shalat

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

wudu dan salat menghapus dosa-dosa yang telah lalu

Wudu dan Salat Menghapus Dosa-dosa Yang Telah Lalu بسم الله الرحمن الرحيم Wudu dan Salat Menghapus Dosa-dosa Yang Telah Lalu Saudara-saudara sekalian, sungguh berwudu adalah amalan yang sangat mulia dalam Islam, bahkan bisa menjadi penyebab dosa-dosa hamba diampuni. Pada kesempatan kali ini, kami akan membawakan beberapa faedah dari ulama tentang hal ini. Semoga dapat bermanfaat untuk kaum muslimin. Disebutkan dalam hadis dari Humran, bekas budak ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِيْنَهُ فِي الْوَضُوْءِ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلىَ الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا وَقَالَ: مَنْ تَوَضَّئَا نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَينِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ Dia pernah melihat ‘Usman meminta diambilkan air wudu. Karena itu, dituangkanlah air dari bejana ke atas dua telapak tangannya lalu membasuhnya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam air, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan mengeluarkannya. Setelah itu, beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali dan kedua lengannya sampai siku tiga kali. Setelahnya, beliau mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali. Setelah selesai dari semua itu, beliau berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudu seperti wuduku ini. Beliau bersabda, Barang siapa yang berwudu seperti wuduku ini, kemudian salat dua rakaat dan tidak berbicara pada jiwanya (urusan-urusan dunia), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Al-Bukhari, no. 164 dan Muslim, no. 226). Banyak faedah yang dapat dipetik dari hadis ini. Di antaranya adalah disunahkan untuk mengerjakan dua rakaat atau lebih setelah seseorang berwudu. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah menjelaskan, وفيه استحباب صلاة ركعتين فأكثر عقب كل وضوء وهو سنة مؤكدة “Di dalam hadis ini (terdapat) anjuran salat dua rakaat atau lebih setiap selesai berwudu dan hukumnya adalah sunah muakadah” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 3, hlm. 108). Seorang hamba akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu tatkala wudunya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah yang dimaksud dengan ampunan di sini? Apakah diampuni semua dosanya, baik yang kecil maupun yang besar? Para ulama kita menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, maka seseorang harus bertobat karenanya. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah menerangkan, والمراد بالغفران الصغائر دون الكبائر “Yang dimaksud dengan ampunan dalam hadis ini adalah diampuninya dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 3, hlm. 108). Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, أما الكبائر فلا ينفع فيها إلا التوبة “Adapun dosa-dosa besar, tidak akan bermanfaat untuk menghilangkannya kecuali dengan tobat” (Syarh Riyadh al-Shalihin, Jilid 1, hlm. 80). Di dalam hadis ini disebutkan lafaz “salat dua rakaat,” yakni salat sunah. Namun, tidak terkecuali dari itu salat fardu. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, هكذا أطلق صلاة الركعتين وهو نحو رواية ابن شهاب الماضية في كتاب الطهارة وقيده مسلم في روايته من طريق نافع بن جبير عن حمران بلفظ ثم مشى إلى الصلاة المكتوبة فصلاها مع الناس أو في المسجد وكذا وقع في رواية هشام بن عروة عن أبيه عن حمران عنده فيصلي صلاة وفي أخرى له عنه فيصلي الصلاة المكتوبة وزاد إلا غفر الله له ما بينها وبين الصلاة التي تليها “Demikian disebutkan secara mutlak dengan penyebutan dua rakaat. Penyebutan ini seperti riwayat Ibnu Syihab yang lalu dalam pembahasan Kitab Taharah. Al-Imam Muslim menyebutkan dengan batasan dalam riwayatnya melalui jalur Nafi‘ bin Jubair dari Humran dengan lafaz: ‘Kemudian dia berjalan menuju salat wajib, maka dia salat bersama manusia atau di masjid’. Demikian pula disebutkan dalam riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari Humran: ‘Dia mengerjakan salat’. Dalam riwayat lain dengan penyebutan: ‘Kemudian dia mengerjakan salat fardu’ dan ditambahkan lafaz: ‘melainkan Allah akan mengampuninya apa yang ada di antara salat itu dan salat yang setelahnya'” (Fath al-Bāri, Jilid 11, hlm. 251). Dari penjelasan al-Hafizh di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pahala ini berlaku bagi seorang yang menunaikan salat wajib dan salat sunah, baik laki-laki maupun wanita. serta bagi seseorang yang menunaikan ibadah salat fardu di masjid sedangkan salat fardu dimasjid hukumnya wajib bagi setiap laki-laki yang balig dan berakal. Namun, tanpa diragukan lagi tatkala dia tidak menunaikan ibadah salat fardu di masjid karena uzur, tetap mendapatkan pahala ini secara sempurna. Hal itu disebutkan di dalam hadis sahih. إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ؟ قَالَ: وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ “Sesungguhnya di Madinah ada sejumlah kaum yang tidaklah kalian menempuh perjalanan dan menyeberangi lembah, kecuali mereka ikut serta bersama kalian dalam mendapatkan pahala.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, (bukankah) mereka (hanya) berdiam diri di Madinah?” Beliau menjawab, “Mereka di Madinah (dan mereka tidak ikut bersama kalian) karena mereka terhalangi oleh uzur” (Al-Bukhari, no. 4.423 dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا “Jika seorang hamba sakit atau safar, akan ditulis baginya (pahala amalan) yang biasa dia kerjakan, sebagaimana ketika dia beramal ketika mukim (tidak safar) dan dalam keadaan sehat” (Al-Bukhari, no. 2.996 dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, وهذه (قاعدة الشريعة) أن من كان عازما على الفعل عزما جازما وفعل ما يقدر عليه منه كان بمنزلة الفاعل فهذا الذي كان له عمل في صحته وإقامته عزمه أن يفعله وقد فعل في المرض والسفر ما أمكنه فكان بمنزلة الفاعل كما جاء في السنن فيمن تطهر في بيته ثم ذهب إلى المسجد يدرك الجماعة فوجدها قد فاتت أنه يكتب له أجر صلاة الجماعة “Inilah kaidah dalam syariat Islam: Barang siapa yang bertekad kuat melakukan ibadah (tetapi dia terhalangi oleh uzur) dan dia melakukan apa yang bisa dia mampu, maka dia sama dengan pelaku yang mengamalkannya tanpa uzur dari sisi pahala. Orang ini memiliki amalan semasa sehat dan mukim serta tekad (kuat) untuk mengerjakannya. Sungguh, tatkala sakit dan safar dia melakukannya sesuai dengan yang memungkinkan baginya. Oleh karena itu, dia sama dengan orang yang mendapat pahala sempurna. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab sunan tentang seseorang yang bersuci di rumahnya kemudian pergi ke masjid yang setelah sampai ternyata dia mendapati jemaah salat telah selesai, tetapi tetap ditulis baginya pahala salat berjemaah” (Al-Fatāwa al-Kubrā, Jilid 2, hlm. 277). Di dalam hadis ini disebutkan tatkala seseorang melakukan salat dua rakaat, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Hal itu disebutkan dengan frasa “dosa-dosa yang lalu” tanpa ada batasan waktunya. Dengan demikian, dengan dikumpulkannya riwayat-riwayat yang lain, maka senggang waktunya adalah antara salat yang satu dengan yang berikutnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, وفي أخرى له عنه فيصلي الصلاة المكتوبة وزاد إلا غفر الله له ما بينها وبين الصلاة التي تليها أي التي سبقتها وفيه تقييد لما أطلق في قوله في الرواية الأخرى غفر الله له ما تقدم من ذنبه وإن التقدم خاص بالزمان الذي بين الصلاتين وأصرح منه في رواية أبي صخرة عن حمران عند مسلم أيضا ما من مسلم يتطهر فيتم الطهور الذي كتب عليه فيصلي هذه الصلوات الخمس إلا كانت كفارة لما بينهن وتقدم من طريق عروة عن حمران إلا غفر له ما بينه وبين الصلاة حتى يصليها “Disebutkan dalam riwayat lain: ‘Dia mengerjakan salat’ dan terdapat tambahan ‘melainkan akan diampuni dosa-dosanya diantara salat itu dan salat yang setelahnya’. Di dalam hadis ini terdapat pembatasan pada riwayat lain yang telah disebutkan secara mutlak dengan lafaz: ‘Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu’. Adapun waktu yang telah lalu di sini dikhususkan dengan waktu di antara dua salat. Yang lebih jelas dari ini adalah dalam riwayat Abu Shakhrah dari Humran yang diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dengan lafaz: ‘Tidaklah seorang muslim pun yang dia bersuci dengan sempurna, sebagaimana yang diwajibkan atasnya, kemudian dia salat lima waktu melainkan salat-salat itu menjadi penebus dosanya di antara salat-salat tersebut’. Telah berlalu penyebutan hadis melalui jalur ‘Urwah dari Humran dengan lafaz: ‘melainkan akan diampuni dosa-dosanya antara waktu itu dan waktu salat berikutnya sampai dia mengerjakannya'” (Fath al-Bāri, Jilid 11, hlm. 251). BACA JUGA : SEDANG LUKA, BAGAIMANA CARA WUDHUNYA? ✍🏻 Oleh: Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar غفر الرحمن له. Sumber : https://www.alfudhail.com/wudu-dan-salat-menghapuskan-dosa-dosa-yang-telah-lalu/
4 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum shalat id (idul fitri / idul adha) di rumah

TENTANG SHALAT ID (SHOLAT IEDUL FITRI/IEDUL ADHA) DI RUMAH Hukum Shalat Id (Idul Fitri / Idul Adha) di Rumah Sebelum masuk pada pembahasan ini, alangkah baiknya kita simak penjelasan ulama tentang hukum mengqadha salat Id bagi yang terluputkan. Diantara ulama ada yang berpendapat shalat Id tetap dikerjakan, sebagaimana sifatnya bagi yang tertinggal shalat bersama imam. Ini adalah pendapat al-Lajnah al-Da’imah. ومن فاتته صلاة العيد وأحب قضاءها استُحب له ذلك فيصليها على صفتها من دون خطبة بعدها “Barang siapa yang luput padanya shalat Id dan dia ingin mengqadanya, maka disunahkan baginya mengqadha. Hendaknya dia kerjakan sesuai dengan sifatnya tanpa khotbah setelahnya” (Fatawa al-Lajnah al-Da’imah, Jilid 8, hlm. 306). Diantara ulama ada yang berpendapat tidak disyariatkan qadha. Ini adalah pendapat al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, صلاة العيد شرعت على وجه الاجتماع فلا تقضى إذا فاتت كصلاة الجمعة لكن صلاة الجمعة وجب أن يصلي الإنسان بدلها صلاة الظهر لأنها فريضة الوقت أما صلاة العيد فليس لها بدل فإذا فاتت مع الإمام فإنه لا يشرع قضاءها وهذا هو اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وهو عندي أصوب من القول بالقضاء والله أعلم “Shalat Id disyariatkan dengan berkumpul dan tidak diqadha jika terluputkan, sebagaimana shalat Jumat. Akan tetapi, shalat Jumat jika terluputkan, wajib bagi seseorang untuk menggantinya dengan shalat Zuhur karena shalat itu adalah kewajiban pada waktunya. Adapun shalat Id tidak ada gantinya. Apabila seseorang terluput mengerjakannya bersama imam, maka tidak disyariatkan qadha. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan pendapat ini menurutku lebih benar daripada yang berpendapat qadha” (Majmu‘ Fatawa, Jilid 16, hlm. 255–256). Berdasarkan fatwa al-Lajnah al-Da’imah di atas, asy-Syaikh al-Mufti ‘Abdul‘aziz bin ‘Abdillah bin Muhammad Alu asy-Syaikh hafizhahullah berpendapat bahwa shalat Id disyariatkan untuk dikerjakan di rumah pada masa-masa wabah Covid-19 sekarang ini. Beliau hafizhahullah mengatakan, “Adapun shalat Id, apabila keadaan ini (wabah Covid-19) terus berlanjut sehingga tidak mungkin menegakkannya di tanah lapang dan di masjid yang menjadi tempat khusus terhadap pelaksanaannya, maka dikerjakan di rumah tanpa khotbah setelahnya. Telah terbit Fatwa dari al-Lajnah al-Da’imah, yaitu : "Barangsiapa yang luput padanya shalat Id dan dia ingin mengqadhanya, maka disunahkan baginya mengqadha. Hendaknya dia kerjakan sesuai dengan sifatnya tanpa khotbah setelahnya. Apabila qadha disunahkan bagi yang luput padanya shalat Id bersama imam dan kaum muslimin, tentu lebih pantas lagi dilakukan bagi yang tidak ditegakkan shalat Id di negara mereka. Yang demikian itu adalah menegakkan syiar agama sesuai dengan kemampuan” (http://www.spa.gov.sa/ 2075735). Diantara ulama kita pula ada yang berpendapat bahwa shalat Id tidak disyariatkan untuk dilakukan di rumah, sebagaimana pendapat al-‘Allamah ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah yang terekam (https://bit.ly/2KxqLtd). Demikian pula asy-Syaikh Fu’ad al-Zintani hafizhahullah yang condong dengan pendapat ini, yaitu shalat Id tidak disyariatkan dikerjakan di rumah (https://bit.ly/2zfpFzV. https://bit.ly/3b6sxwe). Dengan demikian, kesimpulan dari pendapat ini adalah jika dimudahkan untuk shalat Id di tanah lapang atau di masjid, maka itulah yang dilakukan. Jika tidak, karena kesulitan seperti masa-masa wabah seperti sekarang ini, maka tidak dikerjakan. Allah Subhanahu wa taala berfirman, لا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Al-Baqarah: 285). Pendapat kedua ini mengisyaratkan pada pendapat yang dipilih oleh Syaikul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah di atas, yaitu dengan landasan bahwa shalat Id itu dilakukan dengan bentuk perkumpulan. Apabila terluputkan, maka tidak ada gantinya seperti shalat Jum'at. Pendapat ini yang kami lebih cenderung padanya. Wal-‘ilmu ‘indallah. Ditulis Oleh: Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar غفر الرحمن له @alfudhail https://bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF] www.alfawaaid.net PELAKSANAAN SHALAT ID APABILA WABAH COVID-19 MASIH BERLANJUT Kutipan Rangkaian Fatwa dari Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullah (Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi) Pertanyaan kedua: هل مشروعية صلاة العيد في البيوت؟ Apakah disyariatkan shalat id di rumah masing-masing? Jawaban: أما صلاة العيد إذا استمر الوضع القائم ولم تمكن إقامتها في المصليات والمساجد المخصصة لها فإنها تصلى في البيوت بدون خطبة بعدها Apabila keadaan saat ini berlanjut sehingga shalat id tidak mungkin dilakukan di lapangan-lapangan dan masjid-masjid yang khusus untuk melaksanakannya, shalat id hendaklah dilaksanakan di rumah masing-masing tanpa disertai khutbah setelahnya. وسبق صدور فتوى من اللجنة الدائمة للفتوى جاء فيها: (ومن فاتته صلاة العيد وأحب قضاءها استُحب له ذلك فيصليها على صفتها من دون خطبة بعدها Telah terbit fatwa dari Lembaga Tetap Urusan Fatwa yang di dalamnya menyebutkan, ‘Barang siapa yang tertinggal dari shalat id dan dia ingin mengqadhanya, disunnahkan baginya untuk melaksanakannya sesuai tata cara shalat id tanpa disertai khutbah setelahnya.’ فإذا كان القضاء مستحباً في حق من فاتته الصلاة مع الإمام الذي أدى صلاة العيد بالمسلمين ، فمن باب أولى أن تكون إقامتها مشروعة في حق من لم تُقم صلاة العيد في بلدهم لأن في ذلك إقامة لتلك الشعيرة حسب الاستطاعة Mengqadha shalat id bagi makmum yang tertinggal dari shalatnya imam, hukumnya sunnah. Maka dari itu, melaksanakan shalat id (di rumah) bagi orang-orang yang tidak ditegakkan shalat id di negerinya tentu lebih disyariatkan. Hal itu merupakan penegakan terhadap syiar Islam sesuai dengan kadar kemampuan. Allah subhanahu wa taala berfirman, فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ “Bertakwalah kalian kepada Allah (semaksimal mungkin) sesuai kesanggupan kalian.” Nabi shalallahu alaihi wasallam juga bersabda إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Apabila aku memerintahkan kalian untuk melaksanakan sesuatu, lakukanlah (semaksimal mungkin) sesuai kemampuan kalian.” Sumber || http://www.spa.gov.sa/2075735 Kunjungi || https://forumsalafy.net/pelaksanaan-shalat-id-apabila-wabah-covid-19-masih-berlanjut/ SHALAT IED BERJAMA'AH DI RUMAH KARENA UDZUR Dahulu Anas bin Malik radliyallahu 'anhu apabila beliau terluput (terlambat) shalat Ied bersama imam, beliau mengumpulkan keluarganya. Lalu beliau shalat bersama mereka seperti shalatnya imam dalam shalat Ied Shahih Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan ta'liq (mu'allaq) 2/23 Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya dengan maushul (bersambung sanadnya sampai rawi terakhir) 5853 Dan lafazh ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi 6307 Thuwailibul 'Ilmisy Syar'i (TwIS) https://telegram.me/salafysitubondo 🔎 Muraja'ah (korektor): al-Ustadz Kharisman hafizhahullah
4 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

fikih shalat tarawih

FIKIH SHALAT TARAWIH APAKAH BACAAN SURAH PADA SHALAT TARAWIH SENDIRIAN DIKERASKAN (JAHR)? Ada penjelasan bagus dan bermanfaat dari Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah tentang masalah ini, dan jawaban dari poin pembahasan sekarang terletak diujung keterangan beliau. ▪️ Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, الجهر بالقراءة في الصلاة الجهرية ليس على سبيل الوجوب ، بل هو على سبيل الأفضلية ، فلو أن الإنسان قرأ سرّاً فيما يشرع فيه الجهر لم تكن صلاته باطلة ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القرآن ) ولم يقيد هذه القراءة بكونها جهراً أو سراً ، فإذا قرأ الإنسان ما تجب قراءته سرّاً أو جهراً فقد أتى بالواجب ، لكن الأفضل فيما يسن فيه الجهر كالركعتين الأوليين من صلاتي المغرب والعشاء وكصلاة الفجر وصلاة الجمعة وصلاة العيد وصلاة الاستسقاء وصلاة التراويح وما أشبه ذلك مما هو معروف ، ولو تعمد الإنسان وهو إمام أن لا يجهر فصلاته صحيحة ، لكنها ناقصة ، أما المنفرد إذا صلى صلاة جهرية فإنه يخير بين الجهر والإسرار ، وينظر ما هو أنشط له وأقرب إلى الخشوع فيقوم به "Membaca surah dengan dikeraskan pada shalat jahriyah hukumnya tidak wajib. Tapi sifatnya keutamaan. Seandainya seseorang membaca secara lirih di shalat yang disyariatkan untuk di-jahr-kan maka shalatnya tidak batal. • Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ 'Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca surah Al-Fatihah." HR. Al-Bukhari (756) dan Muslim (394) Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menentukan bacaan ini apakah dengan dikeraskan atau secara lirih. Jadi apabila seseorang sudah membaca surah yang wajib untuk dibaca baik itu dengan suara lirih atau dengan dikeraskan maka dia telah menjalankan kewajiban. Akan tetapi yang utama ialah (mengeraskan bacaan surah) pada shalat (jahriyyah) yang disunnahkan untuk dikeraskan, seperti. - dua rakaat pertama shalat maghrib dan isya, - shalat subuh, - shalat Jum'at, - shalat ied, - shalat istisqa', - shalat tarawih, dan yang semisalnya yang telah diketahui. Jika seorang imam tidak mengeraskan bacaan surahnya pada shalat-shalat ini secara sengaja maka shalatnya tetap sah tapi nilainya kurang. Jika seseorang shalat sendirian dalam mengerjakan shalat jahriyyah maka dia boleh memilih antara membaca surah dengan dikeraskan atau dengan lirih. Dia pertimbangkan mana yang membuatnya lebih semangat dan lebih dekat dengan kekhusyuan maka itu yang dia lakukan." (Fatawa Nur 'alad Darb, kaset no. 84)¹ ¹ Baca juga: Al-Jami' fi Ahkam Shifah ash-Shalah (III/264) PESAN UNTUK YANG MENJADI IMAM SHALAT Memperpanjang shalat atau mengerjakannya seperti biasa saja antara panjang dan pendek ditentukan dengan memperhatikan keadaan para makmum. ▪️ Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, العبرة بالأكثرية والضعفاء، فإذا كان الأكثرية يرغبون في الإطالة بعض الشيء وليس فيهم من يراعى من الضعفة والمرضى أو كبار السن فإنه لا حرج في ذلك، وإذا كان فيهم الضعيف من المرضى أو من كبار السن، فينبغي للإمام أن ينظر إلى مصلحتهم. "Yang menjadi bahan pertimbangan adalah mayoritas jamaah dan orang-orang lemah. Apabila kebanyakan jamaah menginginkan agar shalat dikerjakan lebih panjang dan di antara makmum tidak ada yang harus diperhatikan keadaannya seperti orang lemah, orang sakit, atau orang yang sudah berusia lanjut, maka tidak masalah (diperpanjang). Tapi apabila di antara jamaah ada orang yang lemah, orang yang sakit, dan yang sudah tua maka hendaknya imam memperhatikan kemaslahatan mereka." (Al-Jawab ash-Shahih, hlm. 16) ▪️ Beliau rahimahullah juga berkata, هذا أمر مطلوب في جميع الصلوات، في التراويح وفي الفرائض لقوله - صلى الله عليه وسلم -: «أيكم أم الناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والصغير وذا الحاجة » فالإمام يراعي المأمومين ويرفق بهم في قيام رمضان، وفي العشر الأخيرة، وليس الناس سواء، فالناس يختلفون فينبغي له أن يراعي أحوالهم ويشجعهم على المجيء وعلى الحضور؛ فإنه متى أطال عليهم شق عليهم ونفرهم من الحضور، فينبغي له أن يراعي ما يشجعهم على الحضور ويرغبهم في الصلاة ولو بالاختصار وعدم التطويل، فصلاة يخشع فيها الناس ويطمئنون فيها ولو قليلا خير من صلاة يحصل فيها عدم الخشوع ويحصل فيها الملل والكسل "Memperhatikan keadaan makmum ialah hal yang dituntut pada seluruh shalat, pada shalat tarawih dan shalat wajib berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, "Siapapun di antara kalian yang menjadi imam bagi manusia hendaklah dia persingkat, karena di tengah mereka ada orang yang lemah, anak kecil, dan memiliki kesibukan."¹ ¹ Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dengan lafazh yang berbeda-beda Maka imam hendaknya memperhatikan kondisi makmumnya, bersikap lembut kepada mereka dalam hal berdiri dan juga pada 10 malam terakhir (Ramadhan). Manusia tidak sama, manusia berbeda-beda, maka hendaknya imam; - memiliki perhatian terhadap kondisi para makmum, - dan menyemangati mereka untuk datang dan menghadiri shalat, karena apabila shalatnya panjang maka itu membuat mereka kesulitan dan lalu mereka jadi enggan untuk hadir lagi. Jadi sepantasnya untuk memperhatikan hal yang dapat membuat hati mereka bersemangat untuk hadir dan bisa memotivasi mereka untuk mengerjakan shalat meski itu dengan shalat yang pendek dan tidak panjang. Shalat yang dikerjakan dengan khusyuk oleh orang-orang dan bisa thuma'ninah meskipun tidak lama ini lebih baik daripada pengerjaan shalat yang tidak menghadirkan kekhusyuan dan dikerjakan dengan bosan dan rasa malas." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XI/336-337) Dan juga menjadi hal yang terpenting untuk diperhatikan orang yang menjadi imam ialah menjaga kesempurnaan rukun-rukun shalat.  ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, ما هو الضابط لمقدار القراءة في كل ركعة في التراويح، هل يكفي أن يقرأ الإمام نصف القرآن في الشهر أو ثلثيه؟ Apa ketentuan ukuran membaca surah pada tiap raka'at shalat tarawih. Apakah cukup bagi imam untuk membaca setengah Al-Qur'an dalam satu bulan atau membaca dua pertiganya? ▪️ Beliau rahimahullah menjelaskan, إذا كان الناس محصورين فعلى رغبتهم إن شاء طول وإن شاء قصر، وأما إن كانوا غير محصورين فلا ينبغي أن يطول القراءة، أي: فليس بلازم أن تكمل القرآن، لا تطل به فتمله، لكن أهم شيء هو الركوع والسجود، والقيام بعد الركوع والجلوس بين السجدتين والتشهد "Apabila jamaah sifatnya terbatas maka sesuai dengan keinginan mereka, jadi jika ingin imam bisa memanjangkan dan bila ingin dia persingkat. Adapun apabila jumlah makmum tidak terbatas siapa maka tidak selayaknya untuk memperpanjang sekali bacaan, artinya bukan suatu keharusan untuk kamu menuntaskan Al-Qur'an dalam satu bulan (di shalat tarawih). Jangan kamu memperpanjang sehingga bisa menjadi bosan. Tetapi perkara yang paling penting paling penting adalah (sempurnanya) rukuk, sujud, bangkit setelah rukuk, dan duduk diantara dua sujud serta duduk tasyahhud." (Al-Liqa' asy-Syahri, no. 52) JIKA HAFALAN AL-QUR'AN TIDAK BANYAK ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, يجوز لك أن تردد السور في صلاة التراويح، لعموم قول الله تعالى: ﴿فاقرءوا ما تيسر من القرآن﴾. "Kamu boleh mengulang-ulangi surah-surah pada shalat tarawih berdasarkan keumuman kandungan firman Allah ta'ala, فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ ۚ "Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an." QS. Al-Muzammil: 20 (Fatawa Nur 'alad Darb, kaset no. 26) Jadi hanya membaca surah yang itu-itu saja karena keterbatasan hafalannya ini tidak masalah. Dan bila ingin membaca surah yang belum dia hafal pada shalat tarawih dia bisa membacanya dari mushaf. SHALAT DENGAN MEMEGANG MUSHAF ▪️ Berkata Imam al-Bukhari rahimahullah, وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ المُصْحَفِ "Aisyah radhiyallahu 'anha pernah shalat dan yang menjadi imam ialah budak beliau yang bernama Dzakwan dengan membaca dari mushaf." (Kitab al-Adzan: Bab Imamah al-'Abdi wa al-Maula) ▪️ Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ فِي الْمُصْحَفِ لَا تُبْطِلُ الصَّلَاةَ مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ و أَحْمَدَ "Pendapat akan sahnya shalat dengan membaca melalui mushaf yang saya sebutkan ini merupakan madzhab kami (Syafi'iyah), Malik, Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, dan Ahmad." (Al-Majmu', IV/95) ▪️ Al-Allamah Ibnu Baaz rahimahullah menerangkan, فلا حرج على المؤمن أن يقرأ من المصحف إذا دعت الحاجة إلى ذلك في التراويح, أو في قيام الليل, أو في صلاة الكسوف؛ لأن المقصود أن يقرأ كتاب الله في هذه الصلوات, وأن يستفيد من كلام ربه-عز وجل-وليس كل أحد يحفظ القرآن, أو يحفظ السور الطويلة من القرآن فهو في حاجة إلى أن يسمع كلام ربه, وأن يقرأه من المصحف فلا حرج في ذلك. وقد رأى بعض أهل العلم منع ذلك ولكن بدون دليل "Tidak masalah bagi seseorang untuk membaca dari mushaf ketika diperlukan di shalat tarawih, shalat malam, atau shalat gerhana. Karena tujuan utamanya ialah untuk membaca Al-Qur'an pada saat shalat-shalat tersebut dan mengambil pelajaran darinya. Tidak setiap orang hafal Al-Qur'an atau hafal surah-surah panjang. Dalam keadaan dia perlu untuk mendengarkan firman Allah. Jadi tidak masalah membacanya melalui mushaf. Sebagian ulama tidak membolehkan namun tanpa pegangan dalil." (Fatawa Nur 'alad Darb, IX/454-455) SIAPKAN MEJA KECIL ATAU KURSI UNTUK MELETAKKAN MUSHAF SAAT POSISI RUKUK Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah mengingatkan point ini, ويلاحظ أن السنة والأفضل أن يوضع على كرسي مرتفع يكون حول المصلي يضعه عليه, فإذا قام من السجود أخذه لا يضعه في الأرض؛ لأن احترامه متعين فإذا تيسر كرسي أو شيء مرتفع وضعه عليه, أما إذا ما تيسر شيء فلا بأس أن يضعه على الأرض النظيفة الطيبة "Dan perlu diingat, bahwa yang sunnah dan afdal ialah meletakkan mushaf di kursi yang dekat dengan tempat shalatnya. Lalu saat bangkit dari sujud dia ambil kembali mushafnya. Dan jangan meletakkannya di lantai. Karena memuliakan Al-Qur'an hukumnya wajib. Jadi bila ada kursi atau benda apapun yang berada di atas permukaan lantai; maka dia letakkan mushafnya di sana. Tapi bila memang tidak ada; tidak masalah diletakkan di lantai namun yang bersih dan suci." (Dinukil dari https://binbaz.org.sa/old/28793 ) YANG LEBIH UTAMANYA LEWAT HAFALAN Tadi yang dibahas ialah tentang hukum, yaitu boleh membaca surah dengan memegang mushaf ketika sedang shalat. Akan tetapi apabila kita membahas tentang yang afdalnya, maka tentu jika membaca surah melalui hafalan ketika sedang shalat akan lebih baik. ▪️  Al-Allamah Ibnu Baaz berkata, من تيسر له أن يقرأ حفظاً فذلك أولى وأكمل، أما من لا يتيسر له ذلك لأنه لا يحفظ القرآن فلا مانع من أن يقرأ من المصحف "Bagi yang mudah membaca surah (di dalam shalat) melalui hafalan maka ini lebih utama dan lebih sempurna, adapun jika seseorang kesulitan bila lewat hafalan maka tidak masalah membaca dari mushaf." (Fatawa Nur 'alad Darb) ▪️ Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan alasannya, وأما في الصلاة : فالأفضل أن يقرأ عن ظهر قلب ؛  وذلك لأنه إذا قرأ من المصحف فإنه يحصل له عمل متكرر في حمل المصحف ، وإلقائه ، وفي تقليب الورق ، وفي النظر إلى حروفه ، وكذلك يفوته وضع اليد اليمنى على اليسرى على الصدر في حال القيام ، وربما يفوته التجافي في الركوع والسجود إذا جعل المصحف في إبطه ، ومن ثَمَّ رجحنا قراءة المصلي عن ظهر قلب على قراءته من المصحف "Apabila di dalam shalat maka yang utama dia membaca surah melalui hafalan. Karena jika membaca dari mushaf maka dia akan melakukan gerakan yang terus-menerus untuk memegangi mushaf, meletakkannya, memindahkan halaman, dan melihat kepada huruf-hurufnya. Demikian juga akan membuatnya terlepas dari sunnah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada ketika sedang berdiri, dan bahkan juga bisa terlepaskan dari melebarkan lengan di posisi rukuk dan sujud apabila dia meletakkan mushaf di ketiaknya. Dengan alasan-alasan ini kami berpendapat agar orang yang mengerjakan shalat membaca surah melalui hafalannya saja daripada dia membaca dari mushaf." (Al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih, pertanyaan no. 16) Tapi kembali lagi pada pembahasan sebelumnya, jika dia perlu untuk memegang mushaf ketika shalat maka tidak masalah. PERLUKAH MEMBACA SHALAWAT TIAP HABIS SALAM DI SHALAT TARAWIH? Setelah salam dari dua raka'at shalat tarawih tidak ada bacaan khusus yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Sehingga bila masih belum melanjutkan tarawih berikutnya, seseorang diberikan kebebasan apakah ingin duduk saja, membaca Al-Qur'an, berdzikir, membaca shalawat, minum, atau apapun. Jika memilih berdzikir atau bershalawat setelah salam dari dua raka'at shalat tarawih maka seseorang tidak boleh mengkhususkan waktu dan tata cara tertentu dalam pelaksanaannya. Karena jika sudah menetapkan waktu dan tata cara pelaksanaan sama artinya telah menetapkan suatu aturan dalam ibadah. Padahal kita sepakat, bahwa aturan dalam ibadah hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah ﷺ. Sedangkan jika dilakukan secara bersama-sama dengan suara keras dan ditetapkan rutin tiap selesai salam dua raka'at atau empat raka'at, maka berikut ini keterangan sejumlah ulama yang menjelaskan tentang hukumnya. ▪️ Al-Faqih Ibnu al-Haaj al-Fasi rahimahullah berkata, وينبغي له أن يتجنب ما أحدثوه من الذكر بعد كل تسليمتين من صلاة التراويح ومن رفع أصواتهم بذلك والمشي على صوت واحد فإن ذلك كله من البدع وكذلك ينهى عن قول المؤذن بعد ذكرهم بعد التسليمتين من صلاة التراويح: الصلاة يرحمكم الله فإنه محدث أيضا والحدث في الدين ممنوع وخير الهدي هدي محمد - صلى الله عليه وسلم - ثم الخلفاء بعده ثم الصحابة - رضوان الله عليهم أجمعين - ولم يذكر عن أحد من السلف فعل ذلك فيسعنا ما وسعهم "Hendaklah imam menjauhi amalan yang diadakan oleh orang-orang yaitu dzikir setiap selesai salam shalat tarawih. Dan mereka mengeraskan suara juga dilakukan dengan bersama-sama. Karena semua itu termasuk amalan yang baru dan diada-adakan. Demikian juga ucapan muadzin setelah mereka membaca dzikir setelah salam dari shalat tarawih itu 'الصلاة يرحمكم الله', sesungguhnya ini juga amalan baru dalam agama, dan amalan baru dalam agama terlarang. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad ﷺ, kemudian Khulafaur Rasyidin, kemudian para sahabat radhiyallahu 'anhum ajma' in, dan tidak disebutkan ada seorang pun dari kalangan salaf yang melakukan hal itu, hendaklah kita mencukupkan dengan amalan yang sudah mencukupi mereka." (Al-Madkhal ila Tanmiyah al-A'mal, II/293-294) ▪️ Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh rahimahullah berkata, الاجتماع الراتب على الذكر ونحوه كالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في أَعقابها مبتدع غير مشروع "Membaca dzikir atau yang semisalnya seperti shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam secara bersamaan yang dilakukan secara rutin tiap selesai salam shalat tarawih adalah hal yang baru dan tidak disyariatkan." (Fatawa wa Rasa'il, II/247) ▪️ Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya, ما حكم رفع الصوت بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ، والترضي عن الخلفاء الراشدين بين ركعات التراويح ؟ "Apa hukumnya mengeraskan suara dalam bershalawat kepada Nabi dan mendoakan Khulafaur Rasyidin agar mendapatkan ridha Allah di antara raka'at shalat tarawih?" ▪️ Beliau menjelaskan, لا أصل لذلك- فيما نعلم- من الشرع المطهر ، بل هو من البدع المحدثة ، فالواجب تركه ، ولن يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها ، وهو اتباع الكتاب والسنة ، وما سار عليه سلف الأمة ، والحذر مما خالف ذلك "Tidak ada dasar dalil amalan tersebut dari syariat yang suci ini -dari yang kami ketahui-. Bahkan amalan itu termasuk amalan baru yang diada-adakan, maka wajib untuk ditinggalkan. Tidak akan baik keadaan akhir umat ini kecuali dengan melakukan hal yang telah membuat baik keadaan umat awalnya. Yaitu mengikuti Al-Qur'an dan sunnah, serta mengikuti jalannya para pendahulu umat dan menghindari semua hal yang menyelisihi itu." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XI/369) Dari keterangan sejumlah ulama di atas kita memahami bahwa yang diingkari oleh mereka ialah karena membuat bentuk khusus dengan menetapkan itu dibaca setelah salam shalat tarawih dan melakukannya secara berjamaah. Adapun jika melakukan dzikir atau amalan lain setelah salam masing-masing dan tanpa mengkhususkan, maka itu haknya dan itu akan menjadi kebaikan tambahan baginya. BACA JUGA : SILSILAH FIKIH PUASA LENGKAP ✍ -- Jalur Masjid Agung@Kota Raja -- Hari Ahadi [ Penggalan pembahasan Risalah Fushul fish Shiyam ] _________________ ▶️ Mari ikut berdakwah dengan turut serta membagikan artikel ini, asalkan ikhlas insyaallah dapat pahala. https://t.me/nasehatetam www.nasehatetam.net
4 tahun yang lalu
baca 14 menit

Tag Terkait

mengakhirkan-shalattegakkanlah-shalatrambut-saat-shalatshalat-bertattoshalat-di-masa-pandemishalat-safarbergerak-dalam-shalatmenoleh-saat-shalatdzikir-shalatshalat-alfiyahrukun-shalattata-cara-shalathukum-shalat-jumatshalat-jumat-saat-wabahlarangan-dalam-shalatdzikir-setelah-shalatsunnah-shalatsifat-shalatqadha-shalatwirid-shalatshaf-shalathukum-meninggalkan-shalatlupa-dalam-shalatshalat-nabisifat-shalat-nabishalat-idul-adha-1443hshalatwirid-setelah-shalatkewajiban-shalattidak-shalatadab-shalatshalat-terlalu-cepatsyarat-sahnya-shalatpembatal-shalatimam-shalathukum-shalat-dhuhadoa-shalat-jenazahtatacara-shalatshalat-kusufshalat-berjamaahzikir-setelah-shalattaawudz-dalam-shalattanyajawab-shalatshalat-di-kuburanshalat-tarawihwajib-wajib-shalatsetelah-shalatshalat-menghadap-kuburcara-shalatshalat-dhuhashalat-gerhanashalat-khusufhukum-shalat-witirimam-shalat-wanitaterluput-dari-shalatshalat-syuruqshalat-jamakwaktu-shalat-sudah-lewatwaktu-shalat-jumatshalat-tobatwaktu-shalatmemutus-shalatshalat-tahajudmenjamak-shalatbacaan-shalatshalat-di-pesawatshalat-idshalat-jenazahshalat-jumatzikir-shalathaid-sebelum-waktu-shalat-habisshalat-wanitashalat-di-rumahadab-shalat-idhukum-shalat-iedshalat-raghaibshalat-setelah-saishalat-isyraqshalat-gaibshalat-rawatibshalat-sunnahwanita-shalat-di-masjidwanita-shalat-jumatdoa-dalam-shalatshalat-hajatshalat-saat-safarmengqashar-shalatshalat-dalam-safarjamak-shalatqashar-shalatshalat-sendirianshalat-tahajjudshalat-witirshalat-malamsyarat-shalatshalat-tahiyatul-masjidkeutamaan-shalatshalat-di-masjidsyariat-shalatpakaian-wanita-ketika-shalatshalat-memakai-pakaian-tipisanak-kecil-dalam-shaf-shalatfatwa-shalatshalat-lupa-wudhushalat-tanpa-wudhualfatihah-ketika-shalathukum-shalatkedudukan-shalat-fardhukeringanan-shalatshalat-dan-kewajibannyabidah-shalatjumlah-jamaah-shalat-jumatshalat-tasbihshalat-istikharahpembatas-shalatwaktu-shalat-zuhur-hari-jumat-bagi-wanitahukum-shalat-tarawihpenjelasan-tentang-shalat-tarawihshalat-tawarihwasiat-untuk-shalat-witirragu-di-dalam-shalatshalat-juamatshalat-jumat-berteaptan-hari-rayashalat-sunnah-fajarshalat-istisqa100-000-shalatshalat-awwabinshalat-isyroqshalat-pakai-sepatushalat-tanpa-hijabmeninggalkan-shalat-dengan-sengajaorang-sakit-meninggalkan-shalatshalat-orang-pingsanlima-ratus-kali-shalatberapa-jumlah-rakaat-dalam-shalat-tarawihjumlah-rakaat-dalam-shalat-tarawihshalat-asharshalat-iedul-fitri-1439hhukum-tertawa-saat-shalattergesa-gesa-ketika-shalathukum-mengeraskan-bacaan-niat-pada-shalatmenguap-ketika-shalatshalat-jamaahniat-shalatshalat-pakai-sendalshalat-wajibshalat-kecepetanshalat-terlambatiqamah-shalatshalat-tanpa-azan-dan-ikamahshalat-fardhulupa-menunaikan-shalatshalat-anak-kecilhukum-shalat-gerhanatata-cara-shalat-gerhanahukum-sutrah-dalam-shalatkitab-sifat-shalatshalat-istighfarshalat-iedtata-cara-shalat-gerhana-nabishalat-subuhshalat-subuh-berjamaahshalat-iedul-adhashalat-malam-nisfu-syabanhukum-seputar-sutrohpembatas-shalatcara-shalat-istisqacara-shalat-meminta-hujanbhukum-mengkhususkan-membaca-surah-as-sajdah-pada-shalat-subuh-di-hari-jumatbimbingan-ulama-menyikapi-anak-kecil-yang-bermain-dalam-shalatkegaduhan-anak-kecil-ketika-shalatmengganggu-orang-shalatmemutuskan-shalat-seseorangmenjaga-shalatshalat-tarawih-11-atau-23-rakaatshalat-tarawih-11-rakaatshalat-tarawih-23-rakaatbesarnya-dosa-lewat-di-hadapan-orang-shalatmencegah-orang-yang-hendak-lewat-di-depan-kita-saat-shalatshalat-menghadap-wajah-manusiacara-shalat-gerhanashalat-gerhana-sesuai-sunnahtuntunan-shalat-gerhana