Manhaj

Thoriqussalaf
Thoriqussalaf oleh admin

nasihat emas imam asy-syafi’i

7 tahun yang lalu
baca 1 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum menyesal dari bertaubat

HUKUM MENYESAL DARI BERTAUBAT Dalam fitnah-fitnah terakhir ini muncul suatu fenomena aneh dan berbahaya. Yaitu menyesal dari bertaubat. Seseorang di awal mengakui pelanggaran syariat dan bertaubat darinya. Di kemudian hari ia menyesal dari bertaubat terhadap kesalahan yang telah ia akui. Saudaraku fillah –nas’alullah ats-tsabaat-, Sebagaimana hal yang maklum bahwa “menyesal” salah satu syarat dari taubat. Namun apa jadinya jika “menyesal” itu dijadikan pembatal dari taubat? Sementara taubat dari kesalahan adalah satu jenis amalan shalih? Renungi penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berikut ini: “Adapun bertaubat dari amalan-amalan hasanah . (kebaikan) maka TIDAK BOLEH di sisi setiap muslim. BAHKAN seseorang yang bertaubat dari amalan-amalan hasanah -bersamaan ia mengetahui bahwa ia bertaubat dari amalan kebaikan- maka orang ini menjadi kafir atau fasik. Dan jika ia tidak memahami bahwa ia bertaubat dari kebaikan maka ini adalah orang JAHIL dan SESAT. Hal itu dikarenakan hasanah  adalah IMAN dan AMAL SHALIH. SEHINGGA bertaubat dari iman adalah ruju’ (berbalik arah) darinya. Sementara berbalik dari iman adalah riddah  (murtad). Dan itulah kekufuran. Sedangkan bertaubat dari amal shalih adalah ruju' dari apa yang Allah perintah, hal itu adalah kefasikan atau kemaksiatan. =========================== Perhatikan dan renungi penjelasan Syaikhul Islam di atas –wahai saudaraku fillah-. Betapa dahsyat akibat bagi seorang yang menyesal dari taubat. Hukum yang berlaku atasnya tidaklah ringan. Mari kita cermati –wahai saudaraku fillah- apa yang beliau sampai paparkan selanjutnya:   “Sementara Allah Yang Maha Tinggi menganugerahkan rasa cinta kepada iman bagi orang-orang mukmin. Dan Dia memberi kepada mereka rasa benci kepada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.” Berikutnya, setiap hasanah yang dilaksanakan seorang hamba adalah berhukum wajib atau mustahab. Dan taubat mengandung unsur penyesalan atas apa yang telah lalu dan ‘azam (bertekad) tidak mengulangi yang semisalnya di masa yang akan datang. Dan penyesalan itu meliputi tiga hal: ◾️ meyakini jeleknya sesuatu yang ia telah menyesalinya, ◾️ marah dan membencinya, ◾️ dan rasa perih yang mengiringinya akibat apa yang ia sesali tersebut. SEHINGGA seseorang yang : ❌meyakini jeleknya apa yang Allah perintahkan baik perintah yang wajib ataupun mustahab, ❌atau ia marah terhadap perintah itu dan membenci dengan merasa kepedihan ketika melakukannya (amalan shalih), ❌dan ia merasa terganggu dengan adanya amal shalih itu.. Maka dalam diri orang ini terdapat nifaq  / kemunafikan sesuai kadarnya (dari keyakinan jeleknya amalan shalih, kemarahan, kebencian, dan merasa terganggu atasnya, pent.). Baik itu nifaq akbar yang mengeluarkannya dari akar iman ataupun nifaq asghar yang mengeluarkannya dari kesempurnaan iman yang wajib untuknya. Allah Ta’ala berfirman: ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ ﴿٢٨﴾ "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka."   [Q.S. Muhammad: 028] Dan Allah Ta’ala berfirman: وَإِذَا مَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَـذِهِ إِيمَاناً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ فَزَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ ﴿١٢٤﴾ وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُواْ وَهُمْ كَافِرُونَ ﴿١٢٥﴾ " 124. Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira." "125. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir."   [Q.S. At-Taubah: 124 – 125] Dan Allah Ta’ala berfiman: وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً ﴿٨٢﴾ "Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian." [Q.S. Al-Israa’: 82]. 📖 Kitab At-Taubah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 42 – 43. ======###====== Takutlah kepada Allah wahai saudaraku... Tidak ada gelar yang baik untuk orang yang menyesal dari melakukan taubat atas kesalahannya. Kafir. Fasik. Jahil. Sesat. Munafik. Baik hukum itu dalam jenis akbar  ataupun ashghar  keduanya adalah kejelekan. Maka bersegeralah bertaubat dari "rujuk dari taubat". Sebelum datang hari perhitungan yang akan ditegakkan keadilan di dalamnya. Masing-masing akan dinilai sesuai dengan apa yang ia lakukan. # muhibbukum fillah 📑Alih Bahasa: Al-Ustadz Abu Yahya al-Maidany hafidzahullah •••• 📶 https://t.me/ForumBerbagiFaidah [FBF] 🌍www.alfawaaid.net Hukum Menyesal dari Bertaubat via Pixabay
7 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

12 contoh bentuk mengikuti hawa nafsu

WASPADALAH DARI MENGIKUTI HAWA' NASFU Berikut ini diantara bentuk-bentuk mengikuti hawa nafsu: 1. Bersandar kepada akal atau pendapat dalam permasalahan aqidah, hukum, dakwah dan metode-metodenya, tidak mengambil dalil dari al quran, sunnah dan ijma' salaf. 2. Tidak tunduk terhadap dalil 3. Berargumentasi dengan dalil apapun walau tidak ada sisi . keserasian untuk menetapkan pendapatnya. 4. Menta'wil dan tahrif (merubah makna atau maksud) dalil sesuai dengan yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Ini sangat laris dikalangan ahlul ahwa'. "Berpendapat, membuat kaidah lalu cari-cari dalil" 5. Berpegang kepada ucapan seorang alim atau da'i walaupun menyelisihi dalil yang sudah jelas penyimpangannya. Bahkan sebagian mereka "memutar leher-leher" dalil untuk dijadikan hujjah atas ucapan pembersarnya atau orang yang mengikutinya. 6. Bergabung dengan kelompok dan organisasi-organisasi rahasia,  mengikuti pendapat dan perintahnya. Tanpa melihat apakah sesuai dengan syari'at atau tidak. 7. Mengilzam (mengharuskan) para pengikutnya dengan pemikiran, pendapat atau kitab tertentu. Dan mentarbiyyah mereka (para pengikutnya) di atas hal itu. Yakni yang menyelisihi syari'at dan dalil. 8. Menghalangi manusia-terkhusus para pengikutnya- untuk mendengar ucapan seorang alim salafi, membaca kitabnya atau berusaha mencegah tersebar kitabnya dengan berbagai cara. 9. Tidak mau menerima bantahan atau ucapan apapun yang ditujukan kepada duat yang diagungkan oleh mereka. Mereka menjadikan bantahan atau ucapan tersebut sebagai bentuk hasad bukan kecemburuan terhadap agama dan nasehat untuk setiap muslimAtau untuk para pengikut mereka. Karena suatu kaidah:  kritikan yang terjadi antara sesama rekan adalah tertolak, karena hal itu dibangun diatas persaingan, hal itu dari satu sisi mereka mencela niat orang yang mengkritik, menjauh dari perintah Allah untuk bersikap husnudzdzon, dan dari sisi yang lain mereka "menghabisi " salah satu perinsip diantara perinsip agama yaitu membantah terhadap orang yang menyimpang . Mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa:  "kritikan yang terperinci itu diambil dan didahulukan dari ta'dil (rekomendasi)" 10. Membakar kitab-kitab ahlus sunnah yang menjelaskan agama yang benar, membantah orang-orang yang menyimpang. Maka orang-orang yang terdidik dengan hizbiyyah dan hawa nafsu membakar kitab-kitab tersebut, dan sebaliknya menyebarkan kitab-kitab ahli bid'ah. 11. Merusak nama baik ulama ditengah-tengah umum dan para pemuda islam dan menggelari mereka dengan gelar jelek dalam rangka menjauhkan manusia dari mereka. Contohnya seperti gelar:  pegawai/petugas penguasa, tidak mengerti realita dan lain-lain. 12. Menjadikan dusta sebagai wasilah untuk menyebarkan dakwah mereka. [Dinukil  secara ringkas dari kitab:  "Sallus suyuf wal Asinnah ala ahlil ahwa' wa ad'iyya'is sunnah, karya: Abdullah bin Sholfiq adz Dzofiri, Hal. (24-26) dengan sedikit perubahan] Cilacap, 26 Muharram 1439 Abul Abbas Sholeh bin Zainal abidin WA Ibnul Qayyim Rawajaya https://t.me/salafykawunganten
7 tahun yang lalu
baca 3 menit