Ya Allah, Rahmatilah Beliau
|
kisah nyata seorang anak yatim |
Saat itu aku berusia 9 tahun. Aku tinggal bersama ayah, ibu, dan seorang adik yang usianya baru menginjak 2 tahun. Kami hidup bahagia di sebuah rumah sederhana. Ayah dan ibu menyayangi dan mengasihi kami. Hidup terasa indah di dalam sebuah rumah tangga yang penuh kedamaian dan kerukunan.
Namun, dengan takdir-Nya keindahan itu tampak tak lestari kurasakan. Suatu hari, awal dari segala kesedihan itupun menghampiri keluarga kami. Saat itu Ayah mengeluh sakit di bagian betis kaki sebelah kanan. Sampai sekarang aku tak tahu penyakit apa yang menimpa beliau ketika itu. Aku hanya bisa berdoa demi kesembuhannya.
Yang aku banggakan pada diri beliau adalah kesabarannya dalam menerima musibah tersebut. Selama sakitnya yang pertama selama kurang 8 hari itu, beliau tetap melaksanakan salat lima waktu di masjid. Sekarang aku baru tahu, semestinya waktu itu ada keringanan bagi seorang yang sakit seperti ayah untuk tidak menghadiri salat berjamaah di masjid. Tapi begitulah, karena kesabarannya dalam menerima musibah, menjadikan beliau lebih memilih salat di masjid dengan menahan sakit. Wallahu a'lam.
Alhamdulillah, setelah 8 hari berlalu, beliau tampak lebih sehat. Ayah pun tampak gembira mengabarkan kepada kami betapa rasa sakit pada kakinya telah sirna. Betapa akupun merasakan kegembiraan itu. Benakku yang masih sederhana waktu itu merasa lapang cukup dengan hanya melihat keadaan ayah dan ibuku sehat wal afiat. Melihat mereka tersenyum, bercengkrama, berbincang-bincang santai sungguh nyaman perasaan ini.
Namun sekali lagi, tampaknya saat itu aku memang sedang mendapatkan giliran untuk merasakan ujian dari-Nya seiring dengan ujian yang menimpa ayahku. Baru saja kemarin merasakan perkembangan yang membaik, pada hari ke-9 sejak sakitnya, menjelang subuh hari itu, Ayah merasakan sakit kembali. Kali ini beliau mengeluhkan rasa sakit di dada sebelah kiri.
Pagi itu sedang turun hujan, sehingga kami melaksanakan salat berjamaah di rumah. Setelah salat usai, Ayah beranjak ke kamar untuk istirahat dikarenakan rasa sakit yang sangat. Aku, adik, dan ibu merasa sedih dan cemas. Melihat tubuh Ayah mulai menggigil, ibu dengan tergopoh-gopoh segera mengenakan pada beliau jaket, kaos dan imamah. Aku dan adik hanya bisa berdoa. Kami merasa semakin bersedih dan khawatir.
Tidak berapa lama, Ayah tampak tertidur. Kira-kira waktu menunjukkan pukul 07.00, akupun berkemas-kemas untuk berangkat sekolah. (Kejadian selanjutnya dikisahkan kepadaku oleh ibu, karena aku berada di sekolah). Ibu bertutur, ketika waktu menunjukkan pukul 08.00, beliau membangunkan ayah sambil menyampaikan, "Bi, bengkelnya mau di buka apa nggak? Udah jam 08.00." Iya, jam 08.00 adalah waktu bukanya bengkel Ayah.
Waktu itu bengkel Ayah sedang jaya-jayanya, sampai-sampai karyawan beliau waktu itu berjumlah belasan orang. Bahkan sebagian dari mereka menginap di rumahku karena jauhnya tempat tinggal mereka. "Iya, buka aja. Itu suruh aja anak bengkel membukanya. Ini badan saya juga udah enakan. Sebentar lagi insya Allah nyusul. Mau salat dulu," demikianlah jawab ayah. Mendengar Ayah sudah merasa lebih sehat, ibu sangat bersyukur dan senang.
Masih ibuku yang berkisah, beberapa saat kemudian, Ayah bangkit dari pembaringannya menuju kamar mandi. Tidak disangka, sudah setengah jam berada di dalam kamar mandi, Ayah belum keluar. Maka di ketuklah pintu kamar mandi oleh nenek yang kebetulan juga ingin masuk kamar mandi.
Akan tetapi tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara air yang mengalir deras dari keran dan suara nafas terengah-engah. Di tengah kepanikannya, nenek pun segera memanggil ibu dan beberapa karyawan bengkel. Maka mereka pun segera berusaha mengetahui apa yang terjadi. Ternyata mereka melihat di lubang jendela, Ayah tergeletak di bawah kran yang mengalir deras. Salah seorang karyawan Ayahku bersegera masuk ke kamar mandi melalui jendela sehingga berhasil membawa keluar ayah dan membawanya ke puskesmas terdekat.
Sesampainya di puskesmas, dokter dan para perawat segera bertindak cepat untuk melakukan pertolongan pertama dengan berusaha mencoba memasang infus dan oksigen. Namun, qadarullah wa masyaafa'ala, takdir seluruhnya di tangan Allah, manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Ketika hendak dipasang di tubuh Ayah, alat-alat tersebut tidak bisa masuk. Melihat ini, dokter pun segera merujuk ayah untuk ditangani rumah sakit di kota terdekat. Jarak Rumah Sakit kota terdekat dari puskesmas sekitar satu jam perjalanan dengan menggunakan mobil.
Mobil ambulans milik puskesmas segera keluar dari garasi, kemudian Ayah segera dimasukkan ke dalamnya dan mobil pun melaju kencang. Ddi dalam mobil, kondisi ayah semakin memburuk. Masih setengah perjalanan, nafas ayah tampak tersengal-sengal. Beberapa pengiring yang ikut menyertai ayah dalam mobil ambulans pun segera menalqinnya. Begitulah, takdir-Nya ternyata menetapkan nyawa Ayah harus dicabut di dalam mobil itu. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, malaikat maut menjemput nyawa Ayahku.
Akhirnya mobil ambulans pun segera putar balik menuju ke rumah. Pukul 10.00 wib mobil ambulans tiba di rumah. Mengetahui Ayah meninggal, Ibu seketika itu jatuh pingsan. Sedangkan, aku waktu itu masih di sekolah. Di hari berkabung itu, aku tidak merasakan ada sesuatu yang aneh. Ketika aku berangkat sekolah hari itu, yang kuketahui Ayah sedang tidur di kamar. Sehingga hari itu aku masuk sekolah seperti biasa.
Akan tetapi kembali secercah harapan yang muncul kandas oleh kesedihan yang lebih mendalam. Di tengah pelajaran masuklah salah satu guruku ke kelas untuk memanggilku. Beliau mengatakan bahwa seseorang telah menunggu di luar. Setelah aku keluar, ternyata yang menungguku adalah salah seorang karyawan Ayah.
Aku pun segera bertanya kepadanya untuk apa ia menemuiku. Ia pun kemudian menjawab dengan gugup dalam raut wajah kesedihan, "Sabar ya, tadi sekitar pukul setengah sepuluh, ayahmu meninggal."
Seketika itu air mataku pun menetes. Tak bisa kusampaikan gambaran perasaanku saat itu. Antara kaget, sedih, galau, cemas, entah tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Seolah tak percaya. Segera saja aku bergegas pulang ke rumah sampai tak sempat berpamitan dengan teman-teman dan guru-guruku.
Sesampainya di rumah, aku melihat bendera putih telah menancap di depan rumahku. Melihat itu, hatiku semakin bersedih, dan tak terasa air mataku pun mengucur dengan deras, tak kuasa aku menahan kesedihan.
Memasuki rumah, di sebuah ruangan aku melihat beberapa orang berkerumun. Ternyata di situ jenazah Ayah sedang dimandikan. Tiba-tiba dari belakang ada yang memelukku, oh, ternyata bibiku. Segera aku dituntun menuju kamar. Aku melihat ibu tengah pingsan di atas ranjangnya. Aku pun segera menghampirinya. Disana telah berkumpul kerabat-kerabatku dari ayah dan ibu, juga adikku.
Adikku ketika itu masih kecil, belum memahami apa yang terjadi sebenarnya. Akan tetapi ia terus menangis, mungkin karena melihat diriku dan ibu menangis setelah siuman. Alhamdulillah waktu itu aku sudah mulai sedikit mengerti tentang makna kesabaran. Ya, aku hanya bisa bersabar. Aku yakin Allah akan menggantikan untukku sesuatu yang lebih baik.Aku yakin bahwa Allah tidak menyia-nyiakan anak yatim seperti diriku.
Ya, kusadari, mulai saat itu aku dan adikku telah menjadi yatim. Selamat jalan Ayah! Semoga Allah mempertemukan kita kembali di jannah-Nya.
Waktu terus berjalan, setelah masa iddah selesai, Ibu memutuskan untuk menikah lagi. Semua itu beliau lakukan karena melihatku dan adik yang masih kanak-kanak yang tentu masih banyak membutuhkan bimbingan seorang ayah. Dan juga beliau menginginkan seorang suami yang bisa meneruskan usaha bengkel Ayah.
Di masa-masa berikutnya kami harus melanjutkan kehidupan yang itu semua tentu membutuhkan finansial. Alhamdulillah, tidak berapa lama aku pun memiliki seorang ayah baru yang dengan sebab itu aku pun kembali merasakan kasih sayang seorang ayah.
Sebulan setelah pernikahan ibu dan dengan ayah baruku, aku ditawari untuk mondok di sebuah pondok pesantren. Akan tetapi karena nenek menginginkan aku tamat SD terlebih dahulu baru kemudian mondok, aku pun urung mondok saat itu. Ayah dan ibu pun akhirnya setuju.
Hari-hariku berikutnya pun berjalan seperti sediakala. Sampai akhirnya tiba saatnya aku lulus dari SD. Sehingga aku ingin merealisasikan keinginan kedua orang tuaku agar aku mondok. Sejurus kemudian aku jadi teringat, dulu mendiang ayah pun sangat berharap agar aku menjadi thalabul ilmi di pondok pondok ahlussunnah.
Dengan tekad yang kuat dan keinginan yang sangat aku pun mendaftar di sebuah pondok pesantren tahfidzul qur'an. Alhamdulillah aku pun diterima. Maka sejak itu aku memulai kehidupan baru di pondok pesantren.
Sejak saat itu aku merasakan kehidupan yang berbeda. Jika sebelumnya keseharianku banyak di tolong Ibu, kini harus kukerjakan sendiri. Mencuci pakaian, merapikan tempat tidur dan kegiatan lain yang sebelumnya ketika di rumah ibu yang mengerjakannya. Kulalui kehidupanku di pondok tahfidz ini selama kurang lebih 4 tahun.
Di akhir tahun keempat, di akhir tahun ajaran, seiring dengan bertambahnya usiaku, tampaknya cita-citaku pun berkembang. Aku mulai menginginkan untuk mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lainnya, tidak sekedar menghafal Al-Qur'an yang selama ini kukerjakan. Aku mengerti, bukan berarti apa yang aku lakukan selama ini kurang mulia, bahkan aku sangat yakin menghafal kitabullah salah satu amalan yang termulia. Namun begitulah, pada saat itu mulai tumbuh keinginanku untuk menuntut ilmu syariat yang lain.
Maka kemudian aku utarakan kepada orang tuaku tentang keinginanku itu. Aku ingin pindah pondok yang lebih memadai untuk mewujudkan keinginanku itu. Alhamdulillah merekapun setuju. Setelah aku meminta izin kepada pengurus pondok, alhamdulillah Allah memudahkan urusanku, sehingga aku diizinkan pindah pondok.
Singkat cerita, aku pun pindah pondok. Aku sangat bersyukur dapat melanjutkan menuntut ilmu di pondokku yang baru ini. Aku sangat senang dengan suasana pondok baruku ini. Berada di tengah sawah, sejuk dengan angin pegunungan. Jauh dari kota, terletak ditengah-tengah lembah yang dikelilingi gunung-gunung yang tinggi menjulang. Yang terdekat adalah gunung Sumbing dan Sindoro. Duh, indah nian pondokku yang kedua ini, seindah ilmu syariat yang diajarkannya.
Tahun demi tahun aku lalui masa belajar di pondok pesantren di lembah Sindoro Sumbing dengan penuh semangat. Di sini aku ditempa dengan berbagai ilmu alat (bahasa arab, ilmu usul fiqih, ilmu hadis, dan lain-lain) dan juga ilmu akidah, fikih, manhaj, dan tak lupa tentang akhlak dan adab.
Menggali ilmu salafush shalih sungguh sangat indah. Duhai jika aku bisa mengamalkan ilmu itu semuanya, tentu aku akan menjadi manusia yang mulia. Mulai dari jenjang yang paling awal aku belajar ilmu ad din dibimbing para ustadz yang bermanhaj lurus. Sedikit demi sedikit ilmuku bertambah seiring dengan semakin banyaknya ilmu yang ku pelajari.
Di pondokku yang indah ini, selain ilmu syariat, aku juga mempelajari banyak hal lainnya. Aku diajak berorganisasi untuk saling bekerjasama agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung lancar. Ya, kami santri di pondok ini tidak melulu mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas, namun juga dituntut peduli dengan kondisi di sekitar, terutama yang harus dihadapi dalam keseharian. Menyiapkan logistik untuk teman-teman, menjaga kebersihan pondok, menyediakan kebutuhan air untuk minum, mandi, dan cuci, ronda malam, menegur teman yang melanggar, dan banyak kegiatan lainnya.
Kami, para santri dibagi dalam tugas-tugas tertentu, yang diatur dalam sebuah organisasi santri. Di sela-sela waktu belajar, aku pun sering melakukan kegiatan sampingan untuk menambah uang saku dan biaya membeli kitab-kitab. Ya, disebabkan ekonomi keluarga yang pas-pasan, aku pun berusaha mencari sendiri tambahan uang saku dari berjualan memelihara lele, dan lain-lain pernah kulakukan.
Bahkan karena kondisi keuangan yang boleh dibilang kurang, aku pun mendapat keringanan biaya dari pondok. Tentu aku sangat bersyukur dengan ini semua. Hikmah dari ini semua, aku menjadi merasa lebih dewasa dan terus tak terasa menambah juga keterampilanku. Karena berbagai kegiatan pembangunan dan perawatan gedung pondok pun aku kini sedikit-sedikit mengerti masalah bangunan, listrik, dan mengelas. Alhamdulillah wa bini'matihi tatimus shalihat.
Menjelang akhir tahun ke-5 di pondokku yang indah ini, entah mengapa tiba-tiba aku ingat mendiang ayahku. Entah mengapa serasa ada rasa rinduku padanya. Meskipun kini aku telah memiliki ayah sambung, namun tak bisa dimungkiri kerinduan pada ayah kandung serasa meruyak ke dalam dada. Oleh karena itu kutulis kisahku ini, untuk sekedar mengurangi dari rasa rinduku. Jika kusebut jati diriku mungkin saja di antara pembaca ada yang mengenal mendiang ayahku, terutama yang mungkin dulu pernah bergaul dengannya. Ya Allah, rahmatilah ia!
Wahai saudara-saudaraku seiman, para penuntut ilmu dan selainnya, bersyukurlah kalian semua yang masih memiliki ayah dan ibu kandung yang menyayangi kalian. Aku hanya ingin berpesan kepada kalian semua, dan tentu ini terkena pada diriku juga, berbaktilah kalian kepada kedua orangtua.
Jangan terluputkan untuk senantiasa mendoakan mereka di setiap waktu, dan terlebih di waktu-waktu mustajabah (terkabulnya doa). Balaslah kebaikan mereka selama ini, yang meskipun kecil niscaya kita tidak akan mampu membalas yang setimpal dengannya. Namun, minimalnya kita bisa menjalankan perintah Allah untuk berbakti kepada keduanya. Dan mintalah kepada Allah agar kita bisa berkumpul dengan mereka kembali di jannah-Nya yang luas dan penuh nikmat.
Masa akan berlalu, kita semua akan menuju kepada-Nya. Setelah kurang lebih 5 tahun menuntut ilmu di pondok pesantren yang kedua ini, karena sesuatu hal aku memutuskan untuk pulang. Di kampungku aku di minta membantu mengajari anak-anak membaca al Quran. InsyaAllah akan kutempuh perjalanan hidupku selanjutnya.
Semoga Allah selalu memberiku hidayah hingga akhir hayat. Atas tulisan ini kurang lebihnya aku mohon maaf, semoga bermanfaat. Selamat tinggal pondokku tercinta, aku ingin melanjutkan perjalanan. Namamu insyaAllah selalu ada dalam hatiku.
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 51 vol 05 2017M/1438H hal.65