Tanya Jawab

Atsar.id
Atsar.id oleh Rizal Kurnia R

hukum bermazhab dari mazhab yang empat

MENISBATKAN KEPADA MADZHAB IMAM YANG EMPAT Syaikh Shalih bin Fawzan al-Fawzan hafizhahullah https://pixabay.com/en/pier-jetty-ocean-sea-water-way-569314/ Pertanyaan: Bolehkah fanatik kepada suatu mazhab (pendapat) yang  .seseorang menganutnya pada salah satu hukum syariat meskipun dalam hal ini menyelisihi dengan yang benar? Ataukah boleh meninggalkannya dan mengikuti madzhab yang benar pada sebagian hal? Dan apa hukum berpegang satu madzhab saja? Jawaban: Bermadzhab dengan salah satu madzhab imam yang empat yaitu madzhab imam ahlussunnah yang empat yang sudah terkenal yang ada, dihafal dan ditulis kaum muslimin serta  menisbatkan kepada salah satu madzhab tidak terlarang. Maka dikatakan: fulan Syafi'i, , fulan Hanafi, dan fulan Maliki. Julukan ini sudah ada sejak dulu diantara ulama bahkan pada ulama senior dikatakan fulan. Hanbali seperti dikatakan Ibnu Taimiyyah al-Hanbali, Ibnul Qayyim al-Hanbali dan lainnya tidaklah mengapa. Sehingga sekedar menisbatkan kepada suatu madzhab tidak terlarang, namun dengan syarat tidak terbelenggu dengan madzhab tersebut sehingga diambil semua perkara yang ada, baik yang haq maupun batil, baik yang benar maupun yang salah. Akan tetapi diambil darinya perkara yang benar dan apa yang diketahui sebagai kesalahan tidak boleh diamalkan. Adapun jika tampak baginya pendapat yang kuat, maka dia wajib mengambilnya baik perkara di madzhab yang dia menisbatkannya atau di madzhab lainnya karena seseorang yang jelas baginya sunah Rasulullah tidak ada hak baginya meninggalkannya karena perkataan seseorang. Sebab yang menjadi suri tauladan adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم, sedangkan kita mengambil suatu madzhab selama tidak menyelisihi sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم, namun jika menyelisihi Beliau, maka ini kesalahan seorang ahli ijtihad (mengambil kesimpulan hukum syariat) yang wajib atas kita untuk meninggalkannya dan hendaknya dia mengambil sunah serta mengambil pendapat yang kuat yang sesuai dengan sunah dari suatu madzhab diantara madzhab para ahli ijtihad. Adapun orang yang mengambil pendapat seorang imam secara mutlak baik salah maupun benar, maka termasuk taqlid buta (membebek). Sedangkan jika dia berpendapat wajib taqlid pada individu tertentu, maka ini merupakan kemurtadan (keluar dari agama Islam. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: Barangsiapa berkata, 'sesungguhnya wajib taqlid kepada individu tertentu selain Rasulullah صلى الله عليه وسلم', maka ini. diminta taubatnya, jika dia mau bertaubat. Namun jika tidak mau, maka dihukum bunuh (oleh pemerintah). Karena tidak seorangpun yang wajib diikuti kecuali Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Adapun selain Beliau dari kalangan imam ahli ijtihad rahimahumullah, maka diambil perkataan mereka yang sesuai hadits Nabi صلى الله عليه وسلم. Sehingga ketika seorang ahli ijtihad salah dalam ijitihadnya, maka haram atas kita mengambil ijtihadnya. Wallahu ta'ala a'lam. Majmu' Fatawa wa Rasail, Kitabul Tamadzhub http://t.me/Al-Ukhuwwah الانتساب إلى المذاهب الأربعة سؤال: هل يجوز التعصب للمذهب الذي يقتدي به الإنسان في أي حكم من أحكام الشريعة، حتى لو كان في هذا مخالفة للصواب؟ أم يجوز تركه والاقتداء بالمذهب الصحيح في بعض الحالات؟ وما حكم لزوم مذهب واحد فقط؟ الجواب: التمذهب بمذهب واحد من المذاهب الأربعة مذاهب أهل السنة الأربعة المعروفة التي بقيت وحفظت وحررت بين المسلمين، والانتساب إلى مذهب منها، لا مانع منه، فيقال: فلان شافعي، وفلان حنبلي، وفلان حنفي، وفلان مالكي. ولا زال هذا اللقب موجودًا من قديم بين العلماء، حتى كبار العلماء، يقال: فلان حنبلي، يقال مثلًا: ابن تيمية الحنبلي، ابن القيم الحنبلي، وما أشبه ذلك، ولا حرج في ذلك، فمجرد الانتساب إلى المذهب لا مانع منه لكن بشرط أن لا يتقيد بهذا المذهب فيأخذ كل ما فيه، سواء كان حقًّا أو خطأً، سواء كان صوابًا أو خطأً، بل يأخذ منه ما كان صوابًا، وما علم أنه خطأ، لا يجوز العمل به، وإذا ظهر له القول الراجح فإنه يجب عليه أن يأخذ به، سواء كان في مذهبه الذي انتسب إليه، أو في مذهب آخر، لأن من استبانت له سنة رسول الله لم يكن له أن يدعها لقول أحد، فالقدوة هو رسول الله صلى الله عليه وسلم، فنحن نأخذ بالمذهب ما لم يخالف قول الرسول صلى الله عليه وسلم، فإذا خالفه فهذا خطأ من المجتهد يجب علينا أن نتركه، وأن نأخذ بالسنة، ونأخذ بالقول الراجح المطابق للسنة، من أي مذهب كان من مذاهب المجتهدين. أما الذي يأخذ بقول الإمام مطلقًا، سواء كان خطأ أو صوابًا، فهذا يعتبر تقليدًا أعمى، وإذا كان يرى أنه يجب تقليد إنسان معين فهذا ردة عن الإسلام. يقول شيخ الإسلام ابن تيمية: من قال إنه يجب تقليد شخص بعينه غير رسول الله صلى الله عليه وسلم فهذا يستتاب، فإن تاب وإلا قتل لأنه لا أحد يجب اتباعه إلا محمد صلى الله عليه وسلم، أما ما عداه من الأئمة المجتهدين رحمهم الله، فنحن نأخذ بأقوالهم الموافقة للسنة. أما إذا أخطأ المجتهد في اجتهاده، فإنه يحرم علينا أن نأخذ باجتهاده والله تعالى أعلم.
8 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

imam diam setelah membaca al-fatihah dalam shalat berjamaah

IMAM DIAM SEJENAK SETELAH MEMBACA AL-FATIHAH DAN HUKUM BACAAN AL-FATIHAH PADA HAK MAKMUM Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah https://pixabay.com/en/mosque-arabian-white-marble-1978985/ Pertanyaan: Sebagian imam dalam shalat jahr (yang bacaannya dikeraskan) seperti Maghrib dan selainnya dari Isya dan Shubuh setelah membaca al-Fatihah segera membaca surat yang lain setelahnya dan tidak memberikan kesempatan bagi makmum untuk membaca al-Fatihah. Maka apa yang Anda nasehatkan terhadap seorang imam yang melakukan hal itu? Dan apa kewajiban makmum jika tidak membaca al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama? Jawaban: Adapun para imam yang berbuat demikian dan tidak diam di antara bacaan al-Fatihah dan bacaan surat yang ada setelahnya, maka bisa jadi perbuatan itu timbul dari mereka dengan tidak sengaja atau sengaja. Namun seringnya dengan sengaja dikarenakan hadits Samurah dalam menetapkan kedua saktah (diam sejenak), salah satunya setelah bacaan al-Fatihah diperselisihkan para ulama tentang keshahihannya. Diantara ulama ada yang menilainya shahih dan mengamalkannya serta mengatakan: Sesungguhnya imam hendaknya segera diam setelah membaca al-Fatihah. Diam yang disebutkan ini adalah diam yang mutlak, tidak dibatasi sebagaimana dibatasi sebagian ahli fikih seukuran makmum membaca al-Fatihah akan tetapi diam ini adalah diam yang mutlak untuk memisahkan antara bacaan yang wajib dan yang sunnah. Sementara ulama yang lainnya tidak menilainya sebagai hadits yang shahih dan berpendapat: seyogyanya menyambung bacaan setelah al-Fatihah. Jadi, tidak mungkin kita melarang seseorang yang mengamalkannya ilmunya setelah memeriksa dan berijtihad (mengambil kesimpulan hukum). Hanya saja hadits ini menurut pendapat kami sebagai dalil sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari ketika mengatakan: Sesungguhnya telah shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم diam sejenak ini dan ini terkait dengan imam. Adapun terkait dengan makmum, maka makmum membaca al-Fatihah meskipun imam membacanya menurut pendapat yang kami pilih. Berdasarkan keumuman sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah Hadits ini tercantum dalam dua kitab shahih dan lainnya. Begitu pula dalam hadits 'Ubadah bin Shamit dalam kitab Sunan: Bahwasannya Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mengimami shalat Shubuh lalu berpaling dan bersabda: Barangkali kalian membaca surat di belakang imam kalian? Mereka menjawab: Ya. Beliau bersabda: Jangan kalian lakukan lagi kecuali membaca al-Fatihah karena tidak sah shalat bagi orang yang tidak membacanya. Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa makmum membacanya meskipun dalam shalat yang jahr karena shalat yang dilakukan ini adalah shalat Shubuh yang merupakan shalat yang Jahr. Sehingga hadits ini menegaskan bahwa makmum membaca al-Fatihah meskipun imam membacanya. Didukung pula dengan keumuman hadits yang kami tunjukkan sebelumnya. Jadi, atas dasar ini kami katakan untuk makmum: Bacalah al-Fatihah, lalu jika engkau menyelesaikannya sebelum imam mulai membaca surat setelahnya, maka itulah yang dikehendaki, namun jika imam membaca surat setelahnya sebelum engkau menyelesaikan bacaan surat al-Fatihah, maka teruslah engkau membacanya hingga menyelesaikannnya. Pembawa acara: . Namun saya melihat bahwasannya termasuk perkara yang sulit bagi makmum membaca al-Fatihah ketika imam sedang membaca surat karena ini kadang terjadi membaca al-Fatihah sebagian saja dan bacaannya tidak benar. Ini disebabkan makmum membaca dengan pelan sedangkan imam membaca dengan keras? Syaikh:  Saya harap maksud min dalam perkataannmu (termasuk sulit) untuk tab'id (menunjukkan bagian dari keseluruhan) bukan untuk menjelaskan jenis. Maka Al-Fatihah sebagaimana perkataanmu: sulit bagi sebagian orang membacanya ketika imam membaca akan tetapi pada sebagian orang tidak sulit membacanya, sehingga bisa saja dia membacanya ketika imam sedang membaca. Karena hal ini telah kami coba. Pembawa acara:  Namun terkait dengan orang yang kesulitan membacanya. Syaikh:  Hendaknya dia berusaha membacanya. Nurun 'Ala ad-Darb 2 http://t.me/Al-Ukhuwwah سكتة الإمام ب عد قراءة الفاتحة وحكم قراءة الفاتحة في حق المأموم السؤال: بعض الأئمة في الصلاة الجهرية كالمغرب وغيرها من العشاء والفجر بعد قراءة الفاتحة يسرعون في قراءة سورةٍ بعدها، ولا يجعلون للمأموم فرصة لقراءة الفاتحة، فبماذا تنصحون من يفعل ذلك من الأئمة؟ وماذا على المأموم إذا لم يقرأ الفاتحة في الركعتين الأوليين؟الجواب: أما الأئمة الذين يصنعون ذلك ولا يسكتون بين قراءة الفاتحة وقراءة السورة التي بعدها فيمكن أن يكون ذلك الفعل منهم صادراً عن جهل أو عن علم، فقد يكون عن علم؛ لأن حديث سمرة في إثبات السكتتين وإحداهما بعد قراءة الفاتحة اختلف العلماء في تصحيحه، فمنهم من رآه صحيحاً وعمل به وقال: إنه يشرع للإمام أن يسكت بعد قراءة الفاتحة، والسكتة الواردة سكتةٌ مطلقة ليست محددة كما حددها بعض الفقهاء بمقدار قراءة المأموم الفاتحة، وإنما هي سكتةٌ مطلقة للفصل بين فرض القراءة ونفلها.ومن العلماء من لا يصحح الحديث، ويرى أنه ينبغي وصل قراءة ما بعد الفاتحة بها، ولا يمكن أن نحجر على أحد ما أداه إليه علمه بعد النظر والاجتهاد، لكن الحديث فيما نرى حجة، وقد أثبته الحافظ ابن حجر في فتح الباري وقال: إنه ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم هذا السكوت، وهذا بالنسبة للإمام.أما بالنسبة للمأموم فإنه يقرأ الفاتحة ولو كان الإمام يقرأ على القول الذي نختاره؛ لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: ( لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القرآن )، وهذا الحديث ثابت في الصحيحين وغيرهما، وفي حديث عبادة بن الصامت في السنن: ( أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بهم صلاة الصبح فانصرف وقال: لعلكم تقرءون خلف إمامكم؟ قالوا: نعم، قال: لا تفعلوا إلا بأم القرآن، فإنه لا صلاة لمن لم يقرأ بها )، وهذا ظاهر في أن المأموم يقرأ حتى في الصلاة الجهرية؛ لأن هذه صلاة الصبح وهي صلاة جهرية، فهذا الحديث واضح في أن المأموم يقرأ ولو كان الإمام يقرأ، ويشهد له عموم الحديث السابق الذي أشرنا إليه، فعلى هذا نقول للمأموم: اقرأ الفاتحة، فإن أكملتها قبل أن يبتدئ الإمام لقراءة ما بعدها فذاك، وإن شرع الإمام بقراءة ما بعدها قبل إكمالك لسورة الفاتحة فاستمر عليها حتى تكملها.مداخلة: لكن أرى أنه من الصعب أن يقرأ المأموم الفاتحة والإمام يقرأ؛ لأن هذا قد يحدث لخبطة في القراءة وتكون قراءة غير صحيحة؛ لأن هذا المأموم يقرأ سراً والإمام يقرأ جهراً؟الشيخ: أرجو أن تكون (من) في كلامك: (من الصعب) للتبعيض لا لبيان الجنس، فهي كما قلت: تصعب على بعض الناس القراءة والإمام يقرأ، ولكنها على بعض الناس لا تصعب، ويمكنه أن يقرأ والإمام يقرأ، وهذا شيء جربناه.مداخلة: لكن بالنسبة للذي تصعب عليه.الشيخ: يحاول أن يقرأ.
8 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum berdandan untuk tampil cantik di hadapan wanita lain

HUKUM SEORANG ISTRI BERDANDAN AGAR TAMPIL CANTIK DI DEPAN PARA WANITA SEDANGKAN SUAMI MELARANGNYA https://pixabay.com/en/flowers-gerbera-floral-spring-2037783/ Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah Pertanyaan: Sesungguhnya istriku memakai perhiasannya ketika hendak pergi kepada seseorang atau seseorang datang kepada kami sehingga saya pun terpaksa melarangnya, namun tidak bermanfaat, apa hukumnya? Jawaban: Tidak mengapa bagi seorang istri berdandan dan berhias agar tampil cantik di depan para wanita ketika tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah. Sehingga tidak sepantasnya engkau melarangnya dari perkara ini karena ini perkara yang menjadi tabiat kaum wanita bahkan hingga kaum pria. Sebab seorang pria harus menampakkan penampilan yang indah pada pakaiannya sebagaimana wanita. Namun jika dikhawatirkan terjadi fitnah dengan hal itu seperti disekitarnya ada pria yang melihatnya atau sebagian wanita menggambarkan sifatnya kepada suaminya maksudnya  .seorang istri menggambarkan kepada suaminya sifat wanita ini, maka ini juga berbahaya. Contohnya dia mengatakan kepada suaminya Fulanah orangnya begini dan begini. Dia menggambarkan kepada suaminya sifat wanita ini sehingga seakan-akan melihatnya. Adapun bila tidak ada bahaya padanya, maka engkau tidak berhak melarangnya dari berdandan sesuai kebiasaan yang dilakukannya di depan teman-temanya Pembawa acara:  Penanya berkata pula: jika istrinya berkata: insya Allah akan saya lakukan namun dia tidak melakukannya. Apa hukum hal ini darinya? Syaikh:  Wajib atas istrinya melakukan apa yang diperintahkan kepadanya selama perintahnya itu tidak berbahaya baginya atau maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena Nabi صلى الله عليه و سلم pernah bersabda: seandainya aku diperintah agar seorang bersujud kepada yang lainnya, niscaya aku perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya karena besar haknya atas istrinya) Namun dengan syarat perintahnya tidak berbahaya atasnya dan tidak bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena jika pada perntahnya itu ada maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh bagi istri menurutimu dan tidak boleh pula bagimu memerintahkannya dengan kemaksiatan itu. Begitu pula bila ada bahaya atasnya, maka tidak boleh karena bukan termasuk interaksi/bergaul dalam hal yang baik. Nurun 'Ala ad-Darb kaset 40 http://t.me/Al-Ukhuwwah BACA: PERAN ISTRI DALAM MEWUJUDKAN SUAMI IDEAL حكم تجمل المرأة لنظيراتها من النساء مع رفض الزوج ذلك السؤال: إن زوجتي تلبس ملابس زينتها إذا أرادت أن تذهب لأحد أو يأتينا أحد رغم أني أنهاها عن ذلك ولكن بدون فائدة، فما حكم ذلك؟الجواب: لا بأس للمرأة أن تتجمل وتتزين لنظيراتها من النساء إذا لم يخشَ من ذلك فتنة، ولا ينبغي لك أن تنهاها عن هذا الأمر؛ لأن هذا أمرٌ جبلت عليه النساء بل وحتى الرجال؛ فإن الرجل يحب أن يظهر بمظهر الجمال في ثوبه، فكذلك المرأة.أما إن خشي الفتنة بذلك مثل: أن يكون حولها من يشاهدها من الرجال، أو تكون بعض النساء تنعتها لزوجها -يعني: المرأة تنعت هذه المرأة لزوج المرأة الناعتة- فهذا أيضاً محظور، مثل: أن تقول لزوجها: فلانة عليها كذا وعليها كذا وعليها كذا تنعتها لزوجها كأنما ينظر إليها، فأما إذا لم يكن فيه محظور فليس لك حقٌ في منعها من أن تتجمل بما جرت به العادة أمام صاحباتها.المقدم: تقول أيضاً إذا أمرتها تقول: إن شاء الله أفعل ولا تفعل فما حكم هذا منها؟الشيخ: يجب عليها أن تمتثل ما أمرتها به ما لم يكن في ذلك ضررٌ عليها أو معصيةٌ لله ورسوله، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: ( لو أمرت أحداً أن يسجد لأحدٍ لأمرت الزوجة أن تسجد لزوجها لعظم حقه عليها) ولكن بشرط ألا يكون عليها ضررٌ في ذلك ولا معصيةٌ لله ورسوله، فإن كان في ذلك معصيةٌ لله ورسوله فلا يجوز لها أن توافقك، ولا يجوز لك أيضاً أن تأمرها بذلك، وكذلك إذا كان عليها ضرر فإنه لا يجوز، لأنه ليس من العشرة بالمعروف.
8 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum mengulang shalat witir dalam satu malam

HUKUM MENGULANG SHALAT WITIR DALAM SATU MALAM Pertanyaan: Aku selalu mengerjakan shalat witir di awal malam. Tapi di akhir malam aku terbangun (lagi), lalu aku shalat dua raka'at dua raka'at sebatas yang aku mampu, tanpa melakukan witir setelahnya. Apakah perbuatanku ini benar? dan apa hukum mengulangi shalat witir? Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah menjawab: "Ya, perbuatanmu itu sudah benar. Apabila seseorang telah mengerjakan shalat witir di awal malam, kemudian setelah itu Allah mudahkan ia untuk bangun di akhir malam, maka ia shalat dua raka'at dua raka'at sebanyak yang Allah mudahkan baginya. Witirnya yang pertama (di awal malam) sudah mencukupi, dan dimakruhkan mengulangi witir yang kedua kali, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam, (لا وتران في ليلة) "Tidak ada dua witir dalam satu malam." dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang melakukan shalat dua raka'at setelah witir, untuk mengajarkan kepada manusia bahwa yang seperti itu tidak mengapa. Akan tetapi yang utama adalah menunda shalat witir di akhir malam, jika hal itu memungkinkan. Hendaknya ia mengerjakan shalat witir di akhir malam jika memungkinkan berdasarkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam (اجعلوا آخر صلاتكم في الليل وتراً) "Jadikanlah shalat witir sebagai penutup shalatmu di waktu malam." apabila yang seperti ini memang memungkinkan, lebih utama. Jika tidak, maka lakukanlah yang diyakini dan beriwtirlah di awal malam. bila setelah itu engkau bisa bangun di akhir malam, kamu bisa shalat dua raka'at dua raka'at tanpa (menutupnya dengan) witir. Jazakumullahu Khairan Sumber: www.binbaz.org.sa/noor/6494 Diterjemahkan oleh: Tim Warisan Salaf #Fawaidumum #fikihsholat #fatawasholat #shalatwitir 〰〰➰〰〰 🍉 Warisan Salaf menyajikan Artikel dan Fatawa Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah 🍏 Channel kami https://bit.ly/warisansalaf 💻 Situs Resmi http://www.warisansalaf.com
8 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum duduk tawaruk dalam shaf yang sesak

HUKUM DUDUK TAWARUK DALAM SHAF YANG PENUH SESAK https://www.suaramasjid.com/go/wp-content/uploads/2016/02/iftirasy.jpg Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah Pertanyaan: Bagaimana duduk tawaruk (duduk dengan meletakkan kedua pantatnya di atas tanah) bagi makmum dalam shaf yang penuh sesak? Jawaban' Jika mesti berdesak-desakan dan tidak bisa duduk tawaruk, hendaknya dia tidak bertawaruk, karena tawaruk itu sunnah yang dianjurkan dalam tasyahhud akhir, sehingga apabila dengan tawaruk mengganggu saudaranya, maka hendaknya dia tidak duduk tawaruk. Hendaknya dia duduk di atas kaki kirinya seperti duduknya diantara dua sujud dan tasyahhud awal, karena mengganggu saudaranya itu haram, sedangkan suatu yang haram tidak menjadi halal dengan suatu yang sunnah. Suatu sunnah hendaknya ditinggalkan hingga terhindar dari suatu yang haram, sebab mengganggu saudaranya dan menzalimi mereka merupakan perkara yang tidak boleh. Jadi apabila kondisinya sempit dalam shaf, hendaknya dia tidak duduk tawaruk, namun hendaknya duduk di atas kaki kirinya seperti keadaannya antara dua sujud apabila dia mampu hal itu. Adapun apabila kondisinya sakit atau lemah tidak mampu, maka dia lakukan sesuai kemampuannya sehingga terhindar dari menyakiti sebisa mungkin. 💻🔍 http://www.binbaz.org.sa/node/10647 📁http://t.me/Al-Ukhuwwah 🇸🇦 السائل: ماذا عن التورك للمأموم في الصف المزدحم؟ الشيخ: إذا دعت الحاجة إلى التضام وعدم التورك لا يتورك، التورك سنة مستحب في التشهد الأخير ، فإذا كان يؤذي به إخوانه فلا يتورك، يجلس على رجله اليسرى كجلوسه بين السجدتين وفي التشهد الأول ؛ لأن إيذاء إخوانه محرم، فلا يستبيح المحرم بالمستحب، يترك المستحب حتى يتوقى المحرم، فإيذاء إخوانه والتعدي عليهم أمر لا يجوز، فإذا كانت مضايقة في الصف فإنه لا يتورك، بل يجلس على رجله اليسرى كحاله بين السجدتين إذا استطاع ذلك ، أما إذا كان مريض أو عاجز لا يستطيع فيعمل ما يستطيع، ويتوقى الإيذاء مهما استطاع.
8 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

wanita shalat di rumah dengan di masjidil haram, mana yang lebih utama?

PAHALA SHALAT WANITA DI MASJIDIL HARAM Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin rahimahullah Pertanyaan: Tentang wanita yang suka menghadiri shalat di Masjidil Haram selama di Mekah, akan tetapi dia mendengar bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama sampai pun di Masjidil Haram. Apakah dia memperoleh berlipatnya pahala ketika shalat di rumah sebagaimana ketika dia shalat di Masjidil Haram? Jawaban: Shalatnya wanita di rumahnya lebih utama dari shalatnya di Masjidil Haram dan shalat sunnahnya seorang pria di rumahnya lebih utama dari shalatnya di Masjidil Haram. Berdasarkan dalil : Bahwasannya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di selainnya kecuali Masjidil Haram. Redaksi Imam Muslim atau dalam sebagian redaksinya: shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di selainnya kecuali masjid ka'bah. Meskipun demikian Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda untuk shalat wanita: Rumah mereka lebih baik bagi mereka. Dan Beliau bersabda tentang shalat sunnah seorang pria: shalat seorang yang paling utama di rumahnya kecuali shalat wajib. Beliau Shalawatullahu wa Salamuhu 'Alaihi dulu shalat sunnah di rumahnya, shalat rawatib di rumah, shalat malam di rumah, shalat witir di rumah padahal masjid di samping Beliau dan di antara Beliau dan masjidnya hanya ada pintu yang terbuka dan Beliau masuk dalam masjid, meskipun begitu Beliau bersabda: (shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di selainnya) sedangkan Beliau shalat sunnah di rumah. Sehingga diketahui bahwa keutamaan itu ada dalam segi kuantitas (jumlah) dan kualitas. Jadi, shalat wanita di rumahnya dari sisi kualitas lebih utama dari shalatnya di masjid dari sisi kuantitas dan shalat sunnahnya pria di rumahnya lebih utama dari sisi kulitas daripada shalatnya di masjid dari sisi kuantitas. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa wanita bila shalat di rumah, maka itu lebih utama dari shalat di Masjidil Haram, namun dari segi kualitas bukan kuantitas. Maka shalat sunnah saya di rumah lebih utama dari shalatku di Masjidil Haram dari segi kualitas. Hanya saja terkait sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: (shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di selainnya kecuali Masjidil Haram) maka sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah shalat wajib. Ulama yang lain berpendapat bahwasannya yang dimaksud adalah shalat yang disyariatkan untuk berjamaah yaitu shalat wajib dan istisqa' (shalat minta hujan) serta lainnya seperti ketika mereka istisqa' di Masjidil Haram. Namun yang benar bahwa hadits ini umum mencakup shalat wajib dan sunnah, hanya saja tidak berarti bahwa shalat di dalamnya lebih utama dari shalat di rumah akan tetapi maksudnya bahwa seorang pria sekiranya masuk Masjidil Haram lalu shalat dua rakaat yang dinamakan ini Tahiyyatul Masjid kemudian shalat dua rakaat Tahiyyatul Masjid di masjid yang lain selain di Makkah, maka Tahiyyatul Masjid di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu Tahiyyatul Masjid di luar al Haram, sekiranya seorang pria datang ke masjid dan imam belum datang lalu dia pun shalat sunnah di Masjidil Haram sekehendak Allah antara Tahiyyatul Masjid hingga iqamah lalu masuk lelaki lainnya di masjid yang lain. Inilah maksud hadits bahwa shalat kapan pun adanya di Masjidil Haram, maka shalat itu senilai seratus ribu shalat di selainnya. Namun tidak berarti kita meninggalkan rumah kita dan datang lantaran shalat di Masjidil Haram pada apa yang tidak disyariatkan untuk berjamaah di dalamnya. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:(Shalat seorang yang paling utama di rumahnya kecuali shalat wajib). Dan saya ingin mengingatkan perkara yang populer di antara jamaah haji dan umrah: telah populer di antara mereka bahwa shalat Tahiyyat di Masjidil Haram adalah thawaf dan ini tidak benar. Tahiyyat di Masjidil Haram itu thawaf maksudnya ketika Anda masuk Masjidil Haram dengan niat thawaf, maka thawaf itu mencukupimu dari shalat Tahiyyat di Masjidil Haram. Adapun bila Anda masuk Masjidil Haram untuk shalat atau mendengar ilmu atau pun lainnya, maka Tahiyyatnya seperti selainnya dikerjakan sebanyak dua rakaat. Jadi, bila orang yang umrah masuk Masjidil Haram, maka dia awali dengan thawaf karena dia masuk untuk thawaf, namun bila dia masuk lantaran menunggu shalat, maka dia shalat dua rakaat karena dia tidak masuk untuk thawaf, namun meskipun demikian sekiranya dia pergi dan thawaf, maka kami katakan: sesungguhnya itu mencukupi dari dua rakaat Tahiyyatul Masjid. Majmu' Fatawa wa Rasail http://telegram.me/ukhwh
8 tahun yang lalu
baca 4 menit

Tag Terkait