MENSYUKURI KERINGANAN ALLAH DALAM BERIBADAH DI RUMAH (RENUNGAN IBADAH SAAT PANDEMI CORONA)
Setiap muslim seharusnya memahami bahwa Nabi dan para Sahabat adalah teladan utama dalam semangat ibadah. Namun, dalam kondisi tertentu, mereka mengambil rukhshah (keringanan) untuk menghindar dari kemudaratan yang lebih besar dan kasih sayang mereka untuk kaum muslimin.
Bagaimana semangat para Sahabat Nabi untuk mendatangi shalat 5 waktu berjamaah di masjid, terekam dalam ungkapan Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu:
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
Dan sungguh aku melihat keadaan kami (para Sahabat Nabi) tidaklah tertinggal darinya (shalat berjamaah di masjid) kecuali seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Sungguh, ada seorang laki-laki yang sampai dipapah oleh dua orang laki-laki (lain) hingga diberdirikan di shaf (H.R Muslim)
Jadi, jangankan shalat Jumat, shalat 5 waktu berjamaah di masjid saja para Sahabat Nabi begitu bersemangat. Namun, ketika turun hujan lebat, lafadz adzan ada sedikit perubahan. Terdapat anjuran untuk tidak usah mendatangi masjid shalat Jumat, namun diperintahkan untuk shalat di rumah saja (shalat Zhuhur).
Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhu pernah menerapkan hal itu sebagai sunnah dari Nabi shollallahu alaihi wasallam. Pada saat hari Jumat, beliau perintahkan kepada muadzin untuk mengganti lafadz hayya alash sholaah menjadi sholluu fii buyuutikum, yang artinya: sholatlah di rumah-rumah kalian. .
Bagi banyak orang yang belum mengenal sunnah Nabi tersebut, tentu keheranan dan menganggap sebagai sesuatu yang aneh. Kemudian Ibnu Abbas menyampaikan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا قَالَ فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ
Ibnu Abbas berkata kepada muadzdzinnya di hari (Jumat) yang hujan: Jika engkau selesai mengucapkan ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH, janganlah mengucapkan: HAYYA ‘ALAS SHOLAAH. Ucapkanlah: SHOLLUU FII BUYUUTIKUM (Sholatlah di rumah-rumah kalian). Maka seakan-akan orang-orang menganggap itu hal yang sangat aneh. Ibnu Abbas pun berkata: Hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (maksud Ibnu Abbas adalah Rasulullah, pent). Sesungguhnya (shalat) Jumat (secara asal) adalah kewajiban. Namun aku tidak suka membuat kalian kesulitan berjalan di tanah liat dan (permukaan) yang licin (H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz sesuai riwayat al-Bukhari).
Subhanallah, demikianlah orang yang ‘alim, lautan ilmu. Tidak sekedar ngerti, tapi paham benar dengan pemahaman yang mendalam dan luas. Tidak sekedar berilmu, beliau memiliki perasaan kasih sayang kepada kaum muslimin. Benar-benar Ulama Robbaniy.
Ibnu Abbas paham benar bahwa shalat Jumat itu suatu kewajiban bagi laki-laki muslim yang mukim dan tidak sakit. Namun, hujan lebat yang bisa berpotensi menyulitkan, sudah merupakan keringanan untuk tidak menghadirinya.
Padahal, sebenarnya sekedar hujan tidaklah otomatis membuat orang sakit. Tapi berpotensi menyebabkan orang sakit. Sakitnya pun bisa jadi tidak langsung saat terkena hujan, tapi baru beberapa waktu kemudian.
Sedangkan Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallahu anhu juga pernah mengumandangkan adzan dengan lafadz: Shollu fi rihaalikum (shalatlah di tempat-tempat tinggal kalian). Beliau menilai ada 3 keadaan yang membuat seseorang tidak harus menghadiri panggilan adzan ke masjid, yaitu: cuaca sangat dingin, hujan, dan angin kencang.
Mari kita simak hadits berikut:
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ أَوْ ذَاتُ رِيحٍ فِي السَّفَرِ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ
Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar mengumandangkan adzan untuk shalat pada malam yang sangat dingin disertai angin kencang. Kemudian di akhir adzannya, Ibnu Umar mengucapkan: ALAA SHOLLU FII RIHAALIKUM... ALAA SHOLLU FII RIHAALIKUM... ALAA SHOLLU FII RIHAALIKUM...(Sholatlah di tempat tinggal...sholatlah di tempat tinggal..sholatlah di tempat tinggal)...Karena sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan muadzin jika malam yang sangat dingin, atau hujan, atau angin kencang, di saat safar, untuk mengumandangkan: ALAA SHOLLUU FIR RIHAAL (sholatlah di tempat tinggal) (H.R Ahmad dan Ibnu Awaanah, dinilai sanadnya shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir)
Asy-Syaukaaniy rahimahullah menyatakan:
وفيه أن كلا من الثلاثة عذر في التأخر عن الجماعة ونقل ابن بطال فيه الإجماع
Dan dalam hadits ini (terdapat pelajaran) bahwasanya seluruh dari ketiga hal itu (sangat dingin, hujan, dan angin kencang) adalah udzur untuk tidak menghadiri shalat berjamaah. Dan Ibnu Baththol menukilkan ijmak (kesepakatan ulama) akan hal itu (Nailul Authar (3/190)).
Perhatikan hal ini...Keluar rumah untuk menghadiri panggilan adzan di masjid saat cuaca sangat dingin, tidaklah otomatis membuat orang sakit. Ada orang yang sudah biasa dengan dingin, tidak terpengaruh. Ada pula yang sangat terpengaruh. Jadi, ia berpotensi menyebabkan seseorang sakit. Biidznillah. Namun panggilan adzan dengan tambahan lafadz itu menganjurkan agar semua yang mendengar adzan untuk shalat di rumah.
Kita kembali lagi tentang hujan sebagai udzur untuk tidak menghadiri panggilan adzan ke masjid. Kita perlu melihat perbuatan Sahabat lain sebagai saksi sejarah bagaimana penerapannya di masa Nabi. Ternyata, sekedar hujan rintik saja, sudah membuat lafadz adzan yang sebelumnya panggilan agar datang ke masjid berubah menjadi anjuran untuk shalat di rumah. Mari perhatikan pemahaman Sahabat Nabi Usamah bin Umair radhiyallahu anhu berikut ini:
عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ قَالَ خَرَجْتُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ فَلَمَّا رَجَعْتُ اسْتَفْتَحْتُ فَقَالَ أَبِي مَنْ هَذَا قَالَ أَبُو الْمَلِيحِ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ وَأَصَابَتْنَا سَمَاءٌ لَمْ تَبُلَّ أَسَافِلَ نِعَالِنَا فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Dari Abul Malih beliau berkata: Aku pernah keluar (menuju masjid) pada malam yang hujan. Ketika aku kembali ke rumah, aku meminta dibukakan pintu. Kemudian ayahku (Usamah bin Umair) bertanya (dari balik pintu): Siapa? Aku menjawab: ‘Abul Malih’. Kemudian ayahku berkata: Sungguh aku pernah bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Hudaibiyah kemudian kami ditimpa hujan yang tidak sampai membasahi bagian bawah sandal-sandal kami, kemudian berserulah muadzin Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam: SHOLLUU FII RIHAALIKUM (‘Sholatlah di tempat tinggal kalian’) (H.R Ibnu Majah, Ahmad)
Saat hujan masih belum sampai membasahi bagian bawah sandal, artinya belum deras, sudah ada pengubahan lafadz adzan. Justru dianjurkan shalat di tempat masing-masing. Padahal itu masih hujan rintik. Belum deras. Ada 2 kemungkinan. Setelah itu menjadi deras, atau justru berhenti hujannya. Tapi kumandang adzan sudah bisa diubah.
Memang di sini ada pembahasan Ulama tentang hal itu. Sebagian Ulama memandang beda antara adzan shalat 5 waktu dengan adzan untuk shalat Jumat. Kalau shalat 5 waktu, cukup hujan rintik saja sudah ada keringanan untuk tidak hadir di masjid. Tapi kalau shalat Jumat, harus berupa hujan lebat. Tentang masalah ini kita tidak membahasnya lebih jauh.
Karena itu sebagian Ulama menilai bahwa kekhawatiran akan terjadinya kemudaratan pada diri, harta, maupun keluarga, adalah udzur untuk tidak menghadiri shalat berjamaah atau bahkan shalat Jumat di masjid.
Ibnu Qudamah al-Maqdisiy rahimahullah (wafat 620 Hijriyah) menyatakan:
وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِهِمَا الْخَائِفُ ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { الْعُذْرُ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ } وَالْخَوْفُ ، ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ ؛ خَوْفٌ عَلَى النَّفْسِ ، وَخَوْفٌ عَلَى الْمَالِ ، وَخَوْفٌ عَلَى الْأَهْلِ
Dan termasuk udzur dalam meninggalkan keduanya (shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid) adalah orang yang takut (khawatir). Berdasarkan sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam (yang artinya): udzur itu adalah perasaan takut dan sakit. Perasaan takut (kekhawatiran itu) ada 3 macam, yaitu takut terhadap diri sendiri (jiwa), takut terhadap harta, dan takut terhadap keluarga (al-Mughniy (3/110))
Alaauddin Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mirdaawiy (wafat tahun 885 Hijriyah) rahimahullah menyatakan:
وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوْثِ الْمَرَضِ
Dan termasuk udzur juga untuk meninggalkan keduanya (shalat Jumat dan shalat berjamaah) adalah karena kekhawatiran terjadinya penyakit (al-Inshaaf fii Ma’rifatir Raajih minal Khilaaf ‘alaa Madzhabil Imaam Ahmad bin Hanbal (2/210))
Ibnun Najjaar rahimahullah (wafat 972 Hijriyah) menyatakan:
يُعْذَرْ بِتَرْكِ جُمْعَةٍ وَجَمَاعَةٍ مَرِيْضٌ وخَائِفٌ حُدُوثَ مَرَضٍ لَيْسَا بِالْمَسْجِدِ
Memiliki udzur untuk meninggalkan (shalat) Jumat dan jamaah adalah orang yang sakit dan orang yang takut terjadinya sakit yang keduanya tidak berada di masjid (Muntahaa al-Iroodaat (1/319)).
Kekhawatiran sakit, karena dugaan kuat atau bahkan keyakinan, membuat adanya keringanan dalam pelaksanaan ibadah. Sebagai contoh, saat cuaca sangat dingin, seorang yang junub boleh untuk tidak mandi janabah diganti dengan tayammum. Kalau ia khawatir bisa sakit. Sebagian Ulama memberi catatan, selama ia tidak memungkinkan mandi dengan air hangat.
Mari kita simak pernyataan dari al-Imam al-Bukhari berikut ini, beliau menyatakan dalam kitab yang masyhur dikenal sebagai Shahih al-Bukhari:
بَاب إِذَا خَافَ الْجُنُبُ عَلَى نَفْسِهِ الْمَرَضَ أَوْ الْمَوْتَ أَوْ خَافَ الْعَطَشَ تَيَمَّمَ وَيُذْكَرُ أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ أَجْنَبَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فَتَيَمَّمَ وَتَلَا { وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا }
Bab: Jika seorang yang junub mengkhawatirkan pada dirinya sakit atau mati atau takut kehausan, ia boleh bertayammum. Dan disebutkan bahwasanya Amr bin al-Ash pernah mengalami junub di malam yang sangat dingin, kemudian beliau bertayammum. Beliau pun membaca ayat:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Pengasih terhadap kalian (Q.S anNisaa’ ayat 29)(Shahih al-Bukhari, Kitab ke-7: Tayammum, Bab ke-6)
Secara lebih lengkap, haditsnya ada dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dan lainnya. Bahwa Sahabat ‘Amr bin al-‘Ash ditunjuk sebagai pimpinan pasukan dalam perang Dzatus Salaasil. Pada malam harinya beliau mimpi basah, sehingga mengalami junub. Namun, cuaca sangat dingin sekali. Beliau khawatir, jika mandi junub, bisa menyebabkan beliau mati. Maka beliaupun bertayammum. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa beliau berwudhu’ saja, tidak mandi janabah. ‘Amr bin al-‘Ash ini menjadi imam shalat Subuh dalam kondisi demikian. Hal itu diketahui oleh Sahabat yang lain dan disampaikan kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ketika Nabi menanyakan alasannya kepada ‘Amr bin al-Ash, beliau berdalil dengan firman Allah surah anNisaa’ ayat 29 itu, bahwa Allah melarang membunuh diri kalian karena Allah Maha Penyayang terhadap kalian. Nabi pun tersenyum dan diam sebagai pembenaran terhadap sikap itu.
Perhatikan kefakihan Sahabat Nabi tersebut....
Kalau kita perhatikan keadaan kita di masa pandemi Corona seperti saat tulisan ini dibuat, banyak Ulama dan pemerintah muslim yang menganjurkan kaum muslimin untuk beribadah shalat di rumah saja. Hal ini adalah sikap yang benar.
Karena, sifat virus Corona (SARS-CoV-2) bisa menjangkiti seseorang tanpa disadari. Seseorang bisa menjadi pembawa virus itu tanpa terpantau gejalanya. Orang yang sebenarnya membawa virus Corona tersebut tapi tidak menunjukkan gejala, disebut dengan OTG (Orang Tanpa Gejala).
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pada 14 Mei 2020 di Gedung FMIPA Unpad mengungkapkan bahwa 70% pasien yang terkonfirmasi COVID-19 di Jawa Barat saat itu adalah OTG (Orang Tanpa Gejala).
Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengingatkan potensi penyebaran virus Covid-19 melalui orang tanpa gejala (OTG) mencapai 75 persen. Hal itu beliau sampaikan dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta pada 10 Mei 2020.
Bahaya Covid-19 ini sudah demikian nyata. Hingga 19 Mei 2020 tercatat yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 18.496 orang. Jumlah yang sudah meninggal dunia dengan sebab itu adalah 1.221 orang. Sedangkan di dunia, tercatat 4,81 juta jiwa terkena Covid-19 dan telah meninggal sebanyak 319 ribu jiwa.
Kalau seseorang memilih untuk tidak shalat di masjid sementara waktu selama bahaya pandemi Corona ini masih mengancam, itu adalah langkah yang bijak. Sikapnya akan bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, maupun kaum muslimin yang lain.
Untuk hujan, cuaca sangat dingin, maupun angin kencang saja, bisa menjadi rukhshah (keringanan) untuk tidak mendatangi masjid. Padahal itu bukanlah sesuatu yang otomatis langsung membuat orang sakit. Hanya berpotensi membuat orang menjadi sakit. Apalagi dengan virus Corona yang berpotensi tidak hanya membuat satu orang menjadi sakit, tapi ia bisa membawa dan menularkannya –dengan izin Allah- kepada orang-orang yang juga tidak hadir di masjid saat itu. Bisa membahayakan anak kecil, orang lanjut usia, ataupun orang dengan penyakit bawaan lainnya, dengan dampak risiko yang lebih besar.
Saudaraku, tidaklah selalu perbuatan yang lebih besar perjuangannya, lebih membuat capek, membawa pahala yang lebih besar. Dalam kondisi tertentu, mengambil keringanan, itulah yang diharapkan.
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ
Sesungguhnya Allah suka keringanannya diambil, sebagaimana ia suka kewajiban-kewajiban terhadap-Nya ditunaikan (H.R al-Bazzar dan atThobaroniy dari Ibnu Abbas, dishahihkan Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albaniy)
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
Sesungguhnya Allah suka diambil keringanan-keringanan dari-Nya sebagaimana Dia benci dilakukan kemaksiatan-kemaksiatan terhadap-Nya (H.R Ahmad dari Ibnu Umar, dinyatakan sanadnya shahih oleh oleh al-Mundziri dan Syaikh Ahmad Syakir)
Bahkan Nabi shollallahu alaihi wasallam mencela seseorang yang memaksakan diri untuk beribadah dalam kondisi menyulitkan dirinya bahkan kemudian merepotkan orang lain, padahal ada keringanan pada dia untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا صَائِمٌ فَقَالَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ (رواه البخاري ومسلم)
Dari Jabir bin Abdillah –semoga Allah meridhai mereka- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam saat safar melihat kerumunan orang dan ada satu laki-laki yang dinaungi (agar tidak terkena terik panas langsung). Nabi bertanya: Mengapa ini? Para Sahabat berkata: Ia berpuasa. Nabi bersabda: Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa saat safar (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Artinya, ia tetap memaksa berpuasa saat safar, dalam kondisi menyulitkan dia. Kemudian justru ia pingsan dan merepotkan orang lain. Nabi menyatakan bahwa tidak ada kebaikan untuk yang memaksa berpuasa dalam kondisi demikian. Karena semestinya ia mengambil keringanan tidak berpuasa saat safar.
Ada seseorang yang bernadzar untuk berjalan kaki menuju Masjidil Haram. Ternyata, untuk memenuhi nadzarnya itu ia sampai harus dipapah oleh dua orang. Ia menyusahkan dirinya sendiri dan merepotkan orang lain. Nabi pun mencela perbuatan tersebut dan menyatakan bahwa Allah tidak butuh dengan sikap dia menyiksa dirinya sendiri tersebut, serta menyuruh orang itu untuk naik kendaraan.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى شَيْخًا يُهَادَى بَيْنَ ابْنَيْهِ قَالَ مَا بَالُ هَذَا قَالُوا نَذَرَ أَنْ يَمْشِيَ قَال َ إِنَّ اللَّهَ عَنْ تَعْذِيبِ هَذَا نَفْسَهُ لَغَنِيٌّ وَأَمَرَهُ أَنْ يَرْكَبَ
Dari Anas –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasallam melihat seorang tua dipapah oleh kedua anak lelakinya. Nabi bertanya: Mengapa orang ini? Mereka berkata: Ia bernadzar untuk berjalan. Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah sangat tidak butuh dengan sikap dia menyiksa dirinya sendiri. Nabi pun memerintahkan kepadanya untuk naik kendaraan (H.R al-Bukhari)
Seseorang yang memaksakan diri ke masjid padahal ada keringanan untuk tidak melaksanakan hal itu, dikhawatirkan justru ia tercela. Jika ternyata menyebabkan kesulitan untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Terakhir, berhati-hatilah untuk mengimbau atau menganjurkan agar tetap melaksanakan ibadah tertentu, padahal ada keringanan terhadapnya. Apalagi jika bisa menyebabkan kematian bagi seseorang.
Apabila kita memerintahkan sesuatu hal yang asalnya wajib, namun sebenarnya dalam kondisi itu ada keringanan, hati-hati untuk mewajibkannya. Apalagi jika nantinya berimplikasi tanpa kita sadari menjadi sebab kematian orang lain.
Ada seorang Sahabat Nabi yang saat dalam suatu safar perang di jalan Allah mengalami luka di kepalanya. Kemudian Sahabat yang luka kepalanya ini mengalami ihtilam (mimpi basah), sehingga ia mengalami junub. Ia pun bertanya kepada orang lain:
هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً
Apakah kalian mendapati adanya keringanan padaku untuk tidak mandi wajib?
Orang yang ditanya saat itu menjawab: Tidak ada keringanan bagimu. Akhirnya Sahabat itu tetap mandi wajib, dan menyebabkan ia meninggal dunia.
Ketika sampai berita itu kepada Nabi, Nabi pun marah dan menyatakan:
قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّه
Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka (H.R Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah)
Nabi menganggap mereka yang memfatwakan masih harus mandi wajib seperti biasa dalam kondisi seperti itu adalah sebagai pembunuh orang tersebut. Karena dengan sebab fatwa dan anjuran dia kemudian orang itu meninggal dunia.
Maka berhati-hatilah untuk menyatakan keharusan sesuatu, padahal dalam kondisi tertentu sesuatu itu ada keringanan untuk tidak dilaksanakan. Apalagi tanpa kita sadari kemudian hal itu menjadi sebab meninggalnya muslim lain.
Nyawa seorang muslim sangat berharga di sisi Allah.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, pertolongan, ‘afiyat, dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin.
BACA JUGA : KESALAHAN-KESALAHAN SELAMA WABAH COVID-19
(Abu Utsman Kharisman)
WA al I'tishom