Tamu, Pasti Akan Pergi, Abdullah bin Mas’ud yang mengatakannya. . Kullu ahadin fi haadzihi ad dunyaa dhaifun, wa maaluhu ‘ariyatun, fa adh dhaifu murtahalun wal ‘ariyatu muaddaatun .
“Di kehidupan dunia ini, kita hanyalah tamu. Semua yang dipakai, sebatas pinjaman. Tamu pasti akan pergi sementara barang yang dipakainya harus diserahkan kepada pemilik rumah”
00000_____00000
Marilah membayangkan, Sobat Tasfiyah! Bayangkanlah! Tegakkan punggungmu, arahkan ke depan pandanganmu! Berpikirlah dengan jernih dan jangan diganggu oleh apapun. Bayangkanlah kata-kata berikut ini! Kata-kata yang disebutkan Ibnul Qayyim dalam karyanya ‘ Uddatus Shaabiriin.
Tersebutlah seorang tuan dermawan. Berbaik hati dan suka menolong. Ia men setting dan mempersiapkan rumahnya dengan seindah-indahnya. Semua alat, perkakas dan perabot dilengkapi. Tidak ada satu pun fasilitas yang terlewatkan. Segalanya tersedia.
Siapapun orangnya ia undang datang. Benar! Tuan dermawan itu mengundang semua orang, tanpa terkecuali. Dan semua memang berdatangan memenuhi undangan.
Setiap orang yang masuk ke dalam rumahnya disambut meriah dan penuh keakraban. Semua tamu dimuliakan dan dihormati, tidak dibeda-bedakan. Ada orang datang, dipersilahkan duduk di atas karpet dan permadani. Nampan emas sebagai talam jamuan dipenuhi dengan aneka masakan daging. Di hadapannya dihamparkan semua alat-alat pelengkap yang diperlukan. Ada pelayan, pembantu dan budak yang setia melayani. Selalu siap diperintah.
Tamu berakal, orang yang cerdas, tentulah menyadari, milik siapa perabot dan perangkat rumah itu? Ia pasti mengerti, budak dan pelayan tersebut kepunyaan siapa? Karena ia sadar bila perabot dan perangkat itu milik si tuan rumah, ia hanya menggunakan sepantasnya saja. Budak dan pelayan hanya diminta seperlunya.
Tidak terbersit sedetik pun di hatinya, keinginan untuk memiliki perabot dan perangkat rumah itu. Ia tidak pernah berpikir, walau sekelebatan, untuk menguasai budak dan pelayan tersebut. Sebab dalam kesadarannya, ia hanya seorang tamu.
Bahkan –sebagai bukti akalnya- , ia akan menempati tempat duduk yang telah dipilihkan oleh tuan rumah. Ia pasti menikmati hidangan yang disajikan di hadapannya, tanpa harus menanyakan hidangan apa lagi yang akan dikeluarkan dan dihidangkan? Sebab, ia mengerti benar bahwa tuan rumah adalah seorang dermawan yang pasti memberikan pelayanan terbaik untuk tamu-tamunya.
Bagaimanakah kisah si tamu itu? Ia datang dengan disambut sebagai tamu terhormat. Ia menikmati hidangan dan pelayanan sebagai tamu yang dimuliakan. Dan ia meninggalkan rumah itu dengan kesan yang diagungkan. Tuan rumah tidak akan memandangnya tercela.
00000_____00000
Berbeda dengan tamu yang satu!
Tamu kedua adalah tamu tak tahu malu. Tamu yang tidak tahu diri. Dalam sambutan dan pelayanan, tidak ada bedanya dengan tamu yang sebelumnya. Ia disambut dengan hangat dan dilayani dengan baik.
Hidangan makanan sama-sama berkualitas. Istimewa dan spesial. Semua perabot pelengkap yang pasti diperlukannya sebagai seorang tamu juga dipersiapkan. Budak dan pelayan ada di dekatnya, siap melaksanakan perintah dan permintaannya. Namun, tidak tahu diri tetaplah tidak tahu diri. Sekali tak tahu malu, terus saja ia tak tahu malu.
Ia larut dalam angan-angan kosongnya. Ia mulai berpikir, bahkan terlalu jauh berpikir untuk menguasai rumah itu. Ia berambisi untuk merebut dan memiliki seluruh perabot dan perangkat rumah itu. Bahkan, budak dan pelayan ingin diubahnya menjadi budak dan pelayan kepunyaannya.
Ia memilih tempat duduk semaunya, tidak mengikuti arahan si pemilik rumah. Ia mengambil dan menyembunyikan –sebisa mungkin- , perabot dan perangkat rumah. Setiap kali ada yang disajikan, ia berpikir untuk menguasainya. Ia ingin memiliki untuk dirinya sendiri dan tidak berbagi dengan tamu-tamu yang lain.
Bagaimana dengan tuan dermawan, si pemilik rumah? Tuan dermawan sebenarnya menyaksikan apa yang diperbuat oleh si tamu. Ia melihat dan mengetahui gerak-geriknya. Hanya saja, dermawan sebagai sifatnya, telah membuatnya berlapang dada untuk memaafkan. Namun…
Namun, si tamu masih terus berbuat untuk menjalankan ambisi kotornya. Ia mulai berlagak sebagai si pemilik rumah. Ia posisikan dirinya sebagai tuan rumah. Ia berlaku tidak sopan, melupakan statusnya yang hanya seorang tamu dan sedang dijamu. Kebaikan ia balas dengan keburukan. Kedermawan malah ia bayar dengan ambisi kotor.
Astaghfirullah!
Tuan dermawan, si pemilik rumah, pada akhirnya memerintahkan budak dan pelayannya untuk mengusir tamu yang tidak tahu diri itu. Ia dikeluarkan dari rumah secara terhina. Semua yang ia ambil, dilucuti dan dipaksa untuk mengembalikannya. Ia dipermalukan di hadapan budak dan pelayan rumah. Ia dibenci dan dinilai buruk oleh si tuan dermawan.
00000_____00000
Ibnul Qayyim menyatakan, “ fal yata’ammal al labiibu hadzal mitsaal haqqa at ta’ammul, fa innahu muthaabiqun lil haqiiqah, wallahu al musta’an.
Pesan beliau, “hamba cerdas mesti merenungkan permisalan di atas dengan sebaik-baiknya. Tamu, rumah, hidangan, pemilik rumah dan cerita di dalamnya benar-benar sesuai dengan hakekat kehidupan dunia.”
Al Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah cerita yang dikemas apik oleh sahabat Anas bin Malik .
Putra pertama pasangan Abu Thalhah –ayah tiri Anas- dan ibunya, Ummu Sulaim, meninggal dunia. Karena Abu Thalhah sedang pergi, Ummu Sulaim berpesan kepada seluruh anggota keluarga untuk diam dan tidak menyampaikan kejadian itu kepada Abu Thalhah. Ummu Sulaim yang akan menyampaikannya sendiri kepada sang suami.
Seperti seharusnya, Abu Thalhah yang telah tiba di rumah, setelah menyelesaikan urusannya di luar, benar-benar disambut Ummu Sulaim. Tidak ada tangis, tidak pula teriakan histeris. Ummu Sulaim begitu tegar dan sabar.
Hidangan makan malam telah dipersiapkan, bahkan terasa spesial di banding malam-malam sebelumnya. Ummu Sulaim bersolek secantik-cantiknya. Sesuatu yang dinilai istimewa bila dibandingkan dengan momen-momen sebelum itu. Abu Thalhah dengan senang menyantap hidangan makan malam dan akhirnya sampai juga di atas ranjang. Radhiyallahu ‘anhum
Dirasa telah kenyang. Dirasa telah senang. Saat itulah Ummu Sulaim berbincang, menyampaikan dengan indah tentang kematian putra pertama mereka.
“Suamiku, Abu Thalhah. Bagaimanakah menurut pendapatmu?”, begitulah Ummu Sulaim memulai percakapan.
“Misalnya ada, seseorang menitipkan barang miliknya kepada orang lain. Kemudian si pemilik barang ingin mengambil kembali barangnya. Apakah boleh orang yang dititipi untuk melarang dan menghalang-halanginya?”, tanya Ummu Sulaim.
Abu Thalhah menjawab tegas, “Tentu tidak! Tidak boleh!”
“Nah, kalau begitu. Ikhlaskanlah putramu, wahai Suamiku”, ujar Ummu Sulaim.
Subhaanallah! Abu Thalhah sempat kaget dan terpukul. Namun akhirnya beliau mengajarkan kepada kita sebuah pelajaran berharga, bahwa semua yang berada di dunia ini, sejatinya bukan milik kita. Semuanya adalah milik Allah, Rabb sekalian semesta. Dan kita hanya sebagai tamu-Nya.
Allahu Akbar!
00000____00000
Ah…ingin rasanya mengulang-ulang kata-kata bijak sahabat Abdullah bin Mas’ud di atas. Kullu ahadin fi haadzihi ad dunyaa dhaifun, wa maaluhu ‘ariyatun, fa adh dhaifu murtahalun wal ‘ariyatu muaddaatun .
Di kehidupan dunia ini, kita hanyalah tamu. Semua yang dipakai, sebatas pinjaman. Tamu pasti akan pergi sementara barang yang dipakainya harus diserahkan kepada pemilik rumah.
Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uuun !
Sungguh! Kita semua adalah milik Allah. Dan semua kita pasti akan kembali kepada-Nya. Oleh sebab itu, persiapkanlah sebaik-baiknya diri kita agar saat berjumpa dengan Allah, ridha-Nya dianugrahkan untuk kita.
Amin yaa Mujiibas Saa’iliin. [Ustadz Mukhtar]