Nasehat

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

antara anak, orang tua dan ma'had (sebuah renungan)

ANTARA ANAK, ORANG TUA, DAN MA'HAD # Sebuah Renungan # 1. Pada asalnya, anak adalah tanggung jawab orang tua, termasuk dalam hal pendidikan mereka. Ma’had dengan berbagai kekurangan yang ada bukanlah pembimbing utama, melainkan hanya membantu orang tua untuk mencetak anak yang saleh. Ketika anak disekolahkan di ma’had, secara tidak langsung orang tua telah memberikan kepercayaan kepada ma’had. Apabila hal ini disadari, tentu ada beberapa konsekuensi dari rasa percaya orang tua terhadap ma’had. Yang terpenting di antaranya ialah adanya kerja sama yang baik guna mendukung perkembangan belajar anak. 2. Peraturan yang dikeluarkan oleh ma’had adalah salah satu bentuk kasih sayang dan kepedulian ma’had terhadap anak. Perlu diketahui, peraturan tersebut merupakan hasil musyawarah asatidzah yang ada di ma’had, bukan hasil pemikiran individual. Maka dari itu, harus ada kesepahaman dan dukungan dari orang tua agar peraturan yang dibuat dapat berjalan efektif. Contoh, larangan penggunaan motor, hp, dan internet, baik di rumah ataupun di ma’had. 3. Keluarnya ST (Surat Teguran) atau SP (Surat Peringatan) bagi santri adalah hasil musyawarah yang panjang dari asatidzah di ma’had. Oleh karena itu, selayaknya orang tua mendukung dan husnu zhan dengan ketetapan tersebut sehingga bisa menjadi terapi yang efektif bagi anak. Selain sebagai terapi bagi pelaku, ST atau SP juga bermanfaat guna meminimalisir efek buruk yang bisa menulari santri lain yang relatif masih baik perilakunya. 4. Orang tua diminta lebih peduli terhadap proses pendidikan anaknya. Bukankah tujuan orang tua mencari maisyah adalah untuk maslahat keluarga? Adalah sangat naif jika kepentingan mencari maisyah sampai mengalahkan perhatian terhadap pendidikan anaknya. Salah satu indikator rendahnya kepedulian orang tua terhadap anak adalah minimnya pemeriksaan dan penandatanganan Buku Komunikasi. Bahkan, dalam sebuah kelas, tidak sampai 20% orang tua yang mengecek dan menandatangani Buku Komunikasi putra/putrinya. Akhirnya, orang tua . pun tidak tahu perkembangan pelajaran anak, sampai mana hafalan anaknya, apa saja yang terjadi pada anak di sekolah hari itu, pesan apa saja yang disampaikan oleh guru, dll. Karena itu, orang tua diharapkan lebih intensif lagi ikut mengiringi dan memberikan perhatian pada proses pendidikan anaknya, mengecek hasil pelajaran yang didapat di sekolah, dan membantunya jika ada kesulitan dalam memahami pelajaran. Hindarkan kesan bahwa ketika anak sudah masuk ma’had, orang tua sudah tidak lagi bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Ini anggapan yang perlu diluruskan. Di antara bentuk kepedulian terhadap pendidikan anak, orang tua dan guru memberi teladan yang baik dalam kehidupan keseharian. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap sisi kejiwaan anak. Masih terngiang di benak kita, nasihat asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari di masjid al-Anshar ini beberapa tahun yang lalu. Beliau menceritakan, ketika berdakwah di Prancis, ada seorang ayah yang mengeluhkan tingkah laku anaknya. Sebelum menjawab, beliau bertanya terlebih dahulu kepadanya, “Apa yang sudah Anda lakukan untuk kebaikan diri Anda? Sudahkah Anda belajar agama? Sudahkah Anda beribadah dengan benar? Sudahkah… sudahkah….” dst. Ya, kesalehan seorang anak sangat dipengaruhi oleh faktor kebaikan dan kesalehan kedua orang tuanya. Di antara bentuk kepedulian terhadap anak ialah kebijakan yang selaras dari abi dan ummi. Abi dan ummi tidak boleh berselisih tentang sebuah aturan tertentu terkait dengan anak ketika di rumah. Misal, abi melarang anak melakukan sesuatu, tetapi ummi membolehkannya; atau sebaliknya. Efeknya, anak kurang menghormati kedua orang tuanya. Di antara bentuk kepedulian terhadap anak, ketika timbul perbedaan pemahaman antara orang tua dan ma’had tentang sebuah masalah, adalah tidak bijak untuk memberitahu atau membiarkan anak mengetahuinya. Sebab, hanya efek negatif yang akan didapat. Bisa jadi, anak akan berpihak kepada orang tua dan kehilangan kepercayaan terhadap ma’had (baca: guru); ini tentu buruk. Bisa jadi pula, anak akan berpihak kepada guru dan kehilangan kepercayaan terhadap orang tua; dan ini lebih buruk dari yang pertama. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, hendaknya orang tua selalu mendoakan anaknya agar menjadi anak yang saleh. Patut kita sadari, merekalah sebenarnya harta kita. Apabila mereka menjadi anak yang saleh, merekalah yang akan mendoakan kita setelah wafat. Pun demikian bagi para guru, tidak ada yang lebih membahagiakan mereka selain melihat anak didiknya menjadi generasi yang saleh, memiliki adab yang sempurna, muamalah yang baik, serta mengerti hak dan kewajiban sebagai seorang muslim. Tidak ada yang diinginkan dari semua itu, kecuali bahwa para guru juga ikut mendapatkan pahala dari kebaikan yang diamalkan oleh anak didik mereka. (Ringkasan taushiyah al Ustadz Syafruddin pd acara penerimaan rapor Ramadhan 1435 H, tahun lalu) Dikirim dari seorang ikhwan, Al-Akh Abu Abdillah Aris
10 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

terapi untuk menggapai ikhlas

Terapi Untuk Menggapai Ikhlas Oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Keikhlasan di dalam hati tidak dapat berkumpul dengan dua hal yakni ▪ suka dipuji dan disanjung ▪ dan rakus terhadap yang ada pada manusia* kecuali seperti berkumpulnya air dan api, dhobb** dan ikan. Maka apabila jiwamu membisikimu menginginkan keikhlasan, maka pertama kali hadapilah sifat rakus tersebut, hingga bunuhlah dengan menggunakan pisau keputus-asaan. .dan hadapilah pujian dan sanjungan, hingga bersikaplah merasa tidak perlu terhadap keduanya, seperti ketidak-perluan para pecinta dunia terhadap akhirat. Sehingga apabila engkau bisa istiqomah di dalam membunuh kerakusan tersebut, dan (senantiasa) merasa tidak perlu terhadap pujian dan sanjungan, maka keikhlasan akan mudah bagimu. ❓ Jika engkau bertanya: "Dan apa yang bisa memudahkanku di dalam membunuh sifat rakus tersebut dan (memudahkanku untuk) merasa tidak perlu terhadap pujian dan sanjungan?" 👉  Aku jawab: Adapun membunuh sifat rakus tersebut, maka yang memudahkanmu padanya adalah pengetahuanmu yang penuh keyakinan bahwa tidak ada sesuatupun yang diharapkan kecuali perbendaharaannya hanya ada di Tangan Alloh saja, tidak ada selain-Nya yang memilikinya, dan tidak ada yang memberikannya kepada seorang hamba kecuali Dia. Adapun sikap merasa tidak perlu terhadap pujian dan sanjungan, maka yang memudahkanmu padanya adalah pengetahuanmu bahwa tidak ada seorangpun yang pujiannya itu bermanfaat dan membuat semakin bagus, serta (tidak ada yang) celaannya itu membuat celaka dan membuat buruk, kecuali hanya Alloh saja. Seperti yang dikatakan oleh seorang badui kepada Nabi -shollallohu 'alaihi wa sallam : "Sungguh pujianku adalah penghias dan celaanku adalah memperburuk". Maka beliau -shollallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Yang demikian itu (hanyalah) Alloh -Azza wa Jalla-". 💦 Maka jadikan dirimu merasa tidak perlu kepada pujian orang-orang yang pujiannya tersebut tidaklah memperbagus dirimu, dan (merasalah tidak peduli kepada) celaan orang-orang yang celaannya tidaklah memperburuk dirimu. Dan berharaplah pujian (Alloh) yang semua keindahan ada pada pujian-Nya, dan yang semua keburukan ada pada celaan-Nya. Dan seseorang tidak akan mampu melakukannya kecuali dengan sabar dan yakin. 🔓 Sehingga kapan saja engkau kehilangan sabar dan yakin, maka engkau akan seperti orang yang ingin bepergian jauh lewat lautan tanpa adanya kendaraan. Alloh تعالى berfirman: فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُون "Maka bersabarlah, sungguh janji Alloh itu benar. Dan janganlah orang-orang yang tidak yakin itu menggelisahkanmu." Dan Alloh تعالى berfirman: وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُون "Dan Kami jadikan diantara mereka para pemimpin yang mereka itu memberikan petunjuk dengan perintah Kami, tatkala mereka bersabar dan yakin terhadap ayat-ayat Kami." 📖  [ Al-Fawaid hal. 219-220 ] ___________________________ * maksudnya: mengharapkan imbalan dari manusia. Dan makna inilah yang dimaksudkan dengan kata "rakus" pada kalimat-kalimat berikutnya. [ pent.] ** hewan padang pasir yang mirip biawak. [pent.] ˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚˚ 📝  Alih Bahasa: Ibnu Abi Humaidi حفظه الله Untuk fawaaid lainnya bisa kunjungi website : 🌏  www.ittibaus-sunnah.net
10 tahun yang lalu
baca 7 menit