Menurut jumhur ulama, barang yang tidak ditakar dan ditimbang seperti kain, hewan dan lain sebagainya boleh dibeli dengan barang sejenis dan sebanding atau tidak demikian. Pembayaran juga boleh secara nasi’ah (dengan tenggang waktu) atau tidak, yaitu sebagian barang ditangguhkan penyerahannya, dan uang muka dibayar saat transaksi.
Agar tidak terjadi transaksi yang terlarang yaitu hutang dengan hutang, maka disyaratkan menyebutkan jenis barang yang akan diserahkan dan menjelaskan jumlah dan sifatnya serta ditentukan waktu penyerahannya sehingga tidak terjadi penipuan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin `Amr bin al-`Ash radhiyallahu `anhuma berkata,
” Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam menyiapkan pasukan perang dengan mengendarai unta dari unta zakat hingga unta zakat tersebut habis, namun masih tersisa beberapa orang yang belum mendapatkan jatah tunggangan unta. Lantas Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: “Belilah unta dengan unta-unta muda zakat, jika unta-unta zakat terkumpul maka akan kami berikan gantinya kepada mereka (para penjual)”. Lantas aku membeli seekor unta dengan dua dan tiga ekor unta muda hingga selesai. Kemudian Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam membayarnya dengan unta zakat.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya, dan ini adalah redaksinya, juz: 2 hal: 171. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan ad-Daruquthni dan dishahihkan olehnya. Al-Hafiz Ibnu Hajar Berkata: “Semua sanadnya tsiqat (terpercaya)”. Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Sahihnya juz: 3 hal: 41 bab: Bai`u al-`Abid wa al-Hayawan bi al-Hayawan Nasi’atan (Menjual budak dan hewan dengan hewan secara nasi’ah). Dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah membeli hewan tunggangan dengan empat ekor unta dengan jaminan, yang akan diserahkan pemiliknya di ar-Rabadha.)
Ibnu Abbas berkata: “Terkadang seekor unta itu lebih baik dari pada dua ekor.” Rafi` bin Khadij radhiyallahu `anhu pernah membeli seekor unta dengan dua ekor, ia menyerahkan salah satunya, lalu berkata: “Saya akan menyerahkan yang satunya lagi besok insya Allah.”
Adapun beberapa hadits yang melarang transaksi binatang sejenis secara nasi’ah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Kitab Jami’-nya dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, dari Samrah radhiyallahu `anhu,
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam melarang jual beli hewan dengan hewan (barter) secara nasi’ah (dengan tenggang waktu).”
Menurut Imam Ahmad beberapa hadits tentang larangan tersebut terdapat `illah (cacat), dia berkata: “Tidak ada satupun hadits yang sahih.” Abu Dawud barkata: “Jika terdapat perbedaan beberapa hadits dari Rasulullah Shallalahu `Alaihi wa Sallam, maka kami melihat apa yang diamalkan oleh para sahabat setelah beliau wafat.” Banyak riwayat mutawatir dari para sahabat radhiyallahu `anhum dan para tabi’in yang menyatakan bolehnya transaksi hewan sejenis dan tidak sebanding secara nasi’ah (dengan tenggang waktu).
Juga ada perintah dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam seperti yang tersebut di atas. Dengan demikian itu menunjukkan ada hadits sahih dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, dan hadits yang melarang jual beli dengan cara tersebut tidak lebih kuat dari pendapat yang sebaliknya. Berdasarkan hal itu transaksi tiga puluh ekor kambing dengan sejenisnya diperbolehkan, satu kambing dengan satu kambing atau lebih dengan tambahan seratus riyal atau kurang dari itu atau lebih, setiap ekornya. Baik itu dengan mensyaratkan tambahan seratus riyal tersebut dibayar saat transaksi atau dibayar saat menyerahkan tiga puluh ekor kambing dengan tenggang waktu tertentu. Dengan syarat menjelaskan jenis, sifat dan jumlahnya serta menentukan waktu penyerahannya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.