Nasehat

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kebahagiaan yang sejati

Berkata Ibnul Qoyyim dalam kitab … [مفتاح دار السعادة]  .             ________________ السعادة الحقيقية هي سعادة نفسانية روحية قلبية Kebahagiaan yang SEJATI adalah kebahagiaan yang ada pada JIWA , RUH dan HATI…❗ وهي سعادة العلم النافع yaitu KEBAHAGIAAN berupa ILMU yang BERMANFAAT… ______________________ ثمرته buah dari ILMU yang bermanfaat tersebut ialah: ______________________ فإنها هي الباقية على تقلب الأحوال ILMU senantiasa tetap ada meskipun kondisi sering berubah-ubah والمصاحبة للعبد في جميع أسفاره Dan senantiasa menemani seorang hamba dalam seluruh safarnya وفي دوره الثلاثة dan senantiasa menemani seorang hamba pada 3 negeri… -أعني: دار الدنيا ودار البرزخ  ودار القرار- yaitu: negeri dunia, negeri barzakh ( alam qubur ) dan negeri yang kekal abadi (negeri akherat/ setelah ditegakkannya hari kiamat) وبها يترقى معارج الفضل ودرجات الكمال dan dengan ILMU yang bermanfaat seorang HAMBA bisa naik pada tangga-tangga keutamaan dan derajat-derajat KESEMPURNAAN… كلما طال الأمد ازدادت قوة وعلوا..... semakin panjang masa (dia belajar/ilmu tadi bersama seorang hamba)-maka- semakin bertambah kuat dan tinggi (ilmunya)... Dan Abu Darda -رضي الله تعلى عنه- berkata sebagaimana yang disebutkan pada kitab … [جامع بيان العلم وفضله لابن عبد البر] : يرزق الله العلم السعداء ويحرمه الأشقياء ALLAH -عز وجل- memberikan rizqi berupa ILMU kepada orang-orang yang BERBAHAGIA dan tidak memberikannya kepada orang-orang yang SENGSARA… ...akan tetapi betapa banyak orang-orang yang lalai dari KEBAHAGIAAN ini.... engkau lihat salah seorang dari mereka SEMANGAT dalam mengumpulkan DINAR (mata uang dari emas) dan DIRHAM (mata uang dari perak) mereka "menumpuk harta" SEMANGAT dalam mencari trik mengais PENGHASILAN serta memperbanyak UANGnya hanya saja engkau dapati dia ZUHUD (merasa tidak butuh) untuk mengetahui-mempelajari- AGAMAnya dan dia merasa rintangan-rintangan dalam menuntut ILMU sangat banyak. يجزع أحدهم إذا خسر القليل من ماله، ولايجزع إذا خسر الكثير من دينه! salah seorang dari mereka mengeluh apabila RUGI SEDIKIT dari HARTAnya, dan tidak mengeluh apabila RUGI BANYAK dari AGAMAnya❗ ويفرح إذا استفاد القليل من المال، ولا يفرح إذا استفاد علما من دينه! dia gembira apabila mendapatkan UNTUNG SEDIKIT dari harta, dan tidak senang mendapatkan untung-faidah- berupa ILMU dari AGAMAnya❗ ~~~~~~~~~~~~~~~~ نقل عن الكتاب: الأسباب العشر لانشراح الصدر للشيخ محمد بن عمر بن سالم بازمول حفظه الله تعالى alih bahasa Abul Mundzir Cirebon ~~~~~~~~~~~~~~~~ Forum Salafy Banjarnegara 19 jumadal ulaa 1436
10 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

orang-orang yang mensucikan diri

Manusia adalah tempat salah dan lupa. Tak seorang pun yang berani menjamin dirinya akan tetap terjaga, tidak tercebur dalam kubang maksiat. Dan kini, bisa jadi ia hidup dalam ketaatan. Namun, apakah ia lantas berani menyatakan dirinya akan terus menerus dalam ketaatan itu? Qalbu manusia ada di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahman. Ketergelinciran, tak memandang bulu. Seorang alim pun bisa saja jatuh terpuruk. Dalam lintasan sejarah hidup .manusia, tertoreh kisah keterpurukan itu. Akan tapi, sebaik-baik manusia yang tenggelam dalam lumpur dosa adalah yang mau mengentaskan diri. Ia bangkit, berkemas meninggalkan maksiat. Ia sesali dosa-dosa yang melumuri dirinya. Ia berazam, berbulat tekad, tak akan mengulang kesalahan telah terjadi. Lembaran kelam dalam hidupnya ditutup. Lembaran baru nan putih bersih ia jejaki. Ia memulai hidup baru sebagai manusia yang bertaubat. “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian ia bertaubat dengan segera. Maka, mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. An-Nisa:17]. “Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” [Q.S. An-Nashr:3]. Abu Musa, Abdullah bin Qais Al Asy ’ari radhiyallahu 'anhu menyampaikan pernyataan Nabi shallallahu 'alaih wasalam, sabda beliau yang artinya, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima taubat seseorang yang berbuat kesalahan kala siang hari. Allah pun membentangkan tangan-Nya pada waktu siang hari untuk menerima taubat seseorang yang berbuat kesalahan kala malam hari, hingga matahari terbit dari tempat tenggelamnya (arah barat).” [H.R. Muslim, no.2759]. Pintu taubat senantiasa terbuka luas. Allah subhanahu wa ta'ala Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya. Karenanya, bersegeralah memohon ampun kepada-Nya. Bertaubat kepada-Nya. Tak perlu menunggu waktu atau menunda-nunda. Sebab, tak seorang pun tahu kapan ajal menjemputnya. Seorang shahabat bernama Ma’iz bin Malik radhiayallahu 'anhu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia menyengaja menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasalam. Ia ingin mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan di dadanya. Saat bertemu, kesempatan itu tak disia-siakan. Ma’iz  berterus terang kepada Nabi atas apa yang telah dilakukannya. Dirinya telah terjatuh kepada perbuatan dosa. Kata Ma’iz radhiyallahu 'anhu, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku.” Ma’iz memohon kepada Rasulullah. “Ada apa dengan dirimu? Kembalilah engkau. Mintalah ampun kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya.” Kata Rasulullah memberi bimbingan kepada Ma’iz. Mendengar ucapan mulia dari lisan Khalilullah (Kekasih Allah), Ma’iz  pun beranjak. Ia kembali ke tempat asalnya. Namun selang berapa lama, Ma’iz  berupaya lagi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam. Ma’iz  pun meminta kepada beliau agar membersihkan dirinya dari dosa. “Wahai Rasulullah, sucikanlah daku.” Pintanya penuh harap. Jawaban Rasulullah pun sama saat kali pertama ia menemui beliau. “Ada apa dengan dirimu? Kembalilah engkau. Beristighfarlah kepada Allah. Bertaubatlah kepada-Nya.” Demikian yang disampaikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam kepada Ma’iz radhiyallahu 'anhu. Setelah mendengar itu, Ma’iz  pun kembali. Apa yang dicitakan tak terkabulkan saat itu. Nabi ` menginginkan agar Ma’iz menutup masalahnya dengan memohon ampun dan bertaubat kepada Allah Yang Maha Penyayang. Untuk kali ketiga, Ma’iz berusaha lagi menghadap Rasulullah. “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.” Pintanya. Nabi menimpali dengan jawaban yang sama ketika dirinya datang pada kali pertama dan kedua. Hingga, untuk kali keempat Ma’iz tetap menemui kembali Rasulullah. Yang ia pinta sama, “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.” Rasulullah pun bertanya balik, “Lantaran perbuatan apa (sehingga) engkau harus disucikan?” Ma’iz radiyallahu 'anhun menjawab, ”Lantaran perbuatan zina.” Untuk masalah ini, Rasulullah pun menanyakan perihal Ma’iz kepada kaumnya. “Apakah Ma’iz memiliki penyakit gila?” . Maka kaumnya mengabarkan kepada Rasulullah, bahwa Ma’iz tidak mengidap sakit jiwa. Lantas Nabi bertanya kepada seseorang, “Apakah dia dalam keadaan telah minum khamer (mabuk)?” Mendengar pertanyaan Nabi ` semacam itu, seorang laki-laki lalu membaui Ma’iz . Orang tersebut tak mendapati bau khamer (minuman keras) pada diri Ma’iz. Lantas Rasulullah bertanya kepada Ma’iz, “Apakah dirimu telah berbuat zina?” “Ya.” Jawab Ma’iz z singkat. “Apakah engkau memahami apakah zina itu?” Tanya Rasulullah lebih menukik. Ma’iz menjawab, “Ya. Zina, yaitu ketika seorang laki-laki mendatangi wanita yang diharamkan baginya sebagaimana seorang suami mendatangi istrinya.” Rasulullah pun lantas bertanya kembali, “Apakah engkau melakukan terhadap wanita itu?” “Ya.” Jawab Ma’iz. "Hingga keadaannya sebagaimana jarum celak masuk ke dalam botolnya, atau tali timba masuk ke dalam sumur?” Tanya Rasulullah lebih mendalam. Ma’iz  pun memberi jawaban singkat, “Ya.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam  lantas memerintahkan untuk merajam Ma’iz . Tanah pun digali guna menanam tubuh Ma’iz. Saat itu, orang-orang terpilah dua. Sekelompok orang mengatakan tentang dia, “Sungguh ia telah celaka. Telah dibalas kesalahannya dengan hukuman rajam itu.” Sebagian orang lagi mengatakan, “Tiada taubat yang lebih utama dari taubatnya Ma’iz. Sungguh, ia telah datang kepada Nabi, lantas ia letakkan tangannya pada tangan beliau seraya berucap, ‘Bunuhlah aku dengan batu’.” Hukum rajam pun dilaksanakan. Ma’iz bin Malik radhiyallahu 'anhu akhirnya meninggal dunia melalui hukuman tersebut. Kemudian Rasulullah mendatangi para shahabat, tatkala mereka tengah duduk-duduk. Rasulullah pun memberi salam, lantas duduk bersama mereka. “Mohonkanlah ampunan bagi Ma’iz bin Malik.” Kata Rasulullah memerintahkan kepada para shahabat. Kemudian para shahabat pun mendoakan Ma’iz bin Malik. “Semoga Allah mengampuni Ma’iz bin Malik.” Demikian doa itu terucap dari para shahabat. Rasulullah bersabda, “Sungguh ia telah bertaubat dengan sebuah taubat, yang apabila dibagikan kepada umat, benar-benar taubat itu mencukupi mereka.”  Di antara faedah dari kisah Ma’iz bin Malik, bahwa hukuman had (pidana berdasar hukum Islam) bisa memupus dosa kemaksiatan yang melekat pada seseorang. Demikian pula dosa maksiat yang masuk kategori dosa-dosa yang besar (kaba’ir), bisa gugur dengan cara bertaubat kepada Allah . Wallahu a’lam. [Sumber rujukan kisah ini lihat Shahih Muslim, no.1694-1695, Syarhu Riyadhi Ash-Shalihin, Kitabu Al-Adab, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitabu Al-Hudud, karya An-Nawawi].   Dikutip dari Majalah Qudwah Edisi 2
10 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

10 tips agar mencintai dan dicintai allah

Salah satu jenis mahabbah (cinta) adalah mahabbah Ibadah atau cinta yang bernilai ibadah. Kita tahu bahwa ibadah hanya ditujukan hanya kepada Allah, sehingga cinta ibadah hanya ditujukan kepada-Nya. Sekali meleset maka dapat jatuh kepada kesyirikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَزَيَّنَهُۥ فِي قُلُوبِكُمۡ “…Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian.” (al-Hujurat: 7) وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165) Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya mencintai Allah termasuk ibadah yang paling penting dan paling utama serta merupakan landasan agama. Sebab, mencintai Allah mengharuskan ikhlas kepada-Nya, menaati perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya, dan tunduk kepada-Nya.” (Syarh Kitab at-Tauhid, Ibnu Baz, hlm. 162) Cinta kepada Allah inilah cinta yang hakiki. Ia menjadi sebab kebahagiaan hati seorang hamba sekaligus menjadi sebab terasa manisnya iman, ketaatan, dan ibadah kepada-Nya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sepuluh sebab agar seorang hamba mencintai Allah (mahabbatullah) dan dicintai oleh Allah: Membaca al-Qur’an dengan mentadabburi dan memahami kandungannya sesuai dengan maksudnya. Mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah setelah melakukan ibadah-ibadah wajib. Sesungguhnya hal ini akan mengantarkannya ke derajat ‘dicintai’ setelah mencapai derajat ‘mencintai’. Senantiasa berzikir kepada Allah pada setiap keadaan, baik dengan lisan, hati, maupun amalan. Mendahulukan kecintaan kepada Allah daripada kecintaan kepada diri sendiri ketika diliputi hawa nafsu. Mengenal Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Merenungi/menghayati kebaikan dan ihsan-Nya serta berbagai nikmat-Nya, baik yang lahir maupun yang batin. Ketundukan hati secara total di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Hati khusyuk kepada-Nya, merendahkan diri, dan membutuhkan-Nya. Menyendiri untuk beribadah, shalat malam, bermunajat, dan memohon ampun, serta bertobat kepada Allah pada akhir malam. Bermajelis dengan muhibbin (orang-orang yang mencintai Allah) dan shiddiqin (orang-orang yang sangat jujur) untuk memetik kebajikan perkataan mereka. Menjauhi sebab-sebab yang menghalangi hati dari Allah. (Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim 3/17 dengan sedikit diringkas dan disesuaikan) Dikutip dari Majalah Qonitah dengan sedikit tambahan.
10 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Unknown

yang muda yang bertaqwa

Yang Muda Yang Bertaqwa Siapa sih yang tidak mau masuk surga? Tapi, perlu kita ketahui bahwa masuk ke dalam surga itu bukan perkara yang mudah kecuali orang yang dimudahkan oleh Allah. Karena, surga itu dikelilingi dengan sesuatu yang kita benci, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan sesuatu yang kita inginkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda yang artinya, “Saat Allah menciptakan surga dan neraka, Allah mengutus Malaikat Jibril ke surga. Allah berfirman kepada Jibril, ‘Pergilah, lihat surga dan apa yang Aku persiapkan bagi penghuninya.’ Jibril pun mendatanginya dan melihatnya serta apa yang dipersiapkan bagi penghuninya. Lalu Jibril pun kembali dan mengatakan, ‘Demi Kemuliaan-Mu, tidak ada seseorang yang mendengarnya kecuali ingin memasukinya. Allah pun meliputi surga dengan sesuatu yang dibenci lalu berfirman kepada Jibril, ‘Pergilah, lihat kepadanya dan apa yang Aku persiapkan bagi penghuninya. Jibril pun kembali melihatnya. Ternyata, surga dipenuhi dengan perkara yang dibenci manusia. Jibril pun kembali dan mengatakan, ‘Demi Kemuliaan-Mu, aku takut tidak ada yang memasukinya satu orang pun.’” [H.R. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i, Syaikh Al-Albani mengatakan, “hasan shahih”]. Ajal Yang Hampir Datang Masihkah berpikir untuk berfoya-foya dan tidak mempersiapkan kehidupan akhirat? Masihkah kita berpikir untuk menunda bertaubat dan memperbaiki diri? Padahal, kita sering mendengar kabar tetangga sebelah mati mendadak tanpa mengidap penyakit. Atau, kita mendengar kabar saudara kita yang kemarin tertawa sekarang berbalut kafan. Siapa yang tahu kapan datangnya kematian kita. Mungkin dua tahun lagi, mungkin satu tahun, satu bulan, satu minggu, besok, atau mungkin beberapa jam lagi. Siapa yang tahu selain Dzat Yang berada di atas ‘Arsy? Allah telah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya di sisi-Nya ilmu hari kiamat dan tentang turunnya hujan, dan Allah mengetahui yang di dalam rahim. Dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang akan dia perbuat, dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia meninggal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Meliputi ilmu-Nya.” [Q.S. Luqman:34]. Tidakkah kita merasa rugi bila ruh kita dicabut sedangkan kita belum sempat beramal shalih? Padahal, amalan shalih adalah bekal kita satu-satunya di akhirat kelak. Bukan harta, bukan pangkat, bukan pula keluarga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, “Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua darinya akan kembali pulang dan tinggal satu saja (yang menemaninya). Keluarga dan hartanya akan kembali, tinggallah amalannya (yang akan menemaninya).” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Dunia hanyalah kesenangan semu yang menipu. Kesenangan di dunia ini bagaikan fatamorgana yang segera pupus. Hendaknya kita berbekal untuk kehidupan sejati kelak. Sungguh, kita di dunia ini hakikatnya hanyalah seperti yang Rasulullah misalkan dalam sabda beliau, “Apa hubungannya antara aku dengan dunia? Aku di dunia ini hanyalah seperti penunggang yang bernaung di bawah pohon lalu meninggalkannya.” [H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani ]. Allah juga berfirman: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megah antara kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.  Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Q.S. Al-Hadid:20]. Berpayung Naungan Allah subhanahu wa ta'ala Pada hari kiamat, matahari hanya berjarak satu mil dari atas kepala kita. Saat itu, manusia berkeringat sesuai dengan dosa-dosanya. Rasulullah pernah bersabda, “Matahari mendekat kepada makhluk pada hari kiamat hingga berjarak satu mil. Maka, manusia pun tercelup ke dalam keringatnya sesuai dengan amalannya. Di antara mereka ada yang tercelup hingga kedua mata kakinya, di antara mereka ada yang tercelup hingga pinggangnya dan di antara mereka ada yang tercelup hingga mulutnya.” [H.R. Muslim]. Saat itu, beberapa golongan orang akan dipayungi oleh Allah. Golongan-golongan itu adalah orang yang disebutkan dalam hadits Rasul berikut ini, “Tujuh golongan yang Allah naungi dengan naungan-Nya, pada hari tiada naungan selain naungan-Nya: seorang imam yang adil; pemuda yang tumbuh dalam peribadahan kepada Allah; laki-laki yang qalbunya senantiasa terkait dengan masjid; dua orang yang saling mencintai, berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; seorang laki-laki digoda oleh perempuan yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun dia justru mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’; seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui yang diberikan oleh tangan kanannya; dan seseorang yang mengingat Allah sendirian, lalu bercucurlah air matanya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Engkau bisa menjadi salah satunya. Engkau bisa menjadi seorang pemuda yang senantiasa dalam peribadahan kepada Allah. Lebih Cepat Lebih Baik Lantas, apa yang engkau tunggu? Apakah engkau menunggu hilangnya nikmat mudamu ini? Apakah engkau menunggu penyesalan di hari tua kelak? Ingatlah, masa mudamu ini tak akan kembali. Maka, pergunakanlah waktu-waktumu di masa muda sebelum masa tuamu menghampiri, merenggut kekuatan dan kemampuanmu. Rasulullah pernah mewasiatkan: اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah sebaik-baiknya lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum pikunmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” [H.R. Al-Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]. Lima nikmat ini adalah nikmat yang baru terasa nilainya ketika kehilangan salah satu darinya. Maka dari itu, Rasulullah ` memerintahkan kita untuk mensyukurinya dengan mempergunakan nikmat-nikmat tersebut untuk beramal. Nah, demikianlah Islam mewasiatkan kepada kita tentang nikmat yang besar ini. Sebagai akhir dari tulisan ini, marilah kita ingat wasiat dari Ibnu Umar, “Jika engkau berada pada sore hari maka jangan menunggu paginya dan jika berada pada pagi hari maka jangan menunggu sorenya.” [diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab Shahih beliau]. Allahu a’lam bish shawab. Penulis : Abdurrahman -hafizhahullah- Sumber : Majalah Tashfiyah
10 tahun yang lalu
baca 6 menit