Hadits

Thoriqussalaf
Thoriqussalaf oleh admin

tanda-tanda isteri derhaka

5 tahun yang lalu
baca 1 menit
Thoriqussalaf
Thoriqussalaf oleh admin

sebaik-baik harta seorang muslim

5 tahun yang lalu
baca 1 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

pengertian hadits mubham

KAJIAN ILMU MUSTHOLAH HADITS (PENJELASAN MANDZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH) PENGERTIAN HADITS MUBHAM Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan: وَمُبْهَمٌ مَا فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ dan mubham adalah yang di dalamnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya (Mandzhumah al-Baiquniyyah) Pengertian Hadits Mubham Penjelasan: Definisi mubham adalah hadits yang dalam silsilah mata rantai perawinya ada perawi yang tidak disebutkan namanya. Misalkan hanya disebutkan: dari seorang laki-laki, atau dari seorang wanita, dan semisalnya. Mubham pada perawi menyebabkan perawi itu tidak bisa diketahui apakah terpercaya atau tidak. Hadits mubham tidak mengapa jika pada bagian perawi yang mubham dipastikan adalah: 1) Sahabat Nabi, atau: 2) dengan isyarat tanpa nama itu sudah diketahui siapa sebenarnya perawi tersebut karena sudah masyhur dan ia tergolong perawi yang diterima periwayatannya. Contoh: dalam suatu hadits, disebut perawi: Kaatibul Mughiroh (juru tulis al-Mughiroh). Ini sudah dimaklumi bahwa juru tulis al-Mughiroh adalah Warrood ats-Tsaqofiy yang tsiqoh. Atau, 3) dalam satu jalur riwayat disebutkan secara mubham, namun tidak mubham pada jalur lain. Jika tidak memenuhi ke-3 kriteria tersebut, sehingga tidak diketahui siapa orang yang mubham tersebut, maka ini tergolong lemah karena tidak diketahui siapa dan bagaimana status perawi tersebut, terpercaya atau tidak. Padahal salah satu kriteria hadits shahih adalah perawinya adil dan dhobith (tsiqoh). Contoh Hadits Mubham yang Shahih Berikut ini akan disebutkan 2 contoh hadits Nabi yang mubham, namun perawi yang mubham dipastikan adalah Sahabat Nabi. Hal itu tidak mengapa. Karena sudah dipastikan bahwa seluruh Sahabat Nabi terpercaya. Contoh pertama: عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ : أَنَّهُ أَخْبَرَهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- : أَنَّ السُّنَّةَ فِى الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى سِرًّا فِى نَفْسِهِ ، ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَيُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِى التَّكْبِيرَاتِ لاَ يَقْرَأُ فِى شَىْءٍ مِنْهُنَّ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا فِى نَفْسِهِ . ...dari Ma’mar dari az-Zuhriy ia berkata: telah mengkhabarkan kepadaku Abu Umamah bin Sahl bahwasanya seorang Sahabat Nabi telah mengkhabarkan kepadanya: Sesungguhnya sunnah dalam sholat jenazah adalah Imam bertakbir kemudian membaca surat al-Fatihah setelah takbir pertama secara sirr (lirih) dalam dirinya, kemudian bersholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam dan mengikhlaskan doa untuk jenazah dalam takbir-takbir berikutnya, tidak membaca (surat) apapun. Kemudian mengucapkan salam secara sirr (lirih) dalam dirinya (H.R al-Baihaqiy) Syaikh al-Albaniy rahimahullah menilai shahih hadits ini dalam Irwaul Gholiil dengan penguat dari riwayat al-Imam asy-Syafii dalam al-Umm dan riwayat Ibnu Abi Syaibah secara mursal. Contoh kedua: أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ عَنْ لَيْثِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَهُ عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا بَالُ الْمُؤْمِنِينَ يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ إِلَّا الشَّهِيدَ قَالَ كَفَى بِبَارِقَةِ السُّيُوفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً (رواه النسائي)  (anNasaai menyatakan) Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin al-Hasan ia berkata: telah menceritakan kepada kami Hajjaj dari Laits bin Sa’ad dari Muawiyah bin Sholih bahwasanya Shofwan bin ‘Amr menceritakan kepadanya dari Rosyid bin Sa’ad dari seorang laki-laki yang termasuk Sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya seseorang berkata: Wahai Rasulullah, mengapa kaum beriman mendapatkan ujian di kuburannya namun orang mati syahid tidak demikian? Nabi bersabda: Cukup kilatan pedang (sebelum menebas) kepalanya sebagai (pengganti) ujian (H.R anNasaai) Hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh al-Albaniy. Seorang yang terbunuh di jalan Allah dalam jihad yang syar’i, itu sudah cukup sebagai pengganti ujian di dalam kubur, pertanyaan dari 2 Malaikat (disarikan dari syarh Riyadhis Sholihin karya Syaikh Ibn Utsaimin (1/1489)). Contoh Hadits Mubham yang Lemah حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَوْ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ بِلَالًا أَخَذَ فِي الْإِقَامَةِ فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَامَهَا اللَّهُ وَأَدَامَهَا (Abu Dawud menyatakan) Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud al-’Atakiy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsabit (ia berkata) telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki penduduk Syam dari Syahr bin Hawsyab dari Abu Umamah atau dari sebagian sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya Bilal mengumandangkan iqomat. Ketika sampai kalimat: Qod qoomatis sholaah, Nabi shollallahu alaihi wasallam mengucapkan: Aqoomahallaahu wa adaamaha (H.R Abu Dawud) Para Ulama menjelaskan bahwa hadits tersebut lemah, setidaknya karena 2 sebab: Pertama: Perawi yang bernama Muhammad bin Tsabit (al-Abdiy) dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan anNasaai (ad-Dhuafaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauzi (3/45)). Kedua: Perawi yang mubham, tidak disebut namanya. Sehingga tidak diketahui siapa dia. Hanya disebutkan: “seorang laki-laki penduduk Syam”. Karena itu tidak disyariatkan mengucapkan Aqoomahallaahu wa adaamahaa saat menjawab iqomat: Qod Qoomatis Sholaah. Namun, kalau kita ingin menjawab seruan orang yang iqomat, hendaknya mengucapkan seperti yang diucapkan oleh orang yang iqomat itu. Jika dia mengucapkan Qod Qoomatis Sholaah, kita juga mengucapkan Qod Qoomatis sholaah. Karena iqomat semakna dengan adzan. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ Jika kalian mendengar kumandang (adzan/iqomat), ucapkanlah semisal dengan yang diucapkan muadzin (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudriy)(disarikan dari transkrip pelajaran syarh Sunan Abi Dawud yang disampaikan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad (3/40)). Adzan semakna dengan iqomat, berdasarkan hadits: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ الْمُزَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ Dari Abdullah bin Mughoffal al-Muzaniy bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Antara setiap 2 adzan ada sholat (beliau mengucapkan demikian 3 kali). Bagi siapa saja yang mau melaksanakannya (H.R al-Bukhari dan Muslim) Maksud antara 2 adzan itu kata para Ulama adalah antara adzan dan iqomat. (dikutip dari naskah buku "Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits (Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah), Abu Utsman Kharisman) WA al I'tishom https://t.me/manzhumahbaiquniyyah
5 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

definisi hadits aziz dan masyhur

Hadits Aziz dan Masyhur Matan al-Baiquniyyah: عَزِيزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أوْ ثَلاَثَهْ ... مَشْهُورُ مَرْوِي فَوْقَ مَا ثَلَاثَهْ Aziz adalah yang diriwayatkan 2 orang atau 3...sedangkan masyhur adalah yang diriwayatkan lebih dari 3 orang (tiap tingkatan)(Mandzhumah al-Baiquniyyah) Definisi Hadits Aziz dan Masyhur Penjelasan: Dalam pengelompokan hadits berdasarkan jumlah perawi pada tiap tingkatannya, terkhusus definisi aziz dan masyhur, ada perbedaan pendapat Ulama, yaitu : Pendapat Pertama: Aziz adalah tiap tingkatan jumlah perawinya minimal 2 atau 3. Sedangkan Masyhur adalah tiap tingkatan jumlah perawinya lebih dari 3 namun belum sampai derajat mutawatir. . Ini adalah pendapat dari Ibnu Mandah, Ibnus Sholah, dan al-Baiquniy. Pendapat Kedua: Aziz adalah tiap tingkatan jumlah perawinya  minimal 2. Sedangkan Masyhur adalah tiap tingkatan perawinya minimal 3, namun belum sampai derajat mutawatir. Ini adalah pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar dan as-Sakhowiy. Makna Aziz Secara Bahasa Aziz secara bahasa bisa bermakna sulit atau kuat. Sulit, jika dilihat bahwa hadits Aziz keberadaannya sedikit. Hampir sulit didapatkan. Disebut juga kuat karena ia memiliki lebih dari satu jalur periwayatan, sehingga bisa menguatkan (disarikan dari Fathul Mughits karya as-Sakhowiy). Dalam al-Quran, Allah Ta’ala berfirman: إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ Ketika Kami mengutus kepada mereka 2 Rasul, tetapi mereka mendustakannya. Kemudian kami kuatkan dengan Rasul yang ketiga dan mereka (para Rasul) berkata: Sesungguhnya kami diutus kepada kalian (Q.S Yaasin ayat 14)  Contoh Hadits Aziz Dalam kitab Nuzhatun Nadzhor fii Tawdhiihi Nukhbatil Fikar, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menyebutkan contoh hadits Aziz adalah hadits berikut: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ  Tidaklah (sempurna) iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai olehnya dibandingkan orangtuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya (H.R al-Bukhari, Muslim, anNasaai, Ibnu Majah) Orang yang meriwayatkan hadits ini dari Nabi adalah 2 orang Sahabat, yaitu Abu Hurairah dan Anas bin Malik. Sedangkan yang meriwayatkan dari Anas bin Malik ada 2 orang, yaitu Qotadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Syuaibah dan Said meriwayatkan dari Qotadah. Sedangkan Ismail bin Ulayyah dan Abdul Warits bin Said meriwayatkan dari Abdul Aziz bin Shuhaib.  Definisi Masyhur Selain Istilah Ulama Hadits Masyhur juga bisa bermakna hadits yang sudah banyak dinukil di kalangan orang awam, meski tidak jelas sanad atau keshahihannya. Al-Imam as-Sakhowiy meneliti hadits-hadits yang banyak tersebar dinukil oleh orang-orang, dalam kitab beliau berjudul: الْمَقَاصِدُ الْحَسَنَةُ فِي بَيَانِ كَثِيْرٍ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُشْتَهَرَةِ عَلَى الْأَلْسِنَةِ Yang artinya, “Maksud yang baik dalam menjelaskan kebanyakan hadits-hadits masyhur (yang banyak ternukil) oleh lisan. Perbedaan Ahlussunnah dan Mu’tazilah dalam Menyikapi Hadits Aziz Menurut Ahlussunnah, suatu hadits meski tidak sampai pada taraf aziz, jika terpenuhi syarat sebagai hadits shahih, bisa diterima dan diamalkan. Sehingga suatu hadits yang gharib pun, namun shahih, bisa diterima sebagai hujjah. Sedangkan menurut Mu’tazilah – salah satu kelompok yang menyimpang-, seperti Abu Ali al-Jubba-iy, hadits yang bisa diterima minimal pada derajat Aziz. Mereka berdalil dengan peristiwa saat Umar tidak menerima hadits dari Abu Musa al-Asy’ariy tentang meminta izin sebanyak 3 kali. Umar meminta Abu Musa untuk mencari orang lain sebagai saksi yang mendengar hadits tersebut dari Nabi. Hingga yang menjadi saksi adalah Abu Said al-Khudriy. Bantahan terhadap pendapat Mu’tazilah ini adalah sebagai berikut: Pertama: Kaidah tersebut bertentangan dengan metode Ulama Hadits seperti al-Bukhari dan Muslim. Contohnya, hadits Innamal A’maalu bin Niyaat dan Hadits 2 Kalimat yang Ringan Tapi Berat di Timbangan. Kedua hadits itu tidak masuk dalam kategori aziz, namun diterima dan dimasukkan oleh al-Bukhari maupun Muslim dalam kitab Shahih keduanya. Kedua: Dalam kasus yang disampaikan tersebut, Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu tidaklah menuduh dan meragukan ketsiqohan Abu Musa. Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu menyatakan: أَمَا إِنِّي لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنْ خَشِيتُ أَنْ يَتَقَوَّلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Sesungguhnya aku tidaklah menuduh engkau. Namun aku khawatir orang-orang akan bermudah-mudahan berdusta atas nama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (H.R Malik dan Abu Dawud) Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Umar menerima hal itu secara pribadi, namun beliau ingin memberi pelajaran kepada orang lain agar tidak bermudah-mudahan mengaku mendengar suatu hadits dari Nabi padahal tidak demikian. Ketiga: Pada kejadian lain, terbukti Umar menerima hadits dari satu orang. Seperti hadits dari Abdurrahman bin Auf bahwa jika terjangkit wabah pada suatu tempat jangan memasukinya. Jika kita telah berada di dalamnya jangan keluar dalam rangka lari darinya (H.R al-Bukhari dan Muslim).  فَجَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ قَالَ فَحَمِدَ اللَّهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ Kemudian Abdurrahman bin Auf datang, setelah sebelumnya beliau pergi karena suatu keperluannya. Abdurrahman bin Auf berkata: Saya memiliki ilmu tentang hal ini. Saya mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian mendengar wabah itu terjangkit pada suatu tempat, janganlah pergi menuju ke tempat itu. Jika ia menimpa suatu tempat saat kalian berada di dalamnya, janganlah keluar dalam rangka lari darinya. Kemudian Umar memuji Allah dan pergi (H.R al-Bukhari dan Muslim). Umar juga bergantian giliran dengan tetangganya, seorang Sahabat Anshar untuk mendengar hadits Nabi. Tetangganya itu hanya satu orang saja. Jika tiba giliran tetangganya itu mendatangi majelis Nabi, yang Umar tidak hadir, Sahabat Anshar itu nantinya saat pulang akan menceritakan hadits yang didengarnya dari Nabi. Begitulah mereka bergantian. Umar tidak menyuruh seorang tetangganya itu untuk mendatangkan saksi satu orang lain. Umar menerima penyampaian hadits dari satu orang tetangganya tersebut.  Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu berkata: وَكَانَ لِي جَارٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَيَأْتِينِي بِخَبَرِ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَآتِيهِ بِمِثْلِ ذَلِكَ  Aku memiliki tetangga orang Anshar. Kami bergantian datang ke (majelis) Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Ia yang datang di suatu hari, hari kemudian adalah giliranku. (Demikian bergiliran tiap hari). Ia akan menyampaikan kepadaku khabar tentang wahyu dan selainnya, aku pun (pada giliranku) akan menyampaikan seperti itu kepadanya (H.R Muslim)   (dikutip dari naskah buku "MUDAH MEMAHAMI ILMU MUSTHOLAH HADITS (Syarah Mandzhumah al-Baiquniyyah, Abu Utsman Kharisman) WA al I'tishom
5 tahun yang lalu
baca 7 menit