Kisah

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah orang yang terakhir masuk surga

DIA PUN AKHIRNYA MASUK SURGA Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc حفظه الله تعالى Sebuah kisah nabawi diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau riwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, satu petikan peristiwa mengharukan dan penggugah semangat bagi para pencari kebahagiaan. lnilah kisah orang terakhir yang keluar dari neraka. Dia pula orang terakhir yang memasuki jannah dengan derajat yang paling rendah. Alkisah, setelah shirath (jembatan) dipancangkan di atas neraka Jahannam, sementara di sisi-sisinya pengait-pengait tajam laksana duri pohon Sa'dan, manusia diperintah untuk menyeberanginya. Terbagilah mereka menjadi 3 golongan besar. Golongan pertama, mereka yang selamat tanpa halangan. Ada yang berjalan secepat kilat, ada yang berjalan sekejap mata, ada yang berlari seperti kuda, dan seterusnya. Mereka berjalan sesuai amalan ketika di dunia. Golongan kedua. mereka yang selamat menyeberangi shirat, namun terluka terkena sambaran-sambaran pengait. Adapun golongan ketiga, mereka adalah orang-orang yang tersungkur ke jurang neraka jahannam. Merekalah orang-orang kafir, kaum munafik, yaitu orang kafir yang menampakkan keislamannya, atau kaum muslimin yang lebih berat amalan keburukannya ketimbang kebaikannya. Selang beberapa waktu, para penghuni neraka yang masih memiliki iman dikeluarkan satu per satu. Ada yang mendapat syafa'at malaikat, para nabi, atau kaum mukminin dari penduduk surga. Demikianlah, banyak dari penduduk neraka dari kalangan pemeluk agama tauhid dikeluarkan. Hingga yang paling terakhirnya adalah seorang yang dikisahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau: إِنِّي لَأَ عْلَمُ آخِرَ أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا وَآخِرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولاً الْجَنَّةَ رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ حَبْوًا فَيَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى فَيَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ قَالَ فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ فَإِنَّ لَكَ مِثْلَ الدُّنْيَا وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا أَوْ إِنَّ لَكَ عَشَرَةَ أَمْثَالِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَقُولُ أَتَسْخَرُبِي؟ أَوْ أَتَضْحَكُ بِي وَأَنْتَ الْمَلِكُ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ قَالَ فَكَانَ يُقَالُ ذَاكَ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً ”Sungguh, Aku tahu seorang penduduk neraka yang paling akhir keluar darinya, seorang penduduk jannah yang paling akhir masuk ke dalam surga. Dialah seorang lelaki yang keluar dari neraka dengan keadaan merangkak. Allah سبحانه وتعالى berfirman kepadanya, ’Pergilah, masuklah engkau ke dalam jannah’ LaIu dia mendatangi jannah. Namun dikhayalkan kepadanya bahwa jannah telah penuh. Maka, dia kembali seraya berkata, ’Wahai Rabb-ku, aku mendapati jannah telah penuh.’ Allah سبحانه وتعالى berfirman kepadanya, ’Pergilah, masuklah engkau ke dalam jannah ! Sekali Iagi dia mendatangi jannah. Namun kembali dikhayalkan bahwa jannah telah penuh. Dia pun kembali seraya berkata, ’Wahai Rabb-ku, aku mendapati jannah telah penuh.’ Allah سبحانه وتعالى berfirman Iagi kepadanya, ’Pergilah, masuklah ke dalam jannah! Sesungguhnya untukmu semisal dunia dan sepuluh kalinya, -atau untukmu sepuluh kali dunia-.’ Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ’Laki-Iaki itu berkata, 'Apakah engkau memperolok-olok aku, padahal Engkau adalah Raja? Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, ’Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tertawa sampai nampak gigi geraham beliau.’ Dan dikatakan bahwa orang itu adalah penduduk surga yang paling rendah derajatnya." [H.R. Muslim]. Subhanallah, inikah penduduk jannah terakhir? Allah سبحانه وتعالى berikan kenikmatan kepadanya semisal dunia dan sepuluh kali lipatnya! Betapa indahnya jannah. Andai kita diberi semisal kerajaan Nabi Sulaiman عليه السلام -yang merupakan sebagian kecil dari kenikmatan dunia- andai itu yang Allah سبحانه وتعالى berikan di dunia ini, niscaya sudah merupakan kenikmatan besar. Lalu apakah terbayang kenikmatan penduduk jannah yang paling rendah ini❓ Demi Allah, tidak terbayang betapa besar dan indahnya. Pembaca Qudwah yang mulia, kisah di atas diriwayatkan pula dengan lebih rinci dalam riwayat Iain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa orang yang terakhir masuk surga adalah orang yang setiap kali melangkah, ia tersungkur dan dihanguskan oleh api neraka. Tatkala orang itu telah melewati neraka, dia menoleh ke arah neraka lalu berkata, ”Maha Suci Allah yang telah menyelamatkanku darimu (neraka), sungguh Dia telah memberiku sesuatu yang tidak pernah Dia berikan kepada orang lain dari umat yang pertama dan umat yang terakhir.” [H.R. Muslim] Sesungguhnya ia adalah manusia terendah dari penduduk jannah. Namun, ia merasa dialah orang yang paling beruntung dan tidak ada yang lebih beruntung darinya. Demi Allah, dia telah memperoleh keberuntungan yang hakiki. Dia diselamatkan dari neraka dan  dimasukkan ke dalam jannah. Allah سبحانه وتعالى berfirman, فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ "Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." [Q.S. Ali Imran: 185] Bukan kepingan emas yang menjadi patokan kebahagiaan. Bukan pula ekor-ekor sapi dan luasnya perkebunan. Semua itu hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melanjutkan sabda beliau, ”Kemudian orang tersebut ditunjukkan pada sebuah pohon. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabb❗️Dekatkan aku dengan pohon ini agar aku bisa berteduh dan meminum airnya.’ Maka Allah سبحانه وتعالى berfirman, 'Wahai anak Adam, jika Aku kabulkan permintaanmu, mungkin engkau akan meminta lagi yang Iain.’ Orang itu menjawab, ’Tidak. Wahai Rabbku.’ Allah Ialu mengambil janji darinya untuk tidak meminta lagi yang lain dari Allah. Dan Allah سبحانه وتعالى menerima alasan orang itu yang telah melihat sesuatu, kemudian ia tidak sabar untuk tidak memintanya. Allah سبحانه وتعالى pun mendekatkannya ke pohon tersebut. Sehingga ia berteduh dan meminum airnya. Tinggallah orang ini di bawah pohon pertama sekehendak Allah سبحانه وتعالى. Kemudian orang itu ditunjukkan kepada pohon lain yang Iebih bagus dari pohon yang pertama. Orang itu berkata, ”Wahai Rabbku. Dekatkanlah diriku kepada pohon itu. Agar aku bisa meminum airnya serta berteduh di bawahnya, dan aku tidak akan meminta yang Iain lagi.” Maka Allah سبحانه وتعالى berfirman, ’Wahai anak Adam, bukankah engkau telah berjanji tidak akan meminta yang lain? Jika Aku dekatkan dirimu ke pohon itu, mungkin engkau akan meminta lagi yang lain.' Kembali Allah سبحانه وتعالى menerima atasan orang itu. Karena Dia mengetahui ketidaksabarannya. Allah سبحانه وتعالى pun dekatkan orang tersebut kepada pohon kedua, kemudian ia berteduh dan meminum mya. Kali yang ketiga orang itu ditunjukkan pada sebuah pohon di pintu surga. Pohon yang lebih bagus dari dua pohon sebelumnya. Kemudian orang itu berkata, ”Wahai Rabbku! Dekatkanlah aku kepada pohon itu agar aku bisa berteduh dan meminum airnya. Aku tidak akan meminta yang Iain lagi kepada-Mu.” Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ”Hai manusia! Tidakkah engkau telah berjanji kepada-Ku untuk tidak meminta yang Iain lagi dari-Ku?’ Orang itu menjawab, ”Ya, wahai Rabbku❗️ Kali ini saya tidak akan meminta yang lain lagi kepada-Mu.” Allah سبحانه وتعالى menerima alasan orang itu. Karena Dia mengetahui ketidaksabarannya. Allah سبحانه وتعالى pun mendekatkannya kepada pohon tersebut. Ketika Allah سبحانه وتعالى mendekatkan orang itu kepada pohon tersebut, orang itu mendengar suara penghuni jannah. Subhanallah, kenikmatan jannah di depan mata. Suara penduduk jannah yang penuh kebahagiaan terdengar di telinga orang itu, hingga ia pun tidak sabar untuk berkata kepada Rabbnya, sebagaimana Rasulullah ﷺ kisahkan, "Wahai Rabbku❗️ Masukkanlah aku ke dalam jannah" Allah سبحانه وتعالى berfirman, ”Hai Anak Adam. Mengapa engkau mengingkari janjimu pada-Ku❓ Ridhakah engkau jika Aku memberimu dunia ditambah dengan yang semisalnya"' Betapa besarnya kasih sayang Allah. Dia tetapkan orang itu sebagai penduduk jannah. Seakan tak percaya, orang itu menjawab, ”Wahai Rabbku! Apakah Engkau mengolok-olok aku, sedangkan Engkau adalah Rabbul'alamin?" Kemudian Ibnu Mas'ud رضي الله عنه tertawa. Lalu berkata, "Tidakkah kalian bertanya tentang apa yang membuatku tertawa?" Mereka menjawab, “Mengapa engkau tertawa?" Ibnu Mas’ud رضي الله عنه menjawab, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dahulu juga tertawa. Para shahabat رضي الله عنهم kala itu pun bertanya, ”Apa yang membuat Anda tertawa wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, ”Karena tertawanya Penguasa alam semesta ketika orang tersebut mengatakan kepada Allah, ’Apakah Engkau menertawakan saya sedangkan Engkau adalah Penguasa alam semesta?’ Allah سبحانه وتعالى berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak menertawakanmu. Tetapi Aku Maha Kuasa atas apa yang Aku kehendaki." Hadits yang panjang ini diriwayatkan oleh Imam Muslim رحمه الله dalam kitab Shahih beliau. Faedah Kisah: 1. Kisah yang agung ini menunjukkan besarnya kenikmatan jannah. Penduduk jannah yang terakhir saja mendapatkan semisal dunia dan dilipatkan sepuluh kali lipatnya. Lalu bagaimana dengan penduduk jannah yang di atasnya? Bagaimana pula dengan derajat tertinggi yang telah Allah sediakan bagi kekasihnya, Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wasallam? Benarlah firman Allah سبحانه وتعالى: فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ”Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”  [Q.S. As-Sajdah: 17]. 2 Kisah ini menunjukkan bahwasannya jannah memiliki tingkatan-tingkatan. 3 Hadits ini salah satu dalil dari keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, bahwa penduduk neraka yang masih memiliki iman walaupun seberat dzarrah tidak akan kekal di neraka. Allah سبحانه وتعالى berfirman: فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.” [Q.S. Az-Zalzalah: 7]. 4. Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap kaum Khawarij dan Mu'tazilah yang berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka dan tidak akan keluar darinya selama-lamanya. Kisah ini dengan tegas menetapkan keluarnya orang yang sudah masuk ke dalam neraka selama dia masih muslim, walaupun termasuk pelaku dosa besar. 5. Hadits ini menetapkan beberapa sifat Allah سبحانه وتعالى. Di antaranya sifat-sifat itu adalah AI-Kalam, Allah سبحانه وتعالى maha mampu berbicara. 6. Hadits ini menetapkan bahwasannya ahlul jannah berbicara dengan Allah dan mereka mendengar pembicaraan Allah سبحانه وتعالى. 7. Di antara sifat yang juga ditetapkan dalam hadits ini adalah sifat tertawa bagi Allah سبحانه وتعالى-. Tentu saja dalam menetapkan sifat-sifat Allah سبحانه وتعالى, harus diiringi dengan keyakinan bahwa semua sifat Allah adalah sifat yang maha sempurna dan maha agung. Tidak ada satu makhluk pun yang serupa dengan sifat-sifat Allah. 8. Hadits ini adalah dalil tentang adanya tempat di antara jannah dan neraka. Seperti orang yang terakhir keluar dari neraka, dia telah selamat dan keluat dari neraka, namun masih berada di luar jannah. Sumber || Majalah Qudwah Edisi 05 Grup Whatsap أتباع السنة
5 tahun yang lalu
baca 9 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah kematian al husain bin ali yang sebenarnya

Bismillah, artikel ini merupakan lanjutan dari BIOGRAFI YAZID BIN MUAWIYAH KISAH KEMATIAN AL HUSAIN BIN ALI PEMBERONTAKAN YANG DILAKUKAN OLEH AL HUSAIN DAN PEMBUNUHAN TERHADAPNYA Al Husain bin Ali berada di Madinah ketika Yazid bin Muawiyah memegang tampuk kekuasaan. Lalu Yazid mengirim surat kepada Al Walid bin Utbah, gubernur Madinah yang diangkatnya, agar mengambil baiat (sumpah setia) dari sejumlah orang yang menolak membaiatnya, mereka adalah Al Husain bin Ali, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Az Zubair radhiyallahu anhum. Ketika Al Husain bin Ali mengetahui hal ini, beliau menuju Makkah dan tinggal di sana. Semenjak itu, sebagian kaum muslimin ada yang mengikuti beliau dan memberikan kepercayaan padanya. Mereka juga menggantungkan sejumlah harapan kepadanya. Dengan demikian para penyulut api fitnah berbahagia karena mulai ada perpecahan di antara kaum muslimin. Mereka mulai mengambil langkah untuk memanfaatkan keadaan dalam rangka memecah belah barisan kaum muslimin. SIKAP PENDUDUK KUFAH TERHADAP AL HUSAIN Penduduk Kufah dari kalangan penyulut api fitnah berbahagia ketika mengetahui bahwa Al Husain bin Ali tidak berbaiat kepada Yazid dan telah tinggal di Makkah. Sekian angan-angan telah merayap dalam jiwa jahat mereka. Mereka berusaha mengetahui keberadaannya di Makkah sebagaimana seorang yang tersesat mencari bintang penunjuk arah dan tempat berlabuh yang amanah. Sejumlah surat mulai mereka layangkan kepadanya untuk mengharap kedatangannya dari Makkah menuju kepada mereka (di Kufah). Penduduk Kufah menampakkan bahwa mereka telah siap siaga untuk bergabung dengannya dan memberontak kepada Bani Umayyah sampai Al Husain memegang kekuasaan karena beliau -menurut mereka- adalah orang yang paling berhak dan orang yang tepat untuk memegang kekuasaan. Mereka tidak peduli dengan sekian bencana dan pertumpahan darah yang akan terjadi karena perbuatan yang mereka lakukan. Al Husain mengutus anak pamannya, yaitu Muslim bin Aqil untuk menjadi penunjuk jalan dan untuk mencari tahu kenyataan yang ada. Sampailah Muslim bin Aqil di Kufah. Para penduduknya menyambutnya dengan baik. Sejumlah orang yang mendekati 18.000 orang berkumpul di sekitarnya. Mereka semua mendukung Al Husain dan menjanjikan kepadanya bantuan. Ketika melihat hal yang demikian, Muslim bin Aqil segera menulis surat kepada Al Husain tentang keadaan yang beliau saksikan. Kemudian Al Husain memantapkan pilihan untuk menuju Kufah. Akan tetapi begitu cepatnya penduduk Kufah meninggalkan Muslim bin Aqil, yaitu ketika Khalifah Yazid memutuskan pernggantian An-Nu'man bin Basyir sebagai gubernur Kufah -beliau adalah seorang pemimpin yang lebih condong kepada sifat pemaaf dan lemah lembut- diganti dengan Ubaidullah bin Ziyad seorang yang berperangai keras dan bengis dalam menjaga pamor negara dan dalam menebarkan keamanan dan ketertiban. Tindakan gubernur yang kejam dan keras nampak jelas ketika ia menghalau pendukung Muslim bin Aqil dimana dia mampu menangkap pemimpin-pemimpin mereka sehingga yang lain pun menyingkir dari Muslim bin Aqil. Akhirnya, ia menangkap Muslim bin Aqil dan memerintahkan untuk dibunuh. AL HUSAIN BERANGKAT MENUJU KUFAH Al Husain bin Ali memenuhi permintaan penduduk Kufah. Keinginannya untuk menuju Kufah semakian kuat ketika surat Muslim bin Aqil sampai kepadanya. Surat itu dikirim sebelum Muslim dibunuh. Muslim bin Aqil mengatakan kepada Al Husain bahwa 18.000 orang telah berbaiat kepadanya, mempersiapkan diri dan nyawa mereka untuk membelanya dan menghadap musuh-musuhnya. Para pemberi nasihat yang sejati telah memberikan nasihat kepada Al Husain dan memohon dengan sangat agar beliau tetap tinggal di Makkah. Mereka juga menjelaskan kepadanya makar penduduk Iraq dan apa yang mereka perbuat terhadap ayahnya dahulu, yaitu Ali bin Abi Thalib. Juga menjelaskan bahwa apa yang akan beliau lakukan akan memecah belah persatuan dan menyulut api fitnah. Diantara orang yang memberikan nasihat kepada beliau adalah Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Sa'id Al Khudri, Abu Waaqid Al Laitsi, Jabir bin Abdillah, dan selain mereka radhiyallahu 'anhum. Akan tetapi beliau telah terpengaruh oleh surat yang begitu banyaknya dari penduduk Kufah. Oleh karena itu, beliau tetap bersikeras untuk pergi menuju Kufah sebagaimana telah kami terangkan. Al Husain keluar dan berangkat menuju Kufah bersama keluarganya, anak-anaknya, dan sejumlah rekan-rekannya. Mereka semua berjumlah kurang lebih 80 orang. Al Farazdaq (penyair terkenal) di tengah perjalanan menemuinya lalu Al Husain menanyainya tentang kondisi penduduk Makkah. Dia menjawab, "Hati mereka bersamamu, akan tetapi pedang mereka bersama Bani Umayyah, sedangkan takdir telah turun dari langit. Allah ta'ala mengerjakan apa yang Dia kehendaki." Namun beliau tetap melanjutkan langkahnya dan tidak memperdulikan isyarat yang disampaikan oleh Al-Farazdaq berupaya marabahaya yang telah menanti baik dari penduduk Irak maupun dari kalangan Bani Umayyah. Al Husain juga berjumpa dengan seorang yang baru pulang dari Kufah, namanya Bukair bin Tsa'labah. Beliau mengetahui darinya bahwa kondisi di Kufah telah berubah, pendukung-pendukung Al Husain telah menjauh, mereka enggan menolongnya dihadapan keganasan Ubaidullah bin Ziyad dan kekuatannya. Juga tentang kematian Muslim bin Aqil. Tidak lagi di Kufah kekuatan penolong Al Husain. Ketika itu, sebagian rekannya mengatakan kepada Al Husain : "Kami meminta kepadamu dengan nama Allah demi dirimu dan keluargamu agar kembali ke arah kamu datang (Makkah). Sesungguhnya tidak ada di Kufah penolong dan pembantu bagimu." Akan tetapi saudara-saudara Muslim bin Aqil mengatakan : "Demi Allah, kami akan tetap melanjutkan perjalanan sampai kami berhasil mengambil hak kami atau merasakan apa yang dirasakan saudara kami." Al Husain mengatakan, "Tidak ada lagi kehidupan yang baik setelah mereka." Beliau tetap melanjutkan perjalanannya bersama sekelompok kecil orang yang telah bersamanya (semenjak meninggalkan Makkah). AL HUSAIN SAMPAI DI KARBALA DAN KEMATIANNYA Sampailah Al Husain di Karbala dekat dengan Kufah. Mereka dihadapi oleh pasukan besar yang telh disiapkan oleh Ubaidullah bin Ziyad yang dipimpin oleh Umar bin Sa'd bin Abi Waqash. Tidak ada perbandingan antara pasukan Al Husain yang jumlahnya tidak mencapai 100 dengan lawannya yang mencapai 4.000 orang. Juga tidak selayaknya dikatakan sebagai perang antara dua pasukan. Terjadilah pertemuan antara Al Husain denegan Umar bin Sa'd. Al Husain menawarkan beberapa opsi sebagai jaminan untuk menahan perang dan saling membunuh. Diriwayatkan bahwa beliau mengatakan: "Pilihlah salah satu dari tiga pilihan yang aku ajukan.  .Aku kembali ke tempat yang aku datang darinya. Atau aku meletakkan tanganku (baiat) terhadap Yazid lalu ia akan menentukan pendapatnya. Kalian menempatkan aku di perbatasan kaum muslimin yang kalian inginkan, lalu aku menjadi salah satu dari kalangan kaum muslimin yang ada di sana, hak dan kewajibanku sama dengan mereka." Umar bin Sa'd senang dengan hasil yang menggembirakan ini, yang sebelumnya beliau telah enggan dan benci untuk memerangi Al Husain kalau saja Ibnu Ziyad tidak mengancamnya dengan ancaman bunuh. Umar dan pasukannya shalat di belakang Al Husain (menjadi makmumnya-pen) ketika mereka menunggu jawaban dari Ibnu Ziyad. Beliau juga segera mengirimkan surat kepada Ibnu Ziyad menawarkan apa yang telah beliau dapatkan. Ketika Ibnu Ziyad membaca suratnya, dia mengatakan : "Ini adalah sebuah surat dari seorang pemberi nasihat bagi pemimpinnya, dan seorang yang sayang terhadap kaumnya. Ya aku terima (tawaran ini). Yang demikian adalah sebuah petunjuk yang sangat jelas atas bagusnya niatan mereka dan tidak adanya keinginan pada diri mereka untuk menyulutkan api fitnah dan perselisihan. Akan tetapi, seorang provokator / penggerak kejahatan dan fitnah yang disebut dengan Syamr bin Dzil Jusyan mengubah pemikiran yang bagus ini. Dia mengatakan kepada Ibnu Ziyad :  "Apakah engkau mau menerima tawaran ini darinya, padahal dia telah masuk ke wilayahmu dan seudah berada di hadapanmu? Demi Allah, bila dia (Al Husain) pergi meninggalkan negerimu dalam keadaan tidak meletakkan tangannya di tanganmu, maka dia adalah seorang yang lebih berhak untuk mendapatkan kekuatan dan kedudukan. Sedangkan engkau adalah orang yang lemah dan loyo. Oleh karena itu, jangan engkau berikan kedudukan ini kepadanya. Karena hal ini akan menjadi kelemahan bagimu. Hendaklah engkau memutuskannya dan pasukannya sesuai dengan hukummu. Bila engkau menghukum mereka, maka engkau adalah penguasa yang memiliki hukum. Bila engkau mengampuni mereka yang demikian adalah hakmu." Ibnu Ziyad pun terpengaruh oleh pandangan laki-laki jahat lagi pendosa ini. Kemudian dia mengirim utusan kepada Umar bin Sa'd dengan apa yang diusulkan laki-laki tadi. Yang demikian adlaah kesalahan dari Ibnu Ziyad, juga bentuk kesewenangan dan kezhalimannya. Ibnu Sa'd melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Ibnu Ziyad, meminta kepada Al Husain untuk menyerah tanpa syarat sampai kemudian Ibnu Ziyad yang akan memutuskannya. Akan tetapi Al Husain tidak menerimanya karena belia berkeyakinan bahwa yang demikian adlaah kehinaan dan kerendahan. Sehingga peperangan dan saling membunuh harus terjadi. Pada hari kesepuluh bulan Muharram 61 H berkecamuklah perang antara pasukan Iraq yang berjumlah lebih dari 4.000 personil dengan pengikut Al Husain yang tidak lebih dari 80 orang. Buku-buku sejarah telah mencatat jiwa kesatria yang ditunjukkan oleh pengikut Al Husain. Beliau meminta kepada mereka (para pengikutnya) agar meninggalkanna dan mencari jalan selamat sendiri-sendiri. Akan tetapi mereka tidak setuju dengan permintannya dan tetap berada di sisi beliau mengorbankan nyawa mereka di hadapannya satu persatu. Tidak ada satupun di antara mereka yang tewas kecuali dalam keadaan tegar menghadapi lawan, tidak lari, mencurahkan segenap kekuatannya dan melepaskan diri mereka dari tanggung jawab di hadapan Allah. Demikianlah, mereka jatuh meninggal satu per satu di hadapan Al Husain hinggal beliau tinggal sendirian. Meskipun demikian beliau tidak mau tunduk terhadap lawannya, bahkan yang beliau lakukan adalah menghunus pedangnya dan berperang sebagaimana seorang penunggang kuda yang ahli dan pemberani. Sampai pada akhirnya beliau gugur di hadapan sejumlah tebasan pedang yang berturut-turut menebasnya. Juga di hadapan kekuatan besar yang mengepungnya dari segala arah. Pasukan Ibnu Ziyad yang meninggal berjumlah 87 orang. Al Husain meninggal pada usia 57 tahun. Tidak ada dari pengikutnya yang selamat kecuali lima orang, yaitu : anaknya yang bernama Ali Zainal Abidin. Ketika itu beliau sedang sakit sehingga tidak bisa ikut hadir dalam peperangan. Bibinya yang bernama Zainab binti Ali, adiknya yang bernama Umar, dan dua saudara perempuannya yang bernama Fathimah dan Sukainah. Umar bin Sa'd mengirim kepala Al Husain dan para pengikutnya kepada Ibnu Ziyad. Kemudian kembali ke Kufah dengan membawa anak-anak Al Husain. Ibnu Ziyad memberikan pemuliaan dan pelayanan yang baik terhadap mereka. Lalu Ibnu Ziyad mengirim mereka ke Syam bersama kepala Al Husain. Ketika Yazid melihat mereka, bercucuran air matanya sampai mengatakan : "Sebenarnya aku telah senang terhadap ketaatan kalian tanpa pembunuhan terhadap Al Husain. Akan tetapi semoga Allah melaknat Ibnu Sumayyah (yang dimaksud adalah Ubaidullah bin Ziyad), demi Allah kalau saja aku yang menghadapinya, maka sungguh aku akan memaafkan mereka." Yazid memerintahkan kepada kerabat Al Husain yang wanita untuk masuk ke rumahnya. Dan anak-anak Al Husain dimasukkan dalam tanggungannya. Kaum wanita dari kalalangan Bani Umayyah berkabung atas jenazah Al Husain selama tiga hari dan juga ikut merasakan musibah yang menimpa keluarganya. Kemudian Yazid menjamu mereka semua dengan baik dan memberikan harta yang banyak kepada mereka, selanjutnya beliau memulangkan mereka ke Madinah. Tidak diragukan lagi bahwa peristiwa terbunuhnya Al Husain bin Ali di Karbala adalah sebuah tragedi yang menggoncang kerajaan Bani Umayyah dan mengancam kekuasaannya. Kalangan yang dengki dan benci terhadap Islam dari kelompok Syiah Rafidhah dan yang lainnya menjadikan peristiwa ini sebagai peluang untuk mengobarkan api fitnah dan menanamkan rasa kedengkian di kalangan kelompok mereka sendiri sampai-sampai gugurnya Al Husain bagi mereka adalah lebih besar daripada musibah meninggalnya Rasulullah, pembunuhan Umar, Utsman, dan Ali. Mereka (sekte Rafidhah) mengadakan peringatan kematian Al Husain pada tiap tahun sehingga mereka melakukan sekian banyak kejelekan dan celaan terhadap para sahabat. Mereka juga mencaci dan mencela Bani Umayyah, disertai dengan membuat sekian kedustaan dan kebohongan yang bisa membuat rambut kepala beruban (sebelum waktuna-pen). Sampai kemudian mereka menjadi sumber fitnah yang terjadi di kalangan Bani Umayyah dan sebab utama lemahnya kerajaan Bani Umayyah di hadapan musuh-musuhnya. Bahkan mereka (Syiah Rafidhah) menjadi sumber fitnah (huru-hara) dan penyimpangan  di sepanjang masa. Sekte ini berhasil menancapkan kuku-kuku makarnya. Mereka mengubah sejarah dan sejumlah sunnah (hadits) dan memenuhi keduanya dengan sekian banyak kedustaan dan kepalsuan. Semoga Allah menjaga kaum muslimin dari kejahatan Syiah Rafidhah dengan apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Dikutip dari Buku Trilogi Al Khilafah Al Islamiyah Penerbit Hikmah Ahlussunnah, 2018
5 tahun yang lalu
baca 11 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi yazid bin muawiyah

YAZID BIN MU'AWIYAH RAHIMAHULLAH (60 H - 64 H) Beliau bernama Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan Shakr bin Harb bin Umayyah. Pemimpin (amir) kaum mukminin. Kunyahnya adalah Abu Khalid Al Umawy. Lahir tahun 25 H. Dibaiat sebagai khalifah ketika ayahnya masih hidup untuk kemudian memegang urusan pemerintahan sepeninggalnya. Penobatannya sebagai penguasa ditegaskan lagi setelah ayahnya meninggal pada pertengahan bulan Rajab tahun 60 H. Kekuasaan beliau pegang sampai meninggal pada tanggal 14 Rabi'ul Awwal, 64 tahun setelah Rasulullah hijrah. Beliau adalah orang pertama yang memerangi Konstantinopel pada tahun 49 H. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : أول جيس يغزو مدينة قيصر مغفور لهم "Pasukan pertama yang memegang kota Kaisar adalah orang yang diampunkan (dosa-dosa) mereka." HR. al-Bukhari) Yazid telah meriwayatkan sejumlah hadis dari ayahnya dan telah meriwayatkan dari Yazid yaitu Kholid dan Abdul Malik bin Marwan. Yazid disebutkan oleh Abu Zur'ah ad-Dimasyqi dalam kitabnya pada tingkatan tertinggi dari kalangan tabi'in, yang tingkatan ini berada tepat di bawah tingkatan sahabat. Beliau adalah seorang yang pemurah, lemah-lembut, fasih berbahasa, pemberani dan seorang yang bagus pandangannya dalam hal pemerintahan. Namun beliau bukanlah orang yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Juga tidak luput dari perbuatan mengikuti hawa nafsu pada keadaan tertentu. Semoga Allah ta'ala memberikan ampunan kepada kita dan beliau. Banyak hadis, riwayat, dan kisah-kisah berisi celaan terhadap Yazid rahimahullah dan pengkaburan kebaikan kehidupannya. Kebanyakan hadis, riwayat, dan kisah tersebut adalah kedustaan dan isu-isu yang dibuat oleh Syiah rafidhah dikarenakan kedengkian mereka terhadap Bani Umayyah dan juga terhadap sebagian sahabat radhiyallahu anhum. Sebagian lainnya, sanadnya lemah dan tidak sah. Diantara periwayatan dusta mereka adalah tuduhan bahwa beliau adalah pemimpin khamr, meninggalkan salat, dan mabuk oleh pelampiasan syahwat yang diharamkan. Muhammad bin Ali bin (yang dikenal dengan Ibnul Hanafiyah) mempersaksikan keterlepasan diri Yazid dari perkara ini ketika orang-orang yang membangkang terhadapnya dari penduduk Madinah menuduhnya demikian. Beliau mengatakan, "Aku tidak pernah melihat pada dirinya perkara yang kalian tuduhkan. Aku pernah berada di sisi-nya dan tinggal dekat dengannya. Maka yang aku lihat adalah dia seorang yang senantiasa menjaga salat, semangat melakukan amalan kebaikan, bertanya tentang fiqih, dan senantiasa berpegang dengan sunnah". Yazid bin Muawiyah diuji dengan 3 fitnah / huru-hara yang terjadi pada masa pemerintahannya. Ketiga fitnah ini dijadikan sebagai kesempatan emas oleh orang-orang yang dengki dari kalangan Syiah rafidhah dan selainnya sebagai bahan untuk memburukan pamornya dan pamor Bani Umayyah. Juga sebagai bahan untuk mencela sebagian sahabat. Tiga fitnah diatas adalah . Pemberontakan yang dilakukan oleh Al Husein dan pembunuhan terhadapnya. Pemberontakan yang dilakukan oleh Penduduk Madinah, pembatalan baiat mereka, dan tragedi harrah. Pemberontakan yang dilakukan oleh Abdullah bin Az-Zubair dan pengepungan kota Mekkah . Ketiga peristiwa diatas akan kita bahas secara singkat dengan harapan kebenaran yang akan tampak. insyaallah bersambung... nantikan artikel terbarunya di Atsar ID. Sumber : Buku Trilogi Al Khilafah Al Islamiyah. Penerbit : Hikmah Ahlussunnah
5 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : ya allah, rahmatilah beliau

Ya Allah, Rahmatilah Beliau kisah nyata seorang anak yatim Saat itu aku berusia 9 tahun. Aku tinggal bersama ayah, ibu, dan seorang adik yang usianya baru menginjak 2 tahun. Kami hidup bahagia di sebuah rumah sederhana. Ayah dan ibu menyayangi dan mengasihi kami. Hidup terasa indah di dalam sebuah rumah tangga yang penuh kedamaian dan kerukunan. Namun, dengan takdir-Nya keindahan itu tampak tak lestari kurasakan. Suatu hari, awal dari segala kesedihan itupun menghampiri keluarga kami. Saat itu Ayah mengeluh sakit di bagian betis kaki sebelah kanan. Sampai sekarang aku tak tahu penyakit apa yang menimpa beliau ketika itu. Aku hanya bisa berdoa demi kesembuhannya. Yang aku banggakan pada diri beliau adalah kesabarannya dalam menerima musibah tersebut. Selama sakitnya yang pertama selama kurang 8 hari itu, beliau tetap melaksanakan salat lima waktu di masjid. Sekarang aku baru tahu, semestinya waktu itu ada keringanan bagi seorang yang sakit seperti ayah untuk tidak menghadiri salat berjamaah di masjid. Tapi begitulah, karena kesabarannya dalam menerima musibah, menjadikan beliau lebih memilih salat di masjid dengan menahan sakit. Wallahu a'lam. Alhamdulillah, setelah 8 hari berlalu, beliau tampak lebih sehat. Ayah pun tampak gembira mengabarkan kepada kami betapa rasa sakit pada kakinya telah sirna. Betapa akupun merasakan kegembiraan itu. Benakku yang masih sederhana waktu itu merasa lapang cukup dengan hanya melihat keadaan ayah dan ibuku sehat wal afiat. Melihat mereka tersenyum, bercengkrama, berbincang-bincang santai sungguh nyaman perasaan ini. Namun sekali lagi, tampaknya saat itu aku memang sedang mendapatkan giliran untuk merasakan ujian dari-Nya seiring dengan ujian yang menimpa ayahku. Baru saja kemarin merasakan perkembangan yang membaik, pada hari ke-9 sejak sakitnya, menjelang subuh hari itu, Ayah merasakan sakit kembali. Kali ini beliau mengeluhkan rasa sakit di dada sebelah kiri. Pagi itu sedang turun hujan, sehingga kami melaksanakan salat berjamaah di rumah. Setelah salat usai, Ayah beranjak ke kamar untuk istirahat dikarenakan rasa sakit yang sangat. Aku, adik, dan ibu merasa sedih dan cemas. Melihat tubuh Ayah mulai menggigil, ibu dengan tergopoh-gopoh segera mengenakan pada beliau jaket, kaos dan imamah. Aku dan adik hanya bisa berdoa. Kami merasa semakin bersedih dan khawatir. . Tidak berapa lama, Ayah tampak tertidur. Kira-kira waktu menunjukkan pukul 07.00, akupun berkemas-kemas untuk berangkat sekolah. (Kejadian selanjutnya dikisahkan kepadaku oleh ibu, karena aku berada di sekolah). Ibu bertutur, ketika waktu menunjukkan pukul 08.00, beliau membangunkan ayah sambil menyampaikan, "Bi, bengkelnya mau di buka apa nggak? Udah jam 08.00." Iya, jam 08.00 adalah waktu bukanya bengkel Ayah.  Waktu itu bengkel Ayah sedang jaya-jayanya, sampai-sampai karyawan beliau waktu itu berjumlah belasan orang. Bahkan sebagian dari mereka menginap di rumahku karena jauhnya tempat tinggal mereka. "Iya, buka aja. Itu suruh aja anak bengkel membukanya. Ini badan saya juga udah enakan. Sebentar lagi insya Allah nyusul. Mau salat dulu," demikianlah jawab ayah. Mendengar Ayah sudah merasa lebih sehat, ibu sangat bersyukur dan senang.  Masih ibuku yang berkisah, beberapa saat kemudian, Ayah bangkit dari pembaringannya menuju kamar mandi. Tidak disangka, sudah setengah jam berada di dalam kamar mandi, Ayah belum keluar. Maka di ketuklah pintu kamar mandi oleh nenek yang kebetulan juga ingin masuk kamar mandi. Akan tetapi tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara air yang mengalir deras dari keran dan suara nafas terengah-engah. Di tengah kepanikannya, nenek pun segera memanggil ibu dan beberapa karyawan bengkel. Maka mereka pun segera berusaha mengetahui apa yang terjadi. Ternyata mereka melihat di lubang jendela, Ayah tergeletak di bawah kran yang mengalir deras. Salah seorang karyawan Ayahku bersegera masuk ke kamar mandi melalui jendela sehingga berhasil membawa keluar ayah dan membawanya ke puskesmas terdekat.  Sesampainya di puskesmas, dokter dan para perawat segera bertindak cepat untuk melakukan pertolongan pertama dengan berusaha mencoba memasang infus dan oksigen. Namun, qadarullah wa masyaafa'ala, takdir seluruhnya di tangan Allah, manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Ketika hendak dipasang di tubuh Ayah, alat-alat tersebut tidak bisa masuk. Melihat ini, dokter pun segera merujuk ayah untuk ditangani rumah sakit di kota terdekat. Jarak Rumah Sakit kota terdekat dari puskesmas sekitar satu jam perjalanan dengan menggunakan mobil.  Mobil ambulans milik puskesmas segera keluar dari garasi, kemudian Ayah segera dimasukkan ke dalamnya dan mobil pun melaju kencang. Ddi dalam mobil, kondisi ayah semakin memburuk. Masih setengah perjalanan, nafas ayah tampak tersengal-sengal. Beberapa pengiring yang ikut menyertai ayah dalam mobil ambulans pun segera menalqinnya. Begitulah, takdir-Nya ternyata menetapkan nyawa Ayah harus dicabut di dalam mobil itu. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, malaikat maut menjemput nyawa Ayahku.  Akhirnya mobil ambulans pun segera putar balik menuju ke rumah. Pukul 10.00 wib mobil ambulans tiba di rumah. Mengetahui Ayah meninggal, Ibu seketika itu jatuh pingsan. Sedangkan, aku waktu itu masih di sekolah. Di hari berkabung itu, aku tidak merasakan ada sesuatu yang aneh. Ketika aku berangkat sekolah hari itu, yang kuketahui Ayah sedang tidur di kamar. Sehingga hari itu aku masuk sekolah seperti biasa.  Akan tetapi kembali secercah harapan yang muncul kandas oleh kesedihan yang lebih mendalam. Di tengah pelajaran masuklah salah satu guruku ke kelas untuk memanggilku. Beliau mengatakan bahwa seseorang telah menunggu di luar. Setelah aku keluar, ternyata yang menungguku adalah salah seorang karyawan Ayah.  Aku pun segera bertanya kepadanya untuk apa ia menemuiku. Ia pun kemudian menjawab dengan gugup dalam raut wajah kesedihan, "Sabar ya, tadi sekitar pukul setengah sepuluh, ayahmu meninggal." Seketika itu air mataku pun menetes. Tak bisa kusampaikan gambaran perasaanku saat itu. Antara kaget, sedih, galau, cemas, entah tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Seolah tak percaya. Segera saja aku bergegas pulang ke rumah sampai tak sempat berpamitan dengan teman-teman dan guru-guruku. Sesampainya di rumah, aku melihat bendera putih telah menancap di depan rumahku. Melihat itu, hatiku semakin bersedih, dan tak terasa air mataku pun mengucur dengan deras, tak kuasa aku menahan kesedihan.  Memasuki rumah, di sebuah ruangan aku melihat beberapa orang berkerumun. Ternyata di situ jenazah Ayah sedang dimandikan. Tiba-tiba dari belakang ada yang memelukku, oh, ternyata bibiku. Segera aku dituntun menuju kamar. Aku melihat ibu tengah pingsan di atas ranjangnya. Aku pun segera menghampirinya. Disana telah berkumpul kerabat-kerabatku dari ayah dan ibu, juga adikku.  Adikku ketika itu masih kecil, belum memahami apa yang terjadi sebenarnya. Akan tetapi ia terus menangis, mungkin karena melihat diriku dan ibu menangis setelah siuman. Alhamdulillah waktu itu aku sudah mulai sedikit mengerti tentang makna kesabaran. Ya, aku hanya bisa bersabar. Aku yakin Allah akan menggantikan untukku sesuatu yang lebih baik.Aku yakin bahwa Allah tidak menyia-nyiakan anak yatim seperti diriku. Ya, kusadari, mulai saat itu aku dan adikku telah menjadi yatim. Selamat jalan Ayah! Semoga Allah mempertemukan kita kembali di jannah-Nya.  Waktu terus berjalan, setelah masa iddah selesai, Ibu memutuskan untuk menikah lagi. Semua itu beliau lakukan karena melihatku dan adik yang masih kanak-kanak yang tentu masih banyak membutuhkan bimbingan seorang ayah. Dan juga beliau menginginkan seorang suami yang bisa meneruskan usaha bengkel Ayah. Di masa-masa berikutnya kami harus melanjutkan kehidupan yang itu semua tentu membutuhkan finansial. Alhamdulillah, tidak berapa lama aku pun memiliki seorang ayah baru yang dengan sebab itu aku pun kembali merasakan kasih sayang seorang ayah. Sebulan setelah pernikahan ibu dan dengan ayah baruku,  aku ditawari untuk mondok di sebuah pondok pesantren. Akan tetapi karena nenek menginginkan aku tamat SD terlebih dahulu baru kemudian mondok, aku pun urung mondok saat itu. Ayah dan ibu pun akhirnya setuju. Hari-hariku berikutnya pun berjalan seperti sediakala. Sampai akhirnya tiba saatnya aku lulus dari SD. Sehingga aku ingin merealisasikan keinginan kedua orang tuaku agar aku mondok. Sejurus kemudian aku jadi teringat, dulu mendiang ayah pun sangat berharap agar aku menjadi thalabul ilmi di pondok pondok ahlussunnah.  Dengan tekad yang kuat dan keinginan yang sangat aku pun mendaftar di sebuah pondok pesantren tahfidzul qur'an. Alhamdulillah aku pun diterima. Maka sejak itu aku memulai kehidupan baru di pondok pesantren. Sejak saat itu aku merasakan kehidupan yang berbeda. Jika sebelumnya keseharianku banyak di tolong Ibu, kini harus kukerjakan sendiri. Mencuci pakaian, merapikan tempat tidur dan kegiatan lain yang sebelumnya ketika di rumah ibu yang mengerjakannya. Kulalui kehidupanku di pondok tahfidz ini selama kurang lebih 4 tahun. Di akhir tahun keempat, di akhir tahun ajaran, seiring dengan bertambahnya usiaku, tampaknya cita-citaku pun berkembang. Aku mulai menginginkan untuk mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lainnya, tidak sekedar menghafal Al-Qur'an yang selama ini kukerjakan. Aku mengerti, bukan berarti apa yang aku lakukan selama ini kurang mulia, bahkan aku sangat yakin menghafal kitabullah salah satu amalan yang termulia. Namun begitulah, pada saat itu mulai tumbuh keinginanku untuk menuntut ilmu syariat yang lain. Maka kemudian aku utarakan kepada orang tuaku tentang keinginanku itu. Aku ingin pindah pondok yang lebih memadai untuk mewujudkan keinginanku itu. Alhamdulillah merekapun setuju. Setelah aku meminta izin kepada pengurus pondok, alhamdulillah Allah memudahkan urusanku, sehingga aku diizinkan pindah pondok. Singkat cerita, aku pun pindah pondok. Aku sangat bersyukur dapat melanjutkan menuntut ilmu di pondokku yang baru ini. Aku sangat senang dengan suasana pondok baruku ini. Berada di tengah sawah, sejuk dengan angin pegunungan. Jauh dari kota, terletak ditengah-tengah lembah yang dikelilingi gunung-gunung yang tinggi menjulang. Yang terdekat adalah gunung Sumbing dan Sindoro. Duh, indah nian pondokku yang kedua ini, seindah ilmu syariat yang diajarkannya.  Tahun demi tahun aku lalui masa belajar di pondok pesantren di lembah Sindoro Sumbing dengan penuh semangat. Di sini aku ditempa dengan berbagai ilmu alat (bahasa arab, ilmu usul fiqih, ilmu hadis, dan lain-lain) dan juga ilmu akidah, fikih, manhaj, dan tak lupa tentang akhlak dan adab.  Menggali ilmu salafush shalih sungguh sangat indah. Duhai jika aku bisa mengamalkan ilmu itu semuanya, tentu aku akan menjadi manusia yang mulia. Mulai dari jenjang yang paling awal aku belajar ilmu ad din dibimbing para ustadz yang bermanhaj lurus. Sedikit demi sedikit ilmuku bertambah seiring dengan semakin banyaknya ilmu yang ku pelajari. Di pondokku yang indah ini, selain ilmu syariat, aku juga mempelajari banyak hal lainnya. Aku diajak berorganisasi untuk saling bekerjasama agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung lancar. Ya, kami santri di pondok ini tidak melulu mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas, namun juga dituntut peduli dengan kondisi di sekitar, terutama yang harus dihadapi dalam keseharian.  Menyiapkan logistik untuk teman-teman, menjaga kebersihan pondok, menyediakan kebutuhan air untuk minum, mandi, dan cuci, ronda malam, menegur teman yang melanggar, dan banyak kegiatan lainnya. Kami, para santri dibagi dalam tugas-tugas tertentu, yang diatur dalam sebuah organisasi santri. Di sela-sela waktu belajar, aku pun sering melakukan kegiatan sampingan untuk menambah uang saku dan biaya membeli kitab-kitab. Ya, disebabkan ekonomi keluarga yang pas-pasan, aku pun berusaha mencari sendiri tambahan uang saku dari berjualan memelihara lele, dan lain-lain pernah kulakukan.  Bahkan karena kondisi keuangan yang boleh dibilang kurang, aku pun mendapat keringanan biaya dari pondok. Tentu aku sangat bersyukur dengan ini semua. Hikmah dari ini semua, aku menjadi merasa lebih dewasa dan terus tak terasa menambah juga keterampilanku. Karena berbagai kegiatan pembangunan dan perawatan gedung pondok pun aku kini sedikit-sedikit mengerti masalah bangunan, listrik, dan mengelas. Alhamdulillah wa bini'matihi tatimus shalihat.  Menjelang akhir tahun ke-5 di pondokku yang indah ini, entah mengapa tiba-tiba aku ingat mendiang ayahku. Entah mengapa serasa ada rasa rinduku padanya. Meskipun kini aku telah memiliki ayah sambung, namun tak bisa dimungkiri kerinduan pada ayah kandung serasa meruyak ke dalam dada. Oleh karena itu kutulis kisahku ini, untuk sekedar mengurangi dari rasa rinduku. Jika kusebut jati diriku mungkin saja di antara pembaca ada yang mengenal mendiang ayahku, terutama yang mungkin dulu pernah bergaul dengannya. Ya Allah, rahmatilah ia! Wahai saudara-saudaraku seiman, para penuntut ilmu dan selainnya, bersyukurlah kalian semua yang masih memiliki ayah dan ibu kandung yang menyayangi kalian. Aku hanya ingin berpesan kepada kalian semua, dan tentu ini terkena pada diriku juga, berbaktilah kalian kepada kedua orangtua.  Jangan terluputkan untuk senantiasa mendoakan mereka di setiap waktu, dan terlebih di waktu-waktu mustajabah (terkabulnya doa). Balaslah kebaikan mereka selama ini, yang meskipun kecil niscaya kita tidak akan mampu membalas yang setimpal dengannya. Namun, minimalnya kita bisa menjalankan perintah Allah untuk berbakti kepada keduanya. Dan mintalah kepada Allah agar kita bisa berkumpul dengan mereka kembali di jannah-Nya yang luas dan penuh nikmat. Masa akan berlalu, kita semua akan menuju kepada-Nya. Setelah kurang lebih 5 tahun menuntut ilmu di pondok pesantren yang kedua ini, karena sesuatu hal aku memutuskan untuk pulang. Di kampungku aku di minta membantu mengajari anak-anak membaca al Quran. InsyaAllah akan kutempuh perjalanan hidupku selanjutnya. Semoga Allah selalu memberiku hidayah hingga akhir hayat. Atas tulisan ini kurang lebihnya aku mohon maaf, semoga bermanfaat. Selamat tinggal pondokku tercinta, aku ingin melanjutkan perjalanan. Namamu insyaAllah selalu ada dalam hatiku. Sumber: Majalah Qudwah Edisi 51 vol 05 2017M/1438H hal.65
5 tahun yang lalu
baca 12 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

demi hijrah, kami siap berjuang (kisah & motivasi)

"DEMI HIJRAH, KAMI SIAP BERJUANG" Oleh Al Ustadz Fauzi bin Nur Meninggalkan sesuatu yang disukai karena Allah memang membutuhkan kesabaran. Saat harapan dalam diri sangat tinggi namun agama tidak sejalan dengan kepentingan jiwa, saat itu ujian pun di mulai. ujian tentang kejujuran dan kesetiaan terhadap keyakinan yang tertanam, dan ujian tentag kesabaran mengalahkan kehendak jiwa, serta perjuangan menundukkan nafsu yang selalu angkuh untuk menunduk dan merendah di hadapan Allah Yang Maha Mulia. Kesabaran pun kian menyesakkan rongga dada, jika yang harus ditinggalkan memiliki nilai yang tinggi dan berkaitan erat dengan untung-rugi duniawi. Terlintas dalam benak berbagai bisik keraguan; 'Jika saya tinggalkan ini, bagaimana nasib saya nanti?! Bagaimana saya makan?! Dari mana lagi saya dapat harta?!' Tak ayal, banyak yang patah arang sebelum berjuang menuju jalan hidup yang lebih baik dan meninggalkan masa lalu yang hitam. Berhijrah memang tidak mudah; butuh kesabaran, keyakinan mantap, kejujuran hati, serta perjuangan meninggalkan segala kepentingan duniawi. Hal inilah yang dialami Rasulullah beserta para sahabatnya. Mekkah adalah tempat kelahiran dan tanah yang paling mereka cintai; tempat yang paling suci dan mulia, tempat yang paling dekat dengan Allah di muka bumi, tempat berbagai kenikmatan yang berlimpah, dan tempat berkumpulnya sanak saudara dan handai tolan yang setia. Sebaliknya, Madinah adalah tempat yang paling berwabah di tanah Arab dan begitu panas membakar kulit penduduknya. Cukuplah sebagai satu penderitaan, kenyataan Madinah bukanlah negeri mereka sendiri, dengan kata lain, berpindah ke Madinah sama saja membangun penghidupan kembali dari titik nol; lingkungan baru, suasana baru, kehidupan baru, dan tantangan baru yang siap menghadang di ujung jalan. Tatkala Rasulullah sampai di sana bersama Abu Bakar, Abu Bakar pun tertimpa demam Madinah, beliau sering berkata dalam sakit; Tiap orang berpagi hari di tengah keluarganya, sementara kematian lebih dekat dari tali sandalnya Begitu juga Bilal saat sembuh dari demamnya, ia mengatakan, Duhai kiranya aku tahu; akankah aku tidur di satu malam Di sebuah lembah dikelilingi Idzkhir dan Jalil tertanam Akankah aku datangi nanti mata air Mijannah Dan tampak olehku dua gunung Thufail dan Syamah  Kerinduan kepada tanah suci Mekkah serta kesuburan dan keindahannya tak pernah lekang oleh zaman dalam kalbu mereka dan makin dahsyat saat merasakan ujian di tanah kelaparan. Bilal pun terkadang mendoakan kejelekan bagi orang-orang yang membuatnya dan para shahabatnya meninggalkan Mekkah menuju Madinah, "Ya Allah, laknatilah Syaibah bin Rabi'ah dan 'Utbah bin Rabi'ah, serta Umayyah bin Khalaf sebagaimana mereka telah mengusir kami dari tanah kelahiran menuju tanah yang berwabah." Rasulullah pun berdoa meminta ketetapan hati para shahabatnya agar bersabar di tanah hijrah demi meraih pahala Allah, "Ya Allah lanjutkanlah untuk para shahabatku hijrah mereka, dan jangan Engkau balikkan mereka darinya..." "Ya Allah jadikanlah kami cinta terhadap Madinah seperti cinta kami kepada Mekkah atau lebih darinya, Ya Allah berkahilah pada sha' dan mud kami, berikanlah kesehatan pada Madinah dan pindahkanlah demamnya ke tanah Juhfah." Dari Abu Salamah, dari Abdullah bin 'Adi Az-Zuhri, dia mengatakan, "Aku melihat Rasulullah diatas Hazwarah (menghadap ke Mekkah) seraya mengatakan, 'Demi Allah, engkau adalah tanah Allah yang terbaik, dan tanah yang paling dicintai Allah. Seandainya saja bukan karena aku diusir darimu, aku tidak akan keluar." [H.R. At Tirmidzi]. Berlalulah perjalanan penuh perjuangan yang dilakoni oleh Rasulullah dan Abu Bakar. Dengan rencana yang matang dan tawakkal yang tinggi kepada Allah, mereka bisa lolos dari kejaran orang-orang musyrik dan para pemburu. Demikian pula dengan jalan hijrah para shahabat, tak jauh berbeda dengan jalan hijrah Rasulullah. Mereka harus menghadapi tantangan yang tidak ringan demi meninggalkan masa lalu yang kelam menuju jalan yang diridhai Allah. JALAN HIJRAH ABU SALAMAH Tekad kuat Abu Salamah telah kuat. Ia akan membawa anak dan istrinya ke tempat yang lebih aman. Musyrikin Mekkah sudah keterlaluan memperlakukan kaum muslimin. Tidak ada ketenangan lagi untuk tetap bertahan. Demi masa depan keluarga, harta dan kekayaan bukan lagi hal yang berat untuk di tinggalkan. Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik. Unta sudah siap, lengkap dengan perbekalan untuk perjalanan tiga orang. Abu Salamah, Ummu Salamah, dan anak laki-laki mereka, Salamah. Dengan sigap, Abu Salamah menaikkan keluarga kecilnya di atasnya. Sebuah perjalanan panjang menuju hidup baru akan dimulai. Ia pun menuntun unta tersebut meninggalkan rumah dan tanah kelahirannya. Tak berselang lama berjalan, tiba-tiba ia di kejutkan oleh beberapa laki-laki dari Bani Mughirah; saudara sekabilah Ummu Salamah. Mereka pun menghadangnya, " Adapun jiwamu sendiri, kamulah yang memenangkannya dari kuasa kami." Ucap mereka. "Namun, istrimu ini... bagaimana mungkin kami membiarkan kamu pergi membawanya?!" Serta merta mereka merebut tali kekang dari dua tangannya lalu membawa pulang Ummu Salamah dan anaknya. Asa yang sudah di bangun untuk berhijrah bersama runtuh seketika. Abu Salamah tak berdaya melawan keegoisan para Bani Mughirah yang ada di depannya. Hanya Allah yang bisa terus menjaga Ummu Salamah dan anak tercintanya. Mendengar perlakuan kasar Bani Mughirah terhadap Abu Salamah, Bani Abdul Asad kabilah Abu Salamah pun murka. Mereka pun berusaha merebut Salamah putra Ummu Salamah dari pelukannya. "Tidak, demi Allah," kata mereka. "Tidak akan kami tinggalkan anak kami bersamanya, karena kalian telah memisahkan dia dengan saudara kami (Abu Salamah)." Anak kecil itu pun diperebutkan antar mereka, hingga Bani Abdul Asad berhasil menarik tangannya dan membawanya. Kini tak hanya Abu Salamah yang merasakan kekosongan batin dengan berpisah dengan istrinya. Namun, Ummu Salamah pun harus menerima kenyataan pahit; anak yang dirawat dalam pelukannya tiba-tiba pergi meninggalkan pangkuan dan ayunan hampa. Ummu Salamah mengatakan, "Terpisahlah aku, suamiku, dan anakku..." Tak terasa lagi kedamaian dalam hidupnya. Padahal ia hidup di tengah keluarga besarnya. Apa arti hidup, jika berpisah dari orang-orang tercinta?! Apa arti keluarga, jika tidak memahami kesedihan yang dirasakan anggotanya...? Setiap pagi Ummu Salamah berjalan keluar dan terduduk di Al Abthah. Butiran air pun mulai menetes dari dua matanya mengingat keluarga kecil yang penuh cinta. Ia pun tak berhenti menangis disana hingga tiba senja. Setiap hari hingga hampir setahun penuh tak kunjung kering air yang menetes dari matanya. Sampai suatu pagi, seseorang dari kabilahnya lewat dan melihat kesedihan mendalam yang dirasakan Ummu Salamah. Timbullah rasa iba dan kasihan padanya. Ia pun membujuk kabilahnya agar membiarkan Ummu Salamah pergi dan kembali hidup dengan keluarga kecilnya. "Tidakkah kalian biarkan saja wanita yang sengsara ini pergi?! Kalian sudah memisahkan dia dengan suami dan anak laki-lakinya." bujuk orang itu kepada Bani Mughirah. Akhirnya mereka melepaskannya, begitu pula Bani Abdul Asad membebaskan Salamah dan menyerahkannya kepada ibunya. Ummu Salamah bercerita, "Aku pun menyiapkan tunggangan, lalu aku ambil anakku dan aku bawa ke kamar. Aku pun keluar untuk menyusul suamiku di Madinah." "...dan tidak ada seorang makhluk pun bersamaku. Aku pun bergumam, 'Akan kutitipkan pesan kepada siapapun yang aku temui agar suamiku menjemputku." Setibanya di Tan'im, mereka berdua bertemu dengan seorang bernama Utsman bin Thalhah dari Bani Abdid Dar. Melihat keduanya Utsman pun bertanya, "Hendak kemana, wahai putri Abi Umayyah?" "Ke Madinah, menyusul suamiku." "Tidakkah seorang bersamamu?" "Tidak, demi Allah. Kecuali Allah dan putraku ini." "Demi Allah, tidak pantas kalian ditinggalkan sendirian" Utsman pun meraih tali kekang unta dan menuntunnya menuju Madinah. Meski Utsman bin Thalhah belum masuk Islam di saat itu. Namun tabiatnya begitu baik dan beradab. Ia begitu menjaga kehormatan dirinya dan wanita yang diantarkannya. Tiap kali mereka berhenti di persinggahan, Utsman menderumkan untanya lalu meninggalkan Ummu Salamah turun dengan sendirinya. Jika Ummu Salamah sudah turun ia pun kembali dan membawa unta tersebut menjauh. Setelah ia mengingatkan untanya, ia pun berbaring istirahat di dekat unta tersebut dan tetap menjauh dari Ummu Salamah. Tiba waktu berangkat, ia pun melakukan hal yang sama; menjaga kehormatannya dan kehormatan wanita yang bersamanya. Demikianlah tabiat yang luhur menjaga kehormatan seseorang. Meski belum masuk cahaya Islam dalam kalbu, bukan alasan untuk melanggar kehormatan dan hak-hak antar manusia. Utsman terus menuntun mereka hingga tiba di Madinah. Sesampainya mereka di kampung Bani Amr bin Auf di Quba, ia mengatakan, "Suamiku ada di kampung ini. Masuklah ke sana atas keberkahan Allah." serta merta Utsman pun pergi kembali ke Mekkah. Ummu Salamah pun selalu mengenang perjuangannya dalam berhijrah, "Demi Allah, aku tidak tahu ada keluarga dalam Islam yang tertimpa seperti apa yang menimpa keluarga Abu Salamah. Dan aku tidak melihat satu teman pun yang lebih mulia daripada Utsman bin Thalhah." Ya, meski halang dan rintang menghadang, jalan pun tak semulus apa yang di bayangkan. Namun, karena yakin janji Allah, beratnya ujian takkan membuat urung begitu saja tekad yang sudah membulat. Cukuplah bersabar dan terus berjalan menuju jalan-Nya, pasti Allah akan datang dengan pertolongan-Nya; hari ini, esok hari, atau suatu saat nanti. Pasti Allah akan kabulkan harapan kita. Abu Salamah berhijrah ke Madinah satu tahun sebelum baiat Aqabah. Dengan kata lain beliau merupakan shahabat yang paling awal berhijrah ke Madinah. Terdapat perbedaan pendapat antara ahli tarikh; apakah Abu Salamah yang lebih dahulu hijrah ke Madinah ataukah Mus'ab bin Umair? Jawabannya, kedua-duanya bisa dikatakan yang pertama kali. Bedanya, Abu Salamah hijrah karena pergi menghindari gangguan kaumnya, sedangkan Mus'ab bin Umair berangkat untuk tinggal di Madinah dan mengajarkan Islam kepada penduduknya. JALAN HIJRAH UMAR BIN AL KHATTHAB Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam kitabnya tentang hijrahnya shahabat mulia Umar bin Al Khaththab dan Ayyas bin Rabi'ah Al Makhzumi. "Kami saling berjanji saat ingin berhijrah ke Madinah; aku, Ayyasy bin Abi Rabi'ah, dan Hisyam bin Al Ash bin Al Wail As-Sahmi. Kami berjanji untuk bertemu di Tanabudh, mata air Bani Ghifar diatas Saraf." Mereka berusaha menyembunyikan dan merahasiakan rencana semaksimal mungkin. Dengan menampakkan bahwa tidak ada rencana apapun esok di tempat tersebut. Umar mengatakan, "Siapapun di antara kita yang tidak terlihat di sana di waktu pagi, berarti ia ditahan oleh kaumnya." Umar pun datang, begitu pula Ayyasy. Namun Hisyam tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Berarti Hisyam pasti ditahan. Dan benarlah ia ditangkap sebelum berhasil lari dari kaumnya. Umar dan Ayyasy pun bersegera berangkat ke tanah hijrah dan berhasil sampai di kampung Bani 'Amr bin 'Auf. Beberapa waktu berlalu di kampung itu. Suatu hari datanglah dua orang musyrikin Mekkah mencari Ayyasy bin Abi Rabi'ah. Mereka adalah Abu Jahl bin Hisyam dan Al Harits bin Hisyam; saudara seibu Ayyasy. "(Wahai Ayyasy), sungguh ibumu telah bernazar tidak akan menempelkan sisir di kepalanya sampai melihatmu. Ia juga tidak akan berlindung dari cahaya matahari sampai melihatmu. Menyisirlah untuknya!" Pesan Abu Jahl dan Al Harits. Timbul rasa khawatir dalam diri Ayyasy mendengar kabar tentang ibunya. Bagaimanapun Ibu adalah orang yang memiliki kedekatan batin dengan hidupnya. Kemantapan hijrah dijalan Allah pun sedikit goyah menghadapinya. Namun, Umar yang mendengar penuturan dua musyrik tidak percaya begitu saja. Dengan firasatnya yang tajam, ia bisa membaca kilas kebohongan dari dua mulut yang berbicara dihadapannya. Tidak mudah percaya begitu saja dengan orang yang menjadi musuhnya. Umar mengatakan pada Ayyasy, "Wahai Ayyasy, demi Allah, mereka hanya ingin menangkap dan menyiksamu untuk meninggalkan agamamu, berhati-hatilah dari mereka! Demi Allah, seandainya kutu rambut sudah menyakiti ibumu pasti dia akan menyisirnya juga. Dan jika panas di Mekkah semakin berat pasti dia akan berteduh juga." Ayyasy pun mengatakan, "Aku akan kabulkan sumpah Ibuku. Dan aku punya harta yang bisa aku ambil di sana." Ayyasy sudah tidak tenang mendengar kabar tentang ibunya. Demikianlah dahsyatnya (fitnah) ujian di saat datang, bisa menumpulkan tajamnya pikiran, dan menggoyah pendirian bahkan keyakinan. Rasulullah bersabda yang artinya, 'Orang yang beruntung adalah dia yang dijauhkan dari fitnah (ujian)." Umar pun tak berhenti membujuknya "Demi Allah kamu tahu, bahwa aku termasuk Quraisy yang paling banyak hartanya. Akan aku berikan setengah hartaku dan jangan pergi bersama mereka!" Namun, Ayyasy tetap bersikeras untuk pulang dan Umar dan Umar pun tak punya kuasa lagi untuk menahannya. Dia mengatakan, "Baiklah, kalau kamu bersikeras untuk tetap pergi, bawalah unta betinaku ini! Unta ini bisa berlari dengan cepat. Pegang saja punggungnya. Jika sedikit saja kamu mulai ragu dengan mereka berdua berlarilah di atasnya!" Subhanallah, benar-benar permisalan kesetia-kawanan yang sempurna. Bagaimanapun keselamatan teman harus diupayakan, apalagi keselamatan yang menyangkut dunia akhiratnya. Asalkan di atas kebenaran dan membantunya Istiqamah diatas jalan yang lurus, berapapun harta yang dikorbankan tak akan jadi soal. Ya, setiakawan di atas kebenaran. Akhirnya, Ayyasy pergi dengan membawa unta betina tersebut. Dia mengikuti langkah dua musyrik pembawa kabar ibunya. Dua musuhkah atau dua saudara? Entahlah, semoga ia bisa kembali lagi ke tanah hijrah ini. Di tengah perjalanan, Abu Jahl mengeluhkan untanya yang berjalan lambat. Sementara unta Ayyasy berjalan dengan cepat dan kuat. "Wahai anak pamanku." kata Abu Jahl. "Sungguh untaku ini sudah berat berjalan. Kiranya engkau mau bergantian denganku memakai untamu?" "Tentu,"  sambut Ayyasy. Ia pun menderumkan untanya begitu pula Abu Jahl dan Al-harits untuk bertukar kendaraan. Dan di saat mereka telah berdiri di samping unta masing-masing, tiba-tiba dua orang itu menangkap Ayyasy dan mengikatnya. Mereka pun membawa Ayyasy ke Mekkah; bukan untuk menunaikan sumpah ibunya. Itu hanya bualan mulut Abu Jahl. Namun kembali kepada deraan siksa musyrikin yang tak henti-henti. Seraya membawa Ayyasy masuk Mekkah dalam ikatannya, Abu Jahl dan Al Harist mengatakan, "Wahai penduduk Mekkah, beginilah yang harus kalian lakukan menghadapi orang-orang bodoh diantara kalian. Seperti yang kami lakukan terhadap orang bodoh kami ini." Demikianlah hari-hari penuh perjuangan itu berjalan; ada yang berhijrah dengan ikhlas dan tekad yang mantap, Allah memudahkan jalannya untuk menetap, ada pula yang berhijrah dengan ikhlas dan tekad yang kuat, namun Allah uji dengan berbagai rintang penghalang. Itulah jalan ibadah kepada Allah, menyingkap siapa yang kuat dan siapa yang lemah iman. Umar mengatakan, "Dulu kami selalu mengatakan, 'Allah tidak akan menerima lagi dari orang yang kalah menghadapi ujian taubat dan ganti darinya. Mereka orang-orang yang sudah mengenal Allah lalu kembali kepada kekufuran karena ujian yang menderanya.' Ini pula yang mereka katakan dalam diri mereka, "...lalu Rasulullah pun tiba di Madinah, Allah pun menurunkan ayat tentang mereka dan tentang ujian kami dan mereka. "Katakanlah (wahai Rasulullah), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (dengan perbuatan-perbuatan maksiat), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, karena sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa; Sesungguhnya Dia lah juga Yang Maha Pengampun, lagi Maha Pengasih. Dan kembalilah kamu kepada Rabb kamu dengan bertaubat, serta berserah dirilah kepada-Nya, sebelum kamu didatangi azab; Karena sesudah itu kamu tidak akan diberikan pertolongan. Dan ikutilah Al-Quran sebaik-baik yang diturunkan kepada kamu dari Rabb kamu, sebelum kamu didatangi azab secara tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya." [Q.S. Az-Zumar : 53-56] Umar pun menuliskan ayat tersebut di sebuah lembaran kertas dan mengirimkannya kepada Hisyam bin Al-Ashy sebagai bentuk nasehat sekaligus kabar gembira bahwa masih ada kesempatan untuk kembali ke jalan Allah hingga kapanpun. Sampailah surat tersebut kepada Hisyam. "Surat itu datang kepadaku," kata Hisyam. "...Aku pun mulai membacanya di Dzi Thuwa. Aku mengulang membacanya, namun aku tidak paham maksudnya. Aku pun berkata, 'Ya Allah pahamkanlah ayat ini untukku..." "...Allah pun melemparkannya dalam kalbuku, 'Aku pun paham; ayat ini berbicara tentang kami dan apa yang selalu kami katakan dalam diri kami." Tanpa menunggu waktu lama, Hisyam bergegas menyiapkan kendaraannya dan berangkat menuju tanah hijrah demi rida Allah dan kebahagiaan di negeri yang abadi. Hijrah dalam konteks umum yang berarti meninggalkan segala bentuk amalan yang dimurkai Allah membutuhkan perjuangan yang kuat. Cukuplah menjadi figur kita, mereka yang telah meninggalkan segala kepentingan dunia menuju jalan lain yang dipenuhi duri dan luka. Semua itu demi membuktikan cinta dan yakin kita akan janji Allah. Wallahu a'lam Majalah Qudwah edisi 58 vol.05 1439H/2018M hal. 81
5 tahun yang lalu
baca 16 menit