Mengikuti Jejak Sang Komandan Di pagi hari yang cerah, ditemani kicauan burung pipit yang bersahut-sahutan di atas dahan, kuingin menorehkan tinta bukan berharap pujian. Kuingin memutar kembali memori masa lalu agar ia tak begitu saja berlalu. Aku ingin berbagi faedah agar saudara-saudari seimanku berkenan mendulang ibrah. . Baiklah, aku anak sulung dari 3 bersaudara. Masa kanak-kanakku kuhabiskan dengan sia-sia. Jauhnya keluargaku waktu itu dari bimbingan agama, membuat kami terbiasa terjerumus dalam kehidupan sehari-hari, bernyayi, menari, dan mendengarkan musik. Di rumah, siaran televisi adalah hiburan kami. Bagiku waktu itu menonton televisi adalah sebuah kenikmatan. Astagfirullah… Konon, katanya, ayahku pernah berguru dengan setan. Allahumusta’aan. Pada masa mudanya dulu, beliau gemar mengenakan cincin akik di jari jemarinya yang katanya pada setiap cincin tersebut ada penunggunya. Beliaupun berlatih bela diri dilengkapi dengan ‘ilmu hitam’. Tujuannya agar ketika mendapat pukulan dari lawannya beliau tidak merasakan kesakitan. Meskipun, setelah setan pergi dari tubuh beliau, barulah kemudian rasa sakit itu mendera. Subhanallah sebuah kehidupan yang jauh dari bimbingan. Namun dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit ayah mulai meninggalkan ‘dunia hitam’. Hingga kemudian Allah takdirkan ayah mengenal dakwah salafiyyah sehingga akhirnya beliau menjadi seorang ‘salafi’. Serta kemudian beliau pun berjuang menuntun keluarganya agar mengikuti jejaknya meniti jalan kebenaran. Alhamdulillah. Tahun demi tahun berlalu, tak terasa aku telah memasuki usia sekolah. Ayah mendaftarkan aku untuk mulai sekolah di salah satu pondok ahlus sunnah di daerahku. Maka aku pun resmi menjadi murid baru di pondok tersebut. Saat masuk kelas, aku sangat terkejut karena teman sekelasku wanita semua. Tidak ada yang laki-laki kah? pikirku. Wajar aku terkejut, karena sejak kecil aku hanya terbiasa bermain dengan anak laki-laki seusiaku di sekitar rumahku. Kebetulan teman sepermainanku laki-laki semua, tidak ada yang wanita. Kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Aku belum terbiasa dengan situasi belajar. Aku hanya diam saja jika tidak diajak bicara. Padahal aku bukanlah anak pendiam, bahkan aku anak yang cerewet, banyak bicara dan tergolong pemarah. Astaghfirullah.. . Setiap hari ayah menjemputku sambil terkadang membawa adik perempuanku. Aku senang jika ayah membawa adik karena teman-temanku gemas jika melihatnya. Seolah-olah itulah salah satu sebab mencairnya pergaulanku dengan teman-teman baru di sekolah. Setibanya di rumah apa yang kulakukan? Belajar? Mengulang pelajaran? Menghafal? Tidak! Bahkan aku langsung menyetel televisi. Mengapa bisa? Bukankah ayahku sudah mengaji? Mengapa memiliki televisi? Jangan salah sangka. Itu semua karena kami masih serumah dengan kakek. Televisi itu milik kakek. Tapi aku suka menonton televisi. Bahkan boleh jadi sudah masuk dalam kategori kecanduan. Aku selalu berusaha menonton film kesukaanku. Aku selalu khawatir ketinggalan episode-episodenya. Lalu apa kegiatanku di rumah selain menonton televisi? Jika film favoritku telah usai tayang, maka aku pun segera menemui teman-teman mainku. Iya teman lelaki tetanggaku. Jika ayah mengetahui aku bermain dengan laki-laki beliau memarahiku. Namun aku tidak jera. Aku masih tetap bermain dengan mereka. Bahkan terkadang aku harus diam-diam mengendap agar tidak terlihat ayah. Astaghfirullah… Kejahilan masih terus bersarang dalam diriku sampai beberapa tahun berikutnya. Bahkan ketika aku sudah berpindah ke sekolah baru di sebuah pondok ahlus sunnah salafi di lain daerah. Meskipun aku disekolahkan di pondok ahlus sunah salafi namun tidak seperti pada umumnya mereka. Aku masih seperti dulu ketika belum mengenal mereka. Berbagai kemaksiatan masih melekat pada diriku. Astagfirullah… Di sekolah yang kupikirkan hanya film-film yang tak berujung pangkal itu. Sehingga pelajaran –pelajaran yang disampaikan banyak yang tidak kupahami. Itu semuanya karena aku kurang perhatian. Pikiranku sibuk dengan angan-angan kosong. Terbawa film-film yang setiap hari kusaksikan di layar televisi. Namun di tengah-tengah kelalaian itu semua, rupanya Allah masih menyayangiku. Secara alamiah ternyata aku menyukai beberapa pelajaran. Termasuk yang paling aku sukai sejak kecil adalah pelajaran bahasa Arab dan kemudian tata bahasanya. Semoga itu menjadi pengikat ketertarikanku dengan ilmu syariat. Namun secara keseluruhan, waktu itu aku masih bergelut dengan kejahilan. Aku belajar ilmu agama tetapi belum mampu mengamalkannya. Sebagai contoh, sehari-hari aku memang belajar ilmu syariat, menghafal Al Quran, dan memurajahnya. Namun waktu itu aku tidak mengerjakan shalat 5 waktu kecuali jika disuruh oleh ayah atau ibu. Allahu mustaan… Hingga penyesalan itu datang…Seiring dengan berjalannya waktu, hidayah dan taufik dari Allah mulai menyapa diriku. Kesadaran mulai memenuhi kalbuku. Rasa bersalah kepada Rabbku mulai membuat air mata mengalir deras…Aku mulai sadar bahwa suatu ketika pasti aku pun akan menemui ajal. Apa jadinya ketika datang ajal, aku belum menyiapkan bekal? Aku mulai berbenah. Pakaianku mulai kuperbaiki. Sebelumnya aku tidak suka memakai baju dan kerudung yang serba lebar. Bagiku waktu itu mengenakan pakaian syar’i tersebut sangat memberatkan, gerah, dan panas. Namun kini aku sadar bahwa itu adalah pakaian kemuliaan. Tak, apalah merasakan panas dan gerah ketika mengenakannya. Semoga keringat yang menetes dicatat Allah sebagai pahala. Semoga panasnya di dunia Allah gantikan dengan sejuknya surga. Aku bertekad untuk tetap mengenakan pakaian yang mulia ini meskipun ada yang mencelanya. Ketika di rumah kakek, terkadang ada teman lamaku yang menyeletuk, “Woi teroris!” atau ”eh, ada ninja warior.” Pada awalnya aku sempat kesal dan kecewa. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku hanya berusaha memahami bahwa mereka berkata seperti itu mungkin hanya karena belum tahu ilmunya. Kemudian, sedikit demi sedikit aku pun mulai meninggalkan televisi, musik, dan tarian-tarian. Hingga kini aku sudah terbiasa hidup tanpa musik dan TV. Dan ternyata ‘hidup asyik gak berisik nikmat tanpa musik’ benar adanya. Bagiku sekarang tarian-tarian tak lebih dari semacam gerakan-gerakan orang-orang aneh. Yang paling membuatku bergembira adalah ketika doa yang selalu ayah panjatkan untuk ibu, kini Allah ijabahi. Walaupun membutuhkan waktu yang cukup panjang, perubahan pendirian ibu adalah sesuatu yang sangat aku syukuri. Dulu ibu tampak enggan mengenakan penutup wajah, kini beliau selalu mengenakannya ketika keluar rumah. Jika dulu tidak mau menghadiri majelis taklim, kini selalu menghadirinya kecuali jika ada halangan. Yang paling membuatku terharu adalah ibu kini mau mengambilkan raportku dan adikku di sekolah. Dulu beliau tidak mau mengambilkan raport kami sehingga orang lain yang mengambilkan. Masya Allah, hidayah Allah terasa mahal nan indah rasanya… Waktu terus berjalan, sementara aku menikmati hidup yang indah di bawah sunnah. Aku masih menjadi penuntut ilmu dengan belajar dan belajar mengisi kesibukanku sehari-hari. Namun di tengah-tengah kesibukanku menuntut ilmu, kemudian aku mulai mendengarkan pembicaraan teman-temanku tentang wabah virus corona yang sedang melanda dunia. Hingga ketika bel istirahat berbunyi aku tidak sengaja membaca judul artikel tentang virus Covid-19 di papan pengumuman. Karena tertarik, aku pun membaca semuanya dari awal sampai akhir. Subhanallah, ternyata banyak negara-negara yang kelabakan menghadapi virus yang satu ini. Beberapa hari setelah itu, tiba-tiba ibu memberitahuku,”Kak, nggak jadi berangkat jam 09.00. Jadinya libur.” “Lho kok gitu Mi?” tanyaku heran. “Lah kan ini sedang ada virus. Pak Presiden memerintahkan untuk meliburkan anak-anak sekolah. Tapi nanti tetap mengerjakan tugas. Jadi belajar online.” “Ya, Allah, serasa mimpi,” batinku. Hatiku seperti tersayat-sayat mendengarnya. Aku masih ingin bertemu dan menuntut ilmu bersama kawan seperjuangan. Namun, aku harus bersabar. Aku yakin di balik semua ini pasti Allah menyediakan hikmah yang indah. Sudah berlalu 14 hari sejak pengumuman belajar online dimulai. 2 pekan; itulah waktu yang dijanjikan libur sekolah untuk belajar online. Aku bertanya kepada ibu, “Ummi, kok belum ada pengumuman untuk masuk sekolah lagi? Kan sudah 14 hari?” “Diperpanjang kak belajar online nya, nggak jadi masuk lagi hari ini.” Seakan-akan aku tak percaya dengan ini semua. Aku sudah rindu dengan kelas, teman-teman, dan ustadzah-ustadzahku. Akhirnya, minggu demi minggu berlalu, bulan demi bulan pun juga telah berlalu. Aku masih saja harus belajar di rumah. Terkadang rasa jenuh menghampiri. Namun, aku selalu berusaha untuk membangkitkan semangat juang untuk menuntut ilmu. Di sinilah mungkin Allah ingin menguji hamba-Nya. Peringatan dari-Nya agar manusia segera kembali dan bertobat kepada-Nya. Yang harus kita lakukan saat ini adalah ikhtiar, ber’khusnuzhan’ dan berdoa kepada Allah agar segera mengangkat wabah virus ini. Amiin. Kini aku bukanlah diriku 14 tahun yang lalu. Saat ini aku telah beranjak dewasa. Aku akan ikuti jejak Sang Komandan dalam meniti jalan kebenaran. Iya, Ayahlah komandan dalam keluargaku. Beliau lah yang menuntun kami. Sehingga dengan rahmat Allah, kami bisa menjadi seperti sekarang ini. “Perjuanganmu dalam mendidik keluargamu membuahkan hasil, Ayah! Aku akan mengikuti jejakmu ini hingga hayat tak lagi dikandung badan. Insya Allah.” Walau kulihat berat beban di punggungmu, engkau selalu meringankannya dengan senyuman indah di wajahmu, Ayah…Semoga kerja kerasmu ini menjadi amal kebajikan di akhirat kelak. Ya, Allah jagalah hidayah yang telah bersemai di hati kami, hingga kami berjumpa dengan-Mu di surga kelak. AamiinYa Mujibas Saailin…. Sumber : Buku Secercah Harapan Untuk Masa Depan. https://telegra.ph/Mengikuti-Jejak-Sang-Komandan-03-26