Tanya Jawab

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum menahan kentut ketika shalat

MENAHAN BUANG ANGIN KETIKA SHALAT Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah PERTANYAAN: “Bolehkah menahan (buang)angin ketika shalat?” JAWABAN: “Ya, (boleh) menahannya jika ringan. Adapun jika sangat (mendesak) maka ia memutus shalatnya. Apabila ringan dan mungkin untuk menahan tanpa ada kesulitan dan ia kokoh (tidak terganggu khusyuk) dalam shalatnya maka tidak mengapa. Semisal (menahan) BAK dan BAB jika sifatnya ringan maka ia sempurnakan shalatnya. Adapun jika hal itu menyibukkannya (dari kekhusyukan) dalam shalat, ia memutusnya. Ia keluarkan angin, kencing, BAB sehingga ia shalat dengan hati yang hadir berdasar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ ”Tidak ada shalat ketika telah hadir makanan dan dalam keadaan ia menahan dua hal yang terjelek (kencing dan buang air besar).” Muttafaqun ‘alaih. Demikian pula angin yang sangat yang mengganggunya, ia memutus shalatnya. Ya (demikian). Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/12904/حكم-مدافعة-الريح-اثناء-الصلاة Hukum Menahan Kentut Ketika Shalat ================================== PERTANYAAN: “Saya shalat dan . terkadang menahan angin, apakah sah shalatku? JAWABAN: “Wajib atas seorang mukmin apabila tersibukkan dengan angin atau kencing atau BAB yang mengganggunya untuk ia tidak masuk ke dalam shalat. BAHKAN ia tunaikan hajatnya dari BAB, kencing, dan angin itu lalu ia berwudhu dan shalat dalam keadaan hatinya tenang, khusyu’ anggota badan, khusyu’ hati, fokus kepada shalatnya. Inilah yang sepatutnya bagi seorang mukmin (dalam shalatnya). Dan Nabi ‘alaihishshalatu wassalam telah bersabda: لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ ”Tidak ada shalat ketika telah hadir makanan dan dalam keadaan ia menahan dua hal yang terjelek (kencing dan buang air besar).” Muttafaqun ‘alaih. Yang dimaksud: kencing dan BAB. Dan angin termasuk di dalam makna tersebut. Sehingga apabila angin itu sangat (mendesak dan mengganggu, pent.), ia semakna dengan kencing dan BAB dalam hal mengganggu orang shalat dan menyibukkan pikirannya. Maka yang disyariatkan kepadamu jika merasa adanya angin yang sangat kuat HENDAKNYA engkau menyelesaikan darinya dan berwudhu’ lalu shalat. Dan hal yang tidak pantas, untuk kamu shalat sementara angin itu kuat (gangguannya) bersamamu yang engkau menahan-nahannya. Sebab hal ini menyelisihi apa yang Allah syariatkan. Dan ia termasuk jenis menahan kencing atau BAB. Sementara para ulama telah berbeda pendapat tentang keabsahan shalat disertai menahan ini, maka: ▪ Sebagian kaum berpendapat, ”Sah shalatnya.” Dan makna hadits (di atas) adalah “Tidak ada shalat yang sempurna....” ▪ Sebagian yang lain berkata, ”Bahkan shalatnya batal.” Sebab hukum asalnya yang ditolak adalah hakikat sesuatu. Sehingga sabda Beliau “Tidak ada shalat ketika telah hadir makanan” secara zhahirnya menolak hakikatnya. Oleh karenanya selayaknya bagimu untuk berhati-hati dari perkara ini. Dan hendaknya kamu bersemangat dalam penyempurnaan shalatmu dan penjagaannya dengan membebaskan diri dari angin, kencing, dan BAB sebelum shalat. Sehingga kamu shalat dalam keadaan khusyu’ lagi tenang. Adapun shalatnya sah atau tidak sah maka permasalahan ini dalam tinjauan, dan yang paling dekat –insyaAllah- adalah sah apabila orang yang shalat tersebut : ▪bisa memahami shalatnya ▪dan bisa menyempurnakannya sebagaimana yang Allah syariatkan. ✍🏻 NAMUN ia melakukan hal yang tidak patut, yaitu shalat dalam keadaan menahan BAB atau kencing atau angin. Perkara ini menyelisihi syariat Allah. ❗Dan minimal keadaannya adalah makruh --walaupun zhahir dari nash adalah pengharamannya-- akan tetapi yang selayaknya bagi mukmin untuk menyelesaikan dari (gangguan) ini dan mengamalkan nash serta menjauh dari syubhat batalnya shalat. Ya (demikian). Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/7998/حكم-الصلاة-مع-مدافعة-الريح (dengan sedikit peringkasan dalam pertanyaan) 📑 Alih Bahasa: Al-Ustadz Abu Yahya al-Maidany hafizhahullah •••• 📶 https://t.me/ForumBerbagiFaidah [FBF] 🌍 www.alfawaaid.net | www.ilmusyari.com
6 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum berkunyah dengan anak wanita - kunyah kepada anak perempuan

HUKUM BERKUNYAH DENGAN ANAK WANITA Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al 'Abbad hafizhahullah Pertanyaan: Apakah hadits yang diriwayatkan sahabat yang bernama Abu Ruqayyah (agama itu nasehat) adalah dalil yang membantah atas orang yang mengingkari berkunyah dengan anak wanita? Jawaban : Telah diketahui bahwa berkunyah hanyalah dengan menggunakan anak yang paling tua sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Syuraih yang berkunyah dengan Abul Hikam. Lantas Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya kepadanya: apakah engkau memiliki anak? Ia pun menjawab: ya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya: siapa saja mereka?! Ia menjawab: Fulan dan Fulan serta Syuraih. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya: siapa yang paling tua? Ia menjawab: Syuraih. Beliaupun bersabda: Berarti engkau Abu Syuraih. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberi kunyah kepadanya dengan anak yang paling tua. Akan tetapi jika seseorang tidak memiliki anak laki-laki, sehingga ia memberi kunyah dirinya dengan salah seorang anak perempuannya, maka hal itu boleh saja. Namun jika ia berkunyah dengan anak perempuan dan bukan dengan anak laki-lakinya, inilah yang dilarang padanya. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam membimbing Sahabat Abu Syuraih untuk berkunyah dengan anak laki-laki dan yang paling tuanya. Dan adakalanya juga seseorang berkunyah sebelum memiliki anak. Jadi, pada asalnya tidak ada larangan padanya. Akan tetapi yang dilarang tidak berkunyah dengan anak laki-laki, namun malah berkunyah dengan anak perempuan. 📘Syarh Arba'in an Nawawiyah 14 ✏️Kunyah adalah nama yang menggunakan Abu atau Ummu, biasanya diambil dari nama anak pertama atau anak laki-laki pertama. Atau yang diawali dengan Ibnu atau Bintu.(http://asysyariah.com/segenap-asa-dalam-sebuah-nama/) 📱http://t.me/ukhwh Hukum Berkunyah dengan Anak Wanita - Kunyah kepada Anak Perempuan حكم التكني بالأنثى السؤال هل في حديث أبي رقية (الدين النصيحة) دليل على من ينكر التكنية بالأنثى؟ الجواب معلوم أن التكني إنما يكون بالأكبر من الأولاد، كما جاء في حديث أبي شريح الذي كان يكنى بـ أبي الحكم، فقال له صلى الله عليه وسلم: (هل لك من ولد؟ قال: نعم، فقال: من هم؟! قال: فلان وفلان وشريح قال من أكبرهم؟ قال: شريح، قال: أنت أبو شريح)، فكناه بالأكبر، لكن إذا كان الإنسان ليس عنده ذكور وكنى نفسه ببنت من بناته ليس في ذلك مانع، لكن كونه يتكنى بأنثى ويترك الأولاد هذا فيه محذور؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم أرشده إلى أن يتكنى بالذكور وبأكبر الذكور، وقد يتكنى الإنسان قبل أن يولد له. فالحاصل أنه في الأصل لا محذور فيه، وإنما المحذور أن يترك البنين ويتكنى بالإناث.
6 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum mundur dari shaf pertama untuk menemani makmum yang masbuq di shaf kedua

Hukum Mundur dari Shaf Pertama untuk Menemani Makmum yang Masbuq di Shaf Kedua Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –rahimahullah- Pertanyaan: “Kami sedang shalat dan telah menyempurnakan shaf pertama. Kemudian masuk seseorang dan ia berada di shaf kedua sendirian. Lalu salah seorang dari shaf awal mundur untuk shalat di sampingnya(di shaf kedua), apakah amalan ini benar?“ Jawaban: “Amalan ini tidak disyariatkan. Bahkan apabila seseorang datang sementara shaf akhir telah sempurna(penuh) maka ia berdiri shalat sendirian karena ada udzur. Sebab ia pada saat ini mendapat udzur, yang andai ia mendapati tempat di shaf sebelumnya sungguh ia pasti akan masuk. Dan tidak sepatutnya untuk ia menarik mundur seseorang. Tidak pantas pula untuk seseorang mundur bersamanya. Karena jika seseorang mundur untuk bersamanya(orang yang di shaf akhir) niscaya tersisa celah pada shaf yang di depannya. Hal ini menyelisihi perkara yang disyariatkan dalam membentuk shaf. Karena yang disyariatkan adalah mereka tidak membiarkan adanya celah untuk syaithan(di dalam shaf). Hal yang kami sebut ini, yaitu bolehnya bagi seseorang yang datang lalu mendapati shaf telah penuh untuk shalat sendirian di belakang shaf, adalah pendapat yang _rajih_ (kuat) lagi pertengahan di antara dua pendapat lainnya: ▪️ Pertama: Tidak sah untuk shalat bersendirian di belakang shaf dalam kondisi apapun. ▪️ Kedua: Boleh shalat (di belakang shaf) dalam segala keadaan(baik shaf di depan penuh atau tidak, pent.) Pendapat yang kami sebut dengan rincian ini adalah yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan Syaikh kami Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy rahimahullah.” Fataawa . Nuurun ‘alad Darb, al-‘Utsaimin, 5/ 286 Alih Bahasa:  Al-Ustadz Abu Yahya al-Maidany hafizhahullah https://t.me/ForumBerbagiFaidah [FBF] www.alfawaaid.net | www.ilmusyari.com Hukum Mundur dari Shaf Pertama untuk Menemani Makmum yang Masbuq di Shaf Kedua
6 tahun yang lalu
baca 2 menit

Tag Terkait