FIKIH SHALAT TARAWIH
APAKAH BACAAN SURAH PADA SHALAT TARAWIH SENDIRIAN DIKERASKAN (JAHR)?
Ada penjelasan bagus dan bermanfaat dari Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah tentang masalah ini, dan jawaban dari poin pembahasan sekarang terletak diujung keterangan beliau.
▪️ Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata,
الجهر بالقراءة في الصلاة الجهرية ليس على سبيل الوجوب ، بل هو على سبيل الأفضلية ، فلو أن الإنسان قرأ سرّاً فيما يشرع فيه الجهر لم تكن صلاته باطلة ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القرآن ) ولم يقيد هذه القراءة بكونها جهراً أو سراً ، فإذا قرأ الإنسان ما تجب قراءته سرّاً أو جهراً فقد أتى بالواجب ، لكن الأفضل فيما يسن فيه الجهر كالركعتين الأوليين من صلاتي المغرب والعشاء وكصلاة الفجر وصلاة الجمعة وصلاة العيد وصلاة الاستسقاء وصلاة التراويح وما أشبه ذلك مما هو معروف ، ولو تعمد الإنسان وهو إمام أن لا يجهر فصلاته صحيحة ، لكنها ناقصة ، أما المنفرد إذا صلى صلاة جهرية فإنه يخير بين الجهر والإسرار ، وينظر ما هو أنشط له وأقرب إلى الخشوع فيقوم به
"Membaca surah dengan dikeraskan pada shalat jahriyah hukumnya tidak wajib. Tapi sifatnya keutamaan. Seandainya seseorang membaca secara lirih di shalat yang disyariatkan untuk di-jahr-kan maka shalatnya tidak batal.
• Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ
'Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca surah Al-Fatihah." HR. Al-Bukhari (756) dan Muslim (394)
Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menentukan bacaan ini apakah dengan dikeraskan atau secara lirih. Jadi apabila seseorang sudah membaca surah yang wajib untuk dibaca baik itu dengan suara lirih atau dengan dikeraskan maka dia telah menjalankan kewajiban.
Akan tetapi yang utama ialah (mengeraskan bacaan surah) pada shalat (jahriyyah) yang disunnahkan untuk dikeraskan, seperti;
- dua rakaat pertama shalat maghrib dan isya,
- shalat subuh,
- shalat Jum'at,
- shalat ied,
- shalat istisqa',
- shalat tarawih,
dan yang semisalnya yang telah diketahui.
Jika seorang imam tidak mengeraskan bacaan surahnya pada shalat-shalat ini secara sengaja maka shalatnya tetap sah tapi nilainya kurang.
Jika seseorang shalat sendirian dalam mengerjakan shalat jahriyyah maka dia boleh memilih antara membaca surah dengan dikeraskan atau dengan lirih. Dia pertimbangkan mana yang membuatnya lebih semangat dan lebih dekat dengan kekhusyuan maka itu yang dia lakukan." (Fatawa Nur 'alad Darb, kaset no. 84)¹
¹ Baca juga: Al-Jami' fi Ahkam Shifah ash-Shalah (III/264)
PESAN UNTUK YANG MENJADI IMAM SHALAT
Memperpanjang shalat atau mengerjakannya seperti biasa saja antara panjang dan pendek ditentukan dengan memperhatikan keadaan para makmum.
▪️ Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,
العبرة بالأكثرية والضعفاء، فإذا كان الأكثرية يرغبون في الإطالة بعض الشيء وليس فيهم من يراعى من الضعفة والمرضى أو كبار السن فإنه لا حرج في ذلك، وإذا كان فيهم الضعيف من المرضى أو من كبار السن، فينبغي للإمام أن ينظر إلى مصلحتهم.
"Yang menjadi bahan pertimbangan adalah mayoritas jamaah dan orang-orang lemah.
Apabila kebanyakan jamaah menginginkan agar shalat dikerjakan lebih panjang dan di antara makmum tidak ada yang harus diperhatikan keadaannya seperti orang lemah, orang sakit, atau orang yang sudah berusia lanjut, maka tidak masalah (diperpanjang).
Tapi apabila di antara jamaah ada orang yang lemah, orang yang sakit, dan yang sudah tua maka hendaknya imam memperhatikan kemaslahatan mereka." (Al-Jawab ash-Shahih, hlm. 16)
▪️ Beliau rahimahullah juga berkata,
هذا أمر مطلوب في جميع الصلوات، في التراويح وفي الفرائض لقوله - صلى الله عليه وسلم -: «أيكم أم الناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والصغير وذا الحاجة » فالإمام يراعي المأمومين ويرفق بهم في قيام رمضان، وفي العشر الأخيرة، وليس الناس سواء، فالناس يختلفون فينبغي له أن يراعي أحوالهم ويشجعهم على المجيء وعلى الحضور؛ فإنه متى أطال عليهم شق عليهم ونفرهم من الحضور، فينبغي له أن يراعي ما يشجعهم على الحضور ويرغبهم في الصلاة ولو بالاختصار وعدم التطويل، فصلاة يخشع فيها الناس ويطمئنون فيها ولو قليلا خير من صلاة يحصل فيها عدم الخشوع ويحصل فيها الملل والكسل
"Memperhatikan keadaan makmum ialah hal yang dituntut pada seluruh shalat, pada shalat tarawih dan shalat wajib berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,
"Siapapun di antara kalian yang menjadi imam bagi manusia hendaklah dia persingkat, karena di tengah mereka ada orang yang lemah, anak kecil, dan memiliki kesibukan."¹
¹ Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dengan lafazh yang berbeda-beda
Maka imam hendaknya memperhatikan kondisi makmumnya, bersikap lembut kepada mereka dalam hal berdiri dan juga pada 10 malam terakhir (Ramadhan). Manusia tidak sama, manusia berbeda-beda, maka hendaknya imam;
- memiliki perhatian terhadap kondisi para makmum,
- dan menyemangati mereka untuk datang dan menghadiri shalat,
karena apabila shalatnya panjang maka itu membuat mereka kesulitan dan lalu mereka jadi enggan untuk hadir lagi.
Jadi sepantasnya untuk memperhatikan hal yang dapat membuat hati mereka bersemangat untuk hadir dan bisa memotivasi mereka untuk mengerjakan shalat meski itu dengan shalat yang pendek dan tidak panjang.
Shalat yang dikerjakan dengan khusyuk oleh orang-orang dan bisa thuma'ninah meskipun tidak lama ini lebih baik daripada pengerjaan shalat yang tidak menghadirkan kekhusyuan dan dikerjakan dengan bosan dan rasa malas." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XI/336-337)
Dan juga menjadi hal yang terpenting untuk diperhatikan orang yang menjadi imam ialah menjaga kesempurnaan rukun-rukun shalat.
▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya,
ما هو الضابط لمقدار القراءة في كل ركعة في التراويح، هل يكفي أن يقرأ الإمام نصف القرآن في الشهر أو ثلثيه؟
Apa ketentuan ukuran membaca surah pada tiap raka'at shalat tarawih. Apakah cukup bagi imam untuk membaca setengah Al-Qur'an dalam satu bulan atau membaca dua pertiganya?
▪️ Beliau rahimahullah menjelaskan,
إذا كان الناس محصورين فعلى رغبتهم إن شاء طول وإن شاء قصر، وأما إن كانوا غير محصورين فلا ينبغي أن يطول القراءة، أي: فليس بلازم أن تكمل القرآن، لا تطل به فتمله، لكن أهم شيء هو الركوع والسجود، والقيام بعد الركوع والجلوس بين السجدتين والتشهد
"Apabila jamaah sifatnya terbatas maka sesuai dengan keinginan mereka, jadi jika ingin imam bisa memanjangkan dan bila ingin dia persingkat.
Adapun apabila jumlah makmum tidak terbatas siapa maka tidak selayaknya untuk memperpanjang sekali bacaan, artinya bukan suatu keharusan untuk kamu menuntaskan Al-Qur'an dalam satu bulan (di shalat tarawih).
Jangan kamu memperpanjang sehingga bisa menjadi bosan. Tetapi perkara yang paling penting paling penting adalah (sempurnanya) rukuk, sujud, bangkit setelah rukuk, dan duduk diantara dua sujud serta duduk tasyahhud." (Al-Liqa' asy-Syahri, no. 52)
JIKA HAFALAN AL-QUR'AN TIDAK BANYAK
▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
يجوز لك أن تردد السور في صلاة التراويح، لعموم قول الله تعالى: ﴿فاقرءوا ما تيسر من القرآن﴾.
"Kamu boleh mengulang-ulangi surah-surah pada shalat tarawih berdasarkan keumuman kandungan firman Allah ta'ala,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ ۚ
"Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an." QS. Al-Muzammil: 20 (Fatawa Nur 'alad Darb, kaset no. 26)
Jadi hanya membaca surah yang itu-itu saja karena keterbatasan hafalannya ini tidak masalah. Dan bila ingin membaca surah yang belum dia hafal pada shalat tarawih dia bisa membacanya dari mushaf.
SHALAT DENGAN MEMEGANG MUSHAF
▪️ Berkata Imam al-Bukhari rahimahullah,
وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ المُصْحَفِ
"Aisyah radhiyallahu 'anha pernah shalat dan yang menjadi imam ialah budak beliau yang bernama Dzakwan dengan membaca dari mushaf." (Kitab al-Adzan: Bab Imamah al-'Abdi wa al-Maula)
▪️ Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,
وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ فِي الْمُصْحَفِ لَا تُبْطِلُ الصَّلَاةَ مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ و أَحْمَدَ
"Pendapat akan sahnya shalat dengan membaca melalui mushaf yang saya sebutkan ini merupakan madzhab kami (Syafi'iyah), Malik, Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, dan Ahmad." (Al-Majmu', IV/95)
▪️ Al-Allamah Ibnu Baaz rahimahullah menerangkan,
فلا حرج على المؤمن أن يقرأ من المصحف إذا دعت الحاجة إلى ذلك في التراويح, أو في قيام الليل, أو في صلاة الكسوف؛ لأن المقصود أن يقرأ كتاب الله في هذه الصلوات, وأن يستفيد من كلام ربه-عز وجل-وليس كل أحد يحفظ القرآن, أو يحفظ السور الطويلة من القرآن فهو في حاجة إلى أن يسمع كلام ربه, وأن يقرأه من المصحف فلا حرج في ذلك. وقد رأى بعض أهل العلم منع ذلك ولكن بدون دليل
"Tidak masalah bagi seseorang untuk membaca dari mushaf ketika diperlukan di shalat tarawih, shalat malam, atau shalat gerhana. Karena tujuan utamanya ialah untuk membaca Al-Qur'an pada saat shalat-shalat tersebut dan mengambil pelajaran darinya.
Tidak setiap orang hafal Al-Qur'an atau hafal surah-surah panjang. Dalam keadaan dia perlu untuk mendengarkan firman Allah. Jadi tidak masalah membacanya melalui mushaf. Sebagian ulama tidak membolehkan namun tanpa pegangan dalil." (Fatawa Nur 'alad Darb, IX/454-455)
SIAPKAN MEJA KECIL ATAU KURSI UNTUK MELETAKKAN MUSHAF SAAT POSISI RUKUK
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah mengingatkan point ini,
ويلاحظ أن السنة والأفضل أن يوضع على كرسي مرتفع يكون حول المصلي يضعه عليه, فإذا قام من السجود أخذه لا يضعه في الأرض؛ لأن احترامه متعين فإذا تيسر كرسي أو شيء مرتفع وضعه عليه, أما إذا ما تيسر شيء فلا بأس أن يضعه على الأرض النظيفة الطيبة
"Dan perlu diingat, bahwa yang sunnah dan afdal ialah meletakkan mushaf di kursi yang dekat dengan tempat shalatnya. Lalu saat bangkit dari sujud dia ambil kembali mushafnya.
Dan jangan meletakkannya di lantai. Karena memuliakan Al-Qur'an hukumnya wajib.
Jadi bila ada kursi atau benda apapun yang berada di atas permukaan lantai; maka dia letakkan mushafnya di sana. Tapi bila memang tidak ada; tidak masalah diletakkan di lantai namun yang bersih dan suci." (Dinukil dari https://binbaz.org.sa/old/28793 )
YANG LEBIH UTAMANYA LEWAT HAFALAN
Tadi yang dibahas ialah tentang hukum, yaitu boleh membaca surah dengan memegang mushaf ketika sedang shalat. Akan tetapi apabila kita membahas tentang yang afdalnya, maka tentu jika membaca surah melalui hafalan ketika sedang shalat akan lebih baik.
▪️ Al-Allamah Ibnu Baaz berkata,
من تيسر له أن يقرأ حفظاً فذلك أولى وأكمل، أما من لا يتيسر له ذلك لأنه لا يحفظ القرآن فلا مانع من أن يقرأ من المصحف
"Bagi yang mudah membaca surah (di dalam shalat) melalui hafalan maka ini lebih utama dan lebih sempurna, adapun jika seseorang kesulitan bila lewat hafalan maka tidak masalah membaca dari mushaf." (Fatawa Nur 'alad Darb)
▪️ Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan alasannya,
وأما في الصلاة : فالأفضل أن يقرأ عن ظهر قلب ؛ وذلك لأنه إذا قرأ من المصحف فإنه يحصل له عمل متكرر في حمل المصحف ، وإلقائه ، وفي تقليب الورق ، وفي النظر إلى حروفه ، وكذلك يفوته وضع اليد اليمنى على اليسرى على الصدر في حال القيام ، وربما يفوته التجافي في الركوع والسجود إذا جعل المصحف في إبطه ، ومن ثَمَّ رجحنا قراءة المصلي عن ظهر قلب على قراءته من المصحف
"Apabila di dalam shalat maka yang utama dia membaca surah melalui hafalan. Karena jika membaca dari mushaf maka dia akan melakukan gerakan yang terus-menerus untuk memegangi mushaf, meletakkannya, memindahkan halaman, dan melihat kepada huruf-hurufnya.
Demikian juga akan membuatnya terlepas dari sunnah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada ketika sedang berdiri, dan bahkan juga bisa terlepaskan dari melebarkan lengan di posisi rukuk dan sujud apabila dia meletakkan mushaf di ketiaknya.
Dengan alasan-alasan ini kami berpendapat agar orang yang mengerjakan shalat membaca surah melalui hafalannya saja daripada dia membaca dari mushaf." (Al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih, pertanyaan no. 16)
Tapi kembali lagi pada pembahasan sebelumnya, jika dia perlu untuk memegang mushaf ketika shalat maka tidak masalah.
PERLUKAH MEMBACA SHALAWAT TIAP HABIS SALAM DI SHALAT TARAWIH?
Setelah salam dari dua raka'at shalat tarawih tidak ada bacaan khusus yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Sehingga bila masih belum melanjutkan tarawih berikutnya, seseorang diberikan kebebasan apakah ingin duduk saja, membaca Al-Qur'an, berdzikir, membaca shalawat, minum, atau apapun.
Jika memilih berdzikir atau bershalawat setelah salam dari dua raka'at shalat tarawih maka seseorang tidak boleh mengkhususkan waktu dan tata cara tertentu dalam pelaksanaannya. Karena jika sudah menetapkan waktu dan tata cara pelaksanaan sama artinya telah menetapkan suatu aturan dalam ibadah. Padahal kita sepakat, bahwa aturan dalam ibadah hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah ﷺ.
Sedangkan jika dilakukan secara bersama-sama dengan suara keras dan ditetapkan rutin tiap selesai salam dua raka'at atau empat raka'at, maka berikut ini keterangan sejumlah ulama yang menjelaskan tentang hukumnya.
▪️ Al-Faqih Ibnu al-Haaj al-Fasi rahimahullah berkata,
وينبغي له أن يتجنب ما أحدثوه من الذكر بعد كل تسليمتين من صلاة التراويح ومن رفع أصواتهم بذلك والمشي على صوت واحد فإن ذلك كله من البدع وكذلك ينهى عن قول المؤذن بعد ذكرهم بعد التسليمتين من صلاة التراويح: الصلاة يرحمكم الله فإنه محدث أيضا والحدث في الدين ممنوع وخير الهدي هدي محمد - صلى الله عليه وسلم - ثم الخلفاء بعده ثم الصحابة - رضوان الله عليهم أجمعين - ولم يذكر عن أحد من السلف فعل ذلك فيسعنا ما وسعهم
"Hendaklah imam menjauhi amalan yang diadakan oleh orang-orang yaitu dzikir setiap selesai salam shalat tarawih. Dan mereka mengeraskan suara juga dilakukan dengan bersama-sama. Karena semua itu termasuk amalan yang baru dan diada-adakan.
Demikian juga ucapan muadzin setelah mereka membaca dzikir setelah salam dari shalat tarawih itu 'الصلاة يرحمكم الله', sesungguhnya ini juga amalan baru dalam agama, dan amalan baru dalam agama terlarang.
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad ﷺ, kemudian Khulafaur Rasyidin, kemudian para sahabat radhiyallahu 'anhum ajma' in, dan tidak disebutkan ada seorang pun dari kalangan salaf yang melakukan hal itu, hendaklah kita mencukupkan dengan amalan yang sudah mencukupi mereka." (Al-Madkhal ila Tanmiyah al-A'mal, II/293-294)
▪️ Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh rahimahullah berkata,
الاجتماع الراتب على الذكر ونحوه كالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في أَعقابها مبتدع غير مشروع
"Membaca dzikir atau yang semisalnya seperti shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam secara bersamaan yang dilakukan secara rutin tiap selesai salam shalat tarawih adalah hal yang baru dan tidak disyariatkan." (Fatawa wa Rasa'il, II/247)
▪️ Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya,
ما حكم رفع الصوت بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ، والترضي عن الخلفاء الراشدين بين ركعات التراويح ؟
"Apa hukumnya mengeraskan suara dalam bershalawat kepada Nabi dan mendoakan Khulafaur Rasyidin agar mendapatkan ridha Allah di antara raka'at shalat tarawih?"
▪️ Beliau menjelaskan,
لا أصل لذلك- فيما نعلم- من الشرع المطهر ، بل هو من البدع المحدثة ، فالواجب تركه ، ولن يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها ، وهو اتباع الكتاب والسنة ، وما سار عليه سلف الأمة ، والحذر مما خالف ذلك
"Tidak ada dasar dalil amalan tersebut dari syariat yang suci ini -dari yang kami ketahui-. Bahkan amalan itu termasuk amalan baru yang diada-adakan, maka wajib untuk ditinggalkan.
Tidak akan baik keadaan akhir umat ini kecuali dengan melakukan hal yang telah membuat baik keadaan umat awalnya. Yaitu mengikuti Al-Qur'an dan sunnah, serta mengikuti jalannya para pendahulu umat dan menghindari semua hal yang menyelisihi itu." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XI/369)
Dari keterangan sejumlah ulama di atas kita memahami bahwa yang diingkari oleh mereka ialah karena membuat bentuk khusus dengan menetapkan itu dibaca setelah salam shalat tarawih dan melakukannya secara berjamaah. Adapun jika melakukan dzikir atau amalan lain setelah salam masing-masing dan tanpa mengkhususkan, maka itu haknya dan itu akan menjadi kebaikan tambahan baginya.
BACA JUGA :
SILSILAH FIKIH PUASA LENGKAP
✍ -- Jalur Masjid Agung@Kota Raja
-- Hari Ahadi [ Penggalan pembahasan Risalah Fushul fish Shiyam ]
_________________
▶️ Mari ikut berdakwah dengan turut serta membagikan artikel ini, asalkan ikhlas insyaallah dapat pahala.
https://t.me/nasehatetam
www.nasehatetam.net