Kisah

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : mengikuti jejak sang komandan

Mengikuti Jejak Sang Komandan Di pagi hari yang cerah, ditemani kicauan burung pipit yang bersahut-sahutan di atas dahan, kuingin menorehkan tinta bukan berharap pujian. Kuingin memutar kembali memori masa lalu agar ia tak begitu saja berlalu. Aku ingin berbagi faedah agar saudara-saudari seimanku berkenan mendulang ibrah. . Baiklah, aku anak sulung dari 3 bersaudara. Masa kanak-kanakku kuhabiskan dengan sia-sia. Jauhnya keluargaku waktu itu dari bimbingan agama, membuat kami terbiasa terjerumus dalam kehidupan sehari-hari, bernyayi, menari, dan mendengarkan musik. Di rumah, siaran televisi adalah hiburan kami. Bagiku waktu itu menonton televisi adalah sebuah kenikmatan. Astagfirullah… Konon, katanya, ayahku pernah berguru dengan setan. Allahumusta’aan. Pada masa mudanya dulu, beliau gemar mengenakan cincin akik di jari jemarinya yang katanya pada setiap cincin tersebut ada penunggunya. Beliaupun berlatih bela diri dilengkapi dengan ‘ilmu hitam’. Tujuannya agar ketika mendapat pukulan dari lawannya beliau tidak merasakan kesakitan. Meskipun, setelah setan pergi dari tubuh beliau, barulah kemudian rasa sakit itu mendera. Subhanallah sebuah kehidupan yang jauh dari bimbingan.  Namun dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit ayah mulai meninggalkan ‘dunia hitam’. Hingga kemudian Allah takdirkan ayah mengenal dakwah salafiyyah sehingga akhirnya beliau menjadi seorang ‘salafi’. Serta kemudian beliau pun berjuang menuntun keluarganya agar mengikuti jejaknya meniti jalan kebenaran. Alhamdulillah. Tahun demi tahun berlalu, tak terasa aku telah memasuki usia sekolah. Ayah mendaftarkan aku untuk mulai sekolah di salah satu pondok ahlus sunnah di daerahku. Maka aku pun resmi menjadi murid baru di pondok tersebut. Saat masuk kelas, aku sangat terkejut karena teman sekelasku wanita semua. Tidak ada yang laki-laki kah? pikirku. Wajar aku terkejut, karena sejak kecil aku hanya terbiasa bermain dengan anak laki-laki seusiaku di sekitar rumahku. Kebetulan teman sepermainanku laki-laki semua, tidak ada yang wanita.  Kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Aku belum terbiasa dengan situasi belajar. Aku hanya diam saja jika tidak diajak bicara. Padahal aku bukanlah anak pendiam, bahkan aku anak yang cerewet, banyak bicara dan tergolong pemarah. Astaghfirullah.. . Setiap hari ayah menjemputku sambil terkadang membawa adik perempuanku. Aku senang jika ayah membawa adik karena teman-temanku gemas jika melihatnya. Seolah-olah itulah salah satu sebab mencairnya pergaulanku dengan teman-teman baru di sekolah.  Setibanya di rumah apa yang kulakukan? Belajar? Mengulang pelajaran? Menghafal? Tidak! Bahkan aku langsung menyetel televisi. Mengapa bisa? Bukankah ayahku sudah mengaji? Mengapa memiliki televisi? Jangan salah sangka. Itu semua karena kami masih serumah dengan kakek. Televisi itu milik kakek. Tapi aku suka menonton televisi. Bahkan boleh jadi sudah masuk dalam kategori kecanduan. Aku selalu berusaha menonton film kesukaanku. Aku selalu khawatir ketinggalan episode-episodenya. Lalu apa kegiatanku di rumah selain menonton televisi? Jika film favoritku telah usai tayang, maka aku pun segera menemui teman-teman mainku. Iya teman lelaki tetanggaku. Jika ayah mengetahui aku bermain dengan laki-laki beliau memarahiku. Namun aku tidak jera. Aku masih tetap bermain dengan mereka. Bahkan terkadang aku harus diam-diam mengendap agar tidak terlihat ayah. Astaghfirullah… Kejahilan masih terus bersarang dalam diriku sampai beberapa tahun berikutnya. Bahkan ketika aku sudah berpindah ke sekolah baru di sebuah pondok ahlus sunnah salafi di lain daerah. Meskipun aku disekolahkan di pondok ahlus sunah salafi namun tidak seperti pada umumnya mereka. Aku masih seperti dulu ketika belum mengenal mereka. Berbagai kemaksiatan masih melekat pada diriku. Astagfirullah… Di sekolah yang kupikirkan hanya film-film yang tak berujung pangkal itu. Sehingga pelajaran –pelajaran yang disampaikan banyak yang tidak kupahami. Itu semuanya karena aku kurang perhatian. Pikiranku sibuk dengan angan-angan kosong. Terbawa film-film yang setiap hari kusaksikan di layar televisi. Namun di tengah-tengah kelalaian itu semua, rupanya Allah masih menyayangiku. Secara alamiah ternyata aku menyukai beberapa pelajaran. Termasuk yang paling aku sukai sejak kecil adalah pelajaran bahasa Arab dan kemudian tata bahasanya. Semoga itu menjadi pengikat ketertarikanku dengan ilmu syariat.  Namun secara keseluruhan, waktu itu aku masih bergelut dengan kejahilan. Aku belajar ilmu agama tetapi belum mampu mengamalkannya. Sebagai contoh, sehari-hari aku memang belajar ilmu syariat, menghafal Al Quran, dan memurajahnya. Namun waktu itu aku tidak mengerjakan shalat 5 waktu kecuali jika disuruh oleh ayah atau ibu. Allahu mustaan… Hingga penyesalan itu datang…Seiring dengan berjalannya waktu, hidayah dan taufik dari Allah mulai menyapa diriku. Kesadaran mulai memenuhi kalbuku. Rasa bersalah kepada Rabbku mulai membuat air mata mengalir deras…Aku mulai sadar bahwa suatu ketika pasti aku pun akan menemui ajal. Apa jadinya ketika datang ajal, aku belum menyiapkan bekal?  Aku mulai berbenah. Pakaianku mulai kuperbaiki. Sebelumnya aku tidak suka memakai baju dan kerudung yang serba lebar. Bagiku waktu itu mengenakan pakaian syar’i tersebut sangat memberatkan, gerah, dan panas. Namun kini aku sadar bahwa itu adalah pakaian kemuliaan. Tak, apalah merasakan panas dan gerah ketika mengenakannya. Semoga keringat yang menetes dicatat Allah sebagai pahala. Semoga panasnya di dunia Allah gantikan dengan sejuknya surga. Aku bertekad untuk tetap mengenakan pakaian yang mulia ini meskipun ada yang mencelanya. Ketika di rumah kakek, terkadang ada teman lamaku yang menyeletuk, “Woi teroris!” atau ”eh, ada ninja warior.” Pada awalnya aku sempat kesal dan kecewa. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku hanya berusaha memahami bahwa mereka berkata seperti itu mungkin hanya karena belum tahu ilmunya. Kemudian, sedikit demi sedikit aku pun mulai meninggalkan televisi, musik, dan tarian-tarian. Hingga kini aku sudah terbiasa hidup tanpa musik dan TV. Dan ternyata ‘hidup asyik gak berisik nikmat tanpa musik’ benar adanya. Bagiku sekarang tarian-tarian tak lebih dari semacam gerakan-gerakan orang-orang aneh. Yang paling membuatku bergembira adalah ketika doa yang selalu ayah panjatkan untuk ibu, kini Allah ijabahi. Walaupun membutuhkan waktu yang cukup panjang, perubahan pendirian ibu adalah sesuatu yang sangat aku syukuri.  Dulu ibu tampak enggan mengenakan penutup wajah, kini beliau selalu mengenakannya ketika keluar rumah. Jika dulu tidak mau menghadiri majelis taklim, kini selalu menghadirinya kecuali jika ada halangan. Yang paling membuatku terharu adalah ibu kini mau mengambilkan raportku dan adikku di sekolah. Dulu beliau tidak mau mengambilkan raport kami sehingga orang lain yang mengambilkan. Masya Allah, hidayah Allah terasa mahal nan indah rasanya… Waktu terus berjalan, sementara aku menikmati hidup yang indah di bawah sunnah. Aku masih menjadi penuntut ilmu dengan belajar dan belajar mengisi kesibukanku sehari-hari. Namun di tengah-tengah kesibukanku menuntut ilmu, kemudian aku mulai mendengarkan pembicaraan teman-temanku tentang wabah virus corona yang sedang melanda dunia. Hingga ketika bel istirahat berbunyi aku tidak sengaja membaca judul artikel tentang virus Covid-19 di papan pengumuman. Karena tertarik, aku pun membaca semuanya dari awal sampai akhir. Subhanallah, ternyata banyak negara-negara yang kelabakan menghadapi virus yang satu ini.  Beberapa hari setelah itu, tiba-tiba ibu memberitahuku,”Kak, nggak jadi berangkat jam 09.00. Jadinya libur.” “Lho kok gitu Mi?” tanyaku heran. “Lah kan ini sedang ada virus. Pak Presiden memerintahkan untuk meliburkan anak-anak sekolah. Tapi nanti tetap mengerjakan tugas. Jadi belajar online.” “Ya, Allah, serasa mimpi,” batinku. Hatiku seperti tersayat-sayat mendengarnya. Aku masih ingin bertemu dan menuntut ilmu bersama kawan seperjuangan. Namun, aku harus bersabar. Aku yakin di balik semua ini pasti Allah menyediakan hikmah yang indah. Sudah berlalu 14 hari sejak pengumuman belajar online dimulai. 2 pekan; itulah waktu yang dijanjikan libur sekolah untuk belajar online. Aku bertanya kepada ibu, “Ummi, kok belum ada pengumuman untuk masuk sekolah lagi? Kan sudah 14 hari?” “Diperpanjang kak belajar online nya, nggak jadi masuk lagi hari ini.” Seakan-akan aku tak percaya dengan ini semua. Aku sudah rindu dengan kelas, teman-teman, dan ustadzah-ustadzahku. Akhirnya, minggu demi minggu berlalu, bulan demi bulan pun juga telah berlalu. Aku masih saja harus belajar di rumah. Terkadang rasa jenuh menghampiri. Namun, aku selalu berusaha untuk membangkitkan semangat juang untuk menuntut ilmu. Di sinilah mungkin Allah ingin menguji hamba-Nya. Peringatan dari-Nya agar manusia segera kembali dan bertobat kepada-Nya. Yang harus kita lakukan saat ini adalah ikhtiar, ber’khusnuzhan’ dan berdoa kepada Allah agar segera mengangkat wabah virus ini. Amiin. Kini aku bukanlah diriku 14 tahun yang lalu. Saat ini aku telah beranjak dewasa. Aku akan ikuti jejak Sang Komandan dalam meniti jalan kebenaran. Iya, Ayahlah komandan dalam keluargaku. Beliau lah yang menuntun kami. Sehingga dengan rahmat Allah, kami bisa menjadi seperti sekarang ini. “Perjuanganmu dalam mendidik keluargamu membuahkan hasil, Ayah! Aku akan mengikuti jejakmu ini hingga hayat tak lagi dikandung badan. Insya Allah.”  Walau kulihat berat beban di punggungmu, engkau selalu meringankannya dengan senyuman indah di wajahmu, Ayah…Semoga kerja kerasmu ini menjadi amal kebajikan di akhirat kelak.  Ya, Allah jagalah hidayah yang telah bersemai di hati kami, hingga kami berjumpa dengan-Mu di surga kelak. AamiinYa Mujibas Saailin…. Sumber : Buku Secercah Harapan Untuk Masa Depan. https://telegra.ph/Mengikuti-Jejak-Sang-Komandan-03-26
3 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

al qaffal : tak lekang waktu untuk belajar

Al Qaffal : Tak Lekang Waktu Untuk Belajar Paling tidak, ada 2 ulama besar bermadzhab Syafi'i yang digelari al Qaffal. Sama-sama berkunyah . Abu Bakar. Sehingga, jika membaca keterangan tentang Abu Bakar al Qaffal as Syafi'i, paling tidak kita harus memastikan, al Qaffal siapa yang dimaksud? Berikut ini beberapa perbedaan antara 2 al Qaffal; al Qaffal al Kabiir dan al Qaffal as Shaghiir, antara lain : 1.al Qaffal al Kabiir bernama : Muhammad bin Ali as Syaasi. Al Qaffal as Saghiir bernama : Abdullah bin Ahmad al Marwazi. 2. Al Qaffal al Kabiir (tua) lahir di tahun 291 H dan wafat pada tahun 365 H. Sementara al Qaffal as Saghiir (muda) dilahirkan pada 327 H meninggal dunia pada tahun 417 H. 3. Al Qaffal al Kabiir berasal dari kota Syas, sebuah kota besar di masa lampau yang saat ini menjadi ibukota Uzbekistan, yakni Tashkent. Adapun al Qaffal as Shaghiir dinisbatkan ke negeri Marwa Syahijan. Saat ini masuk dalam wilayah Turkmenistan. 4. Al Qaffal al Kabiir lebih sering ditemukan dalam kitab-kitab tafsir dan hadis. Al Qaffal as Saghiir lebih dikenal sebagai ahli fikih. Beliau berdua adalah tokoh besar dengan sederet pujian dan sanjungan para ulama. Banyak literatur yang membicarakannya. Namun, di sini, saya ingin menukil keterangan Adz Dzahabi (Siyar A'lam Nubala 17/406) tentang al Qaffal as Saghiir. "Seorang imam, ahli ilmu yang sangat dihormati, dan guru besar di kalangan ulama bermadzhab Syafi'i" Adz Dzahabi menambahkan, "Beliau sangat ahli di bidang produksi dan rekayasa gembog. Bahkan, al Qaffal pernah membuat gembog, kunci, dan perangkatnya seberat 4 habbah" Karya beliau ini adalah gembog super mini. 4 habbah artinya seberat 4 biji gandum. " Setelah berusia 30 tahun, al Qaffal menyadari dirinya sangatlah cerdas. Maka, beliau tertarik belajar ilmu fikih. Al Qaffal lalu fokus mendalami fikih sampai benar-benar menguasai. Bahkan, beliau dijadikan sebagai permisalan. Al Qaffal adalah penemu metode Khurasan dalam bidang fikih" , demikian Adz Dzahabi menerangkan. Subhanallah! Minimal ada 3 pelajaran hidup dari beliau : 1. Thalabul ilmi (belajar ilmu-ilmu agama) termasuk rejeki. Allah membagikannya hanya untuk yang terpilih saja. Maka, bagi yang belum sempat merasakan manisnya thalabul ilmi, banyaklah berdoa agar diberi rejeki thalabul ilmi. Bagimu yang telah terpilih menjalani thalabul ilmi, merasakan lezatnya, jangan lepaskan dan jangan biarkan hilang dari genggaman. Al Qaffal termasuk yang Allah pilih. Maka, beliau tidak sia-siakan itu. 2. Thalabul ilmi tidak dibatasi usia. Walaupun telah berumur, meskipun sudah lanjut usia, bukanlah alasan untuk tidak thalabul ilmi. Al Qaffal memulai start thalabul ilmi setelah menginjak usia 30 tahun. Masih ragu kah? 3. Tekad bulat thalabul ilmi tidak akan sia-sia. Siapa yang sungguh-sungguh, niscaya ada jalan. Apapun yang ditinggalkan dengan niat meraih ridha Allah, tentulah Allah menggantikan dengan yang lebih baik. Pekerjaan yang telah lama ditekuni bahkan benar-benar dikuasai oleh al Qaffal, beliau tinggalkan.  Apa gantinya? Ilmu yang bermanfaat. Menjadilah beliau seorang ulama, bahkan guru besar dalam madzhab Syafi'i'. Adakah alasan yang tersisa? Masihkah bimbang? Muntilan, 19 Sya'ban 1443 H/22 Maret 2022 t.me/anakmudadansalaf
3 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

nasihat - hikmah luqman al-hakim

Hikmah Luqman al-Hakim Al-Ustadzah Ummu Maryam bintu Yusuf . Ada kalanya seorang hamba diberi pengetahuan, tetapi tidak diberi hikmah sehingga luput darinya berbagai kebaikan dan keutamaan. Sebab, hikmah bukan sekadar ilmu. Hikmah adalah akal yang lurus, ilmu yang bermanfaat, dan amalan yang saleh. Inilah kisah seorang hamba yang mulia, yang penuh mutiara hikmah dan faedah berharga bagi segenap keluarga muslim yang ingin mendapatkan keturunan yang saleh dan menggapai keutamaan memilikinya. Anugerah yang Agung Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam al-Quran al-Karim, وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٞ ١٢ “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu ‘Bersyukurlah kepada Allah. Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji’.” (Luqman: 12) Siapakah Luqman? Muhammad bin Ishaq rahimahullah menyebutkan bahwa Luqman adalah putra Ba’ura’ bin Nahur bin Tarah (Azar, ayah Ibrahim ‘alaihissalam). Menurut sebagian ahli tafsir, Luqman juga adalah putra bibi atau saudara perempuan Ayyub ‘alaihissalam ‘. Al-Waqidi rahimahullah menyebutkan bahwa beliau adalah seorang qadhi Bani Israil. Para ulama ahli tafsir (selain ‘Ikrimah dan asy-Sya’bi) sepakat bahwa beliau ini seorang hakim (orang yang diberi hikmah oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bukan seorang nabi. Kemuliaan hikmah yang disandang oleh hamba Allah subhanahu wa ta’ala ini sebagaimana kemuliaan yang disandang bekas-bekas budak umat muhammadiyyah (umat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, -ed.) yang menjadi pembawa ilmu. Kekurangan fisik mereka tertutupi oleh ketinggian nikmat yang menghiasi diri. Mereka dikaruniai ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh. Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dan yang selain beliau bahwa Luqman adalah seorang hamba yang hitam, yang terbelah kedua kakinya dan tebal kedua bibirnya. Luqman al-Hakim diberi pilihan oleh Allah subhanahu wa ta’ala antara diberi hikmah atau diberi nubuwwah (kenabian). Beliau memilih hikmah, beban yang lebih ringan daripada kenabian. Diriwayatkan, suatu ketika Luqman menyampaikan hikmah dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada seseorang. Orang itu bertanya, “Bukankah engkau Fulan, si penggembala domba itu? Dengan cara apa engkau menggapai hikmah yang telah engkau raih ini?” Luqman menjawab, “Dengan berkata jujur, menunaikan amanat, dan meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat bagiku.” Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa karena pemberian yang agung ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Luqman untuk bersyukur, agar Allah memberkahinya di dalam hikmah tersebut dan agar Allah subhanahu wa ta’ala menambahkan keutamaan-Nya kepada Luqman. Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa manfaat syukur akan kembali kepada orangnya, dan kebinasaan akibat sikap ingkar juga akan menimpa pelakunya. Allah Mahakaya, tidak butuh kepada hamba. Allah Maha Terpuji di dalam perkara yang ditakdirkan dan ditetapkan-Nya. Cahaya Hikmah bagi Keluarga Luqman Allah subhanahu wa ta’ala menyampaikan hikmah yang Ia anugerahkan kepada Luqman ini kepada umat muhammadiyyah agar mereka mengambil pelajaran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣  “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (Luqman: 13) Dihikayatkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, nama sang putra adalah Tsaraan. Ia adalah orang yang paling disayangi dan dicintai Luqman. Tentu saja putranya ini adalah orang yang paling berhak mendapatkan perkara yang paling utama yang diketahui oleh sang ayah. Inilah bukti terbesar cinta seorang ayah kepada putranya. Bukan perkara-perkara yang dianggapnya secara langsung ataupun tidak langsung membantu putranya meraih kemapanan hidup, harta, dan kemilau dunia. Bukan kedudukan, bukan ketenaran, bukan pula kelezatan sesaat dan kenikmatan semu yang diinginkannya untuk sang putra. Yang diinginkannya bagi putranya adalah keselamatan hakiki dan kebahagiaan nan abadi. Ia ingin agar putranya menjadi hamba yang bertakwa kepada Allah, menauhidkan-Nya, dan menegakkan syariat-Nya. Inilah hakikat cinta yang dibimbingkan Luqman kepada seluruh orang tua yang beriman. Dari metode nasihat Luqman kepada putranya, para orang tua bisa mengambil pelajaran berharga bagaimana memberikan tarbiyah ruhiyyah (pendidikan rohani) kepada putra-putri yang diharapkan kesalehannya. As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, Luqman mengucapkan kalimat-kalimat untuk memberikan wejangan kepada sang putra dengan berbagai perintah dan larangan, yang disertai dorongan dan ancaman. Luqman memerintah putranya untuk ikhlas, yaitu meniatkan seluruh ibadahnya hanya untuk meraih wajah Allah subhanahu wa ta’ala, keridhaan-Nya, dan negeri kemuliaan-Nya, yaitu jannah. Luqman juga melarangnya dari kesyirikan, menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam ibadah. Ia juga menerangkan sebab larangan tersebut dengan mengatakan, “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” As-Sa’di rahimahullah menjelaskan penyebab kesyirikan dihukumi sebagai kezaliman terbesar yang dapat dilakukan oleh anak Adam. Berbuat syirik lebih jelek daripada membunuh, berzina, mengorupsi, merampok, dan dosa-dosa besar lain yang dianggap sebagai kejahatan serius oleh manusia. Sebabnya, tidak ada yang lebih mengerikan dan lebih jelek daripada orang yang menyamakan makhluk—yang berasal dari tanah—dengan sang Penguasa seluruh leher/nyawa makhluk; yang menyamakan makhluk—yang tidak berkuasa atas satu perkara pun—dengan Dzat yang di tangan-Nya seluruh perkara; yang menyamakan makhluk—yang kurang dan butuh kepada selainnya di semua sisi kehidupannya—dengan Rabb yang Mahasempurna, Mahakaya lagi tidak butuh kepada sesuatu pun di luar Diri-Nya di segala sisi; dan menyamakan makhluk—yang tidak bisa memberi nikmat sebesar biji sawi sekalipun—dengan Dzat yang tidaklah nikmat yang ada pada hamba, baik nikmat di dalam agama, dunia, akhirat, kalbu, maupun badan mereka, kecuali pasti berasal dari-Nya, dan tidak ada seorang pun yang mampu memalingkan kejelekan dari seorang hamba kecuali Dia. Adakah kezaliman yang lebih besar daripada kezaliman ini? Tentunya ini pertanyaan retorik saja (tidak memerlukan jawaban, -ed.). Tidak ada yang lebih zalim daripada orang yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk beribadah kepada-Nya dan menauhidkan-Nya, tetapi ia kemudian menghilangkan kemuliaan tauhid itu dari dirinya dan menjadikan dirinya di posisi yang paling hina. Ia menjadikan dirinya sebagai budak bagi makhluk yang urusannya tidak lurus sedikit pun. Jadilah ia menzalimi dirinya sendiri dengan kezaliman yang paling besar. Kesyirikan adalah dosa paling besar yang menjadikan pelakunya kekal di neraka. Ia tidak akan diampuni apabila mati sebelum bertobat dari kezaliman ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨ “Sesungguhnya Allah tidak memberi ampun apabila Ia disekutukan. Ia mengampuni dosa-dosa di bawah kesyirikan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang menyekutukan Allah, sungguh ia telah melakukan dosa yang besar.” (an-Nisa’: 48) Masalah akidah, yaitu perintah bertauhid dan larangan berbuat syirik, harus menjadi orientasi pertama dan terpenting di dalam pendidikan anak-anak generasi rabbani yang menjadi tanggung jawab generasi pendahulunya, bukan perkara-perkara selainnya. Inilah yang harus diperhatikan oleh ayah, ibu, dan pendidik, karena merupakan kunci kebahagiaan yang sesungguhnya. Ayat ke-13 ini adalah tafsir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ayat yang menyebutkan orang-orang yang mendapatkan keamanan yang sempurna dari dahsyatnya hari kiamat dan neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ ٨٢ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapatkan keamanan, dan merekalah yang mendapatkan petunjuk.” (al-An’am: 82) Para sahabat sempat merasa sempit dengan turunnya ayat ini. Siapa orangnya yang bisa bebas dari kezaliman? Namun, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian menjelaskan kata ‘kezaliman’ dengan ucapan Luqman kepada putranya, yaitu kesyirikan. Jadi, hanya orang yang benar-benar terbebas dari segala bentuk kesyirikanlah yang mendapatkan jaminan keamanan Allah subhanahu wa ta’ala dari kengerian kiamat. Tidak sepantasnya kita merasa jenuh mempelajari dan mengajarkan akidah yang lurus beserta seluruh aspeknya, sehingga kita dan anak-anak kita dapat merealisasikan tauhid di setiap sendi kehidupan dan di setiap dinamika langkah kita, menjauh dari kesyirikan dengan semua bentuknya, dan memenuhi seluruh konsekuensi yang dituntut dari syahadat kita. Dengan demikian, mudah-mudahan kita mendapatkan berbagai fadhilah (keutamaan) tauhid yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada muwahhidun (orang-orang yang bertauhid). Pelajaran Kedua, Berbakti kepada Orang Tua Allah subhanahu wa ta’ala melanjutkan surat Luqman dengan firman-Nya, وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤ “Dan Kami mewasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu’.” (Luqman: 14) As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintah manusia untuk menegakkan hak orang tua setelah Allah memerintah mereka—melalui nasihat Luqman kepada putranya—untuk menegakkan hak-Nya untuk diibadahi dan menjauhi kesyirikan, yang perintah menjauhi syirik ini berkonsekuensi penegakan tauhid dan seluruh hak Allah subhanahu wa ta’ala. Kami mewasiatkan kepada manusia, yaitu menugasinya dan menjadikan perintah ini sebagai wasiat yang harus ia penuhi, lalu kelak, di akhirat, Allah subhanahu wa ta’ala meminta pertanggungjawabannya atas tugas ini, apakah ia menjaganya atau tidak. Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan manusia akan kebaikan ayah ibunya yang telah membesarkannya siang dan malam dengan jerih payah yang luar biasa. Ibunya mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, melahirkannya dengan perjuangan, menyusuinya selama dua tahun, terus dan terus bersama sang ayah mengurusi, mendidik, dan memeliharanya, serta memberikan berbagai kebutuhan hidupnya semasa kecilnya. Ini semuanya melazimkan kebaktian dan perbuatan baik seorang anak kepada orang tua sepanjang hayatnya; kepada ibunya, kemudian kepada ayahnya. Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan tarbiyah yang diberikan seorang ibu kepada putranya, kelelahan ibu, kesulitan yang dihadapinya tatkala ia begadang siang dan malam untuk mengurusi sang putra, agar anak mengingat kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mendahului ini semua. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan katakanlah, ‘Wahai Rabbku, sayangilah keduanya karena keduanya telah mendidikku semasa kecilku’.” Oleh karena itu, Allah berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu, karena Aku akan membalasmu dengan balasan yang paling besar atas syukurmu itu.” Millah (agama) yang sempurna ini telah menjadikan birrul walidain sebagai kewajiban yang bersifat ‘aini (individual). Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan (setelah wasiat birrul walidain), Allah memerintah manusia untuk bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberinya berbagai nikmat, kemudian bersyukur kepada kedua orang tua yang telah mendidik dan merawatnya dengan kasih sayang sampai kokoh kekuatannya. Adalah Allah tempat kembali manusia, yang ketika ia kembali, Allah subhanahu wa ta’ala akan menanyainya tentang realisasi syukurnya terhadap berbagai nikmat Allah dan berbagai kebaikan orang tuanya kepadanya. Allah subhanahu wa ta’ala kembali berfirman dengan ayat yang akan menjadi tolok ukur bakti seorang anak, وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٥ “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan-Ku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15) Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini dan ayat yang sebelumnya adalah kalimat sisipan di antara wasiat Luqman kepada putranya. Hal ini bisa dipahami, karena termasuk cara menjaga kewibawaan orang tua adalah tidak langsung memerintah anak untuk berbakti kepada mereka. Namun, bakti adalah hasil yang nyata dari keberhasilan pendidikan adab orang tua terhadap anak, sehingga anak tidak perlu diperintah untuk berbakti kepadanya. Al-Qurthubi rahimahullah juga menyebutkan pendapat lain bahwa kedua ayat ini termasuk wasiat Luqman kepada anaknya. Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan hal ini dari Luqman, “Luqman berkata kepada putranya, ‘Janganlah engkau menyekutukan Allah dan janganlah engkau menaati kedua orang tuamu di dalam kesyirikan, karena Allah mewasiatimu untuk menaati keduanya di dalam perkara yang bukan termasuk kesyirikan dan kemaksiatan kepada-Nya’.” Al-Qurthubi rahimahullah menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa dua ayat ini turun tentang Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang ibunya mogok makan untuk mengancamnya agar mau keluar dari Islam. Allah subhanahu wa ta’ala membimbing Sa’d dan orang-orang beriman yang berposisi sama dengannya untuk tidak menaati siapa pun, termasuk kedua orang tua, di dalam kemaksiatan kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim, لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ “Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam memaksiati al-Khaliq.” Di sisi lain, Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan agar anak tetap mempergauli orang tua dengan makruf, bagaimanapun kondisi keimanan orang tua. Anak harus tetap hormat dan beradab kepadanya. Allah berfirman, “… dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” Hal ini sebagaimana Ibrahim ‘alaihissalam ‘ yang tetap menjaga kesantunan bahasanya tatkala berbicara dengan Azar, ayahnya. Demikianlah syariat yang mulia ini membimbing pemeluknya untuk senantiasa berbakti, mencurahkan seluruh bentuk kebaikan kepada kedua orang tua, dan menghindarkan mereka dari seluruh keburukan, semaksimal kemampuan anak. Adapun kebaikan terbesar adalah seruan kepada orang tua untuk merengkuh al-haq. Meski demikian, batasan perbuatan baik ini sangatlah jelas: ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai bingkai ketaatan kepada orang tua. Apabila orang tua kafir, anak tidak boleh menaati seruan kekafiran mereka. Anak hanya bisa mendoakan hidayah bagi orang tua kala mereka masih hidup, dan tidak ada bentuk doa yang lain. Di samping itu, anak tetap berbuat baik dan menjaga kesantunan sebagai realisasi perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan sebagai bentuk dakwah kepada orang tua. Demikianlah dua wasiat pertama Luqman kepada sang putra, wasiat agung untuk bertauhid dan berbakti kepada orang tua. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan faedah yang banyak kepada kita dengan dua wasiat ini, dan memberikan kepada kita kesempatan untuk mengkaji nasihat-nasihat hikmah Luqman selanjutnya. Wallahu ta’ala a’lam bish shawab. (Disarikan dari kitab-kitab tafsir Ibnu Katsir, al-Qurthubi, ath-Thabari, dan asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahumullah ajma’in) Sumber : Majalah Qonitah Edisi 16 | Arsip qonitah.com
3 tahun yang lalu
baca 11 menit