Tahukah anda siapa Asy Syaikh Adul Qadir Al-Jailani? Cobalah lontarkan pertanyaan ini kepada siapa saja yang anda jumpai. Insya Allah mereka akan mengenalnya. Dia adalah seorang wali, dia adalah ulama, dia adalah orang shalih.
Jelas ini merupakan sikap yang melampaui batas dan kesesatan yang nyata. Sehingga alangkah baiknya jika kita mengetahui siapa sebenarnya Syaikh Abdul Qadir Jailani. Benarkah beliau mempunyai berbagai keajaiban tersebut? Ataukah sekedar mitos atau dongeng hasil rekayasa orang-orang, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah?
Nasab beliau
Nama lengkap beliau adalah Abdul Qadir bin Abi Shalih Abdullah bin Janki Duwast bin Abi Abdillah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdillah bin Musa Al Hauzy bin Abdullah Al mahdi bin Al Hasan Al mutsanna bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib Al-Jailani.
Dengan melihat kepada silsilah keturunan di atas, bisa diketahui bahwa beliau memiliki garis keturunan yang mulia karena berujung kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.
Beliau berasal dari negeri Jailan, sehingga sebutan Al-Jailani merupakan nisbat kepada negeri tersebut. Jailan adalah sebuah nama untuk beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thabaristan. Beliau dilahirkan di tempat tersebut pada bulan Ramadhan tahun 470 H.
Asy Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan salah seorang ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Siapa saja yang membaca dan menelaah biografi beliau yang banyak disebutkan oleh para ulama, niscaya ia akan mendapatkan bahwa beliau berakidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat perjalanan hidup beliau selama menuntut ilmu agama. Beliau tiada pernah lepas dari bimbingan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Sungguh Allah subhanahu wa ta'ala telah memberikan taufik dan karunia yang sangat besar kepada beliau.
Cinta ilmu sejak kecil
Ya,, Allah menanamkan rasa cinta terhadap ilmu agama semenjak beliau masih anak-anak. Dalam usia yang masih sangat belia, yaitu pada umur 8 tahun, beliau telah meninggalkan tempat kelahiran dan merantau ke kota Baghdad untuk menimba ilmu dari para ulama.
Beliau belajar kepada Al Qadhi Abu Sa’ad Al-Mukharrimi. Selain itu beliau pun banyak meriwayatkan hadits dari sejumlah ulama pada masa itu. Di antaranya Abu Ghalib Al Baqillani dan Abu Muhammad Ja’far As Sirraj.
Beliau menimba ilmu dari ulama-ulama tersebut, hingga mampu menguasai berbagai ilmu ushul dan khilaf (perbedaan) pendapat para ulama. Bahkan Abu Sa'd Al-Mukharrimi, akhirnya menyerahkan pengelolaan sekolahnya di Babul Ajaj sepenuhnya kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Semenjak itulah petualangan dakwah beliau dimulai. Dengan kesungguhan yang luar biasa, beliau melaksanakan amanah tersebut. Beliau benar-benar menjadikannya sebagai sarana untuk berdakwah di jalan Allah. Berbagai petuah dan nasihat beliau sampaikan kepada penduduk yang tinggal di sekitar madrasah tersebut. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Beliau mampu mangambil simpati orang banyak, yang selanjutnya mereka menimba ilmu di madrasah tersebut. Bahkan tidak sedikit orang yang bertaubat dari kemaksiatan dan penyimpangan lantaran mendengar nasihat yang beliau sampaikan.
Adz Dzahabi menukilkan ucapan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab beliau, Siyar A’lamin Nubala ketika menyebutkan biografi beliau, Syaikh berkata, ”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku. Dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.” Hal ini mengingatkan kita betapa besarnya pahala seseorang yang menjadi lantaran sampainya hidayah kepada orang lain. Sebagaimana sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib yang artinya,
”Demi Allah, sekiranya Allah memberikan hidayah kepada satu orang melalui engkau, maka hal itu lebih baik bagimu dari pada mendapatkan unta merah.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim].
Unta merah adalah gambaran harta yang paling mewah dan berharga.
Syaikh Abdul Qodir Jaelani adalah Ahlussunnah
Para ulama pun mempersaksikan lurusnya akidah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Persaksian tersebut muncul dari ulama yang sezaman dan langsung menimba ilmu dari beliau.
Demikian pula ulama kalangan generasi sepeninggal beliau, yang telah menelaah dan meneliti buku-buku karya beliau. Mari kita simak penuturan salah seorang murid beliau, yang di kemudian hari menjadi ulama yang sangat terkenal, yaitu Ibnu Qudamah.
Suatu saat Ibnu Qudamah pernah ditanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al-jailani. Beliau pun menjawab, ”Saat kami tiba di kota Baghdad, ternyata saat itu kami menjumpai Syaikh Abdul Qadir Al Jailani berada di puncak tertinggi dalam hal ilmu, fatwa, zuhud.”
Ibnu Rajab menyatakan, “Syaikh Abdul Qadir Al Jailani termasuk seorang ulama yang komitmen terhadap sunnah dalam berbagai permasalahan yang berkenaan tentang sifat-sifat Allah, takdir, dan yang semisalnya. Beliau pun sangat serius dalam membantah siapa saja yang menyelisihi perkara tersebut.”
Bukti semua ini adalah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani sendiri berkata dalam kitabnya yang sangat terkenal, Al Ghunyah,
”Allah berada di atas langit, di atas Arsy, menguasai kerajaan alam semesta, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, kepada-Nya lah naik katakata yang baik dan amalan shalih. Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, lalu urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan manusia. Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di segala tempat. Bahkan Dia di atas langit, di atas Arsy, sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Ar-Rahman (Allah) tinggi istiwa’ di atas Arsy.” [Q.S. Thaha:5].
Dengan demikian, karya beliau yang bernama Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq ini, menjadi salah satu bukti otentik yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang ulama yang berakidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Hal senada juga pernah diungkapkan oleh para ulama masa kini. Di antaranya adalah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Makhdali dalam kitab beliau yang berjudul Al Haddul Fashil,
”Aku telah mendapatkan akidah Syaikh Abdul Qadir Al Jailani di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Ternyata beliau adalah seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, serta berbagai akidah yang lainnya di atas manhaj salaf.
Beliau juga sangat perhatian dalam membantah berbagai kelompok sesat seperti Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabriyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya.”
Adapun mengenai berbagai kisah tentang karamah yang disandarakan kepada beliau, maka tidak semua kisah tersebut benar adanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa riwayat yang menyebutkan karamah yang beliau miliki telah mencapai derajat mutawatir (sangat banyak). Dan sebagian kisah itu memang benar adanya. Namun, tidak sedikit kisah-kisah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya.
Oleh sebab itu, Ibnu Rajab mengatakan, ”Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah orang yang diagungkan pada masanya. Sungguh beliau telah dimuliakan oleh sekian banyak syaikh, baik kalangan ulama ataupun para ahli zuhud. Yang demikian itu karena beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah.
Ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri, yang menghimpun cerita-cerita tentang berbagai keutamaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam tiga jilid kitab. Namun orang itu telah mencantumkan hal-hal yang aneh dan dusta.
Padahal cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Sebagian isi kitab itu telah kubaca, dan qalbuku tidak tenang untuk meriwayatkan segala kisah yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah populer dari kitab selainnya.
Selain itu, banyak riwayat dalam kitab ini yang bersumber dari orang-orang yang majhul (tidak dikenal). Juga terdapat perkara-perkara yang mustahil, sesat, klaim, dan ucapan yang batil. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.” [Dzail Thabaqat Hanabilah, 1/293, karya Ibnu Rajab].
Imam Adz Dzahabi menyebutkan, ”Tidak ada seorang ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisahnya, selain Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Namun, banyak dari riwayat-riwayat itu yang tidak benar. Bahkan ada yang mustahil terjadi.”
Tidak ketinggalan Ibnu Katsir juga memberikan komentarnya mengenai beliau ini dalam Al-Bidayah wan Nihayah, beliau mengatakan,
”Orang-orang banyak menukilkan hal dari Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, baik berupa ucapan, perbuatan, penyingkapan urusan gaib, yang mayoritasnya adalah ghuluw (sikap ekstrim). Padahal beliau adalah seorang yang shalih dan wara’. Beliau menulis kitab Al Ghunyah dan Futuh Al Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat perkara-perkara yang baik, namun beliau kadang membawakan hadits-hadits yang lemah, bahkan palsu. Akan tetapi secara global, beliau merupakan seorang figur di kalangan pemimpin para masyayikh.”
Pribadi nan Penuh kesabaran
Terlepas dari berbagai karamah dengan berbagai versi yang disebutkan dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, sesungguhnya ada sebuah suri tauladan yang baik pada diri beliau bagi segenap kaum muslimin. Yaitu kesabaran beliau yang sangat menakjubkan dalam menghadapi cobaan dan ujian duniawi.
Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari berbagai penderitaan jiwa maupun fisik, kerugian harta benda, maupun kehilangan orang-orang yang dicintai. Yang demikian ini pasti akan menimpa siapa pun. Baik orang shalih maupun orang bejat, bahkan para nabi sekali pun. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” [Q.S. Al Baqarah:155].
Dalam kitab Dzailu Thabaqatil Hanabilah, Ibnu Rajab menyebutkan sebuah peristiwa yang pernah dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani di kota Baghdad. Beliau berkata,
Aku mengambil selada dan sisa-sisa sayuran dari tepi sungai. Kesempitan hidup semakin memuncak karena melambungnya harga barang di Baghdad. Hal ini membuatku tidak makan selama beberapa hari.
Bahkan aku terpaksa harus memungut sisa-sisa makanan yang terbuang untuk dimakan. Suatu hari aku keluar dari rumah menuju tepi sungai karena terdorong oleh rasa lapar yang sangat hebat. Barangkali aku bisa menemukan daun, sayuran, atau yang lainnya untuk dimakan.
Namun, tidaklah aku mendatangi suatu tempat, kecuali pasti telah ada orang lain yang mendahuluiku. Jika aku mendapatkannya, ternyata aku menyaksikan orang-orang miskin saling berdesak-desakan untuk memperebutkannya. Maka aku pun membiarkannya dalam keadaan aku menyukai makanan tersebut.
Aku pun pulang dengan berjalan di tengah kota, dan tidaklah aku menemukan sisa makanan yang terbuang, melainkan pasti ada yang telah mendahuluiku untuk mengambilnya. Akhirnya aku sampai di masjid Yasin yang terletak di sebuah pasar kota Baghdad. Aku benar-benar sangat lemah dan tidak mampu lagi bertahan. Aku pun masuk ke dalam masjid itu, lalu duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja kematian menjemputku waktu itu.
Dalam kondisi seperti itu, tibatiba masuklah seorang pemuda ajam (non arab) dengan membawa roti dan daging panggang. Kemudian ia duduk dan memakannya. Setiap kali ia mengangkat tangan untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, mulutku ikut terbuka karena begitu beratnya kelaparan yang kurasakan.
Sampai-sampai aku mengingkari hal ini terjadi dalam diriku. Aku berkata, ’Apa-apaan ini.’ Aku berkata, ’Tidak lah ada kecuali Allah atau kematian yang telah ditetapkan oleh-Nya.’ Tiba-tiba pemuda tersebut menoleh ke arahku dan melihatku lalu berkata, ’Bismillah, makanlah wahai saudaraku.’ Namun aku menolaknya.
Maka pemuda itu bersumpah supaya aku memakannya. Jiwaku ini ingin segera mengiyakan permintaan itu, namun diriku tidak menurutinya. Pemuda tersebut kembali bersumpah dan akhirnya aku memenuhi keinginannya, maka aku pun memakannya.
Pemuda itu bertanya kepadaku, ’Apa kesibukanmu? Dari mana asalmu? Dan namamu siapa?’ Aku pun menjawab, ’Aku adalah orang yang sedang belajar fiqih. Asalku dari Jailan.’ Ia berkata, ’Saya juga berasal dari Jailan. Apakah engkau mengenal seorang pemuda asal Jailan yang bernama Abdul Qadir, dia adalah cucu Abu Abdillah Ash Shauma’i Az-Zahi?’
Aku pun menjawab, ’Aku lah orangnya.’ Seketika itu pemuda tersebut bergetar dan berubah raut wajahnya. Ia berkata,
’Demi Allah aku sampai ke Baghdad, dengan sisa bekal yang tinggal sedikit. Aku selalu bertanya tentang dirimu, namun tidak seorang pun yang menunjukkanku kepadamu. Akhirnya bekalku habis. Sehingga selama tiga malam aku tidak memiliki uang untuk membeli makanan selain uangmu yang ada pada diriku.
Bangkai telah halal bagiku (karena keadaan darurat). Aku pun mengambil barang titipan untukmu yang berupa roti dan daging panggang. Makanlah dengan tenang karena makanan ini milikmu. Sekarang aku adalah tamumu, setelah sebelumnya engkau menjadi tamuku.’
Aku pun bertanya kepadanya, ’Kenapa bisa seperti itu?’ Ia pun bercerita, ’Ibumu telah menitipkan kepadaku uang delapan dinar untukmu. Lalu aku membeli makanan dengan uang itu karena terpaksa. Sekarang aku meminta maaf kepadamu.’ Maka aku menyuruhnya diam dan menentramkan jiwanya. Kemudian aku memberinya sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Maka ia pun menerimanya dan pergi.”
Demikianlah para pembaca yang budiman, sepenggal kisah tentang kesabaran Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Seorang yang mengaku mencintai Syaikh Abdul Qadir, maka hendaknya ia berusaha untuk meneladaninya.
Bagaimana semangat dan kesabaran beliau dalam menuntut ilmu, perjuangan beliau dalam mendakwahkan ilmu agama, akidah beliau, dan sifat-sifat terpuji yang lainnya. Bukan diwujudkan dengan sekedar menyebut-nyebut namanya dalam majlis dzikir atau doa.
Apalagi dengan menjadikan beliau sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah. Ini adalah perbuatan bid’ah yang terlarang dalam syariat Islam, yang mengantarkan kepada kesyirikan. Allahu a’lam.
Sumber Majalah Qudwah Edisi 2