remaja

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

jangan engkau pergi bersama dunia dan syahwat

Berkata Al-'Allamah asy-Syaikh Doktor Rabi' bin Hadi al-Madkhalihafizhahullahu ta'ala: "Wahai saudaraku, janganlah kamu pergi bersama dunia, bersama syahwat, bersama was-was, dan bisikan-bisikan yang rusak. Berusahalah untuk berfikir yang bermanfaat untukmu, untuk menanti kematian. Apabila kamu di waktu sore, jangan tunggu waktu pagi. Apabila kamu di waktu pagi, maka jangan tunggu waktu sore. Jangan biarkan angan-angan itu meluas, dan masa itu memanjang. Kamu ingin membangun istana- istana, menguasai negeri-negeri. Jadikanlah angan-anganmu pendek dan apabila jiwamu lepas, maka ia akan pergi. berusahalah untuk mengikatnya dan menetapkannya. Karena hatimu membututuhkan terapi. Pikirkanlah! Ini adalah agama Allah ta'ala dan kamu tidak tahu kapan kematian akan mengagetkanmu serta dalam keadaan ɑpa kamu? * Wajib atasmu untuk menyertakan ketakwaan di dalam keadaanmu, apapun itu. " Bertakwah kepada Allah di manapun kamu berada." Beribadahlah kepada  Allah ta'la seakan- akan engkau melihatnya, dan seandainya engkau tidak melihatnya, maka sungguh Dia melihatmu. Dengan perasaan yang mulia inilah yang akan menjadikan hati seseorang hidup. Adapun bila mati hati seorang dan hilang perasaan- perasaan ini-aku berlindung kepada Allah ta'ala- maka janganlah kamu tunggu kecuali semua musibah, wal'iyadzubillah-aku berlindung kepada Alkah ta'ala. Hati yang bertakwa bagaikan bagaikan pakaian yang bersih, tidak menerima kotoran apapun. Hati yang mati tidak akan merasakan apa-apa, walaupun kamu sayat dengan pisau, kamu lempar dengan pisau kecil atau besar, ataupun dengan tombak, tidak akan terasa? Karena sesungguhnya dia telah mati. Kita memohon kepada  Allah ta'ala keselamatan. Sumber: http://www.mediafire.com/view/?r86h8n18t069tt7 Abu Zufa Anas Diambil dari al-Ukhuwwah
10 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

“kami bukan anak gaul, tetapi tahu bagaimana bergaul”

Al-Ustadz Abdullah al-Jakarty Alhamdulillah, kami bukan anak gaul yang sebagian besar dari mereka bangga dengan penampilan yang up to date (mengikuti perkembangan zaman), atau merasa memiliki kelebihan karena pergaulan yang luas, mengikuti tren fashion dan musik, dan berbicara berbau keinggris-inggrisan. Sebagian mereka tidak risi ketika bergaul tanpa memerhatikan etiket pergaulan: bagaimana bergaul dengan orang tua, berbicara yang baik, atau bermuamalah/bergaul secara umum dengan cara yang baik. Alhamdulillah, Allah memberi kami taufik untuk berusaha bergaul dengan pergaulan yang baik. Banyak hal yang penting untuk diperhatikan dalam pergaulan yang baik, yang di antaranya akan disebutkan di bawah ini. Pertama, Menghormati Orang Lain Menghormati dan menempatkan orang lain sesuai dengan kedudukannya adalah salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam pergaulan. Dengan hal ini orang akan merasa dihargai sehingga terjalin hubungan baik antara kita dan dia. Lebih dari itu, Islam pun mengajari kita untuk berbuat demikian. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Apabila datang kepada kalian seorang pembesar kaum, muliakanlah dia.” (HR. Ibnu Majah no. 3712, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no. 2991) Dalam hadits yang lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا “Tidaklah termasuk (petunjuk/adab) kami orang yang tidak menghormati orang tua dan tidak menyayangi anak kecil.” (HR. Ahmad dan al-Hakim, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5443) Kedua, Bersikap Lemah Lembut kepada Sesama Manusia Sikap rifq (lemah lembut) harus ada dalam muamalah atau pergaulan dengan sesama, karena dengannya akan tercipta hubungan yang baik. Tentang hal ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ “Maka oleh sebab rahmat dari Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu.” (Ali ‘Imran: 159) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ “Sesungguhnya tidaklah kelemahlembutan ada pada sesuatu melainkan pasti menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan pasti menjelekkannya.” (HR. Muslim no. 2594) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat anjuran agar seseorang bersikap lemah lembut dalam setiap urusan. dalam muamalah (pergaulan) dengan istrinya, dengan saudara-saudaranya, dengan teman-temannya, dan dengan manusia secara umum. Sesungguhnya Allah Maha Lemah Lembut dan mencintai kelemahlembutan.” (Syarh Riyadhush Shalihin 3/578) Ketiga, Menjaga Perasaan Orang Lain Menjaga perasaan orang lain adalah hal yang dituntut dalam pergaulan, yang dengannya seseorang akan disenangi. Berbeda halnya dengan orang yang tidak berusaha menjaga perasaan orang lain, berbicara seenaknya, bahkan sengaja menyakiti perasaan orang lain. Sangat disayangkan, sebagaian remaja—yang katanya anak gaul—tidak memerhatikan masalah ini. Mereka biasa menyebut atau memanggil temannya “Goblok” atau yang semisalnya, padahal ucapan seperti ini bisa menyakiti perasaan temannya. Bagi mereka, memang seperti itulah cara bergaul. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ ، وَلَا يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا-يُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ-بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Tidak boleh dia menzalimi, menelantarkan, dan menghina saudaranya. Takwa itu ada di sini.” Beliau menunjuk ke dada beliau tiga kali. “Cukuplah seseorang dikatakan jahat ketika merendahkan saudaranya se-Islam.” (HR. Muslim no. 2564) Di antara bentuk pergaulan yang baik adalah menjaga perasaan orang dari hal-hal yang dapat menyakitinya. Namun, hal ini jangan disalahpahami sehingga dijadikan alasan meninggalkan nasihat yang baik atau amar ma’ruf nahi mungkar karena khawatir menyinggung perasaan orang lain. Keempat, Berjumpa dengan Wajah Berseri dan Tersenyum Di antara petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam bermuamalah adalah berwajah ceria dan tersenyum ketika bertemu dengan saudara. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ “Jangan kauremehkan satu kebaikan pun walau sekadar menjumpai saudaramu dengan wajah berseri.” (HR. Muslim no. 2626) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sudah seharusnya seseorang menemui saudaranya dengan wajah yang berseri, perkataan yang baik agar mendapat pahala, cinta, dan persahabatan; serta menjauhi sikap takabur, merasa tinggi di atas para hamba Allah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 4/61) Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin al-Harits bin Jaza’, disebutkan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling sering tersenyum. ‘Abdullah berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih sering tersenyum daripada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.” (HR. at-Tirmidzi no. 3641, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 2880) Kelima, Mencukupkan Diri dengan Perkataan yang Baik Seseorang yang hanya mengucapkan perkataan yang baik akan disenangi dalam muamalahnya. Lebih dari itu, hal ini pun diperintahkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau bersabda, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang hadits di atas, “Apabila seseorang ingin berbicara, hendaknya dia berpikir terlebih dahulu. Apabila tampak bahwa apa yang hendak dia bicarakan itu tidak memiliki dampak buruk, silakan dia berbicara. Namun, jika ada dampak buruk, atau dia ragu-ragu, janganlah dia berbicara.” (Syarh al-Arba’in al-Imam an-Nawawi hlm. 249) Keenam, Mendengarkan Orang yang Berbicara kepada Kita Di antara bentuk pergaulan baik adalah mendengarkan dengan baik orang yang berbicara kepada kita. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, “Orang yang duduk kepadaku memiliki tiga hak atasku: aku memandangnya apabila menghadapnya, melapangkan tempat baginya apabila dia duduk, dan mendengarkannya apabila dia berbicara.” (‘Uyunul Akhbar 1/307) Ketujuh, Husnuzhzhan (Berbaik Sangka) Di antara hal yang penting diperhatikan oleh seseorang ketika bermuamalah dan bergaul dengan saudaranya sesama muslim adalah mengedepankan sikap baik sangka. Dengan sikap ini akan tetap terjalin hubungan baik antara dirinya dan orang yang berteman atau bermuamalah dengannya. Sebaliknya, sikap buruk sangka akan merusak hubungannya dengan saudaranya. Lebih dari itu, Allah melarang kita untuk berburuk sangka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu (adalah) dosa.” (al-Hujurat: 12) Kedelapan, Tidak Mudah Marah Mudah marah adalah perangai jelek yang dapat merusak hubungan antarsaudara atau antarteman dan menjadi sebab seseorang tidak disukai orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak mudah marah dan lapang dada akan disenangi banyak orang. Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan, أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي. قَالَ: لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لَا تَغْضَبْ “Bahwasanya seseorang berkata kepada Nabi, ‘Berilah saya wasiat.’ Beliau berkata, ‘Janganlah engkau marah.’ Orang itu mengulang-ulang perkataannya, tetapi Rasulullah tetap bersabda, ‘Janganlah engkau marah’.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 6116) Kesembilan, Bersyukur kepada Orang yang Berbuat Baik kepada Kita Ada sebuah hadits yang mengingatkan kita untuk bersyukur kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud no. 4811, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 4026) Kesepuluh, Menepati Janji Seseorang akan disukai oleh semua orang ketika dalam pergaulannya selalu menepati janjinya. Sebelum itu, Allah telah memerintah kita untuk menepati janji-janji yang kita buat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji.” (al-Maidah: 1) Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini perintah Allah subhanahu wa ta’alaepada para hamba-Nya yang beriman, dengan sesuatu yang menjadi konsekuensi keimanannya, untuk menepati janji-janji, yaitu menyelesaikan dan menyempurnakannya, tidak membatalkan ataupun menguranginya.” (Taisirul Karimir Rahman) Kesebelas, Memaafkan Kesalahan Orang Lain Ketika seseorang memberi maaf kepada saudaranya, selain akan diberi kemuliaan oleh Allah, dia juga akan disenangi dalam pergaulan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا “Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba yang memaafkan orang lain selain kemuliaan.” (HR. Muslim no. 2588) Dalam hadits di atas terdapat anjuran agar seseorang memaafkan orang lain yang berbuat jelek kepada dirinya dan Allah akan menambah kemuliaannya. Demikianlah sebagian hal yang penting untuk diperhatikan dalam bermuamalah/bergaul. Semoga Allah memberi kita taufik untuk bergaul dengan pergaulan yang baik yang sesuai dengan bimbingan agama. Dikutip dari Majalah Qonitah
10 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

ada apa dengan cinta?

Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik kepada kita untuk mencintai dan menghamba kepada-Nya. Dengan mahabbah (cinta),khauf (takut), dan raja’ (mengharap), kita beribadah kepada Allah. Maha Pengasih Allah yang menciptakan kita memiliki tabiat untuk mencintai. Oleh karena itu, orang tua sangat mencintai dan mengasihi anaknya, seorang anak mencintai dan menghormati kedua orang tuanya, dan sepasang suami istri saling mencintai dan menyayangi. Dengan cinta, kehidupan ini pun menjadi sangat indah. Namun, sangat disayangkan, cinta yang dipahami oleh banyak remaja muslim sebatas cinta antara sepasang remaja yang sedang dimabuk asmara, atau cinta seorang remaja yang duduk di bangku sekolah tingkat menengah kepada seorang gadis yang masih satu sekolah dengannya, atau makna cinta yang tidak jauh dari itu. Sesungguhnya, cinta dengan makna seperti itu adalah cinta yang terlarang dan akan menyebabkan kesengsaraan seseorang di dunia dan kelak di akhirat. Namun, itulah makna cinta yang mereka pahami, bahkan menjadi komoditas bisnis di dunia entertainment. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami bawakan pembahasan tentang macam-macam cinta, dengan harapan kita memahami makna cinta dengan baik dan benar. Pertama: Mahabbah Ibadah (Cinta yang Terhitung Ibadah) Macam cinta yang pertama adalah cinta ibadah, yaitu mencintai Allah dan mencintai hal-hal yang dicintai oleh Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَزَيَّنَهُۥ فِي قُلُوبِكُمۡ “…Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian.” (al-Hujurat: 7) وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165) Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya mencintai Allah termasuk ibadah yang paling penting dan paling utama serta merupakan landasan agama. Sebab, mencintai Allah mengharuskan ikhlas kepada-Nya, menaati perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya, dan tunduk kepada-Nya.” (Syarh Kitab at-Tauhid, Ibnu Baz, hlm. 162) Cinta kepada Allah inilah cinta yang hakiki. Ia menjadi sebab kebahagiaan hati seorang hamba sekaligus menjadi sebab terasa manisnya iman, ketaatan, dan ibadah kepada-Nya. . Kedua: Mahabbah yang Syirik Macam cinta yang kedua adalah cinta yang hukumnya syirik, yaitu mencintai selain Allah sama dengan kecintaannya kepada Allah atau lebih besar dari itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادٗا يُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ “Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (al-Baqarah: 165) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barang siapa mencintai makhluk seperti kecintaannya kepada al-Khaliq (Yang Maha Pencipta, yaitu Allah, –ed.), dia telah melakukan perbuatan syirik. Sungguh, dia telah menjadikan selain Allah sebagai tandingan, dan mencintainya sebagaimana dia mencintai Allah.” (Majmu’ al-Fatawa 10/265) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perbuatan syirik, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah, sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (an-Nisa’: 48) Ketiga: Mahabbah Maksiat (Cinta yang Hukumnya Maksiat) Macam cinta yang ketiga adalah cinta yang hukumnya maksiat, seperti mencintai perkara yang haram. Contohnya adalah cinta untuk berpacaran, berduaan, berciuman, atau untuk melakukan hubungan seks pranikah (zina) dan yang lainnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ۞وَقَالَ نِسۡوَةٞ فِي ٱلۡمَدِينَةِ ٱمۡرَأَتُ ٱلۡعَزِيزِ تُرَٰوِدُ فَتَىٰهَا عَن نَّفۡسِهِۦۖ قَدۡ شَغَفَهَا حُبًّاۖ إِنَّا لَنَرَىٰهَا فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٣٠ “Dan wanita-wanita di kota berkata, ‘Isteri al-‘Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya).Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata’.” (Yusuf: 30) Keempat: Mahabbah Thabi’iyyah (Cinta yang Merupakan Tabiat) Macam cinta yang keempat adalah cinta yang merupakan tabiat manusia. Misalnya, mencintai anak, istri, keluarga, harta, dan hal-hal yang mubah (boleh) lainnya sebatas tabiat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَ‍َٔابِ ١٤ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14) Akan tetapi, kalau cinta yang merupakan tabiat ini mengantarkan seseorang untuk melakukan perbuatan maksiat, berubahlah ia menjadi cinta maksiat. Itulah macam-macam cinta yang harus dipahami. Cinta tidaklah identik dengan pacaran. Lebih dari itu, ada banyak macam cinta. Ada cinta ibadah, yaitu cinta seorang hamba kepada Allah; ada cinta yang ternilai sebagai maksiat, yaitu cinta kepada kemaksiatan; ada cinta yang mengandung kesyirikan; ada juga cinta yang merupakan tabiat manusia. Wallahu a’lam bish-shawab. Ditulis oleh Al-Ustadz Abdullah al-Jakarty dengan judul "Ada Apa Dengan Cinta" (Majalah Qonitah)
10 tahun yang lalu
baca 12 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Unknown

yang muda yang bertaqwa

Yang Muda Yang Bertaqwa Siapa sih yang tidak mau masuk surga? Tapi, perlu kita ketahui bahwa masuk ke dalam surga itu bukan perkara yang mudah kecuali orang yang dimudahkan oleh Allah. Karena, surga itu dikelilingi dengan sesuatu yang kita benci, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan sesuatu yang kita inginkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda yang artinya, “Saat Allah menciptakan surga dan neraka, Allah mengutus Malaikat Jibril ke surga. Allah berfirman kepada Jibril, ‘Pergilah, lihat surga dan apa yang Aku persiapkan bagi penghuninya.’ Jibril pun mendatanginya dan melihatnya serta apa yang dipersiapkan bagi penghuninya. Lalu Jibril pun kembali dan mengatakan, ‘Demi Kemuliaan-Mu, tidak ada seseorang yang mendengarnya kecuali ingin memasukinya. Allah pun meliputi surga dengan sesuatu yang dibenci lalu berfirman kepada Jibril, ‘Pergilah, lihat kepadanya dan apa yang Aku persiapkan bagi penghuninya. Jibril pun kembali melihatnya. Ternyata, surga dipenuhi dengan perkara yang dibenci manusia. Jibril pun kembali dan mengatakan, ‘Demi Kemuliaan-Mu, aku takut tidak ada yang memasukinya satu orang pun.’” [H.R. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i, Syaikh Al-Albani mengatakan, “hasan shahih”]. Ajal Yang Hampir Datang Masihkah berpikir untuk berfoya-foya dan tidak mempersiapkan kehidupan akhirat? Masihkah kita berpikir untuk menunda bertaubat dan memperbaiki diri? Padahal, kita sering mendengar kabar tetangga sebelah mati mendadak tanpa mengidap penyakit. Atau, kita mendengar kabar saudara kita yang kemarin tertawa sekarang berbalut kafan. Siapa yang tahu kapan datangnya kematian kita. Mungkin dua tahun lagi, mungkin satu tahun, satu bulan, satu minggu, besok, atau mungkin beberapa jam lagi. Siapa yang tahu selain Dzat Yang berada di atas ‘Arsy? Allah telah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya di sisi-Nya ilmu hari kiamat dan tentang turunnya hujan, dan Allah mengetahui yang di dalam rahim. Dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang akan dia perbuat, dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia meninggal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Meliputi ilmu-Nya.” [Q.S. Luqman:34]. Tidakkah kita merasa rugi bila ruh kita dicabut sedangkan kita belum sempat beramal shalih? Padahal, amalan shalih adalah bekal kita satu-satunya di akhirat kelak. Bukan harta, bukan pangkat, bukan pula keluarga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, “Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua darinya akan kembali pulang dan tinggal satu saja (yang menemaninya). Keluarga dan hartanya akan kembali, tinggallah amalannya (yang akan menemaninya).” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Dunia hanyalah kesenangan semu yang menipu. Kesenangan di dunia ini bagaikan fatamorgana yang segera pupus. Hendaknya kita berbekal untuk kehidupan sejati kelak. Sungguh, kita di dunia ini hakikatnya hanyalah seperti yang Rasulullah misalkan dalam sabda beliau, “Apa hubungannya antara aku dengan dunia? Aku di dunia ini hanyalah seperti penunggang yang bernaung di bawah pohon lalu meninggalkannya.” [H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani ]. Allah juga berfirman: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megah antara kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.  Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Q.S. Al-Hadid:20]. Berpayung Naungan Allah subhanahu wa ta'ala Pada hari kiamat, matahari hanya berjarak satu mil dari atas kepala kita. Saat itu, manusia berkeringat sesuai dengan dosa-dosanya. Rasulullah pernah bersabda, “Matahari mendekat kepada makhluk pada hari kiamat hingga berjarak satu mil. Maka, manusia pun tercelup ke dalam keringatnya sesuai dengan amalannya. Di antara mereka ada yang tercelup hingga kedua mata kakinya, di antara mereka ada yang tercelup hingga pinggangnya dan di antara mereka ada yang tercelup hingga mulutnya.” [H.R. Muslim]. Saat itu, beberapa golongan orang akan dipayungi oleh Allah. Golongan-golongan itu adalah orang yang disebutkan dalam hadits Rasul berikut ini, “Tujuh golongan yang Allah naungi dengan naungan-Nya, pada hari tiada naungan selain naungan-Nya: seorang imam yang adil; pemuda yang tumbuh dalam peribadahan kepada Allah; laki-laki yang qalbunya senantiasa terkait dengan masjid; dua orang yang saling mencintai, berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; seorang laki-laki digoda oleh perempuan yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun dia justru mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’; seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui yang diberikan oleh tangan kanannya; dan seseorang yang mengingat Allah sendirian, lalu bercucurlah air matanya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Engkau bisa menjadi salah satunya. Engkau bisa menjadi seorang pemuda yang senantiasa dalam peribadahan kepada Allah. Lebih Cepat Lebih Baik Lantas, apa yang engkau tunggu? Apakah engkau menunggu hilangnya nikmat mudamu ini? Apakah engkau menunggu penyesalan di hari tua kelak? Ingatlah, masa mudamu ini tak akan kembali. Maka, pergunakanlah waktu-waktumu di masa muda sebelum masa tuamu menghampiri, merenggut kekuatan dan kemampuanmu. Rasulullah pernah mewasiatkan: اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah sebaik-baiknya lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum pikunmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” [H.R. Al-Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]. Lima nikmat ini adalah nikmat yang baru terasa nilainya ketika kehilangan salah satu darinya. Maka dari itu, Rasulullah ` memerintahkan kita untuk mensyukurinya dengan mempergunakan nikmat-nikmat tersebut untuk beramal. Nah, demikianlah Islam mewasiatkan kepada kita tentang nikmat yang besar ini. Sebagai akhir dari tulisan ini, marilah kita ingat wasiat dari Ibnu Umar, “Jika engkau berada pada sore hari maka jangan menunggu paginya dan jika berada pada pagi hari maka jangan menunggu sorenya.” [diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab Shahih beliau]. Allahu a’lam bish shawab. Penulis : Abdurrahman -hafizhahullah- Sumber : Majalah Tashfiyah
10 tahun yang lalu
baca 6 menit