Hadits

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

pengertian hadits mubham

KAJIAN ILMU MUSTHOLAH HADITS (PENJELASAN MANDZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH) PENGERTIAN HADITS MUBHAM Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan: وَمُبْهَمٌ مَا فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ dan mubham adalah yang di dalamnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya (Mandzhumah al-Baiquniyyah) Pengertian Hadits Mubham Penjelasan: Definisi mubham adalah hadits yang dalam silsilah mata rantai perawinya ada perawi yang tidak disebutkan namanya. Misalkan hanya disebutkan: dari seorang laki-laki, atau dari seorang wanita, dan semisalnya. Mubham pada perawi menyebabkan perawi itu tidak bisa diketahui apakah terpercaya atau tidak. Hadits mubham tidak mengapa jika pada bagian perawi yang mubham dipastikan adalah: 1) Sahabat Nabi, atau: 2) dengan isyarat tanpa nama itu sudah diketahui siapa sebenarnya perawi tersebut karena sudah masyhur dan ia tergolong perawi yang diterima periwayatannya. Contoh: dalam suatu hadits, disebut perawi: Kaatibul Mughiroh (juru tulis al-Mughiroh). Ini sudah dimaklumi bahwa juru tulis al-Mughiroh adalah Warrood ats-Tsaqofiy yang tsiqoh. Atau, 3) dalam satu jalur riwayat disebutkan secara mubham, namun tidak mubham pada jalur lain. Jika tidak memenuhi ke-3 kriteria tersebut, sehingga tidak diketahui siapa orang yang mubham tersebut, maka ini tergolong lemah karena tidak diketahui siapa dan bagaimana status perawi tersebut, terpercaya atau tidak. Padahal salah satu kriteria hadits shahih adalah perawinya adil dan dhobith (tsiqoh). Contoh Hadits Mubham yang Shahih Berikut ini akan disebutkan 2 contoh hadits Nabi yang mubham, namun perawi yang mubham dipastikan adalah Sahabat Nabi. Hal itu tidak mengapa. Karena sudah dipastikan bahwa seluruh Sahabat Nabi terpercaya. Contoh pertama: عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ : أَنَّهُ أَخْبَرَهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- : أَنَّ السُّنَّةَ فِى الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى سِرًّا فِى نَفْسِهِ ، ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَيُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِى التَّكْبِيرَاتِ لاَ يَقْرَأُ فِى شَىْءٍ مِنْهُنَّ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا فِى نَفْسِهِ . ...dari Ma’mar dari az-Zuhriy ia berkata: telah mengkhabarkan kepadaku Abu Umamah bin Sahl bahwasanya seorang Sahabat Nabi telah mengkhabarkan kepadanya: Sesungguhnya sunnah dalam sholat jenazah adalah Imam bertakbir kemudian membaca surat al-Fatihah setelah takbir pertama secara sirr (lirih) dalam dirinya, kemudian bersholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam dan mengikhlaskan doa untuk jenazah dalam takbir-takbir berikutnya, tidak membaca (surat) apapun. Kemudian mengucapkan salam secara sirr (lirih) dalam dirinya (H.R al-Baihaqiy) Syaikh al-Albaniy rahimahullah menilai shahih hadits ini dalam Irwaul Gholiil dengan penguat dari riwayat al-Imam asy-Syafii dalam al-Umm dan riwayat Ibnu Abi Syaibah secara mursal. Contoh kedua: أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ عَنْ لَيْثِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَهُ عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا بَالُ الْمُؤْمِنِينَ يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ إِلَّا الشَّهِيدَ قَالَ كَفَى بِبَارِقَةِ السُّيُوفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً (رواه النسائي)  (anNasaai menyatakan) Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin al-Hasan ia berkata: telah menceritakan kepada kami Hajjaj dari Laits bin Sa’ad dari Muawiyah bin Sholih bahwasanya Shofwan bin ‘Amr menceritakan kepadanya dari Rosyid bin Sa’ad dari seorang laki-laki yang termasuk Sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya seseorang berkata: Wahai Rasulullah, mengapa kaum beriman mendapatkan ujian di kuburannya namun orang mati syahid tidak demikian? Nabi bersabda: Cukup kilatan pedang (sebelum menebas) kepalanya sebagai (pengganti) ujian (H.R anNasaai) Hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh al-Albaniy. Seorang yang terbunuh di jalan Allah dalam jihad yang syar’i, itu sudah cukup sebagai pengganti ujian di dalam kubur, pertanyaan dari 2 Malaikat (disarikan dari syarh Riyadhis Sholihin karya Syaikh Ibn Utsaimin (1/1489)). Contoh Hadits Mubham yang Lemah حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَوْ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ بِلَالًا أَخَذَ فِي الْإِقَامَةِ فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَامَهَا اللَّهُ وَأَدَامَهَا (Abu Dawud menyatakan) Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud al-’Atakiy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsabit (ia berkata) telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki penduduk Syam dari Syahr bin Hawsyab dari Abu Umamah atau dari sebagian sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya Bilal mengumandangkan iqomat. Ketika sampai kalimat: Qod qoomatis sholaah, Nabi shollallahu alaihi wasallam mengucapkan: Aqoomahallaahu wa adaamaha (H.R Abu Dawud) Para Ulama menjelaskan bahwa hadits tersebut lemah, setidaknya karena 2 sebab: Pertama: Perawi yang bernama Muhammad bin Tsabit (al-Abdiy) dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan anNasaai (ad-Dhuafaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauzi (3/45)). Kedua: Perawi yang mubham, tidak disebut namanya. Sehingga tidak diketahui siapa dia. Hanya disebutkan: “seorang laki-laki penduduk Syam”. Karena itu tidak disyariatkan mengucapkan Aqoomahallaahu wa adaamahaa saat menjawab iqomat: Qod Qoomatis Sholaah. Namun, kalau kita ingin menjawab seruan orang yang iqomat, hendaknya mengucapkan seperti yang diucapkan oleh orang yang iqomat itu. Jika dia mengucapkan Qod Qoomatis Sholaah, kita juga mengucapkan Qod Qoomatis sholaah. Karena iqomat semakna dengan adzan. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ Jika kalian mendengar kumandang (adzan/iqomat), ucapkanlah semisal dengan yang diucapkan muadzin (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudriy)(disarikan dari transkrip pelajaran syarh Sunan Abi Dawud yang disampaikan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad (3/40)). Adzan semakna dengan iqomat, berdasarkan hadits: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ الْمُزَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ Dari Abdullah bin Mughoffal al-Muzaniy bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Antara setiap 2 adzan ada sholat (beliau mengucapkan demikian 3 kali). Bagi siapa saja yang mau melaksanakannya (H.R al-Bukhari dan Muslim) Maksud antara 2 adzan itu kata para Ulama adalah antara adzan dan iqomat. (dikutip dari naskah buku "Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits (Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah), Abu Utsman Kharisman) WA al I'tishom https://t.me/manzhumahbaiquniyyah
5 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

definisi hadits aziz dan masyhur

Hadits Aziz dan Masyhur Matan al-Baiquniyyah: عَزِيزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أوْ ثَلاَثَهْ ... مَشْهُورُ مَرْوِي فَوْقَ مَا ثَلَاثَهْ Aziz adalah yang diriwayatkan 2 orang atau 3...sedangkan masyhur adalah yang diriwayatkan lebih dari 3 orang (tiap tingkatan)(Mandzhumah al-Baiquniyyah) Definisi Hadits Aziz dan Masyhur Penjelasan: Dalam pengelompokan hadits berdasarkan jumlah perawi pada tiap tingkatannya, terkhusus definisi aziz dan masyhur, ada perbedaan pendapat Ulama, yaitu : Pendapat Pertama: Aziz adalah tiap tingkatan jumlah perawinya minimal 2 atau 3. Sedangkan Masyhur adalah tiap tingkatan jumlah perawinya lebih dari 3 namun belum sampai derajat mutawatir. . Ini adalah pendapat dari Ibnu Mandah, Ibnus Sholah, dan al-Baiquniy. Pendapat Kedua: Aziz adalah tiap tingkatan jumlah perawinya  minimal 2. Sedangkan Masyhur adalah tiap tingkatan perawinya minimal 3, namun belum sampai derajat mutawatir. Ini adalah pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar dan as-Sakhowiy. Makna Aziz Secara Bahasa Aziz secara bahasa bisa bermakna sulit atau kuat. Sulit, jika dilihat bahwa hadits Aziz keberadaannya sedikit. Hampir sulit didapatkan. Disebut juga kuat karena ia memiliki lebih dari satu jalur periwayatan, sehingga bisa menguatkan (disarikan dari Fathul Mughits karya as-Sakhowiy). Dalam al-Quran, Allah Ta’ala berfirman: إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ Ketika Kami mengutus kepada mereka 2 Rasul, tetapi mereka mendustakannya. Kemudian kami kuatkan dengan Rasul yang ketiga dan mereka (para Rasul) berkata: Sesungguhnya kami diutus kepada kalian (Q.S Yaasin ayat 14)  Contoh Hadits Aziz Dalam kitab Nuzhatun Nadzhor fii Tawdhiihi Nukhbatil Fikar, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menyebutkan contoh hadits Aziz adalah hadits berikut: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ  Tidaklah (sempurna) iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai olehnya dibandingkan orangtuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya (H.R al-Bukhari, Muslim, anNasaai, Ibnu Majah) Orang yang meriwayatkan hadits ini dari Nabi adalah 2 orang Sahabat, yaitu Abu Hurairah dan Anas bin Malik. Sedangkan yang meriwayatkan dari Anas bin Malik ada 2 orang, yaitu Qotadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Syuaibah dan Said meriwayatkan dari Qotadah. Sedangkan Ismail bin Ulayyah dan Abdul Warits bin Said meriwayatkan dari Abdul Aziz bin Shuhaib.  Definisi Masyhur Selain Istilah Ulama Hadits Masyhur juga bisa bermakna hadits yang sudah banyak dinukil di kalangan orang awam, meski tidak jelas sanad atau keshahihannya. Al-Imam as-Sakhowiy meneliti hadits-hadits yang banyak tersebar dinukil oleh orang-orang, dalam kitab beliau berjudul: الْمَقَاصِدُ الْحَسَنَةُ فِي بَيَانِ كَثِيْرٍ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُشْتَهَرَةِ عَلَى الْأَلْسِنَةِ Yang artinya, “Maksud yang baik dalam menjelaskan kebanyakan hadits-hadits masyhur (yang banyak ternukil) oleh lisan. Perbedaan Ahlussunnah dan Mu’tazilah dalam Menyikapi Hadits Aziz Menurut Ahlussunnah, suatu hadits meski tidak sampai pada taraf aziz, jika terpenuhi syarat sebagai hadits shahih, bisa diterima dan diamalkan. Sehingga suatu hadits yang gharib pun, namun shahih, bisa diterima sebagai hujjah. Sedangkan menurut Mu’tazilah – salah satu kelompok yang menyimpang-, seperti Abu Ali al-Jubba-iy, hadits yang bisa diterima minimal pada derajat Aziz. Mereka berdalil dengan peristiwa saat Umar tidak menerima hadits dari Abu Musa al-Asy’ariy tentang meminta izin sebanyak 3 kali. Umar meminta Abu Musa untuk mencari orang lain sebagai saksi yang mendengar hadits tersebut dari Nabi. Hingga yang menjadi saksi adalah Abu Said al-Khudriy. Bantahan terhadap pendapat Mu’tazilah ini adalah sebagai berikut: Pertama: Kaidah tersebut bertentangan dengan metode Ulama Hadits seperti al-Bukhari dan Muslim. Contohnya, hadits Innamal A’maalu bin Niyaat dan Hadits 2 Kalimat yang Ringan Tapi Berat di Timbangan. Kedua hadits itu tidak masuk dalam kategori aziz, namun diterima dan dimasukkan oleh al-Bukhari maupun Muslim dalam kitab Shahih keduanya. Kedua: Dalam kasus yang disampaikan tersebut, Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu tidaklah menuduh dan meragukan ketsiqohan Abu Musa. Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu menyatakan: أَمَا إِنِّي لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنْ خَشِيتُ أَنْ يَتَقَوَّلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Sesungguhnya aku tidaklah menuduh engkau. Namun aku khawatir orang-orang akan bermudah-mudahan berdusta atas nama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (H.R Malik dan Abu Dawud) Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Umar menerima hal itu secara pribadi, namun beliau ingin memberi pelajaran kepada orang lain agar tidak bermudah-mudahan mengaku mendengar suatu hadits dari Nabi padahal tidak demikian. Ketiga: Pada kejadian lain, terbukti Umar menerima hadits dari satu orang. Seperti hadits dari Abdurrahman bin Auf bahwa jika terjangkit wabah pada suatu tempat jangan memasukinya. Jika kita telah berada di dalamnya jangan keluar dalam rangka lari darinya (H.R al-Bukhari dan Muslim).  فَجَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ قَالَ فَحَمِدَ اللَّهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ Kemudian Abdurrahman bin Auf datang, setelah sebelumnya beliau pergi karena suatu keperluannya. Abdurrahman bin Auf berkata: Saya memiliki ilmu tentang hal ini. Saya mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian mendengar wabah itu terjangkit pada suatu tempat, janganlah pergi menuju ke tempat itu. Jika ia menimpa suatu tempat saat kalian berada di dalamnya, janganlah keluar dalam rangka lari darinya. Kemudian Umar memuji Allah dan pergi (H.R al-Bukhari dan Muslim). Umar juga bergantian giliran dengan tetangganya, seorang Sahabat Anshar untuk mendengar hadits Nabi. Tetangganya itu hanya satu orang saja. Jika tiba giliran tetangganya itu mendatangi majelis Nabi, yang Umar tidak hadir, Sahabat Anshar itu nantinya saat pulang akan menceritakan hadits yang didengarnya dari Nabi. Begitulah mereka bergantian. Umar tidak menyuruh seorang tetangganya itu untuk mendatangkan saksi satu orang lain. Umar menerima penyampaian hadits dari satu orang tetangganya tersebut.  Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu berkata: وَكَانَ لِي جَارٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَيَأْتِينِي بِخَبَرِ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَآتِيهِ بِمِثْلِ ذَلِكَ  Aku memiliki tetangga orang Anshar. Kami bergantian datang ke (majelis) Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Ia yang datang di suatu hari, hari kemudian adalah giliranku. (Demikian bergiliran tiap hari). Ia akan menyampaikan kepadaku khabar tentang wahyu dan selainnya, aku pun (pada giliranku) akan menyampaikan seperti itu kepadanya (H.R Muslim)   (dikutip dari naskah buku "MUDAH MEMAHAMI ILMU MUSTHOLAH HADITS (Syarah Mandzhumah al-Baiquniyyah, Abu Utsman Kharisman) WA al I'tishom
5 tahun yang lalu
baca 7 menit
Thoriqussalaf
Thoriqussalaf oleh admin
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah orang yang terakhir masuk surga

DIA PUN AKHIRNYA MASUK SURGA Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc حفظه الله تعالى Sebuah kisah nabawi diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau riwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, satu petikan peristiwa mengharukan dan penggugah semangat bagi para pencari kebahagiaan. lnilah kisah orang terakhir yang keluar dari neraka. Dia pula orang terakhir yang memasuki jannah dengan derajat yang paling rendah. Alkisah, setelah shirath (jembatan) dipancangkan di atas neraka Jahannam, sementara di sisi-sisinya pengait-pengait tajam laksana duri pohon Sa'dan, manusia diperintah untuk menyeberanginya. Terbagilah mereka menjadi 3 golongan besar. Golongan pertama, mereka yang selamat tanpa halangan. Ada yang berjalan secepat kilat, ada yang berjalan sekejap mata, ada yang berlari seperti kuda, dan seterusnya. Mereka berjalan sesuai amalan ketika di dunia. Golongan kedua. mereka yang selamat menyeberangi shirat, namun terluka terkena sambaran-sambaran pengait. Adapun golongan ketiga, mereka adalah orang-orang yang tersungkur ke jurang neraka jahannam. Merekalah orang-orang kafir, kaum munafik, yaitu orang kafir yang menampakkan keislamannya, atau kaum muslimin yang lebih berat amalan keburukannya ketimbang kebaikannya. Selang beberapa waktu, para penghuni neraka yang masih memiliki iman dikeluarkan satu per satu. Ada yang mendapat syafa'at malaikat, para nabi, atau kaum mukminin dari penduduk surga. Demikianlah, banyak dari penduduk neraka dari kalangan pemeluk agama tauhid dikeluarkan. Hingga yang paling terakhirnya adalah seorang yang dikisahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau: إِنِّي لَأَ عْلَمُ آخِرَ أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا وَآخِرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولاً الْجَنَّةَ رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ حَبْوًا فَيَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى فَيَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ قَالَ فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ فَإِنَّ لَكَ مِثْلَ الدُّنْيَا وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا أَوْ إِنَّ لَكَ عَشَرَةَ أَمْثَالِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَقُولُ أَتَسْخَرُبِي؟ أَوْ أَتَضْحَكُ بِي وَأَنْتَ الْمَلِكُ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ قَالَ فَكَانَ يُقَالُ ذَاكَ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً ”Sungguh, Aku tahu seorang penduduk neraka yang paling akhir keluar darinya, seorang penduduk jannah yang paling akhir masuk ke dalam surga. Dialah seorang lelaki yang keluar dari neraka dengan keadaan merangkak. Allah سبحانه وتعالى berfirman kepadanya, ’Pergilah, masuklah engkau ke dalam jannah’ LaIu dia mendatangi jannah. Namun dikhayalkan kepadanya bahwa jannah telah penuh. Maka, dia kembali seraya berkata, ’Wahai Rabb-ku, aku mendapati jannah telah penuh.’ Allah سبحانه وتعالى berfirman kepadanya, ’Pergilah, masuklah engkau ke dalam jannah ! Sekali Iagi dia mendatangi jannah. Namun kembali dikhayalkan bahwa jannah telah penuh. Dia pun kembali seraya berkata, ’Wahai Rabb-ku, aku mendapati jannah telah penuh.’ Allah سبحانه وتعالى berfirman Iagi kepadanya, ’Pergilah, masuklah ke dalam jannah! Sesungguhnya untukmu semisal dunia dan sepuluh kalinya, -atau untukmu sepuluh kali dunia-.’ Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ’Laki-Iaki itu berkata, 'Apakah engkau memperolok-olok aku, padahal Engkau adalah Raja? Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, ’Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tertawa sampai nampak gigi geraham beliau.’ Dan dikatakan bahwa orang itu adalah penduduk surga yang paling rendah derajatnya." [H.R. Muslim]. Subhanallah, inikah penduduk jannah terakhir? Allah سبحانه وتعالى berikan kenikmatan kepadanya semisal dunia dan sepuluh kali lipatnya! Betapa indahnya jannah. Andai kita diberi semisal kerajaan Nabi Sulaiman عليه السلام -yang merupakan sebagian kecil dari kenikmatan dunia- andai itu yang Allah سبحانه وتعالى berikan di dunia ini, niscaya sudah merupakan kenikmatan besar. Lalu apakah terbayang kenikmatan penduduk jannah yang paling rendah ini❓ Demi Allah, tidak terbayang betapa besar dan indahnya. Pembaca Qudwah yang mulia, kisah di atas diriwayatkan pula dengan lebih rinci dalam riwayat Iain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa orang yang terakhir masuk surga adalah orang yang setiap kali melangkah, ia tersungkur dan dihanguskan oleh api neraka. Tatkala orang itu telah melewati neraka, dia menoleh ke arah neraka lalu berkata, ”Maha Suci Allah yang telah menyelamatkanku darimu (neraka), sungguh Dia telah memberiku sesuatu yang tidak pernah Dia berikan kepada orang lain dari umat yang pertama dan umat yang terakhir.” [H.R. Muslim] Sesungguhnya ia adalah manusia terendah dari penduduk jannah. Namun, ia merasa dialah orang yang paling beruntung dan tidak ada yang lebih beruntung darinya. Demi Allah, dia telah memperoleh keberuntungan yang hakiki. Dia diselamatkan dari neraka dan  dimasukkan ke dalam jannah. Allah سبحانه وتعالى berfirman, فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ "Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." [Q.S. Ali Imran: 185] Bukan kepingan emas yang menjadi patokan kebahagiaan. Bukan pula ekor-ekor sapi dan luasnya perkebunan. Semua itu hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melanjutkan sabda beliau, ”Kemudian orang tersebut ditunjukkan pada sebuah pohon. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabb❗️Dekatkan aku dengan pohon ini agar aku bisa berteduh dan meminum airnya.’ Maka Allah سبحانه وتعالى berfirman, 'Wahai anak Adam, jika Aku kabulkan permintaanmu, mungkin engkau akan meminta lagi yang Iain.’ Orang itu menjawab, ’Tidak. Wahai Rabbku.’ Allah Ialu mengambil janji darinya untuk tidak meminta lagi yang lain dari Allah. Dan Allah سبحانه وتعالى menerima alasan orang itu yang telah melihat sesuatu, kemudian ia tidak sabar untuk tidak memintanya. Allah سبحانه وتعالى pun mendekatkannya ke pohon tersebut. Sehingga ia berteduh dan meminum airnya. Tinggallah orang ini di bawah pohon pertama sekehendak Allah سبحانه وتعالى. Kemudian orang itu ditunjukkan kepada pohon lain yang Iebih bagus dari pohon yang pertama. Orang itu berkata, ”Wahai Rabbku. Dekatkanlah diriku kepada pohon itu. Agar aku bisa meminum airnya serta berteduh di bawahnya, dan aku tidak akan meminta yang Iain lagi.” Maka Allah سبحانه وتعالى berfirman, ’Wahai anak Adam, bukankah engkau telah berjanji tidak akan meminta yang lain? Jika Aku dekatkan dirimu ke pohon itu, mungkin engkau akan meminta lagi yang lain.' Kembali Allah سبحانه وتعالى menerima atasan orang itu. Karena Dia mengetahui ketidaksabarannya. Allah سبحانه وتعالى pun dekatkan orang tersebut kepada pohon kedua, kemudian ia berteduh dan meminum mya. Kali yang ketiga orang itu ditunjukkan pada sebuah pohon di pintu surga. Pohon yang lebih bagus dari dua pohon sebelumnya. Kemudian orang itu berkata, ”Wahai Rabbku! Dekatkanlah aku kepada pohon itu agar aku bisa berteduh dan meminum airnya. Aku tidak akan meminta yang Iain lagi kepada-Mu.” Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman, ”Hai manusia! Tidakkah engkau telah berjanji kepada-Ku untuk tidak meminta yang Iain lagi dari-Ku?’ Orang itu menjawab, ”Ya, wahai Rabbku❗️ Kali ini saya tidak akan meminta yang lain lagi kepada-Mu.” Allah سبحانه وتعالى menerima alasan orang itu. Karena Dia mengetahui ketidaksabarannya. Allah سبحانه وتعالى pun mendekatkannya kepada pohon tersebut. Ketika Allah سبحانه وتعالى mendekatkan orang itu kepada pohon tersebut, orang itu mendengar suara penghuni jannah. Subhanallah, kenikmatan jannah di depan mata. Suara penduduk jannah yang penuh kebahagiaan terdengar di telinga orang itu, hingga ia pun tidak sabar untuk berkata kepada Rabbnya, sebagaimana Rasulullah ﷺ kisahkan, "Wahai Rabbku❗️ Masukkanlah aku ke dalam jannah" Allah سبحانه وتعالى berfirman, ”Hai Anak Adam. Mengapa engkau mengingkari janjimu pada-Ku❓ Ridhakah engkau jika Aku memberimu dunia ditambah dengan yang semisalnya"' Betapa besarnya kasih sayang Allah. Dia tetapkan orang itu sebagai penduduk jannah. Seakan tak percaya, orang itu menjawab, ”Wahai Rabbku! Apakah Engkau mengolok-olok aku, sedangkan Engkau adalah Rabbul'alamin?" Kemudian Ibnu Mas'ud رضي الله عنه tertawa. Lalu berkata, "Tidakkah kalian bertanya tentang apa yang membuatku tertawa?" Mereka menjawab, “Mengapa engkau tertawa?" Ibnu Mas’ud رضي الله عنه menjawab, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dahulu juga tertawa. Para shahabat رضي الله عنهم kala itu pun bertanya, ”Apa yang membuat Anda tertawa wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, ”Karena tertawanya Penguasa alam semesta ketika orang tersebut mengatakan kepada Allah, ’Apakah Engkau menertawakan saya sedangkan Engkau adalah Penguasa alam semesta?’ Allah سبحانه وتعالى berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak menertawakanmu. Tetapi Aku Maha Kuasa atas apa yang Aku kehendaki." Hadits yang panjang ini diriwayatkan oleh Imam Muslim رحمه الله dalam kitab Shahih beliau. Faedah Kisah: 1. Kisah yang agung ini menunjukkan besarnya kenikmatan jannah. Penduduk jannah yang terakhir saja mendapatkan semisal dunia dan dilipatkan sepuluh kali lipatnya. Lalu bagaimana dengan penduduk jannah yang di atasnya? Bagaimana pula dengan derajat tertinggi yang telah Allah sediakan bagi kekasihnya, Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wasallam? Benarlah firman Allah سبحانه وتعالى: فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ”Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”  [Q.S. As-Sajdah: 17]. 2 Kisah ini menunjukkan bahwasannya jannah memiliki tingkatan-tingkatan. 3 Hadits ini salah satu dalil dari keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, bahwa penduduk neraka yang masih memiliki iman walaupun seberat dzarrah tidak akan kekal di neraka. Allah سبحانه وتعالى berfirman: فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.” [Q.S. Az-Zalzalah: 7]. 4. Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap kaum Khawarij dan Mu'tazilah yang berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka dan tidak akan keluar darinya selama-lamanya. Kisah ini dengan tegas menetapkan keluarnya orang yang sudah masuk ke dalam neraka selama dia masih muslim, walaupun termasuk pelaku dosa besar. 5. Hadits ini menetapkan beberapa sifat Allah سبحانه وتعالى. Di antaranya sifat-sifat itu adalah AI-Kalam, Allah سبحانه وتعالى maha mampu berbicara. 6. Hadits ini menetapkan bahwasannya ahlul jannah berbicara dengan Allah dan mereka mendengar pembicaraan Allah سبحانه وتعالى. 7. Di antara sifat yang juga ditetapkan dalam hadits ini adalah sifat tertawa bagi Allah سبحانه وتعالى-. Tentu saja dalam menetapkan sifat-sifat Allah سبحانه وتعالى, harus diiringi dengan keyakinan bahwa semua sifat Allah adalah sifat yang maha sempurna dan maha agung. Tidak ada satu makhluk pun yang serupa dengan sifat-sifat Allah. 8. Hadits ini adalah dalil tentang adanya tempat di antara jannah dan neraka. Seperti orang yang terakhir keluar dari neraka, dia telah selamat dan keluat dari neraka, namun masih berada di luar jannah. Sumber || Majalah Qudwah Edisi 05 Grup Whatsap أتباع السنة
5 tahun yang lalu
baca 9 menit