Tanya Jawab

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

orang yang meninggal karena tabrakan mati syahid ??

ORANG YANG MATI TERTABRAK MOBIL ATAU TERBALIK MOBILNYA DIHARAPKAN MEMPEROLEH MATI SYAHID Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah Pertanyaan: Salah satu saudaraku pernah menyetir mobil dengan sangat cepat dan saudaraku yang lain sedang duduk disamping dinding rumah,Qadarullah mobil . tersebut menabraknya dan tabrakan tersebut keras, maka ia meninggal seketika tanpa mengucapakan sepatah kalimatpun. Ketika peziarah datang, banyak dari mereka yang mengatakan bahwa ia dianggap syahid, mereka mengatakan bahwa ulama telah bersepakat dalam hal ini, karena meninggal akibat tabrakan mobil dianggap sebagai hadam (meninggal karena benturan keras/hantaman/runtuhan), apakah benar ia syahid? Jawaban: Kami berharap demikian, pendapat yang lebih tepat wallahu a'am- ia (korban tabrakan maut) dihukumi  mati syahid, karena merupakan korban tabrakan mobil atau mobil terbalik atau kecelakaan, semuanya termasuk hukum hadam (meninggal karena benturan keras/hantaman/runtuhan). Dia insya Allah syahid. Jika ia tertabrak mobil, atau mobil terbalik maka sopir dan penumpangnya dihukumi mati syahid- insya Allah- yaitu dari sisi pahala. Ia tetap dimandikan dan dishalatkan. Adapun orang mati syahid yang tidak dimandikan dan tidak dishalatkan mereka adalah yang mati syahid di peperangan. Orang yang meninggal di medan jihad fisabilillah tidak dimandikan dan tidak dishalatkan namun dikuburkan bersama pakaian dan darah mereka, sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap korban yang gugur pada peperangan Uhud sebagai syahid di peperangan. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memandikan dan menyalati mereka serta mengabarkan bahwa mereka hidup disisi Rabb mereka dengan mendapat rezki. Adapun orang yang meninggal karena hadam, tenggelam...sakit perut atau tha'un (penyakit pes), mereka inilah yang dikatakan bagi mereka syahid, begitu pula orang yang sama dalam kategori hukum syahid seperti orang yang tertabrak mobil atau terbalik mobilnya atau selainnya, mereka inilah yang termasuk hukum syahid dari sisi pahala, namun mereka  dimandikan dan dishalatkan. Semoga Allah ta'ala membalas kebaikan bagi kalian. http://www.binbaz.org.sa/node/17382 Abu Zulfa Anas WHATSAPP AL-UKHUWWAH الذي يموت في صدام السيارات أو انقلابها يرجى له الشهادة كان أحد إخوتي يقود السيارة بسرعة شديدة، وأخي الثاني جالس إلى جوار حائط المنزل، فقدر الله أن تندفع السيارة تجاهه، وقد أحدث ذلك إصابات بليغة توفي على إثرها في الحال دون أن ينطق بأي كلمة، وعندما قدم المعزون ذكر العديد منهم أنه يعتبر شهيداً، وأخبروا بأن العلماء قد أجمعوا على ذلك؛ لأن الوفاة في حادث سيارة يدخل في حكم الهدم، فهل صحيح أنه شهيد؟ نرجو ذلك، الأقرب -والله أعلم- أنه في حكم الشهيد؛ لأن ضرب السيارة له، أو انقلابها به، أو المصادمة كل هذه في حكم الهدم، فهو -إن شاء الله- شهيد، إذا دفعته السيارة أو انقلبت به السيارة، أو صدمته السيارة من الإمام أو من الخلف كله في حكم الهدم -إن شاء الله- حكمه حكم الشهداء -إن شاء الله- يعني من جهة الأجر، لكنه يغسل ويصلى عليه، لكن من جهة الأجر، أما الشهداء الذين لا يغسلون ولا يصلى عليهم هؤلاء شهداء المعركة، الشهداء في المعركة الذين يقتلون ويموتون في المعركة، معركة الجهاد في سبيل الله، هؤلاء لا يغسلون ولا يصلى عليهم، بل يدفنون في ثيابهم ودمائهم، كما فعله النبي -صلى الله عليه وسلم- في قتلى أحد، الذين ماتوا في وقعة أحد شهداء في المعركة لم يغسلهم ولم يصل عليهم -عليه الصلاة والسلام-، وأخبر أنهم أحياءٌ عند ربهم يرزقون، أما الذي مات بهدم أو غرق أو ...... البطن أو الطاعون هؤلاء يقال لهم: شهداء، وهكذا من في حكمهم مثل من يصدم بالسيارة أو تنقلب به السيارة أو نحو ذلك، هؤلاء لهم حكم الشهداء من جهة الأجر، لكنهم يغسلون ويصلى عليهم. جزاكم الله خيراً. ✆ WA Al Istifadah ※ WALIS ✆ ✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧ الموقع الرسمي للمجموعة: http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html 〰〰〰〰〰〰〰
9 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum mengolok-olok orang yang memelihara jenggot

MENGOLOK-OLOK ORANG YANG MEMELIHARA JENGGOT Fatwa nomor 5044 PERTANYAAN: Bagaimana hukum syari'at terkait dengan orang yang mengolok-olok salah satu sunnah nabi kita Muhammad - صلى الله عليه وسلم seperti mengolok-olok jenggot atau orang yang memelihara jenggot. Dia memanggil orang yang berjenggot dengan panggilan "wahai jenggot" untuk tujuan mengolok-olok. Maka dari kebaikan dan kemurahan hati anda kami mengharapkan penjelasan tentang hukum orang yang mengucapkan olok-olokan tersebut. JAWABAN: Mengolok-olok jenggot merupakan kemungkaran yang sangat besar. Jika maksud orang yang mengucapkannya tersebut dalam rangka mengejek maka hal tersebut merupakan kekufuran. Dan jika dia memaksudkannya dalam rangka sebagai ta'rif (ciri atau tanda seseorang) maka tidak termasuk kekufuran. Dan dia tidak pantas memanggilnya dengan panggilan demikian. Sebagaimana yang Allah firmankan [yang maknanya] : "..... Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman...." (At Taubah: 65-66) وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم. Komite Tetap Riset Ilmiyah dan Fatwa Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz Wakil: Abdurrozzaq Afify Anggota: Abdullah bin Ghudayyan Abdullah bin Qu'ud ------------------------------------------------------ فتوى رقم (5044) : س: ما حكم الشرع فيمن استهزأ بسنة من سنن نبينا محمد صلى الله عليه وسلم كمن يستهزئ باللحية أو بصاحبها؛ لكونه ذا لحية فيناديه استهزاء: (يا دقن) فنرجو من فضيلتكم التكرم ببيان حكم قائلها. ج: الاستهزاء باللحية منكر عظيم، فإن قصد القائل بقوله: (يا دقن) السخرية فذلك كفر، وإن قصد التعريف فليس بكفر، ولا ينبغي له أن يدعوه بذلك؛ لقول الله عز وجل: {قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ} (1) {لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ} (2) الآية. وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم. اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء عضو ... عضو ... نائب رئيس اللجنة ... الرئيس عبد الله بن قعود ... عبد الله بن غديان ... عبد الرزاق عفيفي ... عبد العزيز بن عبد الله بن باز http://shamela.ws/browse.php/book-8381/page-1414#page-1102 Kontributor: Al ustadz Abu Dawud Al Pasimy (Naskah ini telah dikoreksi oleh Asatidzah di group SLN 1) Salafy Lintas Negara MEMANJANGKAN JENGGOT ADALAH AJARAN RASULULLAH Shallallahu alaihi wa sallam . Telah terjadi berbagai musibah besar akibat banyak orang  melanggar sunnah ini, dan memerangi jenggot. Mereka rela serupa dengan orang-orang kafir dan kaum wanita. Termasuk pelanggaran ini dilakukan oleh orang-orang yang menisbahkan kepada ilmu dan taklim (para da'i,  kyai,  tokoh/cendekiawan Islam,  dll) Inna lillahi wa Inna ilaihi Rajiun  Kita memohon kepada Allah agar memberikan petunjuk kepada kita dan kaum muslimin untuk senantiasa sesuai dan berpegang teguh dengan Sunnah, serta mengajak kepadanya. Meskipun banyak orang membenci/tidak suka kepadanya. Hasbunallah wa Ni'ma al-Wakil. Laahulaa walaa Quwwata illa billah. asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz rahimahullah, at-Tahqiq wa al-Idhaah (39) Majmu'ah Manhajul Anbiya --------------------- Baca artikel terkait : Hati-hati Mengolok-olok Syariat Islam
9 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

sahabat nabi pernah makan makanan yg dihidangkan diatas meja???

APAKAH PARA SAHABAT NABI PERNAH MAKAN MAKANAN YANG DIHIDANGKAN DI ATAS MEJA? Makan dengan makanan yang dihamparkan pada nampan atau di atas lantai tidak dengan meja makan adalah perbuatan yang dilakukan para Sahabat Nabi. Namun bukan berarti para Sahabat Nabi tidak pernah makan di atas meja makan sama sekali. Sahabat Nabi Anas bin Malik radhiyallahu anhu tidak pernah mengetahui Nabi makan di atas meja makan, namun pernah terjadi –berdasarkan riwayat Sahabat Nabi lain- bahwa . dihidangkan makanan di atas khuwaan (sejenis meja makan dari kayu) dan Nabi tidak mengingkarinya. Berikut ini akan disebutkan hadits Anas bin Malik yang tidak pernah melihat Nabi makan di atas meja makan dan juga hadits bahwa sebagian Sahabat makan yang dihidangkan di atas meja makan dan tidak diingkari oleh Nabi: عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا أَكَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلَا فِي سُكُرُّجَة Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu beliau berkata: Tidak (pernah) Nabi shollallahu alaihi wasallam makan di atas meja ataupun menggunakan sukurrujah (sejenis bejana kecil)(H.R al-Bukhari) إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ وَعِنْدَهُ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَامْرَأَةٌ أُخْرَى إِذْ قُرِّبَ إِلَيْهِمْ خُوَانٌ عَلَيْهِ لَحْمٌ فَلَمَّا أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْكُلَ قَالَتْ لَهُ مَيْمُونَةُ إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ فَكَفَّ يَدَهُ وَقَالَ هَذَا لَحْمٌ لَمْ آكُلْهُ قَطُّ وَقَالَ لَهُمْ كُلُوا فَأَكَلَ مِنْهُ الْفَضْلُ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَالْمَرْأَةُ Sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ketika berada di sisi Maimunah dan bersama beliau ada al-Fadhl bin Abbas dan Kholid bin al-Walid dan seorang wanita lain, pada saat itu didekatkan pada mereka khuwaan (meja) yang di atasnya terdapat daging. Nabi shollallahu alaihi wasallam sudah akan mengambil makanan tersebut, Maimunah berkata kepada beliau: Sesungguhnya itu adalah daging ad-Dhobb (mirip biawak). Maka Nabi menahan diri (tidak jadi makan). Kemudian beliau bersabda: Ini adalah daging yang aku belum pernah memakannya. Kemudian beliau berkata kepada para Sahabat: Makanlah! Maka makanlah al-Fadhl, Kholid bin al-Waliid, dan seorang wanita (H.R Muslim dari Ibnu Abbas) Makan di atas meja dengan sendok dan garpu juga bukanlah tasyabbuh dengan orang-orang Kafir. Berikut kutipan dan terjemahan fatwa al-Lajnah ad-Daaimah: س : هل صحيح أن الأكل على الطاولة (غرف السفرة) تشبها بالكفار ، وهل استعمال الملعقة أو الشوكة أثناء الأكل من الكبر ، أو من التشبه بالكفار ؟ ج  : لا حرج في الأكل على ما ذكر من الطاولة ونحوها ، ولا في الأكل بالشوكة والملعقة ونحوهما ، وليس في ذلك تشبه بالكفارة لأنه ليس مما يختص بهم . وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم Pertanyaan: Apakah benar bahwa makan di atas meja makan (ruang makan) adalah tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Apakah menggunakan sendok dan garpu pada saat makan termasuk kesombongan atau tasyabbuh dengan orang-orang kafir? Jawab: Tidak mengapa makan sebagaimana yang disebutkan, di atas meja makan dan semisalnya. Tidak mengapa pula makan dengan garpu dan sendok dan semisalnya. Yang demikian bukanlah tasyabbuh dengan orang-orang kafir karena hal itu bukan kekhususan perbuatan mereka . Wa billahit taufiq wa shollallahu ala nabiyyinaa muhammadin wa aalihi wa shohbihi wa sallam. Al-Lajnah ad-Daaimah lil buhuuts wal iftaa’ Ketua : Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz Wakil Ketua: Abdurrozzaq Afiifi Anggota : Abdullah bin Ghudayyan (fatwa no 11292). Intinya, makan dengan makanan yang dihamparkan di atas lantai/ tanah dan makan bersama adalah sesuatu yang sering dilakukan Nabi dan para Sahabat. Sesuatu hal yang utama. Namun, tidaklah dikatakan bahwa makan di atas meja adalah sesuatu hal yang terlarang atau perbuatan yang munkar. Demikian juga makan berjamaah adalah lebih utama, namun makan sendiri-sendiri bukanlah sesuatu hal yang terlarang. ...لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا... …Tidak ada dosa bagi kalian makan bersama-sama atau sendiri-sendiri…(Q.S anNuur ayat 61) Tambahan catatan: Penjelasan makna khuwaan sebagai meja dari kayu bisa dilihat pada ‘Anul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud. Wallaahu A’lam. (Abu Utsman Kharisman) WA al-I'tishom =====*****===== Publikasi: WA Salafy Solo www.salafymedia.com 8 Muharram 1437 H | 21 Oktober 2015
9 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum tinggal bersama mantan istri

TINGGAL BERSAMA MANTAN ISTRI Jawab: Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak boleh si wanita tinggal di rumah lelaki yang telah menceraikannya, dalam keadaan lelaki tersebut atau orang lain yang bukan mahramnya masuk ke rumah itu. Adapun jika ia dan putra-putranya tinggal . di rumah yang terpisah, tidak berhubungan dengan tempat tinggal mantan suaminya, dan si mantan suami juga tidak masuk ke rumah tersebut dan tidak tinggal bersama mereka, ini tidak apa-apa. Jika keadaannya seperti yang ditanyakan—mereka tinggal serumah padahal sudah bercerai, seakan-akan si wanita masih berstatus sebagai istrinya yang mantan suami biasa masuk menemuinya dan semisalnya—tentu hal ini tidak diperbolehkan. Si wanita wajib menjauh dari mantan suaminya (1) dan tinggal di rumah yang terpisah, yang aman dari terjadi fitnah (godaan) dan hal lain yang dikhawatirkan.” Selanjutnya asy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa ketentuan ini berlaku jika talak yang terjadi adalah talak ba’in (talak tiga atau talak yang tidak dapat dirujuk walaupun masih dalam masa ‘iddah). Adapun jika talaknya adalah talak raj’i (talak satu atau dua) dan si wanita masih dalam masa ‘iddah, ia tetap tinggal di rumah suaminya, seatap dengannya. (2) Ini berdasarkan firman Allah Subhanahuwata'ala: “Janganlah kalian (para suami yang mentalak) mengeluarkan mereka (para istri yang ditalak) dari rumah mereka (yang ditempati bersama kalian) dan janganlah mereka keluar dari rumah, melainkan jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (ath-Thalaq: 1) Ketentuan yang disebutkan oleh ayat di atas berlaku untuk istri yang ditalak raj’i, selama dalam masa ‘iddah. Adapun wanita yang ditalak ba’in oleh suaminya, ia tidak berhak beroleh tempat tinggal. Setelah perceraian, ia tidak boleh tinggal serumah dengan mantan suaminya sebagaimana layaknya suami istri. (Majmu’ Fatawa, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/650—651) Catatan Kaki: (1) Karena mantan suaminya bukan lagi mahramnya, sehingga haram baginya ikhtilath dan khalwat dengannya. (2) Karena selama masa ‘iddah statusnya masih sebagai istri. Jjika ‘iddah telah berakhir, ia bukan lagi istri. &128236; Sumber : http://asysyariah.com/tinggal-bersama-mantan-istri/ Dipublikasikan Pada, Senin 06 Muharram1437H/19 Oktober 2015M Jam 16:00 wib Tholibul Ilmi Cikarang www.salafymedia.com
9 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

apakah membaca hadits mendapat pahala?

APAKAH MEMBACA HADITS MENDAPAT PAHALA? Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah Pertanyaan: .Terdapat dalil-dalil tentang pahala membaca al-Qur’an yang mulia, apakah di sana juga terdapat pahala membaca hadits-hadits nabawiyah? Jawaban: Ya. Membaca ilmu, seluruhnya berpahala. Mempelajari dan menuntut ilmu termasuk jalan al-Qur’an yang mulia dan jalan sunnah, di dalamnya terdapat pahala yang besar. Ilmu itu diambil dari Kitab (al-Qur’an) dan diambil dari sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: خيركم من تعلم القرآن وعلمه “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya.” Telah datang hadits-hadits yang banyak tentang keutamaan membaca al-Qur’an yang mulia. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam: اقرءوا القرآن فإنه يأتي شفيعا لأصحابه يوم القيامة [رواه مسلم] “Bacalah al-Qur’an, karena al-Qur’an akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi orang yang membacanya.” (HR. Muslim) Dan pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian senang untuk pergi ke Buthhan –sebuah lembah di Madinah – kemudian kembali dengan membawa dua ekor unta yang besar tanpa berbuat dosa dan tanpa memutuskan hubungan silaturahmi? Para shahabat menjawab: “Kami semua menyukai hal itu wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Sungguh salah seorang dari kalian pergi ke masjid, kemudian dia mempelajari dua ayat dari Kitabullah, maka hal itu lebih baik baginya dari pada dua ekor onta yang besar. Jika dia mempelajari tiga ayat, sungguh itu lebih baik baginya dari pada tiga ekor onta. Bila empat ayat, maka itu lebih baik dari pada empat ekor onta dan seterusnya dari bilangan-bilangan onta tersebut.” Atau sebagaimana yang beliau shallallahu ‘alaihi wa salam sabdakan. Jadi ini menunjukkan tentang keutamaan mempelajari dan membaca al-Qur’an yang mulia. Dan dalam hadits Ibnu Mas’ud: من قرأ حرفا من القرآن فله حسنة والحسنة بعشر أمثالها “Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan. Dan setiap kebaikan akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisalnya.” &128293; Demikian juga dengan sunnah apabila seorang mukmin mempelajarinya. Bila ia membaca hadits-hadits dan mempelajarinya, maka dia akan beroleh pahala yang besar. Karena ini termasuk dalam bentuk mempelajari ilmu, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda: من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة “Barang siapa menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju al-Jannah.” Ini menunjukkan bahwa mempelajari ilmu, menghafal hadits, dan membicarakannya termasuk diantara sebab-sebab masuk al-Jannah dan selamat dari Neraka. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam: من يريد الله به خيرا يفقه في الدين “Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, pasti Allah akan pahamkan dia tentang urusan agamanya.” (Muttafaqun ‘alaihi) Memahami urusan agama termasuk di antara jalan al-Kitab dan jalan Sunnah. Dan paham tentang sunnah termasuk di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah menginginkan kebaikan kepada hamba tersebut sebagaimana paham tentang al-Qur’an al-Karim juga merupakan dalil akan perkara tersebut. Dan dalil-dalil tentang masalah ini begitu banyak walhamdulillah. Sumber : http://tiny.cc/binbaz Alih bahasa: Syabab Forum Salafy WSI √ http://forumsalafy.net/apakah-membaca-hadits-mendapat-pahala/ ▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪
9 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

perbedaan imam nawawi, ibnu hajar dengan sayyid quthb, hasan albanna

PERBEDAAN ANTARA IMAM NAWAWI DAN IBNU HAJAR, DENGAN PARA PENTOLAN HIZBIYYIN SEMISAL SAYID QUTHB DAN ALBANNA Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah, Pertanyaan: Sebagian orang menuduh beberapa imam sebagai ahli bid’ah seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi, Ibnu Hazm, Asy-Syaukani serta Al-Baihaqi, maka apakah perkataan mereka itu benar? Jawab beliau hafidzahullah: Para imam ini memiliki keutamaan-keutamaan, ilmu yang melimpah, memberikan manfaat kepada manusia, bersungguh-sungguh dalam menjaga sunah dan menyebarkannya, serta memiliki karya-karya tulis yang agung yang (kesemuanya) bisa menutupi kesalahan-kesalahan yang ada pada mereka rahimahumullah ta’ala. Kami menasehati kepada para penuntut ilmu agar tidak menyibukkan diri dengan urusan-urusan semacam ini karena hal ini akan menghalangi mereka memperoleh ilmu. Dan yang mencari-cari kesalahan para imam maka ia akan terhalang untuk menuntut ilmu, karena ia menjadi sibuk dengan fitnah dan suka perselisihan diantara manusia. ------------ Catatan kaki dari Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al-Haritsi: Jika ada yang bertanya, “Mengapa An-Nawawi dan Ibnu Hajar serta ta’wil mereka (yang keliru) tersebut dimaafkan, sedangkan Sayyid Quthb, Albanna, Al-Maududi dan yang semisalnya tidak dimaafkan? Maka dapat dijawab dari dua sisi: 1. Pertama: diantara dua jenis kelompok ini ada perbedaan yang besar, karena Imam Nawawi dan Ibnu Hajar memiliki jasa ilmiyah dan bermanfaat bagi umat Islam yang bisa menututpi kesalahan-kesalahannya. Dan para ulama telah menjelaskan dan memperingatkan (umat) agar berhati-hati dari kesalahan-kesalahan tersebut, maka bahayanya telah hilang dengan tanbih (peringatan) ini. Adapun Sayyid Quthb dan Hasan Albanna…maka mereka ini tidak memiliki jasa ilmiyah serta amaliyah dan tidak memberi manfaat bagi umat Islam seperti apa yang dimiliki oleh An-Nawawi, Ibnu Hajar dan imam-imam besar lain. 2. Kedua: An-Nawawi dan Ibnu Hajar tidak mengajak kepada kesalahan-kesalahannya dan tidak mengajak untuk ta'assub, pengkafiran terhadap masyarakat (muslimin), penyatuan shaf antara Rafidhah, Nasrani, Majusi dan firqah-firqah sesat dengan kaum muslimin dan kesalahan-kesalahannya (An-Nawawi dan Ibnu Hajar) tidak membahayakan masyarakat, berbeda dengan Sayyiq Quthb dan Hasan Albanna dan selainnya, mereka beranggapan bahwa antara aqidah yang rusak bahkan akidah yang kafir dan akidah shahihah yang selamat tidak ada bedanya, serta mereka menganggap bahwa antara seorang Rafidhah, Nasrani dan yang lainnya, dan seorang muslim itu tidak berbeda, dan mereka ini sungguh telah memberi madharat terhadap kaum muslimin dan bukannya memberi maslahat, karena banyak orang yang ta’ashub dengan pendapat-pendapatnya) yang menyelisihi Al-Kitab (Al-Qur’an ) dan As-Sunnah dan mereka memerangi Ahlus Sunnah, dan ini merupakan bahaya yang paling besar. [ Al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As-ilah al-Manahij al-Jadiidah pertanyaan nomor 62 cetakan ke-2, 1418H, Daar as-Salaf ] ------- Dikutip dari situs tukpencarialhaq || Arsip WALIS || http://walis-net.blogspot.co.id/2015/10/apakah-sebenarnya-haddadiyah-itu.html ******* Faedah lain: ➩http://walis-net.blogspot.com atau ➩http://salafymedia.com/blog/category/al-istifadah/ ✆ WA Al Istifadah ※ WALIS ✆ ✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧ الموقع الرسمي لمجموعة الاستفادة http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html
9 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

buah tanaman yang dipupuk dengan kotoran, halalkah ?

Buah Tanaman yang Dipupuk dengan Kotoran Apakah tanaman yang dipupuk dengan pupuk kandang buahnya haram karena pupuk kandangnya berasal dari kotoran hewan? Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari Apabila pupuk kandangnya berasal dari kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, seperti ✅ kotoran ayam, ✅ sapi, ✅kerbau, ✅ dan semisalnya, tidak jadi masalah, sebab kotoran tersebut suci. Jika pupuk kandangnya berasal dari kotoran hewan yang haram dimakan dagingnya, masalah ini kembali pada perbedaan pendapat mengenai kesucian kotoran hewan yang haram dimakan dagingnya. Jika dikatakan bahwa kotorannya suci—sebagaimana mazhab Zhahiri—, berarti tidak jadi masalah. Jika dikatakan bahwa kotorannya najis—sebagaimana pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah—, inilah yang menjadi masalah. Begitu pula masalahnya jika dipupuk dengan kotoran manusia yang jelas kenajisannya, atau dipupuk dengan kotoran hewan yang najis karena hewan itu sendiri memang najis, seperti kotoran anjing dan babi. Termasuk kotoran keledai yang dagingnya dinyatakan najis oleh Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallan dan bagal yang merupakan keturunan keledai dan kuda. Terkait kehalalan hasil tanaman (buah, biji, dan sayur-mayur) yang dipupuk dengan najis atau disirami/diairi dengan air bernajis, ada perbedaan pendapat di antara ulama. 1. Haram dengan hujah bahwa perubahan substansi yang najis ke substansi lain (istihalah) tidak dapat menyucikannya. Dengan demikian, haram dimakan sampai disucikan dulu dengan cara dipupuk atau disirami/diairi dengan zat yang suci beberapa waktu lamanya hingga dianggap suci kembali. Ini adalah mazhab Hanbali. 2. Halal selama tidak tampak efek najis padanya, seperti bau busuk atau rasa najis. Sebab, substansi najis tersebut telah mengalami proses istihalah (perubahan) sekian kali, mulai dari istihalah yang terjadi dalam tanah hingga diserap oleh akar tanaman dan beredar dalam tubuh tanaman, yang menyebabkan eksistensinya berubah menjadi substansi yang suci dalam tubuh tanaman tersebut. Hal itu terbukti dengan tidak tampaknya efek najis, seperti bau busuk atau rasa najis. Adapun jika tampak efek najis, seperti bau tidak sedap atau rasa najis, haram. Jika demikian, disucikan dulu dengan cara dipupuk atau disirami/diairi dengan zat yang suci beberapa waktu lamanya hingga efek najisnya hilang. Ini adalah mazhab jumhur (mayoritas) ulama dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin. Oleh karena itu, jumhur ulama membolehkan memupuk tanaman dengan kotoran yang najis. Pendapat jumhur ulama inilah yang benar. Wallahu a’lam. (1) Catatan Kaki: (1) Lihat kitab al-Mughni (13/330, terbitan Dar ‘Alam al-Kutub), al-Majmu’ (9/32), al-Inshaf (10/368), dan asy-Syarh al-Mumti’ (8/122, 15/22, Dar Ibni al-Jauzi pada Program Maktabah Syamilah). Sumber: http://asysyariah.com/buah-tanaman-yang-dipupuk-dengan-kotoran/ ____________________________ Dipublikasikan oleh: Tholibul Ilmi Cikarang Pada, Sabtu 04 Muharram1437H/17 Oktober 2015M Jam 05:10 wib Untuk postingan sebelumnya silahkan klik www.salafymedia.com
9 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

bagaimana cara ikhlas dalam menuntut ilmu

BAGAIMANA CARA IKHLAS DALAM MENUNTUT ILMU Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله ditanya: . Dengan apa kita mengikhlaskan niat ketika menuntut Ilmu ? Beliau رحمه الله menjawab : Ikhlas dalam menuntut ilmu terwujud dengan beberapa perkara : 1. Engkau niatkan dirimu untuk melaksanakan perintah Allah عزوجل, karena Allah عزوجل memerintahkan hal tersebut : فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك " Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sembahan yang berhak di ibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa-dosamu " (Qs. Muhammad:19) Allah عزوجل mendorong hambanya kepada ilmu, ketika Allah عزوجل mendorong terhadap sesuatu,  hal tersebut melazimkan Allah عزوجل mencintai perkara  tersebut, ridha pada-Nya dan memerintahkan-Nya. 2/ Engkau meniatkan dengan mencari Ilmu untuk menjaga syariat Allah عزوجل , karena menjaga syariat Allah عزوجل itu ada kalanya dengan mempelajarinya, menjaganya dengan hati dan bisa juga dengan kitab /tulisan. 3. Engkau meniatkan dalam mencari ilmu untuk melindungi dan membela syariat Allah عزوجل , karena kalau bukan Ulama yang membela syariat dan menjaganya,  maka tidak ada yang lain,  contohnya syaikhul islam Ibnu Taimiyah serta yang lainnya dari kalangan ahlul Ilmi رحم هم الله , mereka menghadapi ahlul bid'ah,  mereka menjelaskan kebathilan bid'ah mereka, kami memandang mereka mencapai kebaikan yang banyak sekali. 4. Engkau meniatkan dengan mencari ilmu untuk mengikuti syariat Muhammad صلى الله عليه وسلم karena engkau tidak mungkin untuk mengikuti syariat sampai mempelajarinya. 5. Engkau meniatkan dalam mencari Ilmu untuk mengangkat kebodohan dari dirimu dan selainmu. Sumber : Kitab Al-Ilmi oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله : 137  ) *01 Muharram 1437 H* ✏Alih Bahasa: Abu Ruqayyah  Ibnu Abdissalam عفاالله عنه _______________________ سئل فضيلة الشيخ رحمه الله : بم يكون الإخلاص في طلب العلم ؟ فأجاب فضيلته بقوله : الإخلاص في طلب العلم يكون بأمور : الأمر الأول : أن تنوي بذلك امتثال أمر الله، لأن الله أمر بذلك فقال : فا علم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك (سورة محمد : ١٩) وحث سبحانه وتعالى على العلم، والحث على الشيء يستلزم محبته والرضا به والأمر به. الأمر ااثاني : أن تنوي بذلك حفظ شريعة الله، لأن حفظ شريعة الله يكون بالتعلم والحفظ في الصدر ويكون كذلك بالكتابة. الأمر الثالث : أن تنوي حماية الشريعة والدفاع عنها ، لأنه لولا العلماء ما حميت الشريعة ولا دافع عنها أحد، ولهذا نجد مثلا شيخ الإسلام ابن تيمية وغيره من أهل العلم تصدوا لأهل البدع وبينوا بطلان بدعهم، نرى أنهم حصلوا على خير كثير. الأمر الرابع : أن تنوي بذلك اتباع شريعة محمد صلى الله عليه وسلم، لأنه لا يمكن أن تتبع شريعته حتى تعلم هذه الشريعة. الأمر الخامس : أن تنوي بذلك رفع الجهل عن نفسك وعن غيرك. &128221;المصدر : كتاب العلم لشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله، ص :  ١٣٧ ☝مجموعة الحق أحب إلينا WA Alhaqqu Ahabbu Ilaina www.salafymedia.com
9 tahun yang lalu
baca 3 menit

Tag Terkait