Fiqih

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

wudu dan salat menghapus dosa-dosa yang telah lalu

Wudu dan Salat Menghapus Dosa-dosa Yang Telah Lalu بسم الله الرحمن الرحيم Wudu dan Salat Menghapus Dosa-dosa Yang Telah Lalu Saudara-saudara sekalian, sungguh berwudu adalah amalan yang sangat mulia dalam Islam, bahkan bisa menjadi penyebab dosa-dosa hamba diampuni. Pada kesempatan kali ini, kami akan membawakan beberapa faedah dari ulama tentang hal ini. Semoga dapat bermanfaat untuk kaum muslimin. Disebutkan dalam hadis dari Humran, bekas budak ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِيْنَهُ فِي الْوَضُوْءِ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلىَ الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا وَقَالَ: مَنْ تَوَضَّئَا نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَينِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ Dia pernah melihat ‘Usman meminta diambilkan air wudu. Karena itu, dituangkanlah air dari bejana ke atas dua telapak tangannya lalu membasuhnya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam air, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan mengeluarkannya. Setelah itu, beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali dan kedua lengannya sampai siku tiga kali. Setelahnya, beliau mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali. Setelah selesai dari semua itu, beliau berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudu seperti wuduku ini. Beliau bersabda, Barang siapa yang berwudu seperti wuduku ini, kemudian salat dua rakaat dan tidak berbicara pada jiwanya (urusan-urusan dunia), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Al-Bukhari, no. 164 dan Muslim, no. 226). Banyak faedah yang dapat dipetik dari hadis ini. Di antaranya adalah disunahkan untuk mengerjakan dua rakaat atau lebih setelah seseorang berwudu. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah menjelaskan, وفيه استحباب صلاة ركعتين فأكثر عقب كل وضوء وهو سنة مؤكدة “Di dalam hadis ini (terdapat) anjuran salat dua rakaat atau lebih setiap selesai berwudu dan hukumnya adalah sunah muakadah” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 3, hlm. 108). Seorang hamba akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu tatkala wudunya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah yang dimaksud dengan ampunan di sini? Apakah diampuni semua dosanya, baik yang kecil maupun yang besar? Para ulama kita menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, maka seseorang harus bertobat karenanya. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah menerangkan, والمراد بالغفران الصغائر دون الكبائر “Yang dimaksud dengan ampunan dalam hadis ini adalah diampuninya dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 3, hlm. 108). Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, أما الكبائر فلا ينفع فيها إلا التوبة “Adapun dosa-dosa besar, tidak akan bermanfaat untuk menghilangkannya kecuali dengan tobat” (Syarh Riyadh al-Shalihin, Jilid 1, hlm. 80). Di dalam hadis ini disebutkan lafaz “salat dua rakaat,” yakni salat sunah. Namun, tidak terkecuali dari itu salat fardu. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, هكذا أطلق صلاة الركعتين وهو نحو رواية ابن شهاب الماضية في كتاب الطهارة وقيده مسلم في روايته من طريق نافع بن جبير عن حمران بلفظ ثم مشى إلى الصلاة المكتوبة فصلاها مع الناس أو في المسجد وكذا وقع في رواية هشام بن عروة عن أبيه عن حمران عنده فيصلي صلاة وفي أخرى له عنه فيصلي الصلاة المكتوبة وزاد إلا غفر الله له ما بينها وبين الصلاة التي تليها “Demikian disebutkan secara mutlak dengan penyebutan dua rakaat. Penyebutan ini seperti riwayat Ibnu Syihab yang lalu dalam pembahasan Kitab Taharah. Al-Imam Muslim menyebutkan dengan batasan dalam riwayatnya melalui jalur Nafi‘ bin Jubair dari Humran dengan lafaz: ‘Kemudian dia berjalan menuju salat wajib, maka dia salat bersama manusia atau di masjid’. Demikian pula disebutkan dalam riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari Humran: ‘Dia mengerjakan salat’. Dalam riwayat lain dengan penyebutan: ‘Kemudian dia mengerjakan salat fardu’ dan ditambahkan lafaz: ‘melainkan Allah akan mengampuninya apa yang ada di antara salat itu dan salat yang setelahnya'” (Fath al-Bāri, Jilid 11, hlm. 251). Dari penjelasan al-Hafizh di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pahala ini berlaku bagi seorang yang menunaikan salat wajib dan salat sunah, baik laki-laki maupun wanita. serta bagi seseorang yang menunaikan ibadah salat fardu di masjid sedangkan salat fardu dimasjid hukumnya wajib bagi setiap laki-laki yang balig dan berakal. Namun, tanpa diragukan lagi tatkala dia tidak menunaikan ibadah salat fardu di masjid karena uzur, tetap mendapatkan pahala ini secara sempurna. Hal itu disebutkan di dalam hadis sahih. إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ؟ قَالَ: وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ “Sesungguhnya di Madinah ada sejumlah kaum yang tidaklah kalian menempuh perjalanan dan menyeberangi lembah, kecuali mereka ikut serta bersama kalian dalam mendapatkan pahala.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, (bukankah) mereka (hanya) berdiam diri di Madinah?” Beliau menjawab, “Mereka di Madinah (dan mereka tidak ikut bersama kalian) karena mereka terhalangi oleh uzur” (Al-Bukhari, no. 4.423 dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا “Jika seorang hamba sakit atau safar, akan ditulis baginya (pahala amalan) yang biasa dia kerjakan, sebagaimana ketika dia beramal ketika mukim (tidak safar) dan dalam keadaan sehat” (Al-Bukhari, no. 2.996 dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, وهذه (قاعدة الشريعة) أن من كان عازما على الفعل عزما جازما وفعل ما يقدر عليه منه كان بمنزلة الفاعل فهذا الذي كان له عمل في صحته وإقامته عزمه أن يفعله وقد فعل في المرض والسفر ما أمكنه فكان بمنزلة الفاعل كما جاء في السنن فيمن تطهر في بيته ثم ذهب إلى المسجد يدرك الجماعة فوجدها قد فاتت أنه يكتب له أجر صلاة الجماعة “Inilah kaidah dalam syariat Islam: Barang siapa yang bertekad kuat melakukan ibadah (tetapi dia terhalangi oleh uzur) dan dia melakukan apa yang bisa dia mampu, maka dia sama dengan pelaku yang mengamalkannya tanpa uzur dari sisi pahala. Orang ini memiliki amalan semasa sehat dan mukim serta tekad (kuat) untuk mengerjakannya. Sungguh, tatkala sakit dan safar dia melakukannya sesuai dengan yang memungkinkan baginya. Oleh karena itu, dia sama dengan orang yang mendapat pahala sempurna. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab sunan tentang seseorang yang bersuci di rumahnya kemudian pergi ke masjid yang setelah sampai ternyata dia mendapati jemaah salat telah selesai, tetapi tetap ditulis baginya pahala salat berjemaah” (Al-Fatāwa al-Kubrā, Jilid 2, hlm. 277). Di dalam hadis ini disebutkan tatkala seseorang melakukan salat dua rakaat, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Hal itu disebutkan dengan frasa “dosa-dosa yang lalu” tanpa ada batasan waktunya. Dengan demikian, dengan dikumpulkannya riwayat-riwayat yang lain, maka senggang waktunya adalah antara salat yang satu dengan yang berikutnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, وفي أخرى له عنه فيصلي الصلاة المكتوبة وزاد إلا غفر الله له ما بينها وبين الصلاة التي تليها أي التي سبقتها وفيه تقييد لما أطلق في قوله في الرواية الأخرى غفر الله له ما تقدم من ذنبه وإن التقدم خاص بالزمان الذي بين الصلاتين وأصرح منه في رواية أبي صخرة عن حمران عند مسلم أيضا ما من مسلم يتطهر فيتم الطهور الذي كتب عليه فيصلي هذه الصلوات الخمس إلا كانت كفارة لما بينهن وتقدم من طريق عروة عن حمران إلا غفر له ما بينه وبين الصلاة حتى يصليها “Disebutkan dalam riwayat lain: ‘Dia mengerjakan salat’ dan terdapat tambahan ‘melainkan akan diampuni dosa-dosanya diantara salat itu dan salat yang setelahnya’. Di dalam hadis ini terdapat pembatasan pada riwayat lain yang telah disebutkan secara mutlak dengan lafaz: ‘Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu’. Adapun waktu yang telah lalu di sini dikhususkan dengan waktu di antara dua salat. Yang lebih jelas dari ini adalah dalam riwayat Abu Shakhrah dari Humran yang diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dengan lafaz: ‘Tidaklah seorang muslim pun yang dia bersuci dengan sempurna, sebagaimana yang diwajibkan atasnya, kemudian dia salat lima waktu melainkan salat-salat itu menjadi penebus dosanya di antara salat-salat tersebut’. Telah berlalu penyebutan hadis melalui jalur ‘Urwah dari Humran dengan lafaz: ‘melainkan akan diampuni dosa-dosanya antara waktu itu dan waktu salat berikutnya sampai dia mengerjakannya'” (Fath al-Bāri, Jilid 11, hlm. 251). BACA JUGA : SEDANG LUKA, BAGAIMANA CARA WUDHUNYA? ✍🏻 Oleh: Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar غفر الرحمن له. Sumber : https://www.alfudhail.com/wudu-dan-salat-menghapuskan-dosa-dosa-yang-telah-lalu/
5 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

fikih sahur dan keutamaannya

FIKIH SAHUR DAN KEUTAMAANNYA DEFINISI MAKAN SAHUR ▪️ Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, وَقْتُ السَّحُورِ بَيْنَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ "Waktu sahur ialah dari pertengahan malam sampai waktu subuh." (Al-Majmu', VI/360) Jadi yang makan sahur secara sengaja sebelum pertengahan malam maka secara hukum dia tidak mendapatkan pahala makan sahur meski tentu saja puasanya tetap sah, akan datang penjelasan tentang ini di akhir pembahasan mengakhirkan makan sahur. Tentang disunnahkannya makan sahur, ada beberapa hal yang penting untuk kita ketahui. MAKAN SAHUR IALAH PEMBEDA ANTARA PUASANYA AHLUL HAQQ DENGAN AHLI BATIL • Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam bersabda, فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ “Perbedaan antara puasa kita (umat Islam) dengan puasa ahlul kitab terletak pada makan sahur.” HR. Muslim (1096) ▪️ Asy-Syaikh Zaid al-Madkhali menjelaskan, وهذا أعظم ترغيب وأبلغ حث على ملازمة هذه السنة النافعة المفيدة التي جعلت علامة فارقة بين صوم أهل الحق أتباع محمد صلى الله عليه وسلم وبين صوم عباد الهوى والشيطان من أهل الكتاب الذين ضلوا وأضلوا عن سواء السبيل "Hadits ini berisikan motivasi terbesar dan anjuran mendalam untuk selalu menjalankan sunnah (makan sahur) yang bermanfaat ini. Sebab sunnah ini ditetapkan sebagai pembeda antara puasa Ahlul Haqq pengikut Muhammadshallallahu alaihi wasallamdengan puasanya penyembah hawa nafsu dan setan dari kalangan ahli kitab yang sesat dan menyesatkan dari jalan yang benar." (Al-Afnan an-Nadiyyah, III/141) TERDAPAT BERKAH PADA MAKAN SAHUR • Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam bersabda, تَسَحَّرُوا ؛ فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً "Makan sahurlah kalian! Karena padanya terdapat keberkahan." HR. Al-Bukhari (1923) dan Muslim (1095) ▫️Seorang sahabat Nabi berkata, دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ، فَقَالَ : " إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ اللَّهُ إِيَّاهَا فَلَا تَدَعُوهُ " "Saya masuk menemui Nabishallallahu alaihi wasallam ketika beliau sedang makan sahur, lalu beliau bersabda, 'Sesungguhnya makan sahur adalah berkah yang Allah berikan untuk kalian, maka jangan kalian tinggalkan.'" -SHAHIH- (Ghayah al-Muna, XX/366) HR. An-Nasa'i (2162) ▫️ Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu mengatakan, دَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى السُّحُورِ فِي رَمَضَانَ فَقَالَ : " هَلُمَّ إِلَى الْغَدَاءِ الْمُبَارَكِ " "Rasulullahshallallahu alaihi wasallam memanggil saya untuk makan sahur di bulan Ramadhan, beliau berkata, 'Kemarilah menuju makanan yang penuh berkah.'" -SHAHIH LI GHAIRIHI- (Shahih at-Targhib, 1067) HR. Abu Dawud (2344), an-Nasa'i (2163) BENTUK BERKAH MAKAN SAHUR Di antara berkah makan sahur, orang yang melakukannya akan mendapat; - limpahan rahmat dari Allah, - dan para Malaikat akan mendoakan dan memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka yang sahur. Tentang dua poin ini, • Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam mengabarkan, السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ "Pada makan sahur terdapat berkah. Maka janganlah kalian tinggalkan sahur meski hanya minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mencurahkan shalawat untuk orang-orang yang sahur." -HASAN- (Shahih al-Jami', 3683) HR. Ahmad (11101) Juga termasuk bentuk berkah makan sahur ialah beberapa hal yang disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, ▪️ beliau berkata, أَنَّ الْبَرَكَةَ فِي السُّحُورِ تَحْصُلُ بِجِهَاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ وَهِيَ اتِّبَاعُ السُّنَّةِ وَمُخَالَفَةُ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالتَّقَوِّي بِهِ عَلَى الْعِبَادَةِ وَالزِّيَادَةُ فِي النَّشَاطِ وَمُدَافَعَةُ سُوءِ الْخُلُقِ الَّذِي يُثِيرُهُ الْجُوعُ وَالتَّسَبُّبُ بِالصَّدَقَةِ عَلَى مَنْ يَسْأَلُ إِذْ ذَاكَ أَوْ يَجْتَمِعُ مَعَهُ عَلَى الْأَكْلِ وَالتَّسَبُّبُ لِلذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ وَقْتَ مَظِنَّةِ الْإِجَابَةِ وَتَدَارُكُ نِيَّةِ الصَّوْمِ لِمَنْ أَغْفَلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنَامَ "Berkah makan sahur didapatkan dari beberapa bentuk; - Menjalankan sunnah, - menyelisihi puasanya ahli kitab, - menguatkan badan orang yang berpuasa untuk beribadah dan menambah semangatnya, - menjauhkan perilaku jelek yang bisa muncul akibat rasa lapar, - dapat menjadi sebab untuk bersedekah kepada yang membutuhkan makanan sahur, atau makan sahur bersamanya, - menjadi bisa berdzikir dan berdoa pada waktu dikabulkannya doa [waktu sahur termasuk waktu mustajab untuk berdoa], - waktu sahur juga menjadikan seseorang sempat berniat puasa bagi yang lupa meniatkan sebelum tidur (bahwa besok berpuasa)." (Fathul Bari, IV/140) ▪️ Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah juga menjelaskan, ومن بركة السحور صلاة الفجر مع الجماعة، وفي وقتها الفاضل، ولذا تجد المصلين في صلاة الفجر في رمضان أكثر منهم في غيره من الشهور؛ لأنَّهم قاموا من أجل السحور "Termasuk berkah makan sahur ialah bisa shalat subuh secara berjamaah di waktu yang utama, oleh karenanya kamu mendapati orang-orang yang mengerjakan shalat subuh (di masjid) pada bulan Ramadhan lebih banyak daripada di bulan-bulan lain di bulan-bulan di bulan-bulan lain karena mereka bangun untuk makan sahur." (Taudhih al-Ahkam, III/474) BERSEMANGAT UNTUK BANGUN MAKAN SAHUR Oleh karena banyaknya kebaikan yang bisa didapatkan dari makan sahur maka sepantasnya seseorang memiliki semangat dan antusias tinggi untuk menjalankannya. ▪️ Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, لا يترك السحور، بل يحرص الإنسان على أن يتسحر، ولو كان لا يشتهي الطعام فينبغي أن يحاول أن يأكل شيئاً ولو يسيراً عملاً بالسنة "Hendaknya seseorang tidak meninggalkan makan sahur, bahkan seharusnya dia bersemangat untuk makan sahur meskipun sedang tidak ingin makan, hendaklah dia tetap berusaha untuk makan walaupun hanya sedikit dalam rangka mengamalkan sunnah." (Tashil al-Ilmam, III/214) ADAKAH DZIKIR YANG DIBACA PADA SAAT MAKAN SAHUR ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah menerangkan,  تناول السحور كتناول غيره، يعني يجب على الإنسان أن يسمي عند الأكل؛ لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أمر بالتسمية عند الأكل، وأخبر أن من لم يسم شاركه الشيطان في أكله، لكن لما كان السحور مأموراً به فإنه ينبغي للإنسان أن يستحضر عند تناول السحور بأنه إنما تسحر امتثالاً لأمر الرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم، واقتداء به صلى الله عليه وعلى آله وسلم، واستعانة بذلك على الصيام، وإذا فرغ من منه حمد الله، فإن الله تعالى يرضى عن العبد يأكل الأكلة يحمده عليها، ويشرب الشربة فيحمده عليها، وليس هناك ذكر مخصوص للسحور "Makan sahur sama seperti makan biasanya, artinya seseorang wajib untuk membaca bismillah sebelum makan, karena Nabi memerintahkan untuk membaca bismillah sebelum makan dan beliau mengabarkan orang yang tidak membaca bismillah maka setan akan ikut makan bersamanya.  Namun karena makan sahur ini ialah amalan yang diperintahkan selayaknya seseorang menghadirkan dalam hatinya ketika sedang makan sahur bahwa; - dia melakukannya dalam rangka mematuhi perintah Rasulullah ﷺ,  - meneladani beliau,  - dan untuk membantunya agar ringan ketika menjalani ibadah puasa.  Apabila dia sudah selesai maka dia memuji Allah,  إنَّ الل‍َّهَ لَيَرضى عَنِ العبْدِ يأكُلُ الأكْلةَ فيحمَدُهُ عليها، ويشرَبُ الشَّرْبةَ فيحمَدُهُ عليها "Sesungguhnya Allah benar-benar ridha kepada seorang hamba yang makan lalu dia memuji Allah atas nikmat makanan tersebut dan dia minum lalu memuji Allah atas nikmat minuman tersebut." HR. Muslim (2734)  Tidak ada dzikir khusus yang dibaca ketika makan sahur." (Fatawa Nur 'alad Darb, VII/284) ▪️ Beliau juga mengatakan,  وأما ما يفعله بعض العامة عند انتهائه من السحور، فيقول: اللهم إني نويت الصيام إلى الليل، فإن هذا من البدع، لأن التكلم بالنية في جميع العبادات بدعة؛ لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال، أو أنه كان يقول عند فعل العبادة: نويت أن أفعل كذا وكذا  "Yang dilakukan oleh sebagian orang awam ketika selesai dari makan sahur lalu membaca, 'Allahumma inni nawaytush shiyaam ilal lail' maka sesungguhnya ini termasuk bid'ah/amalan baru dalam agama. Karena melafazhkan niat dalam seluruh ibadah hukumnya bid'ah, tidak pernah Nabishallallahu alaihi wasallam mengucapkan ketika ingin melakukan ibadah, 'saya berniat untuk melakukan ibadah ini, ini..'." (Fatawa Nur 'alad Darb, VII/288)  Mengakhirkan waktu makan sahur Di samping makan sahur adalah sunnah, juga ada sunnah lain yang terkait makan sahur, yaitu makan sahur tidak terlalu jauh dengan waktu shalat subuh.  Sebagai gambaran, selesainya makan sahur Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam ialah sekitar 5 sampai 15 menit sebelum beliau mengerjakan shalat subuh.  ▫️ Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu,  أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ تَسَحَّرَا فَلَمَّا فَرَغَامِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَصَلَّى، قُلْنَا لِأَنَسٍ : كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلَاةِ ؟ قَالَ : قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً "Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur bersama. Setelah mereka selesai Nabishallallahu alaihi wasallam pun bangkit untuk shalat subuh dan beliau pun shalat." Kami bertanya kepada Anas, 'Berapa jarak waktu antara selesainya sahur beliau berdua dengan waktu masuk mengerjakan shalat?'  قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً "Seukuran orang membaca lima puluh ayat." HR. Al-Bukhari (576) Tidak disebutkan hitungan menitnya dikarenakan di masa itu belum dikenal satuan detik, menit, atau yang semisal.  ▪️ Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah menyebutkan bahwa 50 ayat berkisar antara 5 hingga 10 menit (Fatawa Nur 'alad Darb, XVI/41),  ▪️ Asy-Syaikh al-Utsaimin memperkirakan di kisaran 10 sampai 15 menit (Syarah Riyadhus Shalihin, V/285). BAGAIMANA GAMBARAN MENGAKHIRKAN MAKAN SAHUR YANG BENAR ▪️ Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,  يؤخره ما لم يخش طلوع الفجر، فإن خشي طلوع الفجر فليبادر، فمثلاً إذا كان يكفيه ربع ساعة في السحور فيتسحر إذا بقي ربع ساعة، وإذا كان يكفيه خمس دقائق فيتسحر إذا بقي خمس دقائق "Ukuran mengakhirkan pelaksanaan makan sahur ialah seukuran dia tidak khawatir masuk waktu subuh. Apabila dikhawatirkan waktu subuh masuk maka hendaklah bersegera.  Seandainya 15 menit cukup untuk waktunya makan sahur maka hendaklah dia makan sahur ketika subuh tersisa 15 menit lagi.  Seandainya 5 menit sudah cukup untuk waktunya makan sahur maka hendaklah dia makan sahur ketika subuh tersisa 5 menit lagi." (Asy-Syarh al-Mumti', VI/434) Penting diingat bahwa 'sempat' yang disebutkan oleh beliau di atas ialah dengan ukuran dia bisa makan dan minum dengan tenang. Dan masing-masing orang berbeda-beda dalam hal ini. Jadi sunnah mengakhirkan makan sahur ialah dengan; - Memulai makan sahur seukuran sempat menyelesaikannya tanpa terburu-buru,  - dan jarak antara selesainya dia makan sahur dengan adzan subuh tidak lama, hanya hitungan menit.  Adapun mengakhirkan dengan melakukan makan sahur di waktu yang sangat mepet sekali dengan waktu subuh sehingga menyebabkan makannya juga terburu-buru ini bukan bentuk mengakhirkan yang benar.  ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin mengingatkan,  وينبغي للمرء أن يكون مستعداً للإمساك قبل الفجر خلاف ما يفعله بعض الناس إذا قرب الفجر جدًّا قدم سحوره زاعماً أن هذا هو أمر الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بتأخير السحور، ولكن ليس هذا بصحيح، فإن تأخير السحور إنما ينبغي إلى وقت يتمكن الإنسان فيه من التسحر قبل طلوع الفجر "Hendaklah seseorang telah dalam keadaan siap untuk memulai puasanya sebelum masuk waktu subuh. Berbeda dengan yang dilakukan oleh sebagian orang yang jika waktu subuh sudah sangat dekat sekali barulah memulai makan sahur dan dia menyangka bahwa inilah yang diperintahkan oleh Rasulullahshallallahu alaihi wasallam untuk mengakhirkan makan sahur, akan tetapi yang seperti ini tidak benar, karena mengakhirkan makan sahur ialah di waktu yang dia masih memungkinkan untuk makan sahur sebelum masuk waktu subuh." (Majmu' Fatawa wa Rasa'il, XIX/295) JIKA WAKTU SUBUH TELAH MASUK SEDANGKAN MAKANAN MASIH DI MULUT ▪️ Imam Nawawi rahimahullah menerangkan,  أَنَّ مَنْ طَلَعَ الْفَجْرُ وَفِي فِيهِ طَعَامٌ فَلْيَلْفِظْهُ وَيُتِمَّ صَوْمُهُ فَإِنْ ابْتَلَعَهُ بَعْدَ عِلْمِهِ بِالْفَجْرِ بَطَلَ صَوْمُهُ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ  "Bagi orang yang ketika fajar telah terbit (masuk awal waktu shalat subuh) sedangkan di mulutnya masih terdapat makanan maka harus dia keluarkan lalu meneruskan puasanya. Jika dia menelannya dalam kondisi tahu bahwa waktu subuh benar telah masuk maka puasanya batal. Tidak ada perselisihan dalam hal ini." (Al-Majmu', VI/311) ▪️ Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan,  وَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى اِمْتِنَاع السُّحُور بِطُلُوعِ الْفَجْر وَهُوَ قَوْل الْأَئِمَّة الْأَرْبَعَة وَعَامَّة فقهاء الأمصار وروى معناه عن عمر وابن عَبَّاس "Mayoritas ulama berpendapat sudah tidak boleh lagi melakukan makan sahur pada saat waktu shalat subuh telah masuk. Ini adalah pendapat imam madzhab yang empat serta keumuman pakar fikih di berbagai negeri. Diriwayatkan semakna ini dari Umar dan Ibnu Abbas." (Tahdzib Sunan Abu Dawud, dicetak bersama Aun al-Ma'bud, VI/341) • Sedangkan hadits yang berbunyi,  إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan wadah makan masih di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga selesai menunaikan hajatnya.” HR. Abu Dawud (2350), Ahmad (10629) Maka; - Ulama berselisih, apakah hadits ini shahih atau tidak. Pakar hadits di masa terdahulu, Imam Abu Hatim ar-Razi ialah salah satu yang berpendapat bahwa riwayat ini lemah (Al-Ilal, I/123). Jika lemah maka sudah jelas isi kandungannya tidak bisa dijadikan landasan beramal.  - Jika hadits ini benar shahih, maka dalam bentuk penerapan kandungannya pun harus dipastikan seperti apa, ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda, bahkan sampai enam pendapat, (Mir'ah al-Mafatih, VI/468-470). Atas dasar ini, maka tentu langkah yang baik jika; - dia telah berhenti dari makan sahur sebelum masuk jadwal waktu subuh yang diedarkan untuk bulan Ramadhan,  - atau dia tutup segera makannya dengan minum ketika sudah masuk jadwal, di kondisi sedang kesiangan.  MENGGUNAKAN JADWAL YANG DIKELUARKAN OLEH DEPAG SETEMPAT IALAH BENTUK KEHATI-HATIAN YANG PADA TEMPATNYA  Ada penjelasan bagus dan lengkap dari Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah tentang masalah ini, inti pembahasan yang kita angkat berada di paragraf terakhir.  ▪️ Beliau mengatakan,  "Wajib atas seorang mukmin untuk mulai menahan dari pembatal puasa seperti makan, minum, dan yang lainnya ketika sudah jelas fajar telah terbit (masuk waktu subuh) jika puasa itu ialah puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar, atau kaffarah, berdasarkan firman Allah 'azza wa jalla,  وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ  "Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." QS. Al-Baqarah: 187 Apabila dia mendengar adzan dan telah tahu bahwa muadzin melakukan adzan tepat pada saat masuk waktu subuh maka dia wajib untuk memulai puasanya saat itu. Tapi jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum masuknya waktu subuh maka dia belum wajib untuk menahan dari pembatal puasa, dia masih boleh untuk makan dan minum sampai betul-betul jelas fajar telah terbit.  Jika dia tidak mengetahui kondisi muadzin apakah melakukan adzan sebelum masuknya subuh atau ketika sudah masuk subuh maka yang lebih utama dan lebih hati-hati ialah dia sudah menahan ketika adzan telah terdengar, tapi tidak masalah jika dia minum atau makan ketika sedang adzan tersebut karena dia belum mengetahui waktu subuh telah masuk. Dimaklumi bahwa orang-orang yang tinggal di kota yang telah ada pencahayaan listrik tidak mampu untuk melihat terbitnya fajar dengan mata kepalanya secara langsung tepat pada waktunya, akan tetapi hendaklah dia berhati-hati dengan bersandar pada adzan atau jadwal yang telah ada yang menetapkan waktu subuh dengan jam dan menitnya dalam rangka pengamalan  • sabda Nabi ﷺ,  دع ما يريبك إلى ما لا يريبك 'Tinggalkanlah yang membuatmu ragu kepada perkara yang tidak membuatmu ragu.' • Dan sabda beliau ﷺ,  من اتقى الشبهات فمد استبرأ لدينه وعرضه 'Barang siapa yang menjaga diri dari perkara yang samar maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya." Hanya kepada Allah kita memohon petunjuk." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XV/285-286) CATATAN: Batas akhir makan dan minum sebelum berpuasa ialah masuknya waktu shalat subuh. Bukan 10 atau sekian menit sebelum waktu subuh. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengingatkan tentang perkara ini,  ▪️ beliau berkata,  تَنْبِيهٌ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ مَا أُحْدِثَ فِي هَذَا الزَّمَانِ مِنْ إِيقَاعِ الْأَذَانِ الثَّانِي قَبْلَ الْفَجْرِ بِنَحْوِ ثُلُثِ سَاعَةٍ فِي رَمَضَانَ وَإِطْفَاءِ الْمَصَابِيحِ الَّتِي جُعِلَتْ عَلَامَةً لِتَحْرِيمِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ عَلَى مَنْ يُرِيدُ الصِّيَامَ “Peringatan: Termasuk hal baru yang mungkar adalah apa yang terjadi di zaman ini yaitu adanya pengumandangan adzan kedua sekitar ⅓ jam (± 20 menit) sebelum waktu subuh di bulan Ramadhan serta memadamkan lampu-lampu sebagai pertanda telah tiba waktu haram untuk makan dan minum bagi yang berpuasa." (Fathul Bari, IV/199) MAKAN SEBELUM TENGAH MALAM DENGAN MAKSUD MAKAN SAHUR ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin menjelaskan,  أن أولئك القوم الذين يأكلون السحور في أول الليل ثم ينامون لم يمتثلوا هذا الحديث؛ لأن السحور هو ما أكل في السّحَر، وهؤلاء يتسحرون وينامون قبل نصف الليل، فنقول: هؤلاء لم يحصلوا على الأجر، ولكن حصلوا على ملء بطونهم "Orang-orang yang makan sahur di awal malam kemudian setelah itu mereka tidur ini tidak teranggap menjalankan hadits (perintah untuk makan sahur), karena makan sahur ialah makanan yang dimakan di waktu sebelum subuh, sedangkan mereka melakukan makan sahur kemudian tidur sebelum tengah malam, maka kami katakan, mereka yang melakukannya tidak mendapatkan pahala makan sahur, mereka hanya mengisi penuh perut mereka." (Fath Dzil Jalali wal Ikram, VII/124) ✍️ -- Jalur Masjid Agung @ Kota Raja -- Hari Ahadi [ Penggalan pembahasan Risalah Fushul fish Shiyam ] _________________ ▶️ Mari ikut berdakwah dengan turut serta membagikan artikel ini, asalkan ikhlas insyaallah dapat pahala. 📡 https://t.me/nasehatetam 🖥 www.nasehatetam.net
5 tahun yang lalu
baca 16 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum shalat id (idul fitri / idul adha) di rumah

TENTANG SHALAT ID (SHOLAT IEDUL FITRI/IEDUL ADHA) DI RUMAH Hukum Shalat Id (Idul Fitri / Idul Adha) di Rumah Sebelum masuk pada pembahasan ini, alangkah baiknya kita simak penjelasan ulama tentang hukum mengqadha salat Id bagi yang terluputkan. Diantara ulama ada yang berpendapat shalat Id tetap dikerjakan, sebagaimana sifatnya bagi yang tertinggal shalat bersama imam. Ini adalah pendapat al-Lajnah al-Da’imah. ومن فاتته صلاة العيد وأحب قضاءها استُحب له ذلك فيصليها على صفتها من دون خطبة بعدها “Barang siapa yang luput padanya shalat Id dan dia ingin mengqadanya, maka disunahkan baginya mengqadha. Hendaknya dia kerjakan sesuai dengan sifatnya tanpa khotbah setelahnya” (Fatawa al-Lajnah al-Da’imah, Jilid 8, hlm. 306). Diantara ulama ada yang berpendapat tidak disyariatkan qadha. Ini adalah pendapat al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, صلاة العيد شرعت على وجه الاجتماع فلا تقضى إذا فاتت كصلاة الجمعة لكن صلاة الجمعة وجب أن يصلي الإنسان بدلها صلاة الظهر لأنها فريضة الوقت أما صلاة العيد فليس لها بدل فإذا فاتت مع الإمام فإنه لا يشرع قضاءها وهذا هو اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وهو عندي أصوب من القول بالقضاء والله أعلم “Shalat Id disyariatkan dengan berkumpul dan tidak diqadha jika terluputkan, sebagaimana shalat Jumat. Akan tetapi, shalat Jumat jika terluputkan, wajib bagi seseorang untuk menggantinya dengan shalat Zuhur karena shalat itu adalah kewajiban pada waktunya. Adapun shalat Id tidak ada gantinya. Apabila seseorang terluput mengerjakannya bersama imam, maka tidak disyariatkan qadha. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan pendapat ini menurutku lebih benar daripada yang berpendapat qadha” (Majmu‘ Fatawa, Jilid 16, hlm. 255–256). Berdasarkan fatwa al-Lajnah al-Da’imah di atas, asy-Syaikh al-Mufti ‘Abdul‘aziz bin ‘Abdillah bin Muhammad Alu asy-Syaikh hafizhahullah berpendapat bahwa shalat Id disyariatkan untuk dikerjakan di rumah pada masa-masa wabah Covid-19 sekarang ini. Beliau hafizhahullah mengatakan, “Adapun shalat Id, apabila keadaan ini (wabah Covid-19) terus berlanjut sehingga tidak mungkin menegakkannya di tanah lapang dan di masjid yang menjadi tempat khusus terhadap pelaksanaannya, maka dikerjakan di rumah tanpa khotbah setelahnya. Telah terbit Fatwa dari al-Lajnah al-Da’imah, yaitu : "Barangsiapa yang luput padanya shalat Id dan dia ingin mengqadhanya, maka disunahkan baginya mengqadha. Hendaknya dia kerjakan sesuai dengan sifatnya tanpa khotbah setelahnya. Apabila qadha disunahkan bagi yang luput padanya shalat Id bersama imam dan kaum muslimin, tentu lebih pantas lagi dilakukan bagi yang tidak ditegakkan shalat Id di negara mereka. Yang demikian itu adalah menegakkan syiar agama sesuai dengan kemampuan” (http://www.spa.gov.sa/ 2075735). Diantara ulama kita pula ada yang berpendapat bahwa shalat Id tidak disyariatkan untuk dilakukan di rumah, sebagaimana pendapat al-‘Allamah ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah yang terekam (https://bit.ly/2KxqLtd). Demikian pula asy-Syaikh Fu’ad al-Zintani hafizhahullah yang condong dengan pendapat ini, yaitu shalat Id tidak disyariatkan dikerjakan di rumah (https://bit.ly/2zfpFzV. https://bit.ly/3b6sxwe). Dengan demikian, kesimpulan dari pendapat ini adalah jika dimudahkan untuk shalat Id di tanah lapang atau di masjid, maka itulah yang dilakukan. Jika tidak, karena kesulitan seperti masa-masa wabah seperti sekarang ini, maka tidak dikerjakan. Allah Subhanahu wa taala berfirman, لا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Al-Baqarah: 285). Pendapat kedua ini mengisyaratkan pada pendapat yang dipilih oleh Syaikul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah di atas, yaitu dengan landasan bahwa shalat Id itu dilakukan dengan bentuk perkumpulan. Apabila terluputkan, maka tidak ada gantinya seperti shalat Jum'at. Pendapat ini yang kami lebih cenderung padanya. Wal-‘ilmu ‘indallah. Ditulis Oleh: Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar غفر الرحمن له @alfudhail https://bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF] www.alfawaaid.net PELAKSANAAN SHALAT ID APABILA WABAH COVID-19 MASIH BERLANJUT Kutipan Rangkaian Fatwa dari Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullah (Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi) Pertanyaan kedua: هل مشروعية صلاة العيد في البيوت؟ Apakah disyariatkan shalat id di rumah masing-masing? Jawaban: أما صلاة العيد إذا استمر الوضع القائم ولم تمكن إقامتها في المصليات والمساجد المخصصة لها فإنها تصلى في البيوت بدون خطبة بعدها Apabila keadaan saat ini berlanjut sehingga shalat id tidak mungkin dilakukan di lapangan-lapangan dan masjid-masjid yang khusus untuk melaksanakannya, shalat id hendaklah dilaksanakan di rumah masing-masing tanpa disertai khutbah setelahnya. وسبق صدور فتوى من اللجنة الدائمة للفتوى جاء فيها: (ومن فاتته صلاة العيد وأحب قضاءها استُحب له ذلك فيصليها على صفتها من دون خطبة بعدها Telah terbit fatwa dari Lembaga Tetap Urusan Fatwa yang di dalamnya menyebutkan, ‘Barang siapa yang tertinggal dari shalat id dan dia ingin mengqadhanya, disunnahkan baginya untuk melaksanakannya sesuai tata cara shalat id tanpa disertai khutbah setelahnya.’ فإذا كان القضاء مستحباً في حق من فاتته الصلاة مع الإمام الذي أدى صلاة العيد بالمسلمين ، فمن باب أولى أن تكون إقامتها مشروعة في حق من لم تُقم صلاة العيد في بلدهم لأن في ذلك إقامة لتلك الشعيرة حسب الاستطاعة Mengqadha shalat id bagi makmum yang tertinggal dari shalatnya imam, hukumnya sunnah. Maka dari itu, melaksanakan shalat id (di rumah) bagi orang-orang yang tidak ditegakkan shalat id di negerinya tentu lebih disyariatkan. Hal itu merupakan penegakan terhadap syiar Islam sesuai dengan kadar kemampuan. Allah subhanahu wa taala berfirman, فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ “Bertakwalah kalian kepada Allah (semaksimal mungkin) sesuai kesanggupan kalian.” Nabi shalallahu alaihi wasallam juga bersabda إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Apabila aku memerintahkan kalian untuk melaksanakan sesuatu, lakukanlah (semaksimal mungkin) sesuai kemampuan kalian.” Sumber || http://www.spa.gov.sa/2075735 Kunjungi || https://forumsalafy.net/pelaksanaan-shalat-id-apabila-wabah-covid-19-masih-berlanjut/ SHALAT IED BERJAMA'AH DI RUMAH KARENA UDZUR Dahulu Anas bin Malik radliyallahu 'anhu apabila beliau terluput (terlambat) shalat Ied bersama imam, beliau mengumpulkan keluarganya. Lalu beliau shalat bersama mereka seperti shalatnya imam dalam shalat Ied Shahih Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan ta'liq (mu'allaq) 2/23 Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya dengan maushul (bersambung sanadnya sampai rawi terakhir) 5853 Dan lafazh ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi 6307 Thuwailibul 'Ilmisy Syar'i (TwIS) https://telegram.me/salafysitubondo 🔎 Muraja'ah (korektor): al-Ustadz Kharisman hafizhahullah
5 tahun yang lalu
baca 6 menit