sahabat

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah pembunuhan para penghafal al quran

PEMBUNUHAN PARA PENGHAFAL AL-QUR'AN Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc حفظه الله تعالى Kisah Pembunuhan Para Penghafal Al Quran Ka'ab bin Zaid bin An-Najjar رضي الله عنه berada di tengah-tengah tumpukan mayat Syuhada. Beliau terluka parah. Namun, tak ada yang menyangka ia akan terus hidup. Allah سبحانه وتعالى takdirkan Ka’ab berumur panjang hingga mengikuti perang Khandaq bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam, dan syahid di perang tersebut. Apakah gerangan yang terjadi pada diri Ka’ab bin Zaid رضي الله عنه? Bersama jasad-jasad siapa tubuh beliau berlumur darah? Beliaulah saksi hidup kekejian dan penghianatan kuffar (orang-orang kafir) terhadap perjanjian bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada peristiwa Bi’r Ma’unah. Tragedi berdarah Bi’r Ma’unah mengantarkan semua shahabat, tujuh puluh ahli Al-Quran menemui Rabb-Nya dalam keadaan Syahid. Kecuali Ka’ab bin Zaid. Bagaimana kisahnya? Perang Uhud masih menyisakan kesedihan. Tujuh puluh shahabat terbaik, dari kaum Muhajirin dan Anshar meninggal. Hamzah bin Abdul Muththalib, Mush'ab bin Umair, Abdullah bin Haram, dan sederet nama patriot Islam menghembuskan nafas terakhir untuk Allah, syahid di bumi Uhud. Selang beberapa bulan, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Dua peristiwa, Ar-Rajii' dan Bi'r Ma'unah menjadi saksi pengorbanan shahabat dalam menyebarkan IsIam. Sekaligus bukti kegigihan mereka menegakkan kalimat Allah di muka Bumi. SEBAB PENGIRIMAN SATUAN PASUKAN DALAM PERISTIWA BI’R MA'UNAH Imam Muslim رحمه الله meriwayatkan dalam kitab Shahihnya¹, bahwa sebab pengiriman satuan perang ini adalah datangnya serombongan tamu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta beliau agar mengutus shahabat-shahabat untuk mangajari mereka AI-Quran dan As-Sunnah. Selaras dengan riwayat Muslim rahimahullah, Al-Bukhari رحمه الله menyebutkan bahwa sebab pengiriman rombongan shahabat adalah permohonan Ri’l dan Dzakwan dari Bani Sulaim, dan Ushayyah dari Bani Lahyan, mereka memohon bantuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka beIiau mengutus tujuh puluh shahabat. Dalam referensi Sirah Nabawiyah² disebutkan bahwa suatu ketika Abu Barra’, Amir bin Malik bin Ja‘far, pembesar Bani Amir, yang dikenal sebagai ahli tombak menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam .di Madinah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menawarkan Islam kepadanya. Abu Barra' tidak menerima ajakan Islam, namun tidak pula menolaknya. Abu Barra' kemudian berkata, "Wahai Rasulullah, seandainya Engkau mengutus shahabat-shahabatmu ke penduduk Najd untuk mengajak mereka kepada Islam. Aku berharap mereka mau menerima seruan tersebut." Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menjawab, "Aku mengkhawatirkan mereka dari berbagai kemungkinan buruk yang dilakukan oieh penduduk Najd." Kekhawatiran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat beralasan. Wilayah Najd saat itu masih dikuasai kuffar. Abu Barra’ menyahut, "Aku yang menjamin keselamatan mereka." Mendapat jaminan Abu Barra‘, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun mengutus 70 orang shahabat untuk membawa misi dakwah. Dari semua riwayat-riwayat di atas, mungkin kita katakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutus para shahabat dengan semua sebab itu. Pertama: permintaan Bani Sulaim, kedua: permintaan Abu Barra’. Allahu a’lam. Siapa tujuh puluh orang shahabat yang diutus Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Mereka adalah shahabat-shahabat pilihan yang disebut qurra‘ (ahli Al-Qur‘an). Hari-hari mereka dipenuhi dengan amalan shalih dan semangat menuntut ilmu. Di siang hari mereka bekerja sebagai pencari kayu bakar, hasilnya mereka sedekahkan untuk ahli suffah, shahabat-shahabat fuqara'. Adapun di malam hari, mereka tekun menegakkan shalat dan ibadah kepada Allah.³ Dengan penuh pengharapan dan tawakkal kepada Allah, berangkatlah kesatuan pasukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Al-Mundzir bin Amr رضي الله عنه dari Bani Sa'idah ditunjuk sebagai pimpinan sariyyah (pasukan kecil) itu. Dialah shahabat yang berjuluk 'aI-Mu'niq Ii Yamût', ’Sang pemberani mati, orang yang bergegas meraih syahadah (mati syahid)’.  Di bawah kepemimpinannya, berangkatlah shahabat qurra’ lainnya seperti Amir bin Fuhairah, seorang bekas budak Abu Bakar Ash-Shiddiq, Haram bin Milhan, Ka'ab bin Zaid bin An-Najjar, AI-Harits bin Ash-Shimmah, Urwah bin Asma', Nafi’ bin Budail bin Warqâ', dan shahabat-sahabat pilihan Iainnya. Mereka meninggalkan Madinah pada bulan Shafar tahun 4 hijriyah, empat bulan setelah perang Uhud. TIBA DI BI'R MA’UNAH DAN WAFATNYA HARAM BIN MILHAN Sampailah rombongan Al-Mundzir bin Amr di sebuah tempat bernama Bi‘r Ma'unah. Daerah ini berada di antara wilayah Bani Amir dan wilayah Bani Sulaim. Kedua daerah tersebut berdekatan, namun Bi'r Ma'unah lebih dekat kepada wilayah Bani Sulaim daripada wilayah Bani Amir. Setibanya di Bi’r Ma'unah, diutuslah Haram bin Milhan, saudara Ummu Sulaim bintu Milhan untuk menyampaikan surat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada musuh Allah, Amir bin Ath Thufail. Ternyata Haram رضي الله عنه tidak disambut sebagaimana mestinya seorang utusan yang terhormat. Surat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak dihiraukan sama sekali oleh Amir bin Ath Thufail. Bahkan, ia memberi isyarat kepada seseorang agar Haram bin Milham dibunuh. Tombak nan tajam melesat, ditusukkan dengan demikian kuat dari belakang tubuh Haram. Benda tajam itu menembus dadanya, merobek dada yang selama ini dipenuhi dengan Kalamullah, Al-Qur'an. Innalillahi wa inna ilaihi Raji'un. Darah bersimbah. Detik-detik kematian menghampiri shahabat yang mulia, Haram bin Milhan رضي الله عنه. Demi melihat darah segar, bukan kesedihan yang tersirat dari wajah Haram, justru kebahagiaan melingkupi relung qalbunya. Dengan lantang Haram bin Milhan, seorang yang pincang kakinya berteriak penuh kebahagiaan: اللهُ أَكْبَرُ فُزْتُ وَرَبِّ الْكَعْبَتِ "Allahu Akbar, Aku telah beruntung, Demi Rabb Ka’bah" Subhanallah, sungguh tidak terbayang kalimat indah ini terucap  Tubuh Haram bin Milhan rebah, bersama diangkatnya Roh menuju keridhaan dan ampunan Rabbul'izzah. AMIR BIN ATH THUFAIL MENGHASUT BANI AMIR DAN BANI SULAIM Kematian Al-Haram tidak cukup bagi Amir bin Ath Thufail. Dia lanjutkan makar dan pengkhianatannya dengan menghasut orang-orang Bani Amir agar memerangi rombongan qurra’. Namun mereka menolak karena adanya perlindungan Abu Barra‘. Dia pun menghasut Bani Sulaim. Ajakan ini kemudian disambut oleh Ushayyah, Ri'l, dan Dzakwan, padahal merekalah yang meminta kedatangan shahabat, dan mereka masih terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ushayyah, Ri’l, dan Dzakwan termakan hasutan lbnu Ath Thufail. Segera mereka mengepung para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Meskipun shahabat Qurra’ mencoba mengadakan perlawanan dengan senjata-senjata yang mereka bawa, namun Allah سبحانه وتعالى menghendaki kemuliaan atas mereka. Semua dibunuh, kecuali Ka’ab bin Zaid bin An-Najjar, tubuhnya terlempar, terbaring bersama jenazah lainnya dengan luka yang sangat parah. Hingga beliau selamat, bahkan menyaksikan Perang Khandaq, dan syahid di pertempuran tersebut. lbnu Hajar رحمه الله dalam Fathul Bari juga memaparkan kisah yang disebutkan Al-lmam Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Beliau mengatakan, ”Bahwasanya ada perjanjian antara kaum musyrikin dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam. Mereka adalah kelompok yang tidak ikut memerangi beliau. Diceritakan oleh Ibnu Ishaq dari para gurunya, demikian pula oleh Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab, bahwa yang mengadakan perjanjian dengan beliau adalah Bani Amir yang dipimpin oleh Abu Barra‘ Amir bin Malik bin Ja'far si Pemain Tombak. Sedangkan kelompok lain adalah Bani Sulaim. Amir bin Ath Thufail ingin mengkhianati perjanjian dengan para shahabat Rasulullah. Dia pun menghasut Bani Amir agar memerangi para shahabat. Namun, Bani Amir menolak. Kata mereka. "Kami tidak akan melanggar jaminan yang diberikan Abu Barra.” Kemudian dia menghasut Ushayyah dan Dzakwan dari Bani Sulaim. Mereka pun mengikutinya, membunuh para shahabat." Demikian secara ringkas. PASCA PERISTIWA BI’R MA’UNAH Pada saat pembantaian, Amr bin Umayyah Adh-Dhamri dan Al-Mundzir bin Uqbah bin Amir tidak bersama pasukan. Keduanya sedang mengurusi keperluan kaum Muslimin. Mereka tidak mengetahui peristiwa, melainkan karena adanya burung-burung yang mengitari tempat kejadian. Akhirnya kedua shahabat ini melihat kenyataan yang memilukan. Menyaksikan para utusan berlumuran darah, sementara kuda-kuda mereka masih berdiri. Berkatalah Al-Mundzir bin Uqbah kepada Amr bin Umayyah, "Bagaimana pendapatmu?" Amr bin Umayyah berkata, "Aku berpendapat sebaiknya kita segera menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan memberitakan kepada beliau apa yang terjadi." Namun Al-Mundzir bin Uqbah menolak dan lebih suka turun  menyerang kaum musyrikin. Ia berkata, ”Aku lebih suka terbunuh bersama Al-Mundzir bin Amr di tempat ia terbunuh." Kemudian ia menyerang kabilah tersebut dan gugur terbunuh. Adapun Amr, dia ditawan. Namun, ketika dia menyebutkan  bahwa dia berasal dari kabilah Mudhar, Amir bin Ath Thufail  membebaskannya dan hanya memotong (mencukur) rambut ubun-ubunnya. Amr bin Umayyah bergegas pulang ke Madinah. Setibanya di Al-Qarqarah, sekitar 8 burud (sekitar 177 Km) dari Madinah, dia berhenti  berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian datanglah dua laki-laki Bani Kilab dan turut berteduh di  tempat itu juga. Ketika keduanya tertidur, Amr menyergap mereka dan membunuhnya. Dia beranggapan bahwa ia telah membalas dendam para shahabatnya. Ternyata, keduanya mempunyai ikatan perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam yang tidak disadarinya. Setelah tiba di Madinah, dia ceritakan semuanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau pun berkata, "Sungguh kamu membunuh mereka berdua, tentu saya akan tebus keduanya.”5 KARAMAH IBNU FUHAIRAH Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Ayahnya, bahwa ketika orang-orang yang pergi ke Bi'r Ma’unah terbunuh, dan Amr bin Umayyah Adh-Dhamri ditawan, Amir bin Ath Thufail bertanya kepada Amr bin Umayyah, ”Siapa orang ini?" Sambil menunjuk kepada salah seorang yang terbunuh. Amr bin Umayyah menjawab, ”lni Amir bin Fuhairah.” Amir bin Ath Thufail berkata, ”Sungguh, setelah ia terbunuh, aku melihatnya diangkat ke atas, sehingga berada di antara langit dan bumi. Kemudian diletakkan kembali ke bumi." SAMPAINYA BERITA DAN TURUNNYA WAHYU KEPADA RASULULLAH Berita tentang musibah yang menimpa satuan dakwah Nabi sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui Malaikat Jibril. Berita mereka juga datang dari Amr bin Umayyah Adh Dhamri. Lalu beliau mengabarkan kematian mereka kepada para shahabat. Beliau shallallahu alaihi wasallam berkata, “Shahabat-shahabat kalian telah gugur dan mereka teIah berdoa kepada Allah, ”Wahai Rabb kami, beritahukanlah kepada saudara-saudara kami, bahwa kami ridha kepada-Mu dan Engkau ridha kepada kami." Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengabarkan hal tersebut kepada para shahabat. [H.R. Al Bukhari dari jalur Hisyam bin Urwah]. Dalam Riwayat AI-Imam Al-Baihaqi, lbnu Mas'ud رضي الله عنه menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengirim pasukan. Tidak lama kemudian Rasulullah berdiri, memuji Allah, dan berkata, "Saudara-saudara kalian telah berhadapan dengan orang-orang musyrik dan mereka gugur, hingga tidak tersisa seorang pun. Mereka telah berdoa, ‘Wahai Rabb, sampaikan kepada kaum kami bahwa kami telah ridha kepada-Mu dan Engkau telah ridha kepada kami.‘ Aku adalah utusan mereka untuk menyampaikan hal ini kepada kalian. Mereka telah ridha dan Allah meridhai mereka." Demikianlah syuhada, mereka meninggal, namun sesungguhnya mereka telah meraih kehidupan barzakh yang membahagiakan. Mereka ingin mengabarkan kabar gembira kepada kaum mukminin di dunia akan nikmat yang mereka raih. Allah سبحانه وتعالى berfirman: وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (١٦٩) فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (١٧٠) "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [Q.S. Ali lmran: 169-170]. QUNUT NAZILAH Kesedihan sangat tampak pada wajah beliau dengan tragedi Bi'r Ma’unah. Sebagaimana dikisahkan shahabat Anas bin Malik رضي الله عنه dalam riwayat Al-Bukhari. Belum pernah para shahabat melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam begitu berduka dibandingkan ketika mendengar berita ini. Dengan sebab kejadian inilah, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan qunut selama sebulan mendoakan kejelekan atas orang-orang yang membunuh shahabat-shahabat qurra‘ di Bi‘r Ma’unah. Al-Imam Al-Bukhari menceritakan dari Anas bin Malik رضي الله عنه, ”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam qunut selama satu bulan ketika para qurra‘ itu terbunuh. Dan aku belum pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam begitu berduka dibandingkan ketika kejadian tersebut.” Dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Anas bin Malik رضي الله عنه berkata, “Rasulullah ﷺ berdoa untuk kehancuran orang-orang yang telah membunuh para shahabat di Bi’r Ma'unah sebanyak tiga puluh kali setiap Shubuh. Beliau juga mendoakan untuk kehancuran Bani Ri‘l, Bani Dzakwan, Bani Lihyan, dan Bani Ushayyah, serta orang yang mendustai Allah dan Rasul-Nya." [H.R. Muslim No.1085]. Ya Allah, dengan Nama-nama dan Shifat-Mu Aku memohon kepada Mu, kumpulkanlah diri-diri kami bersama dengan Rasul-Mu dan shahabat-shahabat beliau di jannah -Mu. Ampunilah kami sebagaimana Engkau telah mengampuni mereka, dan ridhailah kami sebagaimana Engkau telah meridhai mereka. Amin. FAEDAH-FAEDAH KISAH Banyak pelajaran penting dan berharga yang mungkin kita ambil dari peristiwa Bi’r Ma'unah. Di antara faedah-faedahnya adalah: 1. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengetahui perkara ghaib. Beliau tidak mengetahui sama sekali apa yang akan terjadi atas shahabat Qurra' di Bi’r Ma’unah. lni di antara pelajaran akidah yang perlu kita tanamkan. Bahwasannya perkara ghaib hanya di sisi Allah سبحانه وتعالى. 2. Wali-wali Allah mendapatkan mushibah sebagai ujian untuk mengangkat derajat mereka sebagaimana hal ini menimpa para shahabat dalam banyak peristiwa termasuk Bi’r Ma’unah. 3. Syuhada, jasad-jasad mereka terluka di dunia namun mereka hidup mendapatkan rezeki dan kebahagiaan di sisi Rabbul 'alamin. 4. Kisah ini memberikan pelajaran agar kaum muslimin selalu waspada terhadap makar dan pengkhianatan kuffar. Mereka adalah kaum yang terus melakukan upaya penipuan demi menjebak umat Islam dalam segala aspek kehidupan. 5. Telah menjadi sunnatullah bahwa musuh-musuh Islam akan terus berupaya memadamkan cahaya agama ini. Tidak saja dengan menghalangi penyebaran dakwah Islam, bahkan bisa jadi berupaya membunuh para ulama dan dainya. Seperti makar Amr bin Ath-Thufail membunuh shahabat ahli Al-quran yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam utus kepada mereka. 6. Keberuntungan dan kebahagiaan yang sesungguhnya adalah meraih keridhaan Allah. Renungkanlah ucapan Haram bin Milhan, ”Allahu Akbar, Fuztu Birabbil Ka’bah," saat ajal menjemput. Sungguh, ucapan ini salah satu di antara bukti yang menunjukkan bagaimana shahabat memahami arti kebahagiaan dan keberuntungan. 7. Pentingnya dakwah dan pengutusan delegasi dakwah sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Perang Uhud yang menjadi sebab gugurnya tujuh puluh shahabat tidak menghalangi Rasulullah ﷺ untuk tetap mengutus delegasi yang berakhir dengan wafatnya para shahabat dalam dua peristiwa, Ar-Rajii’ dan Bi’r Ma’unah. 8. Disyariatkan Qunut Nazilah atas mushibah yang menimpa kaum muslimin 9. Perlu menjadi perhatian bahwasanya qunut yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanyalah qunut nazilah. Itupun beliau lakukan selama satu bulan, mendoakan kejelekan terhadap Bani Libyan, 'Ushayyah, dan Iain-lain. Qunut yang beliau lakukan bukanlah Qunut yang dilakukan terus menerus pada shalat shubuh. AI-lmam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik رضي الله عنه beliau berkata, "Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam qunut selama satu bulan lalu meninggalkannya.“ Kisah Amir bin Fuhairah yang diangkat ke langit di antara bukti bahwa karamah Wali-wali Allah adalah perkara yang ada dan wajib diyakini keberadaannya. 11. Bolehnya bersedih atas mushibah yang menimpa. Dan sesungguhnya kesedihan tidaklah menafikkan kesabaran sebagaimana kesedihan Rasulullah ﷺ atas peristiwa Bi’r Ma’unah. Bahkan tetesan air mata sekalipun, sebagaimana Rasulullah ﷺ meneteskan air mata saat kematian putranya, Ibrahim. Yang tercela adalah An-Niyahah, yaitu meratapi mayit dengan ratapan-ratapan jahiliah. 12. Bolehnya mengabarkan kematian saudara muslim, sebagaimana Rasulullah ﷺ kabarkan wafatnya delegasi beliau. Rasulullah ﷺ juga mengabarkan kematian Najasyi di hari kematiannya. 13. Semua apa yang menimpa kita hendaknya selalu diserahkan dan diadukan kepada Allah Yang Maha Agung. ltulah yang dilakukan Rasuluiiah ﷺ. Beliau mengadukan semua kepedihan itu kepada Allah dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Di antaranya dengan Qunut Nazilah. Demikian yang dilakukan semua Nabi dan Rasul. Adalah Nabi Ya'qub ketika cobaan demi cobaan datang mendera beliau mengadukan urusannya kepada Allah سبحانه وتعالى: قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ "Ya'qub mengatakan, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya.” [Q.S. Yusuf: 86].   14. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap adil dan selalu menetapi perjanjian meskipun kepada musuh. Lihatlah kisah di atas, ketika Amr bin Umayyah Adh-Dhamri membunuh dua orang Bani Kilab, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersama kaum Muslimin tetap bertanggungjawab membayar diat (denda). Amr bin Umayyah semula hanya berniat membalas dendam atas terbunuhnya shahabat-shahabat beliau. Ternyata yang dia bunuh adalah dua orang dari Bani Kilab yang telah mengadakan perjanjian damai dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di Madinah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tetap bertanggungjawab membayar diatnya. Semua ini memberikan tauladan kepada kaum muslimin untuk bersikap adil dan selalu menjaga hak-hak manusia bagaimana pun gentingnya suasana. BACA JUGA : BIOGRAFI PARA ULAMA Catatan Kaki: 1) Shahih Muslim (3/1511 no. 677)  2) Sirah Ibnu Hisyam (3/260) dengan sanad Mursal, Ibnu Sa'd dalam Ath-Thabaqat (2/51) tanpa sanad, dan Al-Waqidi (1/346). 3) Lihat Shahih Al-Bukhari no. 3064. 4) Amir bin Fuhairah رضي الله عنه memiliki jasa andil dalam perjalanan Hijrah Rasulullah ﷺ dari Makkah ke Madinah. Dialah shahabat yang ditugasi Abu Bakar رضي الله عنه untuk mengembalakan kambing di sekitar persembunyian Rasulullah ﷺ untuk menghilangkan jejak. 5) Ibnu Jarir meriwayatkan pula dalam Tarikh-nya (2/81), dan dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (3/247). 6) Lihat keterangan Ibnul Qayyim tentang masalah ini dalam kitabnya Zaadul Ma'ad (1/273-285). Sumber : Majalah Qudwah Edisi 07 | Telegram : t.me/majalah_qudwah
5 tahun yang lalu
baca 17 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

khadijah, penepis duka pelipur lara

KHADIJAH, PENEPIS DUKA PELIPUR LARA Al-Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini حفظه الله تعالى Khadijah, Penepis Duka Pelipur Lara Semenjak dulu, komunitas Quraisy memang dikenal gemar berdagang. Banyak dari mereka merupakan saudagar kaya yang biasa berekspansi ke negeri-negeri jiran. Saat musim dingin tiba, mereka berjalan ke Yaman. Sedang di musim panas, negeri Syam yang menjadi sasaran. . Khadijah رضي الله عنها, wanita Quraisy yang mulia dan terkenal dengan kepandaiannya adalah juga seorang saudagar kaya raya. Sebagai seorang wanita yang menjaga kehormatannya, Khadijah رضي الله عنها tidaklah menjalankan niaganya sendiri. la sewa beberapa orang lelaki untuk membawa dagangannya  dengan berbagi hasil. Tentu beliau tidaklah sembarang menyewa orang sebagai pekerja untuk sebuah bisnis berskala internasional. Apa yang sedang menjadi buah bibir di kalangan Quraisy akan kejujuran, amanah, dan akhlak yang mulia pada diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (saat itu beliau belum diangkat menjadi Nabi), begitu mengusik hati Khadijah رضي الله عنها. Diutuslah budak yang bernama Maisarah untuk menawarkan sebuah kerjasama saling menguntungkan dengan upah yang lebih tinggi dari pekerja biasa. Beliau terima tawaran dari Khadijah رضي الله عنها ini, hingga sampailah beliau di negeri Syam, menjalankan niaganya, lalu kembali ke Makkah dengan nilai laba yang tak pernah disangka sebelumnya. Maisarah yang turut mengawal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam begitu takjub dan terkesima dengan keluhurun pribadi Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sepulang dari perjalanan dagang ini, Maisarah pun menuturkan kepada Khadijah رضي الله عنها apa yang disaksikannya dari diri Nabi shallallahu alaihi wasallam.  Bibit-bibit mahabah yang telah tumbuh pada qalbu Khadijah makin subur bersemi. Pada akhirnya Khadijah radhiyallahu 'anha titipkan sebuah pesan melalui orang yang dipercayanya, bahwa ia ingin menikah dengan beliau shallallahu alaihi wasallam dengan pertimbangan ingin mempererat kekerabatan. Dimana, Khadijah رضي الله عنها bertemu nasabnya dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada Qushay bin Kilab. Juga karena beliau seorang yang jujur ucapannya, baik pekertinya, tinggi amanahnya, dan merupakan pemuda yang paling baik nasabnya. Sebenarnya, banyak orang kaya dan berpengaruh ingin melabuhkan cinta pada Khadijah رضي الله عنها. Bahkan setiap kaum berambisi menyunting putri Khuwailid yang digelari dengan ath thahirah, sebab beliau memang dikenal cerdas, punya jiwa besar, akhlak yang luhur, sangat menjaga kehormatan diri, dan kaya raya. Namun tidak ada satu pun lambaian cinta dibalasnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bermusyawarah dengan pamannya, Hamzah bin Abdul Muththalib tentang tawaran ini. Akhirnya Hamzah mendatangi Khuwailid bin Asad guna melamar Khadijah untuk kemenakannya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka berlangsunglah pernikahan agung itu dengan izin Allah. Rasulullah memberikan 20 unta muda sebagai maskawin atas pernikahan pertama ini. PUTRA-PUTRI RASULULLAH ADALAH BUAH CINTA DARI KHADIJAH Diriwayatkan bahwa pernikahan agung itu terjadi saat Khadijah betusia 40 tahun. Sedangkan Nabi shallallahu alaihi wasallam berusia 25 tahun. Dari pernikahan inilah Nabi beroleh keturunan. Putra Ielaki beliau dari Khadijah ada dua; Al Qasim dan Abdullah. Al Qasim adalah putra sulung, itulah sebabnya Nabi shallallahu alaihi wasallam berjuluk Abul Qasim, sebagaimana pula Khadijah رضي الله عنها dijuluki Ummul Qasim.  Sedangkan Abdullah adalah putra bungsu dari Khadijah. Dialah yang dijuluki dengan Ath Thayib atau Ath Thahir. Allah berketetapan, bahwa Rasulullah harus menyaksikan kepergian kedua belahan hatinya di saat belia. Lalu mereka tidak lagi berkesempatan menjumpai masa- masa lslam.  Putri beliau empat. Mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Zainab dinikahkan dengan Abul Ash AI Asadi atas permintaan Khadijah رضي الله عنها. Abul Ash adalah anak saudari kandungnya Halah binti Khuwailid. Ruqayyah dan Ummu Kultsum dinikahkan dengan Utsman bin Affan. Sedangkan Fathimah dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib. Putri-putri ini Allah takdirkan menjumpai masa kenabian, bahkan turut serta dalam hijrah. Namun pada akhirnya Rasul pun harus bersedih melepas kepergian belahan-belahan jiwanya. Semua meninggal di masa hidup Rasulullah. Terkecuali Fathimah yang menyusul ayahanda setengah tahun kemudian.  KHADIJAH PENEGUH JIWA DI AWAL KENABIAN Menjelang turun wahyu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam senang menyendiri di gua Hira'. Kebiasaan ini menjadi amat beliau sukai setelah sering bermimpi dalam tidur, lalu mimpi itu menjadi kenyataan. Beliau beribadah kepada Allah di gua itu dengan sisa-sisa ajaran Ibrahim عليه السلام. Berhari-hari beliau jalani dalam keheningan, dengan bekal secukupnya dari Khadijah yang taat dan selaIu memompa semangat. Jika bekal habis, maka beliau pulang rumah, dan berangkat lagi dengan bekal baru dan tentu semangat baru.  Rutinitas ini terus berjalan hingga datang wahyu Allah. Di saat yang hening, datanglah malaikat Jibril ke gua Hira‘. la membawa wahyu pertama dari Allah, surat Al'Alaq. "Bacalah!" Perintah jibril عليه السلام. "Aku tidak bisa membaca." Jawab Nabi.  Kata Nabi. "Lalu ia meraihku dan mendekapku kuat-kuat hingga aku merasakan kepayahan. Kemudian dilepaskan." "Bacalah!" Pintanya lagi.  "Aku tidak sanggup membaca." Ucap Nabi.  Nabi menceritakan, "Untuk yang kedua kalinya ia kembali menarikku dan mendekapku dengan keras sampai aku merasa sesak. Barulah ia melepaskannya.” "Bacalah!" "Aku tidak tahu membaca." Nabi mengisahkan, ”Untuk yang ketiga kalinya ia kembali menarikku dan mendekapku dengan keras sampai aku merasa sesak. Barulah ia melepaskannya." Kemudian membacakan 5 ayat di permulaan surat AI ’Alaq. Setelah itu, Nabi pulang ke rumah Khadijah dengan qalbu yang bergoncang dahsyat. Beliau diliputi rasa takut sehingga meminta keluarganya untuk menutupkan selimut ke tubuh beliau untuk meredam takut. "Zammiluni...Zammiluni.. Selimutilah aku!”  Setelah tenang, beliau ceritakan peristiwa itu selengkapnya kepada Khadijah رضي الله عنها dan menyatakan kekhawatiran atas dirinya.  "Sungguh aku khawatir dengan diriku.” "Tidak mungkin. Allah tidak akan membuatmu terhina selama-lamanya. Bukankah engkau selalu menyambung tali kekerabatan, menanggung beban keluarga, manyantuni fakir miskin, memuliakan tamu, menolong kepentingan manusia dan hak-hak mereka? Tidak, Engkau tidak akan dihinakan." Sirnalah kekhawatiran pada diri beliau dengan tutur kata Khadijah yang penuh keyakinan. Tidak berhenti di sini upaya Khadijah untuk melipur Nabi. Diajaknya Rasulullah kepada Waraqah bin Naufal, anak pamannya yang telah berusia lanjut dan buta. la adalah pemeluk agama Nashrani di masa jahiliyah. Ia mampu menulis dengan bahasa Ibrani. lnjil pun disalinnya dengan bahasa Ibrani menurut apa yang dikehendaki Allah untuk ia tulis.  "Wahai anak pamanku, simaklah cerita kemenakanmu ini.” ”Apa yang kau Iihat wahai anak saudaraku?" Maka Nabi bercerita dengan lengkap apa yang beliau alami di gua Hira‘ ketika awal turun wahyu. "Itu adalah An Namus yang pernah Allah utus kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan masih hidup ketika kaummu mengusirmu." ”Apakah mereka akan tega mengusirku." ”Sudah pasti, tidaklah ada seorang rasul yang membawa ajaran seperti ini kecuali pasti akan dimusuhi. Kalau aku menjumpai masa itu, aku akan menolongmu dengan sekuat tenaga." Tak lama berselang, Waraqah meninggal. Wahyu pun terhenti beberapa saat Iamanya. KHADIJAH BERSEGERA MENYAMBUT DAKWAH TAUHID Ketika Nabi mulai berdakwah, Abu Bakar segera menyambut. la tolong Nabi mendakwahkan agama-Nya. Dengan dakwah Abu Bakar, masuk Islam pula di masa-masa itu Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Khadijah juga termasuk orang yang paling pertama menyambut dakwah ini. la beriman kepada Nabi. Membenarkan apa yang beliau bawa. Ia bantu Nabi dalam berdakwah sehingga tugas dakwah yang berat menjadi lebih ringan dengan izin Allah. Cemoohan, caci maki, pendustaan dari kaumnya saat berdakwah selalu sirna dan tiada artinya ketika pulang bertemu Khadijah. Tidaklah yang terucap dari lisannya kecuali kata-kata yang baik dan menentramkan jiwa, memberikan kekokohan pada qalbu Nabi untuk terus berjuang. KHADIJAH WAFAT Khadijah wafat 3 tahun sebelum Hijrah. Beberapa hari sebelumnya meninggal pula Abu Thalib, yang walaupun ia tidak mau masuk Islam, Allah menjadikannya sebagai sebab kafir Quraisy segan mengganggu Nabi. Setelah kematian pembela-pembela dakwah ini, orang-orang kafir Quraisy tidak lagi terhalangi untuk bertindak tegas kepada Nabi. Mereka menyakiti bahkan merencanakan pembunuhan. Namun upaya mereka selalu gagal, dipatahkan oleh Allah سبحانه وتعالى.  NABI SULIT MELUPAKAN KHADIJAH رضي الله عنها  Walaupun Khadijah رضي الله عنها telah meninggal, namun Nabi tidak bisa melupakan kebaikan-kebaikannya. Nabi tidak menikah dengan wanita lain kecuali 2 tahun setelah Khadijah meninggal. Wanita pertama yang beliau nikahi setelah Khadijah, adalah Aisyah. Aisyah berkata, "Aku tidak pernah cemburu kepada satu pun dari istri Rasulullah seperti kecemburuanku kepada Khadijah. Padahal aku tidak berjumpa. Terkadang nabi menyebut-nyebut kebaikan Khadijah di hadapanku. Menyembelih seekor domba Ialu dagingnya dibagi-bagikan kepada kerabat Khadijah. Terkadang aku tidak kuasa menyembunyikan kecemburuanku, sehingga aku katakan kepada nabi, seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah رضي الله عنها. Sungguh besar jasa Khadijah. Jasa yang tidak pernah dilupakan. Ia beriman saat manusia mengingkari. Membela saat manusia membenci dan memusuhi. Dikerahkan jiwa dan hartanya untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Semoga Allah meridhai Khadijah, ibunda kita, ibunda kaum mukminin seluruhnya, salah satu wanita terbaik di sisi Allah سبحانه وتعالى. JANJI UNTUK KHADIJAH رضي الله عنها Disebutkan dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa suatu hari datanglah Jibril kepada Nabi.  ”Wahai Rasulullah, sebentar lagi Khadijah akan datang. Ia membawa sebuah bejana berisi Iauk, makanan, dan minuman." Kata Jibril membuka perbincangan.  "Setibanya nanti, sampaikan salam untuknya dari Allah dan juga dariku," Ianjut Jibril. ”Kabarkanlah kepadanya dengan sebuah tempat tinggal yang terbuat dari permata. Tak kan terdengar suara-suara bising sedikit pun, tidak akan pula merasa |e|ah di dalamnya." Ucap Jibril menutup pembicaraan.  Sumber || Majalah Qudwah Edisi 07 || https://t.me/Majalah_Qudwah
5 tahun yang lalu
baca 10 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi lubabah al kubra bintu al harits, ummu fadhl

Dari Keluarga Mulia Melahirkan Orang-orang Mulia . Biografi Lubabah Al Kubra bintu Al Harits, Ummu Fadhl Namanya adalah Lubabah bintu Al Harits bin Hazn Bujair bin Al Hazm bin Ruwaibah bin Abdillah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah Al Hilaliyah radhiyallahu ‘anha. Berkuniah Ummu Fadhl, sesuai nama putra sulung beliau. Beliau terkenal dengan nama kuniah beliau ini. Beliau juga masyhur dengan nama laqab (gelar) beliau; Lubabah Al Kubra. Beliau adalah istri dari shahabat utama, paman Rasul Al Abbas bin Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah saudari dari ummul mu’minin Maimunah bintu Al Harits radhiyallahu ‘anha. Saudari beliau seayah dan seibu; Maimunah, Lubabah As Sughra, ‘Ashamah, Izzah, dan Haziilah. Sedang saudara seibu; Mahmayah bin Jaza’, Asma’ bintu Umais, Salma bintu Umais, dan Salamah bintu Umais. Keluarga beliau termasuk keluarga yang mulia, sebab saudari-saudari beliau menikah dengan orang-orang utama. Ummul mukminin Maimunah bintu Al Harits menikah dengan Rasulullah, beliau sendiri (Lubabah) menikah dengan Al Abbas, Asma’ bintu Umais dinikahi oleh Jakfar bin Abi Thalib, kemudian Abu Bakar kemudian Ali bin Abi Thalib. Salma bintu Umais menikah dengan Hamzah bin Abdil Muthalib, Lubabah As Sugra dinikahi Al Walid bin Al Mughirah. Semuanya berasal dari ibu yang sama, yaitu Hindun bintu Auf. Oleh karenanya putra-putra Al Abbas, putra-putra Jakfar, Muhammad bin Abi Bakar, Yahya bin Ali bin Abi Thalib, dan Khalid bin Al Walid masing-masingnya adalah saudara dari jalur bibi (sepupu dari jalur ibu). Keislaman  Sebagian ulama menyebutkan bahwa Lubabah Al Kubra telah masuk Islam setelah masuk Islamnya Khadijah. Ini menunjukkan keutamaan beliau, dari sisi terdahulunya memeluk Islam. Namun begitu beliau tidak memiliki keutamaan hijrah sebagaimana muslimin lainnya yang telah masuk Islam di Mekkah. Hal ini karena beliau termasuk wanita “al mustadh’afin” yakni orang-orang yang telah masuk Islam di Mekkah, namun kaum mereka menghalangi untuk hijrah. Disebutkan oleh Abdullah bin Al Abbas putra beliau, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata tentang Lubabah; Para wanita mukminah yang saling bersaudara (mereka adalah) Maimunah bintu Al Harits, Ummu Fadhl, Salma, dan Asma’. Dalam riwayat ini menunjukkan keutamaan mereka dalam Islam, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan keimanan mereka. Keluarga beliau adalah keluarga yang dekat hubungan nasab serta pergaulannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengunjungi rumah beliau dan tidur siang di sana, sebagaimana Abdullah bin Al Abbas radhiyallahu ‘anhu juga sering menginap di rumah bibi beliau Maimunah untuk belajar dan menimba ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Haris bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menata Abdullah, Ubaidullah, dan Katsir, putra-putra Al Abbas dalam satu shaf. Kemudian beliau berkata siapa yang lebih dulu sampai kepadaku maka baginya sesuatu. Maka anak-anak tersebut berlomba menuju kepada beliau, sehingga ada yang memegang punggung dan dada beliau, sedang beliau menciumi dan memeluk mereka. Lubabah bin Al Harits adalah juga wanita yang menyusui Al Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku melihat dalam mimpi bahwa satu anggota tubuhmu berada dalam rumahku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Fathimah (bintu Rasulillah) akan melahirkan dan engkau akan menyusuinya, bersama dengan ibnu Qotsam.” Maka Fathimah pun melahirkan Husain dan akupun menyusuinya. Keutamaan  Selain termasuk wanita as sabiqunal awwalun, beliau memiliki sisi keutamaan lainnya. Dari sisi hubungan kekeluargaan, dari sisi peran aktif dalam Islam, dan lainnya. Beliau meriwayatkan dari Nabi banyak hadis, sehingga beliau memiliki peran dan andil yang besar dalam hal menyebarkan ilmu. Di antara peran beliau adalah beliau yang mengirim susu untuk nabi pada hari Arafah. Saat itu manusia berselisih pendapat apakah Nabi berpuasa di hari itu ataukah tidak. Sebab telah diketahui akan keutamaan hari tersebut dan disyariatkannya puasa Arafah bagi muslimin. Maka beliau mengirimkan susu dalam rangka untuk mengetahui bagaimanakah sikap beliau, sehingga tidak terjadi perselisihan antara manusia. Maka minumlah nabi dari susu tersebut di hadapan manusia yang melakukan wukuf sehingga manusia pun tahu bahwa dianjurkannya puasa Arafah adalah bagi mereka yang tidak melakukan ibadah haji. Di antara riwayat beliau juga adalah tentang jumlah persusuan seorang wanita terhadap seorang anak agar menjadikan wanita tersebut mahram karena persusuan. Yakni minimalnya lima kali penyusuan. Dan banyak hadis diriwayatkan dari beliau, sehingga bagi siapa yang menelaah kitab-kitab hadis tentu akan banyak menemukan nama beliau di dalamnya. Telah menimba ilmu dari beliau beberapa orang shahabat. Di antaranya adalah putra beliau sendiri Abdullah bin Al Abbas radhiyallahu ‘anhu. Demikian juga Tamaam, Anas bin Malik, Abdullah bin Al Haris bin Naufal, serta maula beliau Umair bin Al Harits, dan Kuraib maula putra beliau. Anak Keturunan Mulia  Dari pernikahan beliau dengan Al Abbas, lahirlah putra-putra mulia. Mereka adalah Al Fadhl bin Al Abbas, Abdullah bin Al Abbas yang berjuluk Habr ummah (Ulamanya umat ini), Ubaidullah yang dikenal dengan Al Jawwad (yang pemurah), Abdurrahman, Qotsam, Ma’bad, semuanya adalah shahabat nabi yang mulia, dan Ummu Habib. Namun, walau saling bersaudara, putra-putra Lubabah Al Kubra saling berjauhan kubur mereka. Al Fadl meninggal di Syam dan dimakamkan di sana, di daerah Yarmouk. Abdullah bin Al Abbas dimakamkan di Thaif, Ubaidullah dimakamkan di Madinah, Qotsam dimakamkan di Samarqand (daerah Uzbekistan), dan Ma’bad dimakamkan di Afrika. Beliau meninggal terlebih dahulu dibanding suaminya Al Abbas, di masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah meridhainya. [Ustadz Hammam]. Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 90 vol.08 1440H-2019M rubrik Figur. http://ismailibnuisa.blogspot.com/2019/08/lubabah-al-kubra.html
5 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

demi hijrah, kami siap berjuang (kisah & motivasi)

"DEMI HIJRAH, KAMI SIAP BERJUANG" Oleh Al Ustadz Fauzi bin Nur Meninggalkan sesuatu yang disukai karena Allah memang membutuhkan kesabaran. Saat harapan dalam diri sangat tinggi namun agama tidak sejalan dengan kepentingan jiwa, saat itu ujian pun di mulai. ujian tentang kejujuran dan kesetiaan terhadap keyakinan yang tertanam, dan ujian tentag kesabaran mengalahkan kehendak jiwa, serta perjuangan menundukkan nafsu yang selalu angkuh untuk menunduk dan merendah di hadapan Allah Yang Maha Mulia. Kesabaran pun kian menyesakkan rongga dada, jika yang harus ditinggalkan memiliki nilai yang tinggi dan berkaitan erat dengan untung-rugi duniawi. Terlintas dalam benak berbagai bisik keraguan; 'Jika saya tinggalkan ini, bagaimana nasib saya nanti?! Bagaimana saya makan?! Dari mana lagi saya dapat harta?!' Tak ayal, banyak yang patah arang sebelum berjuang menuju jalan hidup yang lebih baik dan meninggalkan masa lalu yang hitam. Berhijrah memang tidak mudah; butuh kesabaran, keyakinan mantap, kejujuran hati, serta perjuangan meninggalkan segala kepentingan duniawi. Hal inilah yang dialami Rasulullah beserta para sahabatnya. Mekkah adalah tempat kelahiran dan tanah yang paling mereka cintai; tempat yang paling suci dan mulia, tempat yang paling dekat dengan Allah di muka bumi, tempat berbagai kenikmatan yang berlimpah, dan tempat berkumpulnya sanak saudara dan handai tolan yang setia. Sebaliknya, Madinah adalah tempat yang paling berwabah di tanah Arab dan begitu panas membakar kulit penduduknya. Cukuplah sebagai satu penderitaan, kenyataan Madinah bukanlah negeri mereka sendiri, dengan kata lain, berpindah ke Madinah sama saja membangun penghidupan kembali dari titik nol; lingkungan baru, suasana baru, kehidupan baru, dan tantangan baru yang siap menghadang di ujung jalan. Tatkala Rasulullah sampai di sana bersama Abu Bakar, Abu Bakar pun tertimpa demam Madinah, beliau sering berkata dalam sakit; Tiap orang berpagi hari di tengah keluarganya, sementara kematian lebih dekat dari tali sandalnya Begitu juga Bilal saat sembuh dari demamnya, ia mengatakan, Duhai kiranya aku tahu; akankah aku tidur di satu malam Di sebuah lembah dikelilingi Idzkhir dan Jalil tertanam Akankah aku datangi nanti mata air Mijannah Dan tampak olehku dua gunung Thufail dan Syamah  Kerinduan kepada tanah suci Mekkah serta kesuburan dan keindahannya tak pernah lekang oleh zaman dalam kalbu mereka dan makin dahsyat saat merasakan ujian di tanah kelaparan. Bilal pun terkadang mendoakan kejelekan bagi orang-orang yang membuatnya dan para shahabatnya meninggalkan Mekkah menuju Madinah, "Ya Allah, laknatilah Syaibah bin Rabi'ah dan 'Utbah bin Rabi'ah, serta Umayyah bin Khalaf sebagaimana mereka telah mengusir kami dari tanah kelahiran menuju tanah yang berwabah." Rasulullah pun berdoa meminta ketetapan hati para shahabatnya agar bersabar di tanah hijrah demi meraih pahala Allah, "Ya Allah lanjutkanlah untuk para shahabatku hijrah mereka, dan jangan Engkau balikkan mereka darinya..." "Ya Allah jadikanlah kami cinta terhadap Madinah seperti cinta kami kepada Mekkah atau lebih darinya, Ya Allah berkahilah pada sha' dan mud kami, berikanlah kesehatan pada Madinah dan pindahkanlah demamnya ke tanah Juhfah." Dari Abu Salamah, dari Abdullah bin 'Adi Az-Zuhri, dia mengatakan, "Aku melihat Rasulullah diatas Hazwarah (menghadap ke Mekkah) seraya mengatakan, 'Demi Allah, engkau adalah tanah Allah yang terbaik, dan tanah yang paling dicintai Allah. Seandainya saja bukan karena aku diusir darimu, aku tidak akan keluar." [H.R. At Tirmidzi]. Berlalulah perjalanan penuh perjuangan yang dilakoni oleh Rasulullah dan Abu Bakar. Dengan rencana yang matang dan tawakkal yang tinggi kepada Allah, mereka bisa lolos dari kejaran orang-orang musyrik dan para pemburu. Demikian pula dengan jalan hijrah para shahabat, tak jauh berbeda dengan jalan hijrah Rasulullah. Mereka harus menghadapi tantangan yang tidak ringan demi meninggalkan masa lalu yang kelam menuju jalan yang diridhai Allah. JALAN HIJRAH ABU SALAMAH Tekad kuat Abu Salamah telah kuat. Ia akan membawa anak dan istrinya ke tempat yang lebih aman. Musyrikin Mekkah sudah keterlaluan memperlakukan kaum muslimin. Tidak ada ketenangan lagi untuk tetap bertahan. Demi masa depan keluarga, harta dan kekayaan bukan lagi hal yang berat untuk di tinggalkan. Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik. Unta sudah siap, lengkap dengan perbekalan untuk perjalanan tiga orang. Abu Salamah, Ummu Salamah, dan anak laki-laki mereka, Salamah. Dengan sigap, Abu Salamah menaikkan keluarga kecilnya di atasnya. Sebuah perjalanan panjang menuju hidup baru akan dimulai. Ia pun menuntun unta tersebut meninggalkan rumah dan tanah kelahirannya. Tak berselang lama berjalan, tiba-tiba ia di kejutkan oleh beberapa laki-laki dari Bani Mughirah; saudara sekabilah Ummu Salamah. Mereka pun menghadangnya, " Adapun jiwamu sendiri, kamulah yang memenangkannya dari kuasa kami." Ucap mereka. "Namun, istrimu ini... bagaimana mungkin kami membiarkan kamu pergi membawanya?!" Serta merta mereka merebut tali kekang dari dua tangannya lalu membawa pulang Ummu Salamah dan anaknya. Asa yang sudah di bangun untuk berhijrah bersama runtuh seketika. Abu Salamah tak berdaya melawan keegoisan para Bani Mughirah yang ada di depannya. Hanya Allah yang bisa terus menjaga Ummu Salamah dan anak tercintanya. Mendengar perlakuan kasar Bani Mughirah terhadap Abu Salamah, Bani Abdul Asad kabilah Abu Salamah pun murka. Mereka pun berusaha merebut Salamah putra Ummu Salamah dari pelukannya. "Tidak, demi Allah," kata mereka. "Tidak akan kami tinggalkan anak kami bersamanya, karena kalian telah memisahkan dia dengan saudara kami (Abu Salamah)." Anak kecil itu pun diperebutkan antar mereka, hingga Bani Abdul Asad berhasil menarik tangannya dan membawanya. Kini tak hanya Abu Salamah yang merasakan kekosongan batin dengan berpisah dengan istrinya. Namun, Ummu Salamah pun harus menerima kenyataan pahit; anak yang dirawat dalam pelukannya tiba-tiba pergi meninggalkan pangkuan dan ayunan hampa. Ummu Salamah mengatakan, "Terpisahlah aku, suamiku, dan anakku..." Tak terasa lagi kedamaian dalam hidupnya. Padahal ia hidup di tengah keluarga besarnya. Apa arti hidup, jika berpisah dari orang-orang tercinta?! Apa arti keluarga, jika tidak memahami kesedihan yang dirasakan anggotanya...? Setiap pagi Ummu Salamah berjalan keluar dan terduduk di Al Abthah. Butiran air pun mulai menetes dari dua matanya mengingat keluarga kecil yang penuh cinta. Ia pun tak berhenti menangis disana hingga tiba senja. Setiap hari hingga hampir setahun penuh tak kunjung kering air yang menetes dari matanya. Sampai suatu pagi, seseorang dari kabilahnya lewat dan melihat kesedihan mendalam yang dirasakan Ummu Salamah. Timbullah rasa iba dan kasihan padanya. Ia pun membujuk kabilahnya agar membiarkan Ummu Salamah pergi dan kembali hidup dengan keluarga kecilnya. "Tidakkah kalian biarkan saja wanita yang sengsara ini pergi?! Kalian sudah memisahkan dia dengan suami dan anak laki-lakinya." bujuk orang itu kepada Bani Mughirah. Akhirnya mereka melepaskannya, begitu pula Bani Abdul Asad membebaskan Salamah dan menyerahkannya kepada ibunya. Ummu Salamah bercerita, "Aku pun menyiapkan tunggangan, lalu aku ambil anakku dan aku bawa ke kamar. Aku pun keluar untuk menyusul suamiku di Madinah." "...dan tidak ada seorang makhluk pun bersamaku. Aku pun bergumam, 'Akan kutitipkan pesan kepada siapapun yang aku temui agar suamiku menjemputku." Setibanya di Tan'im, mereka berdua bertemu dengan seorang bernama Utsman bin Thalhah dari Bani Abdid Dar. Melihat keduanya Utsman pun bertanya, "Hendak kemana, wahai putri Abi Umayyah?" "Ke Madinah, menyusul suamiku." "Tidakkah seorang bersamamu?" "Tidak, demi Allah. Kecuali Allah dan putraku ini." "Demi Allah, tidak pantas kalian ditinggalkan sendirian" Utsman pun meraih tali kekang unta dan menuntunnya menuju Madinah. Meski Utsman bin Thalhah belum masuk Islam di saat itu. Namun tabiatnya begitu baik dan beradab. Ia begitu menjaga kehormatan dirinya dan wanita yang diantarkannya. Tiap kali mereka berhenti di persinggahan, Utsman menderumkan untanya lalu meninggalkan Ummu Salamah turun dengan sendirinya. Jika Ummu Salamah sudah turun ia pun kembali dan membawa unta tersebut menjauh. Setelah ia mengingatkan untanya, ia pun berbaring istirahat di dekat unta tersebut dan tetap menjauh dari Ummu Salamah. Tiba waktu berangkat, ia pun melakukan hal yang sama; menjaga kehormatannya dan kehormatan wanita yang bersamanya. Demikianlah tabiat yang luhur menjaga kehormatan seseorang. Meski belum masuk cahaya Islam dalam kalbu, bukan alasan untuk melanggar kehormatan dan hak-hak antar manusia. Utsman terus menuntun mereka hingga tiba di Madinah. Sesampainya mereka di kampung Bani Amr bin Auf di Quba, ia mengatakan, "Suamiku ada di kampung ini. Masuklah ke sana atas keberkahan Allah." serta merta Utsman pun pergi kembali ke Mekkah. Ummu Salamah pun selalu mengenang perjuangannya dalam berhijrah, "Demi Allah, aku tidak tahu ada keluarga dalam Islam yang tertimpa seperti apa yang menimpa keluarga Abu Salamah. Dan aku tidak melihat satu teman pun yang lebih mulia daripada Utsman bin Thalhah." Ya, meski halang dan rintang menghadang, jalan pun tak semulus apa yang di bayangkan. Namun, karena yakin janji Allah, beratnya ujian takkan membuat urung begitu saja tekad yang sudah membulat. Cukuplah bersabar dan terus berjalan menuju jalan-Nya, pasti Allah akan datang dengan pertolongan-Nya; hari ini, esok hari, atau suatu saat nanti. Pasti Allah akan kabulkan harapan kita. Abu Salamah berhijrah ke Madinah satu tahun sebelum baiat Aqabah. Dengan kata lain beliau merupakan shahabat yang paling awal berhijrah ke Madinah. Terdapat perbedaan pendapat antara ahli tarikh; apakah Abu Salamah yang lebih dahulu hijrah ke Madinah ataukah Mus'ab bin Umair? Jawabannya, kedua-duanya bisa dikatakan yang pertama kali. Bedanya, Abu Salamah hijrah karena pergi menghindari gangguan kaumnya, sedangkan Mus'ab bin Umair berangkat untuk tinggal di Madinah dan mengajarkan Islam kepada penduduknya. JALAN HIJRAH UMAR BIN AL KHATTHAB Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam kitabnya tentang hijrahnya shahabat mulia Umar bin Al Khaththab dan Ayyas bin Rabi'ah Al Makhzumi. "Kami saling berjanji saat ingin berhijrah ke Madinah; aku, Ayyasy bin Abi Rabi'ah, dan Hisyam bin Al Ash bin Al Wail As-Sahmi. Kami berjanji untuk bertemu di Tanabudh, mata air Bani Ghifar diatas Saraf." Mereka berusaha menyembunyikan dan merahasiakan rencana semaksimal mungkin. Dengan menampakkan bahwa tidak ada rencana apapun esok di tempat tersebut. Umar mengatakan, "Siapapun di antara kita yang tidak terlihat di sana di waktu pagi, berarti ia ditahan oleh kaumnya." Umar pun datang, begitu pula Ayyasy. Namun Hisyam tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Berarti Hisyam pasti ditahan. Dan benarlah ia ditangkap sebelum berhasil lari dari kaumnya. Umar dan Ayyasy pun bersegera berangkat ke tanah hijrah dan berhasil sampai di kampung Bani 'Amr bin 'Auf. Beberapa waktu berlalu di kampung itu. Suatu hari datanglah dua orang musyrikin Mekkah mencari Ayyasy bin Abi Rabi'ah. Mereka adalah Abu Jahl bin Hisyam dan Al Harits bin Hisyam; saudara seibu Ayyasy. "(Wahai Ayyasy), sungguh ibumu telah bernazar tidak akan menempelkan sisir di kepalanya sampai melihatmu. Ia juga tidak akan berlindung dari cahaya matahari sampai melihatmu. Menyisirlah untuknya!" Pesan Abu Jahl dan Al Harits. Timbul rasa khawatir dalam diri Ayyasy mendengar kabar tentang ibunya. Bagaimanapun Ibu adalah orang yang memiliki kedekatan batin dengan hidupnya. Kemantapan hijrah dijalan Allah pun sedikit goyah menghadapinya. Namun, Umar yang mendengar penuturan dua musyrik tidak percaya begitu saja. Dengan firasatnya yang tajam, ia bisa membaca kilas kebohongan dari dua mulut yang berbicara dihadapannya. Tidak mudah percaya begitu saja dengan orang yang menjadi musuhnya. Umar mengatakan pada Ayyasy, "Wahai Ayyasy, demi Allah, mereka hanya ingin menangkap dan menyiksamu untuk meninggalkan agamamu, berhati-hatilah dari mereka! Demi Allah, seandainya kutu rambut sudah menyakiti ibumu pasti dia akan menyisirnya juga. Dan jika panas di Mekkah semakin berat pasti dia akan berteduh juga." Ayyasy pun mengatakan, "Aku akan kabulkan sumpah Ibuku. Dan aku punya harta yang bisa aku ambil di sana." Ayyasy sudah tidak tenang mendengar kabar tentang ibunya. Demikianlah dahsyatnya (fitnah) ujian di saat datang, bisa menumpulkan tajamnya pikiran, dan menggoyah pendirian bahkan keyakinan. Rasulullah bersabda yang artinya, 'Orang yang beruntung adalah dia yang dijauhkan dari fitnah (ujian)." Umar pun tak berhenti membujuknya "Demi Allah kamu tahu, bahwa aku termasuk Quraisy yang paling banyak hartanya. Akan aku berikan setengah hartaku dan jangan pergi bersama mereka!" Namun, Ayyasy tetap bersikeras untuk pulang dan Umar dan Umar pun tak punya kuasa lagi untuk menahannya. Dia mengatakan, "Baiklah, kalau kamu bersikeras untuk tetap pergi, bawalah unta betinaku ini! Unta ini bisa berlari dengan cepat. Pegang saja punggungnya. Jika sedikit saja kamu mulai ragu dengan mereka berdua berlarilah di atasnya!" Subhanallah, benar-benar permisalan kesetia-kawanan yang sempurna. Bagaimanapun keselamatan teman harus diupayakan, apalagi keselamatan yang menyangkut dunia akhiratnya. Asalkan di atas kebenaran dan membantunya Istiqamah diatas jalan yang lurus, berapapun harta yang dikorbankan tak akan jadi soal. Ya, setiakawan di atas kebenaran. Akhirnya, Ayyasy pergi dengan membawa unta betina tersebut. Dia mengikuti langkah dua musyrik pembawa kabar ibunya. Dua musuhkah atau dua saudara? Entahlah, semoga ia bisa kembali lagi ke tanah hijrah ini. Di tengah perjalanan, Abu Jahl mengeluhkan untanya yang berjalan lambat. Sementara unta Ayyasy berjalan dengan cepat dan kuat. "Wahai anak pamanku." kata Abu Jahl. "Sungguh untaku ini sudah berat berjalan. Kiranya engkau mau bergantian denganku memakai untamu?" "Tentu,"  sambut Ayyasy. Ia pun menderumkan untanya begitu pula Abu Jahl dan Al-harits untuk bertukar kendaraan. Dan di saat mereka telah berdiri di samping unta masing-masing, tiba-tiba dua orang itu menangkap Ayyasy dan mengikatnya. Mereka pun membawa Ayyasy ke Mekkah; bukan untuk menunaikan sumpah ibunya. Itu hanya bualan mulut Abu Jahl. Namun kembali kepada deraan siksa musyrikin yang tak henti-henti. Seraya membawa Ayyasy masuk Mekkah dalam ikatannya, Abu Jahl dan Al Harist mengatakan, "Wahai penduduk Mekkah, beginilah yang harus kalian lakukan menghadapi orang-orang bodoh diantara kalian. Seperti yang kami lakukan terhadap orang bodoh kami ini." Demikianlah hari-hari penuh perjuangan itu berjalan; ada yang berhijrah dengan ikhlas dan tekad yang mantap, Allah memudahkan jalannya untuk menetap, ada pula yang berhijrah dengan ikhlas dan tekad yang kuat, namun Allah uji dengan berbagai rintang penghalang. Itulah jalan ibadah kepada Allah, menyingkap siapa yang kuat dan siapa yang lemah iman. Umar mengatakan, "Dulu kami selalu mengatakan, 'Allah tidak akan menerima lagi dari orang yang kalah menghadapi ujian taubat dan ganti darinya. Mereka orang-orang yang sudah mengenal Allah lalu kembali kepada kekufuran karena ujian yang menderanya.' Ini pula yang mereka katakan dalam diri mereka, "...lalu Rasulullah pun tiba di Madinah, Allah pun menurunkan ayat tentang mereka dan tentang ujian kami dan mereka. "Katakanlah (wahai Rasulullah), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (dengan perbuatan-perbuatan maksiat), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, karena sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa; Sesungguhnya Dia lah juga Yang Maha Pengampun, lagi Maha Pengasih. Dan kembalilah kamu kepada Rabb kamu dengan bertaubat, serta berserah dirilah kepada-Nya, sebelum kamu didatangi azab; Karena sesudah itu kamu tidak akan diberikan pertolongan. Dan ikutilah Al-Quran sebaik-baik yang diturunkan kepada kamu dari Rabb kamu, sebelum kamu didatangi azab secara tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya." [Q.S. Az-Zumar : 53-56] Umar pun menuliskan ayat tersebut di sebuah lembaran kertas dan mengirimkannya kepada Hisyam bin Al-Ashy sebagai bentuk nasehat sekaligus kabar gembira bahwa masih ada kesempatan untuk kembali ke jalan Allah hingga kapanpun. Sampailah surat tersebut kepada Hisyam. "Surat itu datang kepadaku," kata Hisyam. "...Aku pun mulai membacanya di Dzi Thuwa. Aku mengulang membacanya, namun aku tidak paham maksudnya. Aku pun berkata, 'Ya Allah pahamkanlah ayat ini untukku..." "...Allah pun melemparkannya dalam kalbuku, 'Aku pun paham; ayat ini berbicara tentang kami dan apa yang selalu kami katakan dalam diri kami." Tanpa menunggu waktu lama, Hisyam bergegas menyiapkan kendaraannya dan berangkat menuju tanah hijrah demi rida Allah dan kebahagiaan di negeri yang abadi. Hijrah dalam konteks umum yang berarti meninggalkan segala bentuk amalan yang dimurkai Allah membutuhkan perjuangan yang kuat. Cukuplah menjadi figur kita, mereka yang telah meninggalkan segala kepentingan dunia menuju jalan lain yang dipenuhi duri dan luka. Semua itu demi membuktikan cinta dan yakin kita akan janji Allah. Wallahu a'lam Majalah Qudwah edisi 58 vol.05 1439H/2018M hal. 81
5 tahun yang lalu
baca 16 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

merekalah pengusaha sukses

Merekalah Pengusaha Sukses Kata orang, zaman sekarang sulit cari penghasilan. Demi sesuap nasi, banyak orang rela 'nabrak' sana-sini. Itu bagi mereka yang tidak punya agama, tidak punya malu. Sebenarnya dalam agama kita ini, dikenal tokoh-tokoh yang memiliki tips mujarab dalam hal itu, berikut ini diantaranya: Sang Pemilik Kebun Dahulu, ada seseorang yang sedang berada di sebuah padang yang luas. Tiba-tiba dia mendengar suara dari langit "Airilah kebun si Fulan!" Lalu dia lihat awan berjalan ke suatu tempat kemudian mencurahkan airnya. Ternyata, ada satu selokan yang menampung air itu seluruhnya. Orang itu pun mengikuti arus selokan. Selokan itu mengantarkan ia pada seseorang yang sedang mengalirkan air tersebut ke kebun miliknya. Lantas orang itu bertanya kepada sang pemilik kebun, "Wahai hamba Allah, siapakah nama anda?" "Fulan." jawabnya. Namanya sama dengan nama yang disebut oleh suara dari langit tadi. Kemudian pemilik kebun bertanya, "Kenapa Anda tanyakan nama saya?" Maka orang tadi bercerita, "Saya telah mendengar suara dari langit yang mencurahkan air ini. Suara itu mengatakan 'airilah kebun si Fulan!' suara itu menyebut nama Anda. Sebenarnya apa yang Anda lakukan terhadap kebun ini?" Sang pemilik kebun lantas menyebutkan rahasianya, "Apabila memang seperti apa yang Anda katakan, baiklah akan saya beritahu. Sesungguhnya saya melihat panen yang dihasilkan kebun ini. Maka saya sedekahkan sepertiga bagiannya. Sepertiga lagi saya gunakan untuk makan saya bersama keluarga. Dan sepertiga lainnya saya kembalikan lagi untuk (pengembangan) kebun ini." DUA BERSAUDARA Pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam, hiduplah dua orang bersaudara. Salah satunya rajin menghadiri majelis Rasulullah untuk mendengarkan hadits beliau. Sementara yang lainnya sibuk bekerja. Lalu dia yang sibuk bekerja ini datang kepada Rasulullah untuk mengadukan perihal saudaranya. Dia mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saudaraku ini tidak pernah menolongku sedikitpun (untuk mencari nafkah)." Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam pun mengatakan kepadanya, "Bisa jadi kamu diberi rezeki karena dia." AL-HASAN AL-BASHRI Pernah ada seseorang datang kepada Al-Hasan Al-Bashri mengeluhkan kemarau yang panjang. Maka beliau menyarankan untuk beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Di lain waktu datang seseorang yang mengadukan kemiskinan yang dialami. Lalu beliau menyarankan agar beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Datang pula kepada beliau seseorang yang minta didoakan agar Allah memberinya seorang anak. Kembali Al-Hasan menyarankan agar beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Ada lagi yang datang kepada beliau mengeluhkan kebunnya yang kekeringan. Untuk masalah yang ini, beliau pun tetap menyarankan agar beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Saat ditanya tentang hal itu, maka beliau menjawab, "Tidaklah Aku mengatakan demikian dari pikiranku sendiri. Ini karena Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: "Nuh mengatakan, "Minta ampunlah kalian kepada Rabb kalian karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan untuk kalian hujan yang berturut-turut. Dan Dia akan memperbanyak untuk kalian harta dan anak-anak. Serta menjadikan bagi kalian kebun-kebun dan sungai-sungai."(Q.S. Nuh:10-12) [Ummu Umar] Sumber : Majalah Qudwah Edisi 4 Th 2013 M Hal 24 Merekalah Pengusaha Sukses
6 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi fairuz ad dailami radhiyallahu ‘anhu

Fairuz Ad Dailami radhiyallahu ‘anhu Shahabat kita kali ini adalah shahabat yang berasal dari Negeri Yaman. Beliau adalah Fairuz Ad Dailamy. Beliau berkuniah Abu Abdillah atau Abu Abdirrahman atau Abu Dhahhak, seorang putra dari saudara perempuan Najasy Al Himyari. Terkadang beliau dipanggil dengan Ibnu Ad Dailamiy. Ayahnya berasal dari keturunan persia sedang ibu berasal dari bangsa Arab. Beliau dari qobilah Himyar Yaman sehingga beliau terkenal dengan Al Himyari, dinisbahkan kepada tempat beliau tinggal. Bagaimana cerita keislaman beliau? Suatu ketika, Fairuz datang kepada Rasulullah dan mengatakan. ‘Sesungguhnya Kisra telah menulis surat kepada Baadzan (raja Yaman, red) yang berbunyi, “Sesungguhnya di negerimu ada seseorang yang mengaku-aku kenabian, maka tangkap dan bawalah ia kepadaku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sesungguhnya Rabbku telah murka kepada tuanmu (kisra) maka Ia pun mematikannya”. Maka Fairuz pun pulang ke negerinya dan mendengar khabar kematian Kisra. Maka ia pun masuk Islam dan menjadi baik keislamannya. Raja Yaman (Baadzan) pun melepaskan diri dari kekuasaan imperialis Persia dan memilih memeluk Islam bersama dengan rakyat Yaman. Sesaat setelah kematian Baadzan, muncullah gerakan nabi palsu Al Aswad Al Ansy. Ia merebut kekuasaan negeri Yaman dari putra Baadzan dan membunuhnya. Selain banyak berbuat zalim, ia pun mengaku-aku mendapatkan kenabian dan menggunakan praktik perdukunan dan kecurangan demi melancarkan misi palsunya. Tak hanya itu, pembunuhan pun ia lakukan terhadap siapa saja yang berani merintanginya. Perlu diketahui bahwa nabi palsu yang mengaku mendapatkan kenabian saat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup adalah ‘Abhalah bin Kaab (Al Aswad Al Insiy), Tsumamah bin Qais (Musailamah Al Kadzdzab), dan Thulaikah bin Al Asady. Ketika Rasulullah menerima laporan gerakan Aswad Al Ansy, beliau segera mengutus sepuluh orang shahabat untuk membawa surat kepada para shahabat yang dianggap berpengaruh di kawasan Yaman. Beliau memerintahkan mereka supaya segera bertindak menumpas bencana yang membahayakan Iman dan Islam. Beliau memerintahkan supaya menyingkirkan Aswad Al Ansy dengan cara yang sebaik-baiknya. Perintah Rasulullah tersebut disambut antusias oleh para shahabat, termasuk Fairus Ad-Dailamy dan anak buahnya. Bahkan dialah orang yang pertama kali merespon perintah Rasulullah tersebut untuk memberangus para nabi palsu. Fairuz akhirnya bisa membunuh Al Aswad Al Ansy dengan menyelinap masuk melalui bantuan anak paman beliau, Istri putra Baadzan yang dikawini paksa oleh Al Aswad, dan Qois bin Al Maksyuh. Maka Fairuzlah yang membunuh dan memenggal kepala Al Aswad. Kematian tersebut terjadi sesaat sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Beliau mendapat wahyu akan kematian Al Kadzdzab dan mengatakan; قَتَلَهُ الۡعَبۡدُ الصَّالِحُ فَيۡرُوز الدَّيۡلَمِي “Telah membunuhnya hamba yang saleh Fairuz Ad Dailamy.” Dalam riwayat lain, قَتَلَهُ رَجُلٌ مُبَارَكٌ مِنۡ أَهۡلِ بَيۡتٍ مُبَارَكِينَ “Yang membunuh Al Aswad Al ‘Insi adalah seorang lelaki yang diberkati yang berasal dari keluarga yang diberkati.” Kematian Al Aswad Al Ansy ini terjadi sekitar 3 hingga 4 bulan setelah pengakuan kenabian tersebut. Alhamdulillah. Yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah tiga putra beliau, Dhahhak bin Fairuz, Abdullah bin Fairuz seorang shahabat, dan Abu Imran Said bin Fairuz. Demikian juga Abu Khair Martsad bin Abdillah, Abul Kharras Ar Raiini (beliau adalah Tabiin) dan selain mereka. KEDUDUKAN FAIRUZ DI HADAPAN UMAR  Umar menulis surat kepada Fairuz Ad Dailamy dalam rangka mengundang beliau pada suatu keperluan. Maka Fairuz pun datang dan meminta izin kepada Umar untuk masuk. Maka Umar pun mengizinkannya. Maka tiba-tiba ada seseorang pemuda dari suku Quraisy yang mendesaknya (untuk mendahului beliau masuk, red). Fairuz pun marah dan menampar hidung orang tersebut. Maka, orang tersebut mendahuluinya menemui Umar dengan hidung berdarah. Maka Umar bertanya, “Siapa yang bersamamu?” Maka dijawab Fairuz, sedang beliau berada di pintu masuk. Maka Umar pun mengizinkan beliau untuk masuk. Umar pun bertanya, “Apa yang terjadi wahai Fairuz?” Fairuz mengatakan, “Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya aku adalah seorang yang baru mendapatkan kekuasaan, dan engkau menulis surat untukku (memanggilku), sedang engkau tidak memanggilnya. Engkau mengizinkanku untuk masuk sedang engkau belum mengizinkan dia masuk. Maka ia pun ingin masuk sebelumku dengan izinmu untukku.” Maka Umar mengatakan, “(Apakah ditegakkan) qishash?” Fairuz pun mengatakan, ‘Ya, qishash’. Maka Fairuz pun duduk berdiri di atas lutut beliau siap untuk diqishash. Ketika si pemuda hendak mengqishashnya, Umarpun mengatakan, ‘Sebentar wahai pemuda, sampai aku khabarkan kepadamu apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Telah terbunuh si zalim Aswad Al Ansy. Telah membunuhnya seorang hamba yang saleh Fairuz Ad Dailamy.” Apakah engkau tetap akan menegakkan (qishash) kepadanya setelah mendengar ini dari Rasulullah.” Maka sang pemudapun mengatakan, ‘Sungguh aku telah memaafkannya setelah aku mendengarnya dari Rasulullah’. Maka Fairuz pun memberi untuk si pemuda pedang, kuda, dan tiga puluh ribu dari harta beliau sambil mengatakan, ‘Pemberian maafmu tentu akan berpahala wahai saudara Quraisy dan engkau pun akan mendapatkan harta’. Beliau meninggal di Negeri Yaman, diperselisihkan apakah di masa khalifah Utsman bin Affan ataukah di masa Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. Pada tahun 53 hijriyah, dimakamkan di Yaman. Wallahu a’lam. [Ustadz Hammam] Sumber: Majalah Tashfiyah vol.07 1439H-2018H edisi 77 rubrik Figur. | http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2018/04/fairuz-ad-dailami-radhiyallahu-anhu.html Biografi Fairuz Ad Dailami radhiyallahu ‘anhu via Pexels
7 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah atikah binti zaid, istri para syuhada

Kisah Atikah binti Zaid Nama beliau adalah Atikah binti Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdil Uzza bin Rayyah bin Abdillah Al Qurasyiyah Al Adawiyyah radhiyallahu ‘anha . Beliau adalah saudari seayah dari Said bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, salah seorang dari sepuluh orang yang dijanjikan surga. Beliau adalah anak perempuan dari paman Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Sedang ibu beliau adalah Ummu Kuraiz binti Abdillah bin Ammar bin Malik Al Hadramiyah. Atikah termasuk wanita yang dikaruniai paras yang rupawan dan budi pekerti yang baik. Demikian pula beliau termasuk wanita yang memiliki kepandaian dalam syair. Beliau termasuk wanita Quraisy yang ikut berhijrah ke negeri Madinah. Atikah binti Zaid radhiyallahu ‘anha menikah beberapa kali dengan para shahabat yang utama. Cukuplah kita melihat kemuliaan shahabat wanita ini dengan para pendamping hidupnya. Di antara shahabat mulia yang menikah dengan beliau adalah Abdullah bin Abu Bakar. Pada pernikahan beliau ini sempat terjadi perceraian antara keduanya. Ini disebabkan permintaan sang ayah, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, yang melihat bahwa putranya –Abdullah- terlalu tersibukkan dengan cintanya kepada Atikah dari hak-hak Allah. Dengan sebab cintanya kepada sang istri, sang anak terlalaikan dari hak Allah, demikian anggapan ayah beliau. Demi mengikuti nasihat sang ayah, Abdullah bin Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma pun menceraikan istrinya. Namun, perpisahan tersebut menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi sang suami, demikian pula dengan Atikah. Dengan sebab perpisahan ini Abdullah membuat bait-bait syair kesedihan yang terdengar sampai kepada Abu Bakar Ash Shiddiiq dan menyebabkan beliau merasa iba. Abu Bakar pun mengijinkan putranya untuk merujuk kembali sang istri. Namun, pernikahan ini pun hanya berjalan beberapa waktu lamanya dan berakhir dengan gugurnya Abdullah bin Abi Bakar terkena anak panah saat berperang di Thaif bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Biografi Atikah binti Zaid via Pexels Setelah kepergian sang suami dan selesai dari masa iddah, Atikah pun dipersunting oleh Zaid bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Namun, suami beliau ini pun gugur dalam peristiwa perang Yamamah. Pada tahun 12 hijriah, Atikah radhiyallahu ‘anha menikah dengan Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Umar bin Al Khaththab sendiri adalah kakak ipar dari Said bin Zaid yang menikahi Fathimah binti Al Khaththab. Oleh karenanya, telah ada hubungan kedekatan antara keluarga Atikah dan keluarga Umar bin Khaththab sebelumnya. Dalam pernikahan ini, Atikah mempersyaratkan kepada Umar bin Al Khaththab agar dirinya tidak dilarang untuk turut hadir dalam salat berjamaah bersama kaum muslimin di Masjid Nabi dan tidak memukulnya. Maka, Umar bin Al Khaththab pun menyetujui syarat tersebut dengan berat hati. Dalam pernikahan ini, lahir seorang anak laki-laki bernama Iyadh bin Umar bin Al Khaththab. Selama sekitar 10 tahun lamanya beliau setia mendampingi khalifah Umar bin Al Khaththab. Hingga beliau meninggal terbunuh syahid oleh seorang majusi di tahun ke-22 hijriah. Lalu beliau pun dipinang oleh Az Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu, sang hawari (pengikut setia) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga. Beliau pun menerima pinangan tersebut dengan meminta syarat yang sama dengan yang beliau ajukan kepada suami sebelumnya, yaitu meminta syarat untuk tidak dilarang menghadiri salat jamaah di masjid Nabi. Maka, Az Zubair pun memenuhi syarat tersebut. Namun saat datang waktu salat Isya’, dan sang istri bersiap menghadirinya, Az Zubair pun merasa berat dengan hal ini, akan tetapi beliau tidak kuasa melarangnya disebabkan syarat yang telah diajukan tersebut. Demikianlah kecemburuan para suami atas istri mereka ketika mereka keluar rumah. Walaupun tujuan keluarnya adalah demi beribadah kepada-Nya di masjid-Nya. Maka tatkala sang istri beranjak pergi, Az-Zubair mendahului beliau dan menunggu sang istri melewatinya di tempat yang tidak terlihat. Maka tatkala sang istri lewat, Az Zubair mencolek sang istri. Maka seketika itu sang istri beristirja’ dan berlari pulang. Sang istri tidak mengetahui bahwa yang mencoleknya adalah suaminya sendiri. Sejak itu Atikah tidak lagi keluar mengikuti salat berjamaah karena merasa takut akan diganggu manusia. Demikianlah seharusnya sikap yang ditunjukkan kaum mukminah, berusaha menjaga dirinya dari gangguan manusia. Terlebih di zaman ini, zaman yang penuh kemungkaran dan telah mulai menipis ketakwaan manusia kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Pernikahan berakhir dengan syahidnya Az Zubair dalam Perang Jamal. Setelah kematian Az Zubair, sang khalifah di saat itu adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ali pun berkeinginan untuk meminang Atikah binti Zaid. Namun, Atikah binti Zaid menolak pinangan Ali bin Abi Thalib disebabkan saat itu Ali menjadi pemimpin kaum muslimin. Sedangkan beliau melihat bahwa para suaminya meninggal semua dalam keadaan syahid. Beliau pun takut hal ini juga terjadi atas sang khalifah sebagaimana telah menimpa kepada suami beliau sebelumnya. Maka Ali bin Abi Thalib mengurungkan pinangan tersebut. Lalu beliau dilamar oleh Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dan ini adalah suami beliau yang terakhir. Walau dalam pernikahan ini Atikah radhiyallahu ‘anha telah memasuki masa senja, namun, beliau tetaplah menjadi wanita yang disayangi dan dihormati oleh sang suami, Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sebenarnya, sebelum pernikahan terjadi, Atikah telah mempersyaratkan agar calon suaminya tersebut tidak boleh melakukan jihad. Hal ini disebabkan kecemasan beliau terhadap kematian yang mungkin juga akan menimpa sang suami sebagaimana syahidnya suami-suami beliau sebelumnya. Akan tetapi, takdir Allah tidaklah dapat diganti dan diubah. Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan Al Hasan meninggal pula sebagai syahid meninggalkan beliau seorang diri. Setelah kematian Al Hasan beliau pun hendak dilamar oleh Muawiyah radhiyallahu ‘anhu, namun beliau menolaknya dan mengatakan, “Cukuplah bagiku menjadi wanita menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Atikah radhiyallahu ‘anha meninggal di masa kekuasaan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. [Ustadz Hammam] Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 73 vol. 07 1439H-2017M rubrik Figur. | Judul Asli : Istri Para Syuhada | .http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2017/11/istri-para-syuhada.html Demikianlah Kisah Atikah binti Zaid, semoga kita bisa mengambil pelajaran nan berharga dari beliau.
7 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah an nu’man bin muqarrin radhiyallahu ‘anhu

An Nu’man bin Muqarrin radhiyallahu ‘anhu Seorang tokoh shahabat, dengan perantaraan beliau, kaumnya tunduk kepada kemuliaan Islam. Beliau berasal dari Kabilah Muzainah, sebuah kabilah badui yang tinggal di dekat kota Madinah, terletak di antara Madinah dan Makkah. Kabar tentang Islam dan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai ke telinga mereka. Dakwah beliau, kepada apa beliau mengajak dan juga keluhuran akhlak beliau telah meluluhkan hati tokoh ini dan hati kaumnya. Beliau adalah Abu Amr An Nu’man bin Muqarrin bin ‘Aidz bin Miijan bin Hujair bin Nasr bin Hubsiyyah bin Kaab bin Abd bin Tsaur bin Hadmah bin Laathim bin Utsman Al Muzani . Putra-putra Utsman ini disebut Muzainah disandarkan kepada ibu mereka. Suatu ketika beliau berkata kepada kaumnya, يَا قَوۡمِ وَاللهِ مَا عَلِمۡنَا عَنۡ مُحَمَّدٍ إِلَّا خَيۡرًا، وَلَا سَمِعۡنَا مِنۡ دَعۡوَتِهِ إِلَّا مَرۡحَمَةً وَإِحۡسَانًا وَعَدۡلًا، فَمَا بَالُنَا نُبۡطِئُ عَنۡهُ، وَالنَّاسُ إِلَيۡهِ يُسۡرِعُونَ؟! أَمَّا أَنَا فَقَدۡ عَزَمۡتُ عَلَى أَنۡ أَغۡدُوَ عَلَيۡهِ إِذَا أَصۡبَحۡتُ، فَمَنۡ شَاءَ مِنۡكُمۡ أَنۡ يَكُونَ مَعِي فَلۡيَتَجَهَّزۡ. “Wahai kaumku, sungguh kita tidak mengetahui tentang Muhammad kecuali kebaikan, kita tidak mendengar tentang dakwahnya kecuali kasih sayang, kebaikan, dan keadilan. Lalu kenapa kita tidak segera menyambutnya, sedang manusia bersegera menyambutnya? Adapun aku, sungguh aku telah bertekad untuk datang kepadanya besok. Maka siapa di antara kalian yang mau bersamaku maka hendaklah dia bersiap-siap.” Maka, di pagi harinya beliau datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sepuluh saudara beliau sebapak dan bersama mereka sejumlah empat ratus orang pasukan berkuda dari kaumnya. Maka, kedatangan beliau beserta rombongan ini untuk masuk Islam memberikan kegembiraan yang sangat pada kaum muslimin di Madinah. Kepada beliau dan kaum beliaulah turun ayat Allah berikut ini: وَمِنَ ٱلۡأَعۡرَابِ مَن يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡءَاخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنفِقُ قُرُبَـٰتٍ عِندَ ٱللَّهِ وَصَلَوَ‌ٰتِ ٱلرَّسُولِ ۚ أَلَآ إِنَّهَا قُرۡبَةٌ لَّهُمۡ ۚ سَيُدۡخِلُهُمُ ٱللَّهُ فِى رَحۡمَتِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Q.S. At Taubah: 99] Beliau dan saudara-saudara beliau, semuanya sejumlah tujuh orang adalah shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ikut berhijrah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satu pun dari keluarga Arab ketika itu yang melakukan seperti mereka. Mereka adalah: Abu Amrah Ma’qil bin Muqarrin Al Muzani, Abdullah bin Muqarrin al Muzani, Abu Hakiim ‘Aqiil bin Muqarrin Al Muzani, Abu ‘Ady Suwaid bin Muqarrin Al Muzani, Sinan bin Muqarrin Al Muzani, Nuaim bin Muqarrin Al Muzani (beliaulah yang mengambil bendera dari tangan An-Nu’man saat beliau gugur, kemudian menyerahkannya ke Hudzaifah. Dan di tangan Nuaim inilah banyak dibukakan negeri-negeri persia). Tak ketinggalan, putra beliau Amr bin An Nu’man pun juga merupakan salah satu shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji keluarga ini sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, إِنَّ لِلۡإِيمَانِ بُيُوتًا وَلِلنِّفَاقِ بُيُوتًا، وَإِنَّ بَيۡتَ بَنِي مُقَرِّنۡ مِنۡ بُيُوتِ الۡإِيمَانِ “Sesungguhnya iman memiliki rumah-rumah dan kemunafikan juga memiliki rumah-rumah, dan sesungguhnya rumah-rumah bani Muqarrin adalah rumah-rumah keimanan.” Foto: Canyon | Sumber: Pexels KEUTAMAAN NU'MAN BIN MUQARRIN Beliau termasuk pembesar shahabat. Berbagai keutamaan ada pada beliau. Setelah masuknya beliau ke dalam Islam, beliau senantiasa mengikuti berbagai peristiwa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, turut serta berhijrah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti perang Ahzab/ Khandaq, mengikuti Bai’atur Ridwan, mengikuti pertempuran menghadapi kaum yang murtad dan lainnya. Beliau juga meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara yang tercatat meriwayatkan hadis dari beliau adalah Ma’qil bin Yasar, seorang shahabat. Adapun dari kalangan tabiin, ada Muhammad bin Sirin, Khalid Al Waalibii, anak beliau Muawiyah, Muslim bin Al Haidham, dan Jubair bin Hayyah. PERAN SERTA DALAM MEMBELA KHALIFAH PERTAMA Pada masa kepemimpinan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dikirimlah pasukan besar di bawah komando Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, untuk menghadapi bangsa Romawi. Di saat yang hampir bersamaan, muncul gerakan-gerakan pemberontakan dari banyak kabilah-kabilah arab terhadap khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq. Ada beberapa kelompok mereka yang tidak mau menyerahkan zakat kepada beliau, dan menganggap bahwa zakat hanya ditunaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Ada pula kabilah yang menyempal dari Islam dengan menetapkan adanya kenabian setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Muncul gerakan Musailamah Al Kadzdzab yang didukung oleh kabilah besar dari Bani Hanifah. Muncul pula Sajah, wanita yang mengaku sebagai nabi dari Bani Tamim, Al Aswad di Negeri Yaman, dan Thulaihah. Mereka menyangka kaum muslimin dalam keadaan lemah dan pecah sehingga berani menampakkan penentangan. Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan kaum muslimin yang tersisa di Madinah dan sekitarnya pun berjuang menghadapi para pemberontak tersebut dengan keberanian. Dalam pertempuran menghadapi Thulaihah Al Asadi, An Nu’man memiliki andil besar. Abu Bakar sendiri yang turun tangan keluar menghadapi pasukan Tulaihah pada suatu malam. Beliau bersama An Nu’man di sebelah kanan dan Abdullah bin Muqarrin di sebelah kiri dan di arah belakang Suwaid bin Muqarrin. Maka tatkala fajar terbit, telah berhadapanlah kedua pasukan tersebut dan Allah pun menjadikan pasukan sang nabi palsu lari tunggang langgang dan dikejar oleh pasukan muslimin hingga daerah Dzil Qishshah. Pada akhirnya, Tulaihah pun menyatakan tobatnya dan kembali dalam deretan kaum muslimin dan baik keislamannya. Foto: Arid Bushes | Sumber: Pexels PERAN SERTA DALAM MEMBELA KHALIFAH KEDUA Di masa kekhalifahan Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah diangkat menjadi gubernur di daerah Kasykar, suatu negeri di dekat Sungai Tigris (dajlah) dan Efrat (furat), Iraq. Suatu ketika, terdengar kabar bahwa pasukan Persia telah berkumpul dan siap berperang menghadapi muslimin. Mereka berkumpul di daerah Nahawand. Maka Umar bin Al Khattab pun menulis kepada penduduk Kufah dan Bashrah, memerintahkan mereka untuk mengirimkan 2/3 jumlah mereka guna bertempur dengan pasukan Persia. Dan menjadikan An Nu’man sebagai pemimpin pasukan. Beliau memberikan pengarahan kepada pasukan dan mengatakan, “Apabila Nu’man terbunuh maka Hudzaifah (menggantikannya) dan apabila Hudzaifah terbunuh maka Jarir (yang menggantikannya).” Maka keluarlah Nu’man dengan membawa bendera perang, bersama beliau Hudzaifah, Az Zubair, Al Mughirah bin Syu’bah, Asy’ats bin Qais, dan Abdullah bin Umar. Maka Allah pun memenangkan kaum muslimin dan membukakan Negeri Ashbahan di bawah komando beliau. Tatkala pasukan ini sampai di Negeri Nahawand, An Nu’man pun mengatakan sebuah ucapan yang terkenal, “Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya aku pernah menyaksikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila tidak memulai berperang di permulaan siang (dhuha,red), maka beliau menunda pertempuran sampai datang akhir siang, saat angin mulai berhembus dan akan turunlah pertolongan. Yaa Allah berikanlah rezeki syahid untuk An Nu’man dengan pertolongan-Mu untuk kaum Muslimin. Dan menangkanlah untuk mereka.” Maka kaum musliminpun mengamini doa beliau. Beliau juga mengatakan, “Sungguh aku akan menggerakkan bendera perang tiga kali. Apabila aku telah tiga kali menggerakkannya, maka bertempurlah, dan janganlah satu sama lain saling menoleh. Apabila An Nu’man terbunuh, janganlah kalian menoleh kepadanya.” Maka bergeraklah beliau dan pasukan pada gerakan bendera yang ketiga. Dan Allah menetapkan bahwa beliau adalah orang pertama yang tersungkur dan mendapatkan syahadah. Radhiyallah anhu. Pertempuran Nahawand ini terjadi di tahun 21 Hijriyyah. Dan beliau meninggal di hari Jumat. Maka saat datang Abu Utsman mengabarkan kepada Umar bin Al Khattab berita kematian beliau, beliaupun keluar dan naik mimbar untuk mengabarkan kepada manusia berita tersebut. Beliau pun meletakkan tangan pada kepala beliau sambil menangis. Radhiyallah anhu. [Ustadz Hammam] Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 75 vol.07 1439H-2018H rubrik Figur. | .http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2018/01/an-numan-bin-muqarrin-radhiyallahu-anhu.html
7 tahun yang lalu
baca 7 menit