 tahun yang lalu
baca 9 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

merekalah pengusaha sukses

Merekalah Pengusaha Sukses Kata orang, zaman sekarang sulit cari penghasilan. Demi sesuap nasi, banyak orang rela 'nabrak' sana-sini. Itu bagi mereka yang tidak punya agama, tidak punya malu. Sebenarnya dalam agama kita ini, dikenal tokoh-tokoh yang memiliki tips mujarab dalam hal itu, berikut ini diantaranya: Sang Pemilik Kebun Dahulu, ada seseorang yang sedang berada di sebuah padang yang luas. Tiba-tiba dia mendengar suara dari langit "Airilah kebun si Fulan!" Lalu dia lihat awan berjalan ke suatu tempat kemudian mencurahkan airnya. Ternyata, ada satu selokan yang menampung air itu seluruhnya. Orang itu pun mengikuti arus selokan. Selokan itu mengantarkan ia pada seseorang yang sedang mengalirkan air tersebut ke kebun miliknya. Lantas orang itu bertanya kepada sang pemilik kebun, "Wahai hamba Allah, siapakah nama anda?" "Fulan." jawabnya. Namanya sama dengan nama yang disebut oleh suara dari langit tadi. Kemudian pemilik kebun bertanya, "Kenapa Anda tanyakan nama saya?" Maka orang tadi bercerita, "Saya telah mendengar suara dari langit yang mencurahkan air ini. Suara itu mengatakan 'airilah kebun si Fulan!' suara itu menyebut nama Anda. Sebenarnya apa yang Anda lakukan terhadap kebun ini?" Sang pemilik kebun lantas menyebutkan rahasianya, "Apabila memang seperti apa yang Anda katakan, baiklah akan saya beritahu. Sesungguhnya saya melihat panen yang dihasilkan kebun ini. Maka saya sedekahkan sepertiga bagiannya. Sepertiga lagi saya gunakan untuk makan saya bersama keluarga. Dan sepertiga lainnya saya kembalikan lagi untuk (pengembangan) kebun ini." DUA BERSAUDARA Pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam, hiduplah dua orang bersaudara. Salah satunya rajin menghadiri majelis Rasulullah untuk mendengarkan hadits beliau. Sementara yang lainnya sibuk bekerja. Lalu dia yang sibuk bekerja ini datang kepada Rasulullah untuk mengadukan perihal saudaranya. Dia mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saudaraku ini tidak pernah menolongku sedikitpun (untuk mencari nafkah)." Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam pun mengatakan kepadanya, "Bisa jadi kamu diberi rezeki karena dia." AL-HASAN AL-BASHRI Pernah ada seseorang datang kepada Al-Hasan Al-Bashri mengeluhkan kemarau yang panjang. Maka beliau menyarankan untuk beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Di lain waktu datang seseorang yang mengadukan kemiskinan yang dialami. Lalu beliau menyarankan agar beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Datang pula kepada beliau seseorang yang minta didoakan agar Allah memberinya seorang anak. Kembali Al-Hasan menyarankan agar beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Ada lagi yang datang kepada beliau mengeluhkan kebunnya yang kekeringan. Untuk masalah yang ini, beliau pun tetap menyarankan agar beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Saat ditanya tentang hal itu, maka beliau menjawab, "Tidaklah Aku mengatakan demikian dari pikiranku sendiri. Ini karena Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: "Nuh mengatakan, "Minta ampunlah kalian kepada Rabb kalian karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan untuk kalian hujan yang berturut-turut. Dan Dia akan memperbanyak untuk kalian harta dan anak-anak. Serta menjadikan bagi kalian kebun-kebun dan sungai-sungai."(Q.S. Nuh:10-12) [Ummu Umar] Sumber : Majalah Qudwah Edisi 4 Th 2013 M Hal 24 Merekalah Pengusaha Sukses
6 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi atha bin abi rabah

Biografi Atha bin Abi Rabah (Judul Asli : Kemuliaan Hakiki ) Anugerah berupa ilmu dan amal saleh adalah anugerah terindah yang tak ternilai dengan harta duniawi seberapa pun banyaknya. Allah mengaruniakan nikmat besar ini kepada siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dengannya pula Allah memuliakan hamba betapapun statusnya dalam pandangan manusia dan inilah yang Allah janjikan dalam ayat-Nya yang artinya, . “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berimlu beberapa derajat.” [Q.S. Al Mujadalah: 11] Tatkala Allah azza wajalla telah berkehendak untuk memilih dan memuliakan hamba-Nya dengan ilmu, maka tidak ada satu pun yang mampu mencegahnya. Tersebutlah seorang mantan budak yang akhirnya menjadi ulama besar di era generasi tabiin. Siapa lagi kalau bukan Atha’ bin Abi Rabah Aslam Al Quraisyi Al Makki rahimahullah yang dilahirkan pada pertengahan masa pemerintahan Utsman. Adapun nama asli ayahnya yang dikenal dengan Abi Rabah adalah Aslam bekas budaknya Habibah bintu Maisarah bin Abi Khutsaim. Atha’ pada awalnya adalah seorang budak yang berkulit hitam, berhidung pesek, dan lumpuh tangannya. Status beliau tatkala masih kecil adalah sebagai hamba sahaya milik seorang wanita di kota Mekah. Talenta besar yang ada dan semangat tinggi dalam menuntut ilmu agama pada diri Atha’ telah terlihat tatkala ia masih muda. Kesibukannya sebagai budak tidak melalaikan Atha’ dari kewajibannya mencurahkan waktu untuk belajar ilmu agama. Inilah gerangan yang membuat sang majikan akhirnya membebaskan Atha’ karena melihat semangat dan keseriusannya dalam beragama. Majikannya menaruh harapan besar kepada Atha’ agar kelak menjadi orang yang berguna untuk Islam dan kaum muslimin. Maka semenjak saat itu pula Atha’ memiliki kesempatan lebih maksimal untuk menimba ilmu agama setelah sebelumnya belenggu perbudakan membuat ruang geraknya terbatas. Benar saja, sebagai wujud rasa syukurnya Atha’pun memanfaatkan peluang ini dengan semaksimal mungkin untuk mengambil ilmu dari para sahabat yang mulia seperti Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hakim bin Hizam, Rafi’ bin Khadij, Zaid bin Arqam, Shafwan bin Umayyah, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Amr, Ibnu Umar, Jabir, Zaid bin Arqam dan sahabat-sahabat yang lain. Sangat banyak sahabat dan ulama tabiin yang bersua dengan Atha’ dan kesempatan ini tidak disia-siakan olehnya untuk meriwayatkan hadis. Oleh karenanya Atha’ pernah menyatakan, “Aku pernah berjumpa dengan dua ratus sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Atha’ rahimahullah dikenal sebagai sosok yang sabar sepanjang perjalanannya meriwayatkan hadis dan menuntut ilmu. Atha’ adalah cermin kesungguhan dan kesabaran dalam menghadapi rintangan menimba ilmu syar’i hingga beliau pun tidak memedulikan di mana tempat tinggalnya selama menuntut ilmu agama. Ibnu Juraij berkisah, “Masjid adalah tempat tidurnya Atha’ selama 20 tahun, berjuang memperdalam ilmu agama dan ia adalah orang yang paling bagus salatnya.” Setelah sekian tahun lamanya berjuang dan mengerahkan segala potensi yang dimiliki, maka jadilah Atha’ seorang imam dan mufti di tanah haram. Keilmuan beliau telah diakui dan dipersaksikan oleh ulama-ulama tabiin bahkan sahabat sekalipun. Tatkala ada sebagian penduduk Mekah yang datang menemui Ibnu Abbas untuk bertanya dan meminta fatwa kepadanya, maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhupun menyatakan, “Wahai penduduk Mekah, kenapa kalian datang menemuiku untuk bertanya masalah agama padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Abi Rabah?!” Kaum muslimin terutama di Mekah sangat merasakan keberadaan Atha’ sebagai ulama dan mufti (pemberi fatwa) dalam berbagai problematika yang mereka hadapi. Bahkan banyak ulama yang mencari majelisnya Atha’ untuk meriwayatkan hadis atau bertanya tentang urusan agama. Di antara ulama tabi’in yang pernah tercatat sebagai perawi sekaligus muridnya adalah Mujahid bin Jabr, Abu Ishaq As Sabi’i, Abu Az Zubair, Amr bin Dinar, Az Zuhri, Qatadah, Amr bin Syuaib, Malik bin Dinar, Al A’masy, Ayyub As Sikhtiyani, Manshur bin Al Mu’tamir, Yahya bin Abi Katsir, Abu Hanifah, Al Hakam bin Utaibah, dan masih banyak selainnya. Meskipun Atha’ telah dikenal sebagai ulama besar dan mufti di tanah haram, namun hal ini tidak membuat beliau menjadi lupa diri apalagi sombong. Justru sebaliknya semakin banyak ilmu yang dimiliki seorang hamba maka akan menumbuhkan sifat tawadhu pada dirinya. Inilah keistimewaan ulama salaf para pendahulu kita yang saleh dari generasi sahabat dan setelahnya. Sungguh kita akan menjumpai mereka sebagai orang-orang yang sangat tawadhu meskipun ilmu mereka telah mencapai level yang sangat tinggi. Abdul Aziz bin Rufai’ berkisah, “Atha’ pernah ditanya tentang suatu permasalahan.” Maka beliau pun menjawab, “Aku tidak mengetahui jawabannya.” Maka ada seseorang berkata kepadanya, “Tidakkah engkau menjawab dengan pendapatmu sendiri.” Ia menjawab, “Sungguh aku malu kepada Allah untuk beragama di atas bumi ini dengan pendapatku sendiri.” Tentang sifat tawadhunya ini, Ibnu Abi Laila juga menuturkan, “Aku pernah datang menemui Atha’ lantas ia menanyakan beberapa hal kepadaku. Maka para sahabatnya Atha’ merasa heran dengan peristiwa tersebut dan bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa engkau bertanya kepada orang itu.” Atha’ pun menjawab, “Apa yang kalian permasalahkan? Orang ini lebih berilmu dariku.” Figur pemberani dalam menyuarakan kebenaran dan tulus dalam memberikan nasihat juga menjadi satu karakteristik Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah dalam berinteraksi dengan penguasa kaum muslimin. Al Ashmai berkisah, “Suatu hari Atha’ bin Abi Rabah masuk menemui Khalifah Abdul Malik yang sedang duduk di atas tempat istirahatnya, sementara di sekitarnya ada para pembesar kerajaan. Peristiwa ini terjadi di Mekah ketika sang Abdul Malik menunaikan ibadah haji di masa pemerintahannya. Tatkala Abdul Malik melihat kedatangan Atha’, sang khalifah bergegas bangkit dan mengucapkan salam serta menyambut kehadirannya dengan hangat. Lantas Atha’ duduk di hadapan Abdul Malik dan sang Khalifah bertanya kepadanya, “Wahai Abu Muhammad (kunyahnya Atha’) apakah gerangan kebutuhanmu?” Atha’ menjawab, “Wahai Amirul Mukminin! Bertakwalah dengan menjauhi larangan Allah dan larangan Rasul-Nya. Jalanilah kepemimpinan dengan bijaksana dan bertakwalah kepada Allah terhadap urusan anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar. Karena sungguh atas jasa merekalah Anda bisa duduk di atas singgasana ini. Bertakwalah kepada Allah terhadap urusan kaum muslimin yang menjaga tapal perbatasan karena mereka adalah bentengnya kaum muslimin. Perhatikanlah urusan-urusan kaum muslimin karena kelak Anda seorang diri akan ditanya tentang mereka. Dan bertakwalah kepada Allah dalam menyikapi siapa saja yang berada di depan pintu rumahmu (orang-orang yang membutuhkan bantuanmu) jangan Anda melalaikan mereka dan jangan menutup pintu untuk menghindar dari mereka.” Khalifah Abdul Malik menyatakan, “Aku akan lakukan semua nasihatmu.” Maka Atha’ segera bangkit untuk pergi namun Khalifah Abdul Malik segera memegang tangannya seraya mengatakan, “Wahai Abu Muhammad! Sungguh dari tadi engkau hanya memintakan urusan orang lain kepadaku dan kami akan memenuhi permintaan mereka itu. Sekarang sebutkanlah apa yang menjadi kebutuhanmu?” Maka Atha’ menjawab, “Saya tidak mempunyai hajat kepada makhluk.” Lantas Atha’ keluar, maka Abdul Malik mengatakan, “Sungguh ini adalah kemuliaan, sungguh ini adalah kehormatan.” Allah azza wajalla memberikan karunia umur yang panjang kepada Atha’ sehingga usianya mencapai lebih dari 80 tahun. Demikianlah Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah yang telah menghabiskan masa muda hingga lanjut usia dengan ilmu dan amal. Beliau adalah orang yang begitu zuhud terhadap dunia padahal jikalau mau, bisa saja Atha’ mencari dan mengumpulkan harta dunia. Umar bin Dzar menuturkan, “Aku belum pernah melihat orang seperti Atha’. Aku belum pernah melihatnya mengenakan gamis sama sekali dan aku belum pernah melihatnya memakai pakaian yang harganya senilai lima dirham.” Masa tua telah tiba dan fisik pun melemah, namun tidak demikian dengan semangat ibadahnya. Ibnu Juraij mengatakan, “Aku menemani Atha’ selama delapan belas tahun dan fisiknya melemah setelah menginjak usia tua. Namun ia masih mampu berdiri melakukan salat dengan khusyuk dan membaca dua ratus ayat dari surat Al Baqarah tanpa bergerak sama sekali.” Atha meninggal dunia pada tahun 115 H dengan usia 88 tahun dan dimakamkan di kota tempat tinggalnya. Semoga Allah subhanahu wa taala mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya serta memberikan sebaik-baik balasan untuk beliau. Allahu A’lam. Sumber: Majalah Qudwah edisi 46 vol 04 2017 rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah. | http://ismailibnuisa.blogspot.com/2017/02/kemuliaan-hakiki.html Biografi Atha bin Abi Rabah
6 tahun yang lalu
baca 8 menit