Setelah terbenam matahari pada hari Arafah, 9 Dzulhijjah 1404 H, saya dan teman saya pergi membawa mobil masing-masing. Kami berangkat bersama para wanita, ditambah dengan sejumlah pria dan anak-anak.
Kami berangkat dari Arafah ke Muzdalifah bersama dengan jamaah haji lainnya. Setelah beberapa lama menempuh perjalanan yang memakan waktu tidak sampai tengah malam, kami tiba di Muzdalifah.
Pada awalnya, para askar tidak mengizinkan kami memasuki tanah kosong. Bahkan, masing-masing anggotanya menghadang kendaraan kami dengan pukulan sambil berkata , "Jalan! Jalan ke depan!". Ketika kami sampai di tengah Muzdalifah, kami tidak dapat mengakses pintu masuk ke tanah kosong. Pintu-pintu masuk itu telah penuh sesak dengan mobil jamaah haji lainnya, yang memang jumlahnya--pintu masuknya--sedikit.
Sedangkan sisi-sisinya telah diblokade dengan tanggul dan besi penghalang, sehingga mobil tidak dapat melintasinya dan tidak diizinkan berhenti di sana. Sementara polisi memerintahkan kami untuk bergerak, atau mengancam kami dengan pukulan.
Benar saja mereka memukuli kendaraan-kendaraan dan memaksa kami keluar area sebelum sempat melaksanakan salat Magrib dan Isya, padahal kami telah menundanya hingga mendekati tengah malam.
Setelah mereka mengeluarkan kami dari Muzdalifah, dengan terpaksa kami pun berpencar. Teman saya pergi melempar jamrah `aqabah dan tawaf ifadhah karena dia tidak dapat kembali lagi ke Muzdalifah, lantaran tidak mengetahui jalan kembali ke sana.
Sedangkan saya berangkat mengikuti rute ke Mina lalu ke Mekah, termasuk di antaranya ke Arafah dan kembali lagi ke Muzdalifah mendekati akhir malam, setelah usaha yang berat dan melelahkan. Pertanyaan saya:
1. Adakah kewajiban bagi teman saya dan orang-orang yang bersamanya untuk membayar dam (denda) karena tidak bermalam di Muzdalifah, sedangkan dia terpaksa melakukannya, ataukah tidak?
2. Apakah siklus dengan tingkat kesulitan yang berat seperti itu harus saya jalankan sepanjang malam, padahal belum tentu saya dapat bermalam di Mina, karena waktunya singkat?
Saya berharap Anda dapat memberikan pencerahan. Perlu diketahui bahwa di sana terdapat banyak tempat kosong yang tidak mungkin kami jangkau karena adanya penghalang, dan tempat-tempat lainnya yang sudah terhalang dengan banyaknya tenda dan lain-lain.
Jika persoalannya seperti yang telah disebutkan, maka tidak ada kewajiban bagi masing-masing dari Anda berdua, dan begitu juga jamaah haji yang ikut bersama Anda berdua untuk membayar fidyah (tebusan) karena tidak bermalam di Muzdalifah.
Sebab, Anda telah berupaya sekuat tenaga untuk bermalam, namun pada akhirnya tidak terlaksana. Allah Ta’ala berfirman,
اَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
Dan Allah Ta’ala berfirman,
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak berkehendak menyulitkanmu” (QS. Al-Maaidah : 6)
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
” Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghaabun : 16)
Adapun orang yang melempar jamrah `aqabah, mengerjakan thawaf ifadhah, dan sai sebelum tengah malam, maka apa yang dilakukannya itu tidak sah. Dengan demikian, dia wajib mengulangi thawaf, sai, dan lempar jumrah. Pengulangan untuk mengerjakan thawaf dan sai tidak ada batasan waktu, namun yang harus dilakukan adalah menyegerakannya setelah mengetahuinya.
Adapun yang terkait dengan melempar jamrah, maka dia wajib membayar dam jika tidak mengulanginya (sesuai waktu yaitu) pada empat hari di Mina, tepatnya pada Idul Adha dan hari-hari Tasyriq.
Apabila telah melewati pertengahan malam, maka itu sah dan tidak berdosa dalam hal itu, dengan izin Allah. Anda mendapatkan balasan pahala atas usaha yang Anda lakukan dan segala kesulitan yang menimpa.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.