ulama

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi uwais al qarni, tabi'in terbaik

UWAIS AL-QORONIY: TABIIN TERBAIK Biografi Uwais Al Qarni, Tabi'in Terbaik Tabi’in adalah orang-orang yang tidak pernah bertemu Nabi, namun pernah bertemu dengan setidaknya seorang Sahabat Nabi. Tabi’in terbaik adalah Uwais al-Qoroniy. Disebutkan dalam sebuah hadits: Sebaik-baik Tabi’in adalah seorang laki-laki yang disebut dengan Uwais. Ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepadanya. Ia (pernah) memiliki penyakit putih (pada kulit). Mintalah agar dia memohonkan ampunan (Allah) untuk kalian (H.R Muslim dari Umar) Sekilas tentang Uwais al-Qoroniy Nama Asli: Uwais bin ‘Amir al-Qoroniy Kuniah: Abu ‘Amr Lahir : { hidup semasa Nabi namun tidak pernah berjumpa dengan Nabi – disebut pula al Mukhodhrom } Wafat: pada perang Shiffin (37 H). Tempat Tinggal: Yaman. Kufah Guru Beliau: Umar bin al-Khoththob, Ali bin Abi Tholib Murid Beliau: Abdurrahman bin Abi Laila, Yasir bin ‘Amr Sangat Berbakti kepada Ibunya Berbakti kepada ibu adalah suatu amalan yang sangat mulia. Bahkan, Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma pernah menyatakan: إِنِّي لَا أَعْلَمُ عَمَلًا أَقْرَبَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ بِرِّ الْوَالِدَةِ Sesungguhnya aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla selain berbakti kepada ibu (H.R al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan Syaikh al-Albaniy) Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallahu anhu pernah menasihati seseorang bahwa jika ia berbuat baik pada ibunya, akan menghantarkan dirinya ke dalam Surga. Selama ia tinggalkan dosa-dosa besar. Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berkata: وَاللَّهِ لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلَامَ وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الْكَبَائِرَ Demi Allah, kalau engkau berlembut kata kepada ibumu dan memberikan makanan (yang baik) kepadanya, niscaya pasti engkau masuk Surga selama engkau meninggalkan dosa-dosa besar (H.R al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan Syaikh al-Albaniy) Uwais al-Qoroniy termasuk teladan dalam berbakti kepada ibunya. Ia hidup sejaman dengan Nabi. Namun tidak pernah bertemu dengan Nabi. Bisa jadi karena ia tidak bisa meninggalkan ibunya. Sibuk untuk berbuat baik kepada ibunya tercinta. Ashbagh bin Yazid rahimahullah menyatakan: إِنَّمَا مَنَعَ أُوَيْسًا أَنْ يُقَدِّمَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرُّهُ بِأُمِّهِ  Sesungguhnya yang menghalangi Uwais untuk datang menemui Rasulullah shollallahu alaihi wasallam adalah kesibukannya dalam berbakti kepada ibunya (riwayat Ahmad dalam az-Zuhud, Abu Nuaim dalam Hilyatul Awliyaa’) Nabi shollallahu alaihi wasallam sendiri yang menilai Uwais sebagai seorang anak yang berbakti kepada ibunya: ...لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ... ...ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepadanya...(H.R Muslim) Mungkin seseorang merasa telah berbakti kepada ibunya. Tapi belum tentu dalam penilaian Allah ia telah berbakti. Jika seseorang telah dipastikan bahwa ia berbakti kepada ibunya oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, maka ia benar-benar orang yang telah berbakti. Uwais adalah salah satu orang yang telah mendapat kepastian itu. Doa dan Sumpahnya Mustajab Nabi menjelaskan bahwa Uwais al-Qoroniy pada awalnya memiliki penyakit kulit sejenis kusta. Namun ia terus berdoa kepada Allah Ta’ala agar menghilangkan penyakit itu. Allah bersihkan pada kulitnya penyakit tersebut hingga tersisa hanya seukuran dinar atau dirham saja. قَدْ كَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَدَعَا اللَّهَ فَأَذْهَبَهُ عَنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ الدِّينَارِ أَوِ الدِّرْهَم Ia dulunya memiliki penyakit kusta kemudian ia berdoa kepada Allah hingga melenyapkan penyakit itu dari dirinya kecuali seukuran dinar atau dirham (H.R Muslim) Uwais banyak berdoa agar Allah menghilangkan penyakitnya itu bukanlah karena ketidakrelaan dia mendapatkan musibah tersebut, namun bisa jadi karena ia ingin lebih mudah melayani ibunya, agar ibunya tidak merasa jijik dan tersakiti jika berada dekat dengannya (disarikan dari Daliilul Faalihin li Thuruqi Riyaadhis Sholihin karya Ibnu ‘Allaan (4/61)). Diriwayatkan bahwa Uwais berdoa agar disisakan sebagian kecil dari bekas penyakit kustanya itu adalah agar sebagai pengingat nikmat Allah terhadapnya: اللَّهُمَّ دَعْ لِي فِي جَسَدِي مِنْهُ مَا أَذْكُرُ بِهِ نِعْمَكَ عَلَيَّ  Ya Allah, sisakanlah di badanku dari penyakit itu yang membuatku selalu ingat nikmat-nikmatMu kepadaku (riwayat al-Baihaqiy dalam Dalaailun Nubuwwah dan Abu Ya’la dalam musnadnya, melalui jalur Mubarok bin Fadhoolah dari Abul Ashfar dari Sho’sho’ah bin Muawiyah. Abul Ashfar dinilai masyhur oleh Yahya bin Ma’in) Kenikmatan sehat seringkali terabaikan. Tidak jarang orang yang sadar akan besarnya nikmat itu saat ia mengalami sakit. Jika seseorang pernah mengalami sakit kemudian sembuh, ingatannya akan perasaan sakit di waktu ia telah sehat akan menyadarkannya kembali akan begitu besarnya nikmat Allah kepadanya. Sungguh kita banyak lalai dari nikmat kesehatan. Padahal, kesehatan yang prima, perasaan aman, dan tercukupnya kebutuhan makan harian adalah kenikmatan yang luar biasa.  مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا Barangsiapa yang berada di waktu pagi merasa aman dalam dirinya, sehat jasmaninya, dan memiliki kecukupan makan hari itu (dari rezeki yang halal), seakan-akan seluruh (kenikmatan) dunia telah berkumpul padanya (H.R atTirmidzi dan Ibnu Majah dari Ubaidullah bin Mihshon, dishahihkan Syaikh al-Albaniy) Saat Umar bertemu dengan Uwais, Umar bertanya: Apakah engkau pernah memiliki penyakit kusta? Uwais membenarkan, dengan menyatakan: نَعَمْ فَدَعَوْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَأَذْهَبَهُ عَنِّي إِلَّا مَوْضِعَ الدِّرْهَمِ مِنْ سُرَّتِي لِأَذْكُرَ بِهِ رَبِّي Ya, kemudian aku berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla sehingga Dia hilangkan penyakit itu dariku kecuali seukuran dirham pada pusarku. Hal itu agar aku mengingat (nikmat) Rabbku (H.R Ahmad dan al-Hakim, dinyatakan shahih sesuai syarat Muslim oleh adz-Dzahabiy) Nabi juga memerintahkan Sahabat yang bertemu dengan Uwais untuk memintakan ampunan kepadanya: فَمَنْ لَقِيَهُ مِنْكُمْ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ Barangsiapa di antara kalian yang bertemu dengannya, mintalah dia agar memohonkan ampunan (beristighfar) untuk kalian (H.R Muslim) Jika Uwais bersumpah akan sesuatu hal, Allah akan memenuhi isi sumpahnya.  Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ Jika ia (Uwais) bersumpah atas nama Allah, Allah akan mewujudkan isi sumpahnya itu (H.R Muslim) Rendah Hati, Sederhana, dan Menjauh dari Ketenaran  Salah satu karakter terpuji pada orang yang beriman adalah rendah hati, tidak ingin dipuja dan disanjung. Di kalangan manusia mungkin ia tidak dikenal. Dipandang sebelah mata. Namun ia mulia di sisi Allah Ta’ala. Bahkan, lebih mulia dibandingkan orang-orang yang lebih terkenal di kalangan manusia. Itulah Uwais al-Qoroniy. Beliau khawatir orang-orang memuliakannya. Di saat banyak pihak mencari ketenaran, justru Uwais menjauh darinya. Ada beberapa kejadian yang menunjukkan ketawadhu’an Uwais, sikapnya yang sederhana, dan beliau sangat tidak ingin masyhur di tengah-tengah manusia. Pertama: Saat bertemu dengan Umar, Umar menanyakan keadaan Uwais. Setelah tahu bahwa ia memang Uwais yang dimaksudkan oleh Nabi, Umar pun meminta Uwais memohonkan ampunan untuknya. Tapi Uwais justru merasa bahwa Umar lebih layak mendoakan ampunan untuknya karena Umar adalah Sahabat Nabi. Barulah Uwais mau mendoakan ampunan untuk Umar setelah mendengar hadits yang didengar Umar dari Nabi. لَمَّا أَقْبَلَ أَهْلُ الْيَمَنِ جَعَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَسْتَقْرِي الرِّفَاقَ فَيَقُولُ هَلْ فِيكُمْ أَحَدٌ مِنْ قَرَنٍ حَتَّى أَتَى عَلَى قَرَنٍ فَقَالَ مَنْ أَنْتُمْ قَالُوا قَرَنٌ فَوَقَعَ زِمَامُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَوْ زِمَامُ أُوَيْسٍ فَنَاوَلَهُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَعَرَفَهُ فَقَالَ عُمَرُ مَا اسْمُكَ قَالَ أَنَا أُوَيْسٌ فَقَالَ هَلْ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَهَلْ كَانَ بِكَ مِنْ الْبَيَاضِ شَيْءٌ قَالَ نَعَمْ فَدَعَوْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَأَذْهَبَهُ عَنِّي إِلَّا مَوْضِعَ الدِّرْهَمِ مِنْ سُرَّتِي لِأَذْكُرَ بِهِ رَبِّي قَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اسْتَغْفِرْ لِي قَالَ أَنْتَ أَحَقُّ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِي أَنْتَ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَدَعَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَأَذْهَبَهُ عَنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ الدِّرْهَمِ فِي سُرَّتِهِ فَاسْتَغْفَرَ لَهُ Ketika datang penduduk Yaman, Umar bertanya-tanya kepada anggota rombongan: Apakah ada di antara kalian seorang dari Qoron? Hingga beliau mendatangi orang-orang dari Qoron dan bertanya: Siapakah kalian? Mereka menjawab: (kami dari) Qoron. Kemudian tali kekang Umar atau Uwais terjatuh dan salah seorang dari keduanya (Uwais atau Umar) mengambilkannya untuk yang lain sehingga dia mengenalnya. Umar bertanya: Siapa namamu? Di menjawab: Aku Uwais. Umar bertanya: Apakah engkau memiliki ibu? Uwais berkata: Ya. Umar bertanya: Apakah dulu engkau memiliki penyakit putih pada kulit? Uwais berkata: Ya. Kemudian aku berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla sehingga Dia menghilangkan penyakit itu dariku kecuali seukuran dirham pada pusarku. Agar aku tetap mengingat (nikmat) Rabbku itu. Maka Umar radhiyallahu anhu pun berkata kepadanya: Mohonkanlah ampunan untukku. Uwais berkata: Anda yang lebih layak memohonkan ampunan untuk saya. Anda adalah Sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Umar radhiyallahu anhu berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Sesungguhnya tabiin terbaik adalah seorang laki-laki yang disebut Uwais. Dia memiliki seorang ibu. Ia memiliki penyakit putih pada kulitnya, kemudian dia berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla sehingga Allah menghilangkan penyakitnya itu kecuali seukuran dirham pada pusarnya >> maka Uwais pun memohonkan ampunan untuk Umar (H.R Ahmad dari Usair bin Jabir) Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika ada orang menyampaikan pesan Umar itu dan meminta agar Uwais memohonkan ampunan untuknya, Uwais mau memohonkan ampunan untuk orang itu, dengan salah satu syaratnya adalah agar orang itu tidak memberitahukan kepada siapapun tentang ucapan Umar tersebut. مَا أَنَا بِمُسْتَغْفِرٍ لَكَ حَتَّى تَجْعَلَ لِي ثَلَاثًا قَالَ : وَمَا هُنَّ قَالَ : لَا تُؤْذِيْنِي فِيْمَا بَقِيَ وَلَا تُخْبِرْ بِمَا قَالَ لَكَ عُمَرُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ...  (Uwais al-Qoroniy berkata): Aku tidak akan memohonkan ampunan untukmu hingga engkau memenuhi 3 syarat. Orang itu berkata: Apakah syarat-syaratnya? Uwais berkata: Jangan sakiti aku lagi di masa mendatang (dengan cemoohan atau ejekan, pent), dan jangan beritahukan kepada manusia siapapun ucapan Umar tersebut...(perawi lupa syarat ketiga)(H.R al-Hakim dari Usair bin Jabir, dinyatakan shahih sesuai syarat Muslim oleh adz-Dzahabiy). Kedua: Saat akan berpisah dengan Umar, Umar menawari Uwais, apakah perlu Umar menuliskan sesuatu perintah kepada pejabat di tempat yang akan dituju Uwais, agar memudahkan urusan atau memberikan bantuan kepada Uwais. Namun Uwais menolaknya. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ قَالَ أَلَا أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا قَالَ أَكُونُ فِي غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيَّ Umar berkata kepadanya: Ke mana engkau akan pergi? Uwais menjawab: Kufah. Umar berkata: Apakah perlu aku tuliskan sesuatu untuk pejabat di sana? Uwais berkata: Aku menjadi orang lemah, miskin (tak dipandang), lebih aku sukai (H.R Muslim dari Usair bin Jabir) Uwais pun kembali berbaur dengan manusia, tanpa terlihat ia memiliki keistimewaan dibandingkan orang lain. Dalam riwayat Ahmad, Usair bin Jabir menceritakan keadaan ketika Uwais berpisah dengan Umar: ثُمَّ دَخَلَ فِي غِمَارِ النَّاسِ فَلَمْ يُدْرَ أَيْنَ وَقَعَ Kemudian Uwais berbaur dengan sekumpulan manusia hingga tidak diketahui beliau yang mana (H.R Ahmad) Ketiga: Tahun berikutnya setelah pertemuan dengan Umar, Umar bertanya kepada orang yang dari Kufah tentang keadaan Uwais. Orang itu menjelaskan bahwa Uwais hidup sederhana dengan harta yang sedikit. فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ فَوَافَقَ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسقَالَ تَرَكْتُهُ رَثَّ الْبَيْتِ قَلِيلَ الْمَتَاعِ Ketika pada tahun berikutnya, seorang laki-laki yang termasuk pembesar mereka (Kufah) berhaji. Ia bertemu dengan Umar dan Umar bertanya kepadanya tentang Uwais. Orang itu menyatakan: Aku tinggalkan dia dalam keadaan rumah yang sederhana dan perabotan yang sedikit (H.R Muslim) Keempat: Jika Uwais memberi nasihat atau mengingatkan orang-orang lain, nasihatnya sangat berkesan di hati. Pengaruhnya sangat kuat dan berkesan, dibandingkan nasihat yang disampaikan orang lain. Namun suatu ketika Uwais tidak terlihat dalam waktu yang lama. Ternyata beliau mendekam di rumahnya karena tidak ada pakaian (bagian atas) yang bisa dikenakan keluar. ثُمَّ قَدِمَ الْكُوْفَةَ فَكُنَّا نَجْتَمِعُ فِي حَلْقَةٍ فَنَذْكُرُ اللهَ وَكَانَ يَجْلِسُ مَعَنَا فَكَانَ إِذْ ذَكَّرَهُمْ وَقَعَ حَدِيْثُهُ مِنْ قُلُوْبِنَا مَوْقِعًا لَا يَقَعُ حَدِيْثُ غَيْرِهِ فَفَقَدْتُهُ يَوْمًا فَقُلْت لِجَلِيْسٍ لَنَا مَا فَعَلَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ يَقْعُدُ إِلَيْنَا لَعَلَّهُ اشْتَكَى فَقَالَ رَجُلٌ مَنْ هُوَ ؟ فَقُلْتُ : مَنْ هُوَ قَالَ : ذَاكَ أُوَيْس الْقَرَنِي فَدَلَلْتُ عَلَى مَنْزِلِهِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللهُ أَيْنَ كُنْتَ وَلِمَ تَرَكْتَنَا فَقَالَ : لَمْ يَكُنْ لِي رِدَاءٌ فَهُوَ الَّذِي مَنَعَنِي مِنْ إِتْيَانِكُمْ Kemudian Uwais pergi ke Kufah. Kami suka berkumpul untuk mengingat Allah. Uwais juga duduk bersama kami. Jika Uwais mengingatkan (menasihati) mereka yang di majelis, nasihatnya sangat membekas di hati kami, tidak seperti dari orang lain. Suatu hari kami kehilangan dia. Aku berkata kepada teman duduk kami. Apa yang terjadi dengan orang yang biasa duduk bersama kita. Jangan-jangan dia sakit. Ada orang yang bertanya: Siapa dia? Aku pun berkata: Siapa dia? Orang itu berkata: Dia adalah Uwais al-Qoroniy. Aku pun ditunjukkan pada rumahnya. Aku datang ke tempatnya, dan berkata: Semoga Allah merahmati anda. Ke mana anda dan mengapa meninggalkan kami? Uwais berkata: Aku tidak punya ridaa’ (kain bagian atas) untuk dipakai keluar. Itulah yang menghalangi aku untuk berkumpul bersama kalian (H.R al-Hakim) Pemberi Syafaat Manusia dalam Jumlah Besar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِشَفَاعَةِ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَكْثَرُ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ  Akan masuk surga sejumlah orang yang lebih banyak dari Bani Tamim dengan syafaat seorang laki-laki dari umatku (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albaniy) Bani Tamim adalah suatu kabilah yang sangat besar. Hadits Nabi itu menunjukkan bahwa ada seorang laki-laki dari umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam yang dengan izin Allah memberikan syafaat kepada banyak orang. Saking banyaknya, jumlah orang yang mendapat syafaat dari laki-laki tersebut lebih banyak dibandingkan orang-orang pada Bani Tamim, suatu kabilah yang sangat besar. Sebagian Ulama ada yang menyatakan bahwa laki-laki pemberi syafaat itu adalah Utsman bin Affan. Sedangkan sebagian Ulama lain ada yang menyatakan bahwa itu adalah Uwais al-Qoroniy. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa orang yang dimaksud Nabi tersebut adalah Uwais al-Qoroniy (al-Mustadrak karya al-Hakim no riwayat 5729 (3/461)). Para Nabi bisa memberikan syafaat, demikian juga para Malaikat maupun orang sholih. Namun semuanya hanya bisa memberikan syafaat dengan izin Allah Ta’ala.  ...مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ... ...dan siapakah yang bisa memberikan syafaat di sisi-Nya kecuali atas izin-Nya?! (Tidak ada)...(Q.S al-Baqoroh ayat 255) Pemberian syafaat juga tidak bisa diperoleh jika Allah tidak meridhai: وَلَا يَشْفَعُوْنَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى Mereka tidaklah memberikan syafaat kecuali kepada orang yang diridhai (oleh Allah) (Q.S al-Anbiyaa’ ayat 28) وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى Betapa banyak Malaikat di langit tidaklah syafaatnya bermanfaat untuk mereka sedikitpun kecuali setelah diizinkan Allah bagi siapa yang dikehendaki dan diridhai-Nya (Q.S anNajm ayat 26) Salah satu syarat utama untuk mendapatkan syafaat itu adalah orang tersebut mentauhidkan Allah, tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, tidak berbuat kesyirikan. Karena Allah tidaklah meridhai kecuali tauhid. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: لِكُلِّ نَبِىٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِىٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّى اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لأُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِىَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا Setiap Nabi memiliki doa mustajabah. Setiap Nabi telah menyegerakan doanya. Sedangkan aku menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat. Syafaat itu akan diperoleh InsyaAllah bagi orang yang meninggal dari kalangan umatku yang tidak mensekutukan Allah dengan suatu apapun (H.R Muslim dalam Kitabul Iman, dari Abu Hurairah) Nasihat Uwais untuk Membangkitkan Perasaan Takut Kepada Allah Tidak jarang seseorang merasa aman dari adzab Allah. Meski ia telah banyak berbuat dosa, namun seakan-akan itu tidak berbekas dalam hatinya. Tak ada penyesalan sama sekali. Tidak ada perasaan khawatir sedikitpun bahwa Allah akan mengadzabnya. Lalai, larut dalam menikmati kehidupan dunia. Salah satu nasihat Uwais al-Qoroniy adalah hendaknya kita merasa sangat takut kepada Allah, seakan-akan kita telah membunuh manusia seluruhnya. Uwais al-Qoroniy rahimahullah menyatakan: كُنْ فِي أَمْرِ اللَّهِ كَأَنَّكَ قَتَلْتَ النَّاسَ كُلَّهُمْ Jadilah engkau dalam urusan Allah, seakan-akan engkau telah membunuh manusia seluruhnya (riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Baihaqiy dalam Syuabul Iman, dan Ibnu Asaakir dalam tarikh Dimasyq) Bisa dibayangkan jika kita membunuh semua orang, akan terbayang besarnya dosa itu sehingga kita akan berusaha untuk bertaubat dan memperbanyak amal sholih. Kita benar-benar takut Allah akan mengadzab kita akan besarnya dosa tersebut. Hal utama yang mendominasi pikiran kita adalah bagaimana caranya agar Allah mengampuni dosa kita yang sangat besar dan banyak itu. Seringkali orang meremehkan suatu dosa. Dianggapnya kecil. l bisa jadi dosa-dosa  itu akan membinasakannya. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ لَهُنَّ مَثَلًا كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا أَرْضَ فَلَاةٍ فَحَضَرَ صَنِيعُ الْقَوْمِ فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَنْطَلِقُ فَيَجِيءُ بِالْعُودِ وَالرَّجُلُ يَجِيءُ بِالْعُودِ حَتَّى جَمَعُوا سَوَادًا فَأَجَّجُوا نَارًا وَأَنْضَجُوا مَا قَذَفُوا فِيهَا Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Hati-hatilah kalian dari dosa-dosa yang dianggap remeh. Karena sesungguhnya dosa-dosa itu akan berkumpul pada seseorang hingga membinasakannya. Dan sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam membuat permisalan, seperti suatu kaum yang singgah di padang luas. Kemudian seorang laki-laki datang dengan membawa ranting (untuk kayu bakar), seorang lagi datang dengan satu ranting, hingga terkumpul banyak. Mereka pun bisa membuat api dan api tersebut bisa memanggang semua yang dilemparkan ke dalamnya (H.R Ahmad, dinyatakan shahih li ghoirihi oleh Syaikh al-Albaniy dalam Shahih atTarghib) Wafat dalam Perang Shiffin Yahya bin Ma’in rahimahullah menyatakan: قُتِلَ أُوَيْسُ الْقَرَنِي بَيْنَ يَدَيِ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ يَوْمَ صِفِّيْن Uwais al-Qoroniy terbunuh di hadapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib pada hari Shiffin (al-Mustadrak alas Shohihayn karya al-Hakim (3/455)). Semoga Allah Ta’ala merahmati Uwais...sang Tabi’i terbaik. (Abu Utsman Kharisman) WA al I'tishom
5 tahun yang lalu
baca 18 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi syaikh muhammad bin shalih al utsaimin

AHLI FIKIH ZAMAN INI Biografi Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Ulama kita ini sangat terkenal di kalangan Ahlus Sunnah zaman ini. Beliau menghabiskan waktu dan usianya untuk dakwah baik dengan lisan atau tulisan. Sehingga sumbangsih beliau sangat banyak untuk Islam dan kaum muslimin. Ilmu fikih adalah salah satu bidang ilmu yang beliau kuasai dengan baik. Hingga sebagian ulama menjulukinya sebagai “Faqih hadzal Ashr” (Ahli fikihnya zaman ini). Tidak lain beliau Asy Syaikh Al Allamah Al Utsaimin rahimahullah. NASAB DAN KELAHIRAN BELIAU Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Al Wuhaibi At Tamimi dengan kunyah Abu Abdillah. Beliau dilahirkan di Kota Unaizah pada tanggal 27 Ramadhan tahun 1347 H. PERJALANANNYA MENUNTUT ILMU Beliau belajar ilmu Al Qur’an kepada kakeknya dari jalur ibu yang bernama Abdurrahman bin Sulaiman Alu Damigh hingga beliau mampu menghafal Al Quran. Kemudian setelah itu beliau mengalihkan konsentrasi guna belajar dan menekuni berbagai disiplin ilmu agama dan penunjangnya. Di antaranya beliau belajar ilmu khath (tulisan), ilmu hitung, dan sebagian cabang ilmu sastra. Anda tentu pernah mendengar Syaikh Abdurrahman As Sa’dy rahimahullah pemilik kitab tafsir yang sangat terkenal itu. Ternyata Syaikh As-Sa’di adalah gurunya Syaikh Al Utsaimin. Pada saat itu Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy telah menunjuk dua orang murid seniornya untuk mengajar para murid-murid yunior. Yaitu Syaikh Ali Ash-Shalihi dan yang kedua adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Muthawwi’. Beliau pun bermulazamah dan belajar beberapa kitab kepadanya seperti kitab Mukhtashar Al Aqidah Al Wasithiyah, Fiqh Minhajus Salikin karya Syaikh As Sa’di sendiri, Al Ajurumiyah dan Alfiyah. Adapun ilmu Faraidh (ilmu waris) dan fikih, beliau belajar kepada Asy Syaikh Abdurrahman bin Ali bin Audan. Dengan demikian Syaikh Abdurrahman As-Sa’di terhitung sebagai guru beliau yang pertama. Beliau bermulazamah dan secara intensif mempelajari berbagai cabang ilmu agama dari Syaikh As Sa’di. Seperti ilmu Tauhid, Tafsir, Hadis, Fikih, Ushul Fiqh, Faraid, Musthalah Hadis, Nahwu, dan Sharaf. Bahkan Syaikh As Sa’di adalah guru pertamanya yang memberikan pengaruh cukup besar dalam banyak hal. Hal ini diakui sendiri oleh Syaikh Utsaimin dalam pernyataannya, . “Aku banyak terkesan dan terpengaruh oleh beliau dalam metode pengajaran, penyampaian ilmu, dan pendekatannya kepada para penuntut ilmu dengan memberikan contoh dan makna dalam mengajar. Demikian halnya aku terkesan kepada beliau dari sisi akhlaknya. Karena Syaikh Abdurrahman mempunyai akhlak yang mulia dan kedudukan yang tinggi dalam hal ilmu serta ibadah. Terkadang beliau bercanda dengan anak kecil dan tertawa bersama orang-orang dewasa. Beliau termasuk orang yang paling baik akhlaknya yang pernah aku lihat.” Demikian pula sebaliknya, Syaikh Utsaimin juga memiliki kedudukan yang spesial di sisi gurunya. Suatu saat ayah Syaikh Utsaimin hendak pindah ke kota Riyadh dan menginginkan supaya putranya ikut pindah bersamanya. Tatkala berita itu sampai kepada Syaikh Abdurrahman As Sa’di, beliau pun menulis sepucuk surat untuk sang ayah. Dalam surat tersebut beliau mengatakan, “Sesungguhnya (kepindahan) ini tidak mungkin. Kami ingin Muhammad tetap tinggal di sini sehingga ia bisa mengambil faedah.” Di samping itu, beliau juga pernah belajar kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang terhitung sebagai guru beliau yang kedua. Beliau mengawalinya dengan belajar Shahih Al Bukhari, sebagian karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beberapa kitab fikih. Tentang gurunya ini, Syaikh Al Utsaimin mengatakan, “Saya sangat terkesan dengan Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam hal perhatian beliau terhadap hadis. Aku juga terkesan dengan akhlak beliau dan kelapangan jiwa beliau dalam menghadapi manusia.” Waktu terus berlalu hingga tibalah saatnya beliau mengajar dan berdakwah dalam sekup yang luas. Pada tahun 1371 H, beliau pun mulai mengajar di Masjid Al Jami’. Ketika dibuka berbagai ma’had ilmi (lembaga-lembaga ilmiah) di Kota Riyad, beliau pun masuk dan bergabung dengan ma’had tersebut pada tahun 1372 H. Beliau berkisah, “Aku masuk ke ma’had ilmi pada tahun kedua atas bimbingan dari Syaikh Ali Ash Shalihi. Sebelumnya aku juga telah meminta izin kepada Syaikh Abdurrahman As Sa’di. Saat itu ma’had ilmi terbagi menjadi dua kelas yaitu kelas umum dan kelas khusus. Aku pun masuk dan mengikuti program di kelas khusus.” Setelah menjalani jenjang pendidikan selama dua tahun, beliau pun lulus dan ditunjuk sebagai pengajar di Ma’had Unaizah Al Ilmi. Bersamaan dengan itu beliau melanjutkan studi dengan mengambil jurusan Syari’ah sekaligus melanjutkan belajar kepada Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di. Ketika Syaikh Abdurrahman wafat, maka beliau menggantikan posisinya sebagai imam di masjid Al Jami’ Al Kabir di Unaizah. Selain itu juga mengajar di Perpustakaan Nasional Unaizah dan merangkap sebagai pengajar di Ma’had Ilmi. Kemudian beliau berpindah mengajar di dua fakultas, yaitu fakultas Syariah dan Ushuludin di universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud cabang Qasim. Bahkan beliau juga diangkat menjadi salah satu anggota Haiah Kibaril Ulama (Majelis ulama besar) kerajaan Saudi Arabia. Beliau memiliki semangat yang luar biasa dalam berdakwah di jalan Allah, membimbing para juru dakwah dan upaya beliau patut disyukuri dalam hal ini. Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim pernah memberikan penawaran bahkan mendesak kepada beliau supaya menduduki jabatan Qadhi (hakim). Bahkan Syaikh Muhammad telah mengeluarkan surat keputusan penunjukan beliau sebagai Kepala Mahkamah Syariah di Ihsa’.  Namun beliau meminta supaya dibebaskan dan diturunkan dari jabatan tersebut. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan pendekatan pribadi dari beliau, akhirnya Syaikh Muhammad mengabulkan pengunduran diri beliau dari jabatan tersebut. Beliau mengetahui bahwa amanah tersebut tidak mudah menjalankannya dan tanggung jawabnya besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. KARYA TULIS BELIAU Kaum muslimin terutama para penuntut ilmu tentu sangat akrab dengan berbagai tulisan beliau. Tidak ada satupun disiplin ilmu agama melainkan beliau punya andil di dalamnya. Dalam bidang akidah, fikih, tafsir, musthalah, nahwu, ushul fikih, dan lain sebagainya. Beliau memiliki karya tulis sangat banyak yang mencapai empat puluh buku dan makalah. Hingga saat ini karya-karya beliau sering dijadikan sebagai rujukan oleh para penuntut ilmu di berbagai belahan dunia. Di antaranya adalah sebagai berikut Fathur Rabbil Bariyyah bitalkhishil Hamawiyah, Majalis Syahri Ramadhan, Al-Manhaj li Muridil ‘Umrah wal Hajj, Tashilul Faraidh, Syarh Lum’atul I’tiqad, Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Syarh Riyadhus Shalihin, Ushulut Tafsir, Asy-Syarh Al-Mumti’, Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Syarh Ushul Ats-Tsalatsah, Kitabul ‘Ilm dan yang lainnya. Dan Alhamdulillah di negeri kita ini kitab-kitab beliau dengan mudah bisa kita dapatkan. Bahkan banyak pula yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. WAFATNYA BELIAU Beliau wafat pada hari rabu 15 Syawal 1421 H yang bertepatan dengan tanggal 10 Januari 2001. Tepatnya pada pukul 6 malam di rumah sakit spesialis Raja Faishal di Jeddah. Setelah beliau ditimpa penyakit parah yang telah beliau derita dalam waktu yang lama. Pada awalnya beliau enggan untuk terapi dengan pengobatan kimia. Namun akhirnya beliau pun menjalani pengobatan tersebut atas permintaan pemerintah Saudi. Beliau pun sempat berobat ke Amerika namun tidak lama kemudian kembali lagi karena tugas ilmiah beliau untuk mengajar di Unaizah dan Masjidil Haram. Subhanallah, beliau memang seorang figur ulama yang sangat semangat dan antusias untuk berdakwah. Beliau tetap mengajar dalam kondisi sakit dan membutuhkan istirahat. Pernah beliau mengajar dalam keadaan sakit dan dirawat tenaga medis. Pernah pula beliau berusaha melawan rasa kantuk yang sangat ketika mengajar. Semua itu beliau jalani dengan penuh kesabaran dan semangat yang tinggi. Oleh karenanya ketika sakit beliau semakin parah pun, hal itu tidak menghentikan semangat beliau untuk mengajar. Saat itu beliau menempati sebuah kamar di Masjidil Haram dan hanya menyampaikan pelajaran secara singkat. Akhirnya beliau meninggal dalam usia 74 tahun dan dimakamkan di pemakaman Al Adl bersama guru beliau Syaikh bin Baz rahimahullah. Semoga Allah membalas segala jasa beliau untuk Islam dan kaum muslimin dengan balasan yang terbaik. Allahu A’lam. Baca juga literatur lain tentang beliau : https://asysyariah.com/asy-syaikh-ibnu-utsaimin-pelita-di-tengah-umat/ Sumber: Majalah Qudwah edisi 37 vol.04 1437 H/ 2016 M rubrik Ulama. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafiy Abdullah. http://ismailibnuisa.blogspot.com/2016/03/ahli-fikih-zaman-ini.html
5 tahun yang lalu
baca 8 menit