Biografi

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi fairuz ad dailami radhiyallahu ‘anhu

Fairuz Ad Dailami radhiyallahu ‘anhu Shahabat kita kali ini adalah shahabat yang berasal dari Negeri Yaman. Beliau adalah Fairuz Ad Dailamy. Beliau berkuniah Abu Abdillah atau Abu Abdirrahman atau Abu Dhahhak, seorang putra dari saudara perempuan Najasy Al Himyari. Terkadang beliau dipanggil dengan Ibnu Ad Dailamiy. Ayahnya berasal dari keturunan persia sedang ibu berasal dari bangsa Arab. Beliau dari qobilah Himyar Yaman sehingga beliau terkenal dengan Al Himyari, dinisbahkan kepada tempat beliau tinggal. Bagaimana cerita keislaman beliau? Suatu ketika, Fairuz datang kepada Rasulullah dan mengatakan. ‘Sesungguhnya Kisra telah menulis surat kepada Baadzan (raja Yaman, red) yang berbunyi, “Sesungguhnya di negerimu ada seseorang yang mengaku-aku kenabian, maka tangkap dan bawalah ia kepadaku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sesungguhnya Rabbku telah murka kepada tuanmu (kisra) maka Ia pun mematikannya”. Maka Fairuz pun pulang ke negerinya dan mendengar khabar kematian Kisra. Maka ia pun masuk Islam dan menjadi baik keislamannya. Raja Yaman (Baadzan) pun melepaskan diri dari kekuasaan imperialis Persia dan memilih memeluk Islam bersama dengan rakyat Yaman. Sesaat setelah kematian Baadzan, muncullah gerakan nabi palsu Al Aswad Al Ansy. Ia merebut kekuasaan negeri Yaman dari putra Baadzan dan membunuhnya. Selain banyak berbuat zalim, ia pun mengaku-aku mendapatkan kenabian dan menggunakan praktik perdukunan dan kecurangan demi melancarkan misi palsunya. Tak hanya itu, pembunuhan pun ia lakukan terhadap siapa saja yang berani merintanginya. Perlu diketahui bahwa nabi palsu yang mengaku mendapatkan kenabian saat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup adalah ‘Abhalah bin Kaab (Al Aswad Al Insiy), Tsumamah bin Qais (Musailamah Al Kadzdzab), dan Thulaikah bin Al Asady. Ketika Rasulullah menerima laporan gerakan Aswad Al Ansy, beliau segera mengutus sepuluh orang shahabat untuk membawa surat kepada para shahabat yang dianggap berpengaruh di kawasan Yaman. Beliau memerintahkan mereka supaya segera bertindak menumpas bencana yang membahayakan Iman dan Islam. Beliau memerintahkan supaya menyingkirkan Aswad Al Ansy dengan cara yang sebaik-baiknya. Perintah Rasulullah tersebut disambut antusias oleh para shahabat, termasuk Fairus Ad-Dailamy dan anak buahnya. Bahkan dialah orang yang pertama kali merespon perintah Rasulullah tersebut untuk memberangus para nabi palsu. Fairuz akhirnya bisa membunuh Al Aswad Al Ansy dengan menyelinap masuk melalui bantuan anak paman beliau, Istri putra Baadzan yang dikawini paksa oleh Al Aswad, dan Qois bin Al Maksyuh. Maka Fairuzlah yang membunuh dan memenggal kepala Al Aswad. Kematian tersebut terjadi sesaat sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Beliau mendapat wahyu akan kematian Al Kadzdzab dan mengatakan; قَتَلَهُ الۡعَبۡدُ الصَّالِحُ فَيۡرُوز الدَّيۡلَمِي “Telah membunuhnya hamba yang saleh Fairuz Ad Dailamy.” Dalam riwayat lain, قَتَلَهُ رَجُلٌ مُبَارَكٌ مِنۡ أَهۡلِ بَيۡتٍ مُبَارَكِينَ “Yang membunuh Al Aswad Al ‘Insi adalah seorang lelaki yang diberkati yang berasal dari keluarga yang diberkati.” Kematian Al Aswad Al Ansy ini terjadi sekitar 3 hingga 4 bulan setelah pengakuan kenabian tersebut. Alhamdulillah. Yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah tiga putra beliau, Dhahhak bin Fairuz, Abdullah bin Fairuz seorang shahabat, dan Abu Imran Said bin Fairuz. Demikian juga Abu Khair Martsad bin Abdillah, Abul Kharras Ar Raiini (beliau adalah Tabiin) dan selain mereka. KEDUDUKAN FAIRUZ DI HADAPAN UMAR  Umar menulis surat kepada Fairuz Ad Dailamy dalam rangka mengundang beliau pada suatu keperluan. Maka Fairuz pun datang dan meminta izin kepada Umar untuk masuk. Maka Umar pun mengizinkannya. Maka tiba-tiba ada seseorang pemuda dari suku Quraisy yang mendesaknya (untuk mendahului beliau masuk, red). Fairuz pun marah dan menampar hidung orang tersebut. Maka, orang tersebut mendahuluinya menemui Umar dengan hidung berdarah. Maka Umar bertanya, “Siapa yang bersamamu?” Maka dijawab Fairuz, sedang beliau berada di pintu masuk. Maka Umar pun mengizinkan beliau untuk masuk. Umar pun bertanya, “Apa yang terjadi wahai Fairuz?” Fairuz mengatakan, “Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya aku adalah seorang yang baru mendapatkan kekuasaan, dan engkau menulis surat untukku (memanggilku), sedang engkau tidak memanggilnya. Engkau mengizinkanku untuk masuk sedang engkau belum mengizinkan dia masuk. Maka ia pun ingin masuk sebelumku dengan izinmu untukku.” Maka Umar mengatakan, “(Apakah ditegakkan) qishash?” Fairuz pun mengatakan, ‘Ya, qishash’. Maka Fairuz pun duduk berdiri di atas lutut beliau siap untuk diqishash. Ketika si pemuda hendak mengqishashnya, Umarpun mengatakan, ‘Sebentar wahai pemuda, sampai aku khabarkan kepadamu apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Telah terbunuh si zalim Aswad Al Ansy. Telah membunuhnya seorang hamba yang saleh Fairuz Ad Dailamy.” Apakah engkau tetap akan menegakkan (qishash) kepadanya setelah mendengar ini dari Rasulullah.” Maka sang pemudapun mengatakan, ‘Sungguh aku telah memaafkannya setelah aku mendengarnya dari Rasulullah’. Maka Fairuz pun memberi untuk si pemuda pedang, kuda, dan tiga puluh ribu dari harta beliau sambil mengatakan, ‘Pemberian maafmu tentu akan berpahala wahai saudara Quraisy dan engkau pun akan mendapatkan harta’. Beliau meninggal di Negeri Yaman, diperselisihkan apakah di masa khalifah Utsman bin Affan ataukah di masa Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. Pada tahun 53 hijriyah, dimakamkan di Yaman. Wallahu a’lam. [Ustadz Hammam] Sumber: Majalah Tashfiyah vol.07 1439H-2018H edisi 77 rubrik Figur. | http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2018/04/fairuz-ad-dailami-radhiyallahu-anhu.html Biografi Fairuz Ad Dailami radhiyallahu ‘anhu via Pexels
7 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi ibnu khuzaimah an naisabury

Ibnu Khuzaimah Naisabur menjadi satu dari sekian tempat lahirnya pakar hadis dan ulama kelas dunia. Bagi sebagian pembaca mungkin Kota Naisabur masih terasa asing di telinga. Kota indah ini secara geografis terletak di Provinsi Khurasan yang sekarang masuk wilayah Iran. Kota Naisabur berjarak kurang lebih 432 mil dari arah timur Teheran yang merupakan Ibu kota Iran. Kota ini pernah mencapai masa keemasan pada abad 10 sebelum luluh lantak karena invasi pasukan Mongol. Di sinilah terlahir seorang tokoh ilmu hadis pada abad ke 4 yang sangat terkenal. Beliau adalah Ibnu Khuzaimah yang sejatinya bernama lengkap Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah bin Shalih bin Bakar An Naisaburi Asy Syafi’i rahimahullah . Ulama dengan kuniah Abu Bakar lahir pada bulan Shafar tahun 223 atau bertepatan dengan 838 M di Naisabur. PENDIDIKAN ILMIYAHNYA . Semenjak kecil beliau tumbuh dan berkembang di tengah keluarga yang taat beragama. Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan antusias mempelajari hadis sejak usia kecil. Memang luar biasa, sangat jarang ada anak kecil punya semangat menggelora untuk belajar ilmu hadis. Bahkan Ibnu Khuzaimah kecil meminta izin kepada ayahnya untuk belajar hadis kepada Qutaibah bin Sa’id rahimahullah. Ia sangat berharap dukungan dari sang ayah untuk merealisasikan tekadnya tersebut. Namun sang ayah menghasung agar fokus mempelajari Al Quran terlebih dahulu. “Aku akan mengizinkanmu jika engkau menyelesaikan Al Quran terlebih dahulu.” Ujar sang ayah. Beliau pun termotivasi dengan syarat yang diajukan ayahnya, sehingga mampu menyelesaikan hafalan Al Quran ketika masih kecil. Talenta besar beliau memang sudah terlihat di masa kanak-kanak. Menjadi penghafal Al Quran di masa kecil merupakan fenomena yang biasa di kalangan salaf. Tibalah saatnya beliau berpetualang mencari hadis dari para ulama. Ibnu Khuzaimah menuturkan, “Aku pergi ke Moru dan mendengarkan hadis dari Muhammad bin Hisyam lalu sampailah berita kematian Ibnu Qutaibah kepada kami.” Ibnu Qutaibah meninggal pada tahun 240 H sehingga perjalanan ilmiyah Ibnu Khuzaimah mulai dilakukan pada usia 17 tahun. Petulangan mencari hadis dilakukan dengan antusias dan spirit yang tinggi. Beliau melawat ke berbagai negeri semata-mata demi periwayatan hadis bukan untuk tujuan lain. Belahan negeri Islam bagian timur menjadi target utama dalam periwayatan hadis. Selain Naisabur, lawatan beliau meliputi Marwa, Ray, Syam, Jazirah, Mesir, Wasith, Baghdad, Bashrah, dan Kufah. Selama penjelajahan ke negeri-negeri tersebut beliau belajar kepada para ulama semisal Ali bin Muhammad, Muhammad bin Mihran Al Jammal, Musa bin Sahl Ar Ramli, Abdul Jabbar bin Al A’la, Yunus bin Abdul A’la, Muhammad bin Harb, Nashr bin Ali Al Azdi, Abu Kuraib Muhammad bin Al A’la, Ali bin Hujr, Muhammad bin Basyar, dan masih banyak yang lainnya. Beliau banyak mencurahkan hidupnya untuk mengkaji hadis dan ilmu fikih. Hingga akhirnya menjadi ulama dengan kepakarannya dalam ilmu hadis dan dukungan intelektual yang tinggi serta hafalan super kuat. Sampai-sampai beliau pernah menyatakan, “Tidaklah aku menulis hitam di atas putih kecuali aku pasti mengetahuinya.” Bahkan di zaman itu beliau merupakan salah satu ulama yang paling berilmu tentang fikihnya Syafi’i. Beliau juga seorang imam mujtahid dalam bidang fikih bahkan telah mencapai level mujtahid mutlak. Tak pelak beliau menjadi incaran para penuntut ilmu dari berbagai penjuru negeri. Sehingga Al Bukhari dan Muslim juga pernah meriwayatkan darinya pada selain kedua kitab shahihnya. Bahkan sebagian syaikhnya juga meriwayatkan darinya seperti Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Yahya bin Muhammad bin Sha’id, Abu Ali an-Naisaburi, dan yang lainnya. PUJIAN ULAMA  Ada banyak ulama yang memberikan apresiasi yang baik kepada beliau atas kapasitas keilmuan dan integritasnya dalam dakwah. Berkata Ibnu Hibban rahimahullah, “Aku belum pernah melihat di atas muka bumi ini orang yang sangat baik penguasaan terhadap hadis melebihi Muhammad bin Ishaq. Ia mampu menghafal lafal-lafal hadis beserta dengan tambahannya. Seakan-akan seluruh hadis berada di hadapan kedua pelupuk matanya.” “Seorang Hafizh (penghafal), Hujjah, Syaikhul Islam, Imamnya para ulama, pemilik berbagai karya tulis, mengerahkan segenap kemampuan di masa mudanya untuk mempelajari hadis hingga menjadi simbol dalam ilmu agama dan kekuatan hafalan.” Demikian sanjungan Adz Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala. Ad Daruquthni tak ketinggalan memujinya setinggi langit, “Ibnu Khuzaimah adalah seorang imam dan pakar hadis yang sangat teliti dan ulama yang tiada duanya.” Para pembaca yang budiman, apa rahasianya hingga beliau menjadi ulama yang ilmunya sangat luas dan bermanfaat bagi Islam serta kaum muslimin. Rasa penasaran mendorong sebagian orang untuk bertanya kepada beliau, “Dari mana engkau mendapatkan ilmu sedemikian luas.” Ibnu Khuzaimah rahimahullah menjawab, “Air zam-zam memberikan manfaat sesuai yang diinginkan ketika meminumnya. Dan aku ketika minum air zam-zam memohon ilmu yang bermanfaat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” Tentu semua adalah karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang terlimpah kepada beliau. Dengan didukung tajamnya kecerdasan, kekuatan hafalan, dan perjuangan nan tinggi. Pantaslah jika Ibnu Abi Hatim merasa heran ketika ditanya bagaimana status Ibnu Khuzaimah. Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata, “Celaka kalian, semestinya beliau yang ditanya tentang kami, bukan kami yang ditanya tentang beliau! Jelas beliau adalah seorang Imam yang pantas diteladani.” Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ia adalah lautan ilmu yang telah mengembara ke banyak negeri untuk mencari hadis dan ilmu. Lalu ia mencatat, menulis, dan mengumpulkannya. Adapun kitabnya Ash Shahih termasuk kitab yang paling bermanfaat lagi agung. Dialah seorang mujtahid dalam agama Islam.” KARYA TULISNYA  Ratusan karya ilmiyah terlahir dari tangan beliau sepanjang hidup. Pengabdiannya terhadap Islam tidak hanya terwujud dengan lisan semata. Namun ternyata beliau sangat aktif menorehkan tinta hitam dalam berbagai disiplin ilmu agama. Tentang hal ini Al Hakim rahimahullah pernah berkata, “Menurutku, kelebihan-kelebihan Ibnu Khuzaimah terhimpun dalam kertas-kertas yang begitu banyak. Sementara karya tulisnya lebih dari 140 buku dan itu pun belum termasuk karyanya yang berupa masail yang jumlahnya lebih dari 100 juz. Beliau juga mempunyai tulisan yang membahas fikih hadis Barirah sebanyak 3 juz.” Namun sangat disayangkan mayoritas karya tulisnya tidak sampai kepada kita hingga saat ini. Di antara kitabnya yang sangat terkenal adalah Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah. Nama asli kitab ini sebagaimana disebutkan oleh penulisnya sendiri adalah Mukhtasharul Mukhtashar minal Musnad Ash Shahih ‘anin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam binaqlil ‘adli ‘anil adli maushulan ilaihi shallallahu ‘alaihi wa sallam min ghairi Qath’in fi Atsnail Isnad wa Jarhin fi Naqilil Ikhbar. Demikian halnya kitab At Tauhid yang mendeskripsikan tentang akidah Ahlus Sunnah wa Jama’ah. Dan juga di antara buah karyanya adalah kitab Sya’nun Du’a wa Tafsirul Ad’iyah al-Ma’tsurah ‘an Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Khuzaimah merupakan figur ulama yang komitmen terhadap Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akidah yang lurus. Tulisan-tulisan ilmiyahnya terutama At Tauhid mencerminkan bagaimana hakikat akidah beliau. Demikian halnya statmen beliau dalam bab Tauhid Asma’ wa Shifat semisal pernyataannya, “Siapa saja yang enggan menetapkan bahwa Allah beristiwa’ di atas Arsy-Nya di atas tujuh langit, berarti dia seorang kafir.” Tentang Al Quran beliau menyatakan, “Al Quran adalah Kalamullah (firman Allah) dan barang siapa mengatakan bahwa Al Quran adalah makhluk maka dia telah kafir. Pelakunya harus dimintai tobatnya, jika dia bertobat maka itu yang diinginkan. Namun jika tidak maka hukumannya adalah dibunuh dan tidak boleh menguburkannya di pemakaman kaum muslimin.” Ibnu Khuzaimah juga tegas membantah kelompok-kelompok menyimpang semisal Jahmiyah, Kullabiyah, dan yang lainnya. AKHIR HAYATNYA  Beliau meninggal pada malam Sabtu di bulan Dzulqa’dah tahun 311 H dalam usia 88 tahun. Jenazah Ibnu Khuzaimah disalati oleh putranya sendiri, yaitu Abu Nashr bersama dengan segenap kaum muslimin. Pada awalnya jenazah beliau dimakamkan di kamar rumahnya. Namun selanjutnya kamar tersebut dijadikan sebagai kuburan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau dan memberikan balasan yang terbaik atas segala kebaikan beliau untuk Islam serta kaum muslimin. Allahu A’lam. Sumber: Majalah Qudwah edisi 58 vol.05 1439 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafiy Abdullah http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2018/04/ibnu-khuzaimah.html biografi-imam-ibnu-khuzaimah-an-naisabury via Pexels
7 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah atikah binti zaid, istri para syuhada

Kisah Atikah binti Zaid Nama beliau adalah Atikah binti Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdil Uzza bin Rayyah bin Abdillah Al Qurasyiyah Al Adawiyyah radhiyallahu ‘anha . Beliau adalah saudari seayah dari Said bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, salah seorang dari sepuluh orang yang dijanjikan surga. Beliau adalah anak perempuan dari paman Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Sedang ibu beliau adalah Ummu Kuraiz binti Abdillah bin Ammar bin Malik Al Hadramiyah. Atikah termasuk wanita yang dikaruniai paras yang rupawan dan budi pekerti yang baik. Demikian pula beliau termasuk wanita yang memiliki kepandaian dalam syair. Beliau termasuk wanita Quraisy yang ikut berhijrah ke negeri Madinah. Atikah binti Zaid radhiyallahu ‘anha menikah beberapa kali dengan para shahabat yang utama. Cukuplah kita melihat kemuliaan shahabat wanita ini dengan para pendamping hidupnya. Di antara shahabat mulia yang menikah dengan beliau adalah Abdullah bin Abu Bakar. Pada pernikahan beliau ini sempat terjadi perceraian antara keduanya. Ini disebabkan permintaan sang ayah, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, yang melihat bahwa putranya –Abdullah- terlalu tersibukkan dengan cintanya kepada Atikah dari hak-hak Allah. Dengan sebab cintanya kepada sang istri, sang anak terlalaikan dari hak Allah, demikian anggapan ayah beliau. Demi mengikuti nasihat sang ayah, Abdullah bin Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma pun menceraikan istrinya. Namun, perpisahan tersebut menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi sang suami, demikian pula dengan Atikah. Dengan sebab perpisahan ini Abdullah membuat bait-bait syair kesedihan yang terdengar sampai kepada Abu Bakar Ash Shiddiiq dan menyebabkan beliau merasa iba. Abu Bakar pun mengijinkan putranya untuk merujuk kembali sang istri. Namun, pernikahan ini pun hanya berjalan beberapa waktu lamanya dan berakhir dengan gugurnya Abdullah bin Abi Bakar terkena anak panah saat berperang di Thaif bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Biografi Atikah binti Zaid via Pexels Setelah kepergian sang suami dan selesai dari masa iddah, Atikah pun dipersunting oleh Zaid bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Namun, suami beliau ini pun gugur dalam peristiwa perang Yamamah. Pada tahun 12 hijriah, Atikah radhiyallahu ‘anha menikah dengan Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Umar bin Al Khaththab sendiri adalah kakak ipar dari Said bin Zaid yang menikahi Fathimah binti Al Khaththab. Oleh karenanya, telah ada hubungan kedekatan antara keluarga Atikah dan keluarga Umar bin Khaththab sebelumnya. Dalam pernikahan ini, Atikah mempersyaratkan kepada Umar bin Al Khaththab agar dirinya tidak dilarang untuk turut hadir dalam salat berjamaah bersama kaum muslimin di Masjid Nabi dan tidak memukulnya. Maka, Umar bin Al Khaththab pun menyetujui syarat tersebut dengan berat hati. Dalam pernikahan ini, lahir seorang anak laki-laki bernama Iyadh bin Umar bin Al Khaththab. Selama sekitar 10 tahun lamanya beliau setia mendampingi khalifah Umar bin Al Khaththab. Hingga beliau meninggal terbunuh syahid oleh seorang majusi di tahun ke-22 hijriah. Lalu beliau pun dipinang oleh Az Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu, sang hawari (pengikut setia) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga. Beliau pun menerima pinangan tersebut dengan meminta syarat yang sama dengan yang beliau ajukan kepada suami sebelumnya, yaitu meminta syarat untuk tidak dilarang menghadiri salat jamaah di masjid Nabi. Maka, Az Zubair pun memenuhi syarat tersebut. Namun saat datang waktu salat Isya’, dan sang istri bersiap menghadirinya, Az Zubair pun merasa berat dengan hal ini, akan tetapi beliau tidak kuasa melarangnya disebabkan syarat yang telah diajukan tersebut. Demikianlah kecemburuan para suami atas istri mereka ketika mereka keluar rumah. Walaupun tujuan keluarnya adalah demi beribadah kepada-Nya di masjid-Nya. Maka tatkala sang istri beranjak pergi, Az-Zubair mendahului beliau dan menunggu sang istri melewatinya di tempat yang tidak terlihat. Maka tatkala sang istri lewat, Az Zubair mencolek sang istri. Maka seketika itu sang istri beristirja’ dan berlari pulang. Sang istri tidak mengetahui bahwa yang mencoleknya adalah suaminya sendiri. Sejak itu Atikah tidak lagi keluar mengikuti salat berjamaah karena merasa takut akan diganggu manusia. Demikianlah seharusnya sikap yang ditunjukkan kaum mukminah, berusaha menjaga dirinya dari gangguan manusia. Terlebih di zaman ini, zaman yang penuh kemungkaran dan telah mulai menipis ketakwaan manusia kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Pernikahan berakhir dengan syahidnya Az Zubair dalam Perang Jamal. Setelah kematian Az Zubair, sang khalifah di saat itu adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ali pun berkeinginan untuk meminang Atikah binti Zaid. Namun, Atikah binti Zaid menolak pinangan Ali bin Abi Thalib disebabkan saat itu Ali menjadi pemimpin kaum muslimin. Sedangkan beliau melihat bahwa para suaminya meninggal semua dalam keadaan syahid. Beliau pun takut hal ini juga terjadi atas sang khalifah sebagaimana telah menimpa kepada suami beliau sebelumnya. Maka Ali bin Abi Thalib mengurungkan pinangan tersebut. Lalu beliau dilamar oleh Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dan ini adalah suami beliau yang terakhir. Walau dalam pernikahan ini Atikah radhiyallahu ‘anha telah memasuki masa senja, namun, beliau tetaplah menjadi wanita yang disayangi dan dihormati oleh sang suami, Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sebenarnya, sebelum pernikahan terjadi, Atikah telah mempersyaratkan agar calon suaminya tersebut tidak boleh melakukan jihad. Hal ini disebabkan kecemasan beliau terhadap kematian yang mungkin juga akan menimpa sang suami sebagaimana syahidnya suami-suami beliau sebelumnya. Akan tetapi, takdir Allah tidaklah dapat diganti dan diubah. Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan Al Hasan meninggal pula sebagai syahid meninggalkan beliau seorang diri. Setelah kematian Al Hasan beliau pun hendak dilamar oleh Muawiyah radhiyallahu ‘anhu, namun beliau menolaknya dan mengatakan, “Cukuplah bagiku menjadi wanita menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Atikah radhiyallahu ‘anha meninggal di masa kekuasaan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. [Ustadz Hammam] Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 73 vol. 07 1439H-2017M rubrik Figur. | Judul Asli : Istri Para Syuhada | .http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2017/11/istri-para-syuhada.html Demikianlah Kisah Atikah binti Zaid, semoga kita bisa mengambil pelajaran nan berharga dari beliau.
7 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah an nu’man bin muqarrin radhiyallahu ‘anhu

An Nu’man bin Muqarrin radhiyallahu ‘anhu Seorang tokoh shahabat, dengan perantaraan beliau, kaumnya tunduk kepada kemuliaan Islam. Beliau berasal dari Kabilah Muzainah, sebuah kabilah badui yang tinggal di dekat kota Madinah, terletak di antara Madinah dan Makkah. Kabar tentang Islam dan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai ke telinga mereka. Dakwah beliau, kepada apa beliau mengajak dan juga keluhuran akhlak beliau telah meluluhkan hati tokoh ini dan hati kaumnya. Beliau adalah Abu Amr An Nu’man bin Muqarrin bin ‘Aidz bin Miijan bin Hujair bin Nasr bin Hubsiyyah bin Kaab bin Abd bin Tsaur bin Hadmah bin Laathim bin Utsman Al Muzani . Putra-putra Utsman ini disebut Muzainah disandarkan kepada ibu mereka. Suatu ketika beliau berkata kepada kaumnya, يَا قَوۡمِ وَاللهِ مَا عَلِمۡنَا عَنۡ مُحَمَّدٍ إِلَّا خَيۡرًا، وَلَا سَمِعۡنَا مِنۡ دَعۡوَتِهِ إِلَّا مَرۡحَمَةً وَإِحۡسَانًا وَعَدۡلًا، فَمَا بَالُنَا نُبۡطِئُ عَنۡهُ، وَالنَّاسُ إِلَيۡهِ يُسۡرِعُونَ؟! أَمَّا أَنَا فَقَدۡ عَزَمۡتُ عَلَى أَنۡ أَغۡدُوَ عَلَيۡهِ إِذَا أَصۡبَحۡتُ، فَمَنۡ شَاءَ مِنۡكُمۡ أَنۡ يَكُونَ مَعِي فَلۡيَتَجَهَّزۡ. “Wahai kaumku, sungguh kita tidak mengetahui tentang Muhammad kecuali kebaikan, kita tidak mendengar tentang dakwahnya kecuali kasih sayang, kebaikan, dan keadilan. Lalu kenapa kita tidak segera menyambutnya, sedang manusia bersegera menyambutnya? Adapun aku, sungguh aku telah bertekad untuk datang kepadanya besok. Maka siapa di antara kalian yang mau bersamaku maka hendaklah dia bersiap-siap.” Maka, di pagi harinya beliau datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sepuluh saudara beliau sebapak dan bersama mereka sejumlah empat ratus orang pasukan berkuda dari kaumnya. Maka, kedatangan beliau beserta rombongan ini untuk masuk Islam memberikan kegembiraan yang sangat pada kaum muslimin di Madinah. Kepada beliau dan kaum beliaulah turun ayat Allah berikut ini: وَمِنَ ٱلۡأَعۡرَابِ مَن يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡءَاخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنفِقُ قُرُبَـٰتٍ عِندَ ٱللَّهِ وَصَلَوَ‌ٰتِ ٱلرَّسُولِ ۚ أَلَآ إِنَّهَا قُرۡبَةٌ لَّهُمۡ ۚ سَيُدۡخِلُهُمُ ٱللَّهُ فِى رَحۡمَتِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Q.S. At Taubah: 99] Beliau dan saudara-saudara beliau, semuanya sejumlah tujuh orang adalah shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ikut berhijrah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satu pun dari keluarga Arab ketika itu yang melakukan seperti mereka. Mereka adalah: Abu Amrah Ma’qil bin Muqarrin Al Muzani, Abdullah bin Muqarrin al Muzani, Abu Hakiim ‘Aqiil bin Muqarrin Al Muzani, Abu ‘Ady Suwaid bin Muqarrin Al Muzani, Sinan bin Muqarrin Al Muzani, Nuaim bin Muqarrin Al Muzani (beliaulah yang mengambil bendera dari tangan An-Nu’man saat beliau gugur, kemudian menyerahkannya ke Hudzaifah. Dan di tangan Nuaim inilah banyak dibukakan negeri-negeri persia). Tak ketinggalan, putra beliau Amr bin An Nu’man pun juga merupakan salah satu shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji keluarga ini sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, إِنَّ لِلۡإِيمَانِ بُيُوتًا وَلِلنِّفَاقِ بُيُوتًا، وَإِنَّ بَيۡتَ بَنِي مُقَرِّنۡ مِنۡ بُيُوتِ الۡإِيمَانِ “Sesungguhnya iman memiliki rumah-rumah dan kemunafikan juga memiliki rumah-rumah, dan sesungguhnya rumah-rumah bani Muqarrin adalah rumah-rumah keimanan.” Foto: Canyon | Sumber: Pexels KEUTAMAAN NU'MAN BIN MUQARRIN Beliau termasuk pembesar shahabat. Berbagai keutamaan ada pada beliau. Setelah masuknya beliau ke dalam Islam, beliau senantiasa mengikuti berbagai peristiwa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, turut serta berhijrah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti perang Ahzab/ Khandaq, mengikuti Bai’atur Ridwan, mengikuti pertempuran menghadapi kaum yang murtad dan lainnya. Beliau juga meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara yang tercatat meriwayatkan hadis dari beliau adalah Ma’qil bin Yasar, seorang shahabat. Adapun dari kalangan tabiin, ada Muhammad bin Sirin, Khalid Al Waalibii, anak beliau Muawiyah, Muslim bin Al Haidham, dan Jubair bin Hayyah. PERAN SERTA DALAM MEMBELA KHALIFAH PERTAMA Pada masa kepemimpinan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dikirimlah pasukan besar di bawah komando Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, untuk menghadapi bangsa Romawi. Di saat yang hampir bersamaan, muncul gerakan-gerakan pemberontakan dari banyak kabilah-kabilah arab terhadap khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq. Ada beberapa kelompok mereka yang tidak mau menyerahkan zakat kepada beliau, dan menganggap bahwa zakat hanya ditunaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Ada pula kabilah yang menyempal dari Islam dengan menetapkan adanya kenabian setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Muncul gerakan Musailamah Al Kadzdzab yang didukung oleh kabilah besar dari Bani Hanifah. Muncul pula Sajah, wanita yang mengaku sebagai nabi dari Bani Tamim, Al Aswad di Negeri Yaman, dan Thulaihah. Mereka menyangka kaum muslimin dalam keadaan lemah dan pecah sehingga berani menampakkan penentangan. Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan kaum muslimin yang tersisa di Madinah dan sekitarnya pun berjuang menghadapi para pemberontak tersebut dengan keberanian. Dalam pertempuran menghadapi Thulaihah Al Asadi, An Nu’man memiliki andil besar. Abu Bakar sendiri yang turun tangan keluar menghadapi pasukan Tulaihah pada suatu malam. Beliau bersama An Nu’man di sebelah kanan dan Abdullah bin Muqarrin di sebelah kiri dan di arah belakang Suwaid bin Muqarrin. Maka tatkala fajar terbit, telah berhadapanlah kedua pasukan tersebut dan Allah pun menjadikan pasukan sang nabi palsu lari tunggang langgang dan dikejar oleh pasukan muslimin hingga daerah Dzil Qishshah. Pada akhirnya, Tulaihah pun menyatakan tobatnya dan kembali dalam deretan kaum muslimin dan baik keislamannya. Foto: Arid Bushes | Sumber: Pexels PERAN SERTA DALAM MEMBELA KHALIFAH KEDUA Di masa kekhalifahan Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah diangkat menjadi gubernur di daerah Kasykar, suatu negeri di dekat Sungai Tigris (dajlah) dan Efrat (furat), Iraq. Suatu ketika, terdengar kabar bahwa pasukan Persia telah berkumpul dan siap berperang menghadapi muslimin. Mereka berkumpul di daerah Nahawand. Maka Umar bin Al Khattab pun menulis kepada penduduk Kufah dan Bashrah, memerintahkan mereka untuk mengirimkan 2/3 jumlah mereka guna bertempur dengan pasukan Persia. Dan menjadikan An Nu’man sebagai pemimpin pasukan. Beliau memberikan pengarahan kepada pasukan dan mengatakan, “Apabila Nu’man terbunuh maka Hudzaifah (menggantikannya) dan apabila Hudzaifah terbunuh maka Jarir (yang menggantikannya).” Maka keluarlah Nu’man dengan membawa bendera perang, bersama beliau Hudzaifah, Az Zubair, Al Mughirah bin Syu’bah, Asy’ats bin Qais, dan Abdullah bin Umar. Maka Allah pun memenangkan kaum muslimin dan membukakan Negeri Ashbahan di bawah komando beliau. Tatkala pasukan ini sampai di Negeri Nahawand, An Nu’man pun mengatakan sebuah ucapan yang terkenal, “Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya aku pernah menyaksikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila tidak memulai berperang di permulaan siang (dhuha,red), maka beliau menunda pertempuran sampai datang akhir siang, saat angin mulai berhembus dan akan turunlah pertolongan. Yaa Allah berikanlah rezeki syahid untuk An Nu’man dengan pertolongan-Mu untuk kaum Muslimin. Dan menangkanlah untuk mereka.” Maka kaum musliminpun mengamini doa beliau. Beliau juga mengatakan, “Sungguh aku akan menggerakkan bendera perang tiga kali. Apabila aku telah tiga kali menggerakkannya, maka bertempurlah, dan janganlah satu sama lain saling menoleh. Apabila An Nu’man terbunuh, janganlah kalian menoleh kepadanya.” Maka bergeraklah beliau dan pasukan pada gerakan bendera yang ketiga. Dan Allah menetapkan bahwa beliau adalah orang pertama yang tersungkur dan mendapatkan syahadah. Radhiyallah anhu. Pertempuran Nahawand ini terjadi di tahun 21 Hijriyyah. Dan beliau meninggal di hari Jumat. Maka saat datang Abu Utsman mengabarkan kepada Umar bin Al Khattab berita kematian beliau, beliaupun keluar dan naik mimbar untuk mengabarkan kepada manusia berita tersebut. Beliau pun meletakkan tangan pada kepala beliau sambil menangis. Radhiyallah anhu. [Ustadz Hammam] Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 75 vol.07 1439H-2018H rubrik Figur. | .http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2018/01/an-numan-bin-muqarrin-radhiyallahu-anhu.html
7 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi imam at tirmidzi rahimahullah

Imam At-Tirmidzi Begitu harum namanya disebut dalam untaian hikmah. Bertaut dengan Sang Musthafa, Khairul Anam shallallahu ‘alaihi wa sallam . Nabi Mulia, yang tidak berkata dari nafsunya. Melainkan dari wahyu yang turun kepadanya. Imam At-Tirmidzi, salah satu tanda kebenaran firman-Nya. Bahwa agama ini niscaya terjaga, dengan perantara ulama pengusung bendera sunnah. Hingga kelak kiamat tiba. Nama asli At Tirmidzi adalah Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa As Sulami Al Bughi At Tirmidzi Adh Dharir . Inilah silsilah nasab beliau yang disebutkan dalam kebanyakan riwayat. Di sana ada pula riwayat lain yang sedikit berbeda dalam penyebutan kakek dan di atasnya dari moyang-moyang beliau. KELAHIRAN IMAM AT TIRMIDZI Lahir pada tahun 209. Tidak diketahui dengan pasti tempat kelahiran beliau. Apakah di kota Tirmidz atau desa Bugh. Yang pasti, Tirmidz adalah sebuah kota kuno. Letaknya di muara sungai Balchia yang juga disebut sungai Jeihun, tepatnya sebelah selatan sungai itu. Jarak antara Tirmidz dan desa Bugh sekitar 6 farsakh (kurang lebih 33 Km). Ada juga tambahan keterangan dalam sebagian kisah bahwa beliau lahir dalam kondisi buta. Wallahu a’lam dengan akurasi riwayat ini. Yang lebih tepat, beliau mengalami kebutaan di masa tuanya karena banyak menangis. GURU-GURU IMAM AT TIRMIDZI Beliau menjumpai banyak guru besar dalam bidang hadits. Mendengar hadits-hadits dari mereka dan meriwayatkannya. Masa itu memang dikenal sebagai era kebangkitan ilmu hadits dan cabang-cabangnya. Masa keemasan ini tidak lepas dari peran Imam Asy Syaf’i Al Muthallibi. Ia ajarkan ilmu ini kepada masyarakat luas, lebih khusus kepada penduduk Mesir dan Iraq. Asy Syaf’i mengajarkan keharusan berhujah dengan As Sunnah, menjelaskan bagaimana kewajiban mengamalkan As Sunnah, sebagaimana kewajiban berhujah dan mengamalkan Al Quran. Beliau letakkan kaidah dan pokok-pokok dalam berhujah dengan hadits-hadits nabi. Imam At Tirmidzi memang tidak menjumpai Asy Syafi’i. Bahkan para penulis kutubus sittah seperti Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan An Nasa’i tidak ada yang bertemu langsung dengan beliau karena beliau lebih dulu wafat. Namun, mereka bertemu dengan guru-guru besar yang sezaman dengannya atau murid-murid seniornya. At-Tirmidzi juga murid senior Al Bukhari. Dia mengambil ilmu hadits, memperdalam ilmu fikih, bertanya dan mengambil faedah, dan saling beradu argumen. Ada kalanya At Tirmidzi mengikuti pendapat Al Bukhari dengan dalilnya. Dan terkadang, beliau tidak sependapat dengannya. Demikianlah keadaan para ulama sunnah, mereka selalu mengikuti kebenaran dan jauh dari sikap taqlid, bahkan mengingkarinya. At Tirmidzi Bertualang Mempelajari Hadits At Tirmidzi berkeliling negeri untuk mereguk ilmu. Beliau menemui para periwayat hadits yang tersebar di negeri Khurasan, Iraq, dan Hijaz (Makkah dan Madinah). Namun, sebagian ulama memiliki persangkaan kuat bahwa At Tirmidzi tidak sempat masuk dan menimba ilmu di negeri Baghdad. Buktinya, nama beliau tiada disebut oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Bukti lain, ia tidak meriwayatkan satu hadits pun langsung dari Imam kota Baghdad sepeninggal Asy Syafi’i, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal At Tirmidzi menjumpai masa hidup Imam Ahmad yang lahir pada tahun 164 dan wafat tahun 241. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa tiada disebutnya nama At Tirmidzi dalam Tarikh Baghdad bukanlah melazimkan bahwa ia tiada pernah memasukinya. Ada kemungkinan lain yang melatari, yaitu bahwa At Tirmidzi masuk ke Baghdad setelah Imam Ahmad meninggal. Karena perjalanan ilmiah At Tirmidzi tidaklah bermula dari masa kecilnya, namun setelah beliau berusia lebih dari 20 tahun, yaitu pada tahun 234 H. Wallahu a’lam dengan dua pendapat ini mana yang lebih bisa kita pegangi. MURID AT TIRMIDZI Yang meriwayatkan hadits dari beliau sangat banyak. Di antara yang paling penting untuk disebut dari sekian banyak murid beliau adalah Abul Abbas Al Mahbubi. Ia seorang ahli hadits paling menonjol dari negeri Maru. Dan dialah yang meriwayatkan kitab Jami’ At Tirmidzi langsung dari beliau. Al Mahbubi dikenal sebagai muhaddits sekaligus saudagar di negeri Khurasan. Ia juga menjadi bidikan para pencari ilmu dari berbagai penjuru negeri. OTAK CEMERLANG DAN DAYA INGAT YANG SEMPURNA Dihikayatkan dari Al Idrisi dengan sanadnya dari At Tirmidzi bahwa ia bercerita, “Pada saat aku dalam perjalanan menuju Makkah, ketika itu aku telah menghimpun hadits-hadits yang berasal dari seorang syaikh dalam dua jilid. (Namun aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Hadits-hadits itu aku dapatkan dari murid-muridnya). Di tengah perjalanan, dengan takdir Allah Syaikh tersebut berpapasan dengan kami. Setelah aku tahu bahwa itu adalah Syaikh yang sedang aku tulis hadits-haditsnya dalam dua jilid itu, maka aku pun bergegas menemuinya. Sebelum itu, kuambil terlebih dahulu ‘dua jilid kitab’ dari kantong perbekalan. Aku meminta syaikh tersebut membacakan hadits-haditsnya sehingga aku bisa mencocokkan dengan tulisanku. Ia pun mengabulkan permintaanku. Subhanallah! Ternyata yang ada di hadapanku bukanlah buku yang berisi haditsnya. Melainkan dua jilid lain yang masih putih dan polos. Aku bingung dibuatnya. Namun, tidak mungkin pula aku berputar haluan menukar dua jilid yang kumaukan. Tak lama berselang syaikh itu membacakan hadits dan lafazhnya kepadaku. Di sela-sela pembacaan itu ia melihat kepadaku dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih. Maka dia menegurku, “Tidakkah engkau malu kepadaku?” Aku katakan, “Bukan begitu perkaranya wahai Syaikh!” Aku pun memberitahukan kepadanya kenapa aku membawa buku kosong. Lalu aku berkata menghiburnya, “Namun aku telah menghafal semuanya wahai syaikh.” Maka syaikh tersebut berkata, “Kalau begitu, ayo baca!” Maka aku pun membacakan kepadanya seluruhnya. Sayang, dia belum percaya dengan pengakuanku, maka dia pun bertanya menyidik, “Pasti telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?” “Tidak wahai guru,” Jawabku. Untuk membuktikan kebenaran ucapanku, aku meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits gharib (hadits yang diriwayatkan hanya melaluinya sehingga tentu mustahil aku pernah mendengar hadits-hadits tersebut kecuali ketika itu), lalu berkata, “Coba ulangi apa yang kubacakan tadi.” Dengan izin Allah, aku ternyata dapat membacakannya kembali dari pertama sampai selesai tanpa salah satu huruf pun. Sehingga syaikh itu berkata, “Wahai murid, aku belum pernah melihat orang sepertimu.” PUJIAN ULAMA TERHADAP BELIAU Imam Al Bukhari berkata kepada Imam At Tirmidzi, “Ilmu yang aku ambil manfaatnya darimu itu lebih banyak ketimbang ilmu yang engkau ambil manfaatnya dariku.” Ibnu Hibban menuturkan, “Abu ‘Isa (At-Tirmidzi) adalah sosok ulama yang mengumpulkan hadits, membukukan, menghafal, dan mengadakan diskusi dalam hal hadits.” Abu Ya’la Al Khalili menuturkan, “Muhammad bin Isa At Tirmidzi adalah seorang yang tsiqah (terpercaya keagamaan dan kemampuan hafalannya) menurut kesepakatan para ulama, terkenal dengan amanah, dan keilmuannya.” Abu Sa’ad Al Idrisi menuturkan, “Imam At Tirmidzi adalah salah seorang imam yang diikuti dalam hal ilmu hadits. Beliau telah menyusun kitab Al Jami’, Tarikh, dan ‘Ilal dengan cara yang menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang alim yang kapabel. Beliau adalah seorang ulama yang menjadi contoh dalam hal hafalan.” Al Hafizh Al Mizzi menuturkan, “Imam At Tirmidzi adalah salah seorang imam yang menonjol, dan termasuk orang yang Allah jadikan kaum muslimin mengambil manfaat darinya.” HASIL KARYA BELIAU Imam At Tirmizi mewariskan ilmunya, karya-karya beliau, di antara buku-buku beliau yang kita kenal adalah: Kitab Al Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan At Tirmidzi. Kitab Al ‘Ilal Kitab Asy Syama’il An Nabawiyyah. Sekilas tentang karya beliau rahimahullah: 1. Kitab al-Jami’ Kitab ini di kalangan para ulama dikenal dengan dua nama, Jami’ at-Tirmidzi dan Sunan at-Tirmidzi. Namun penamaan pertama adalah lebih populer sebagaimana disebutkan oleh as-Sam’ani, al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Hajar al-’Asqalani dan lain-lain. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah kitab beliau yang paling bagus dan banyak manfaatnya, paling bagus susunannya, dan paling sedikit pengulangannya. Di dalamnya terdapat sesuatu yang tidak dijumpai di dalam kitab lain, berupa penyebutan madzhab-madzhab, segi-segi pengambilan dalil (istidlal), dan macam-macam hadits dari yang shahih, hasan, dan gharib.” 2. Kitab asy-Syamail an-Nabawiyah Adapun kitab asy-Syamail an-Nabawiyah adalah sebuah kitab yang menerangkan sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara fisik maupun akhlak. Banyak dari kalangan para ulama yang menukil dan mengambil faidah dari kitab ini seperti al-Maqdisi, al-Mundziri, al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, az-Zaila’i, Ibnu Hajar dan as-Suyuthi. Sumbangsih dalam Penelitian dan Pengembangan Ilmu Hadits 1. Dalam ilmu mushthalah hadits Sebelum munculnya al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah, klasifikasi hadits hanya terbagi menjadi hadits shahih dan hadits dha’if. Hadits shahih adalah hadits yang para perawinya memiliki hafalan yang kuat. Sementara hadits dha’if adalah hadits yang lemah disebabkan lemahnya hafalan perawinya atau sebab yang lain. Dari sini, al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah memiliki pemikiran yang jenius. Ketika suatu hadits diriwayatkan oleh perawi yang standar hafalannya di bawah perawi hadits shahih, namun masih unggul dibanding perawi hadits dha’if sehingga hafalannya dapat disebut `tidak kuat sekali, namun lemah pun tidak,` maka beliau mengkategorikan periwayatan seperti ini kepada tingkat hasan. Oleh karenanya, beliau rahimahullah adalah orang pertama yang memasyhurkan pembagian hadits menjadi shahih, hasan, dan dha’if. 2. Menyatukan paradigma hadits dan fiqih Kalau kita lihat, kitab Jami’ at-Tirmidzi selalu menampilkan perbandingan pendapat antar madzhab. Perbandingan ini selalu dibarengkan tatkala beliau menuliskan sebuah hadits. Bahkan, karena banyaknya memuat perbandingan fiqh, kitab Jami’ At-Tirmidzi ini nyaris terkesan sebagai kitab fiqh, bukan kitab hadits. Hal inilah yang menjadi keistimewaan sekaligus pembeda antara kitab Jami’ at-Tirmidzi dengan kitab-kitab hadits yang lain. Namun demikian, bukan berarti al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah merupakan figur sektarian yaitu berpegang pada salah satu madzhab tertentu. Beliau merupakan tokoh yang hanya mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang mujtahid yang tidak bertaklid (mengikut tanpa dalil) kepada siapapun. Ketidakberpihakan al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah pada salah satu madzhab fiqh ini dapat difahami dengan tidak adanya unsur pengunggulan pada salah satu madzhab tertentu di dalam kitabnya. BELIAU WAFAT Di akhir hidupnya, imam At Tirmidzi mengalami buta. Beberapa tahun beliau hidup bersabar tanpa penglihatan. Walaupun mata tidak bisa melihat. Namun qalbu senantiasa menerangi sisa-sisa hidupnya. Hingga pada bulan Rajab tahun 279 H beliau meninggal dalam usia 70 tahun. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau, dan menempatkan beliau di surga-Nya yang luas. Sumber: Majalah Qudwah edisi 7 vol. 1 1434H/2013M, rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini. Dikutip dari - http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2014/02/imam-at-tirmidzi.html - .http://buletin-alilmu.com/2012/02/05/keteladanan-al-imam-at-tirmidzi-dalam-menuntut-ilmu/
7 tahun yang lalu
baca 9 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi imam abu dawud

Biografi Imam Abu Dawud Nama lengkap ulama kita kali ini adalah Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Syaddad yang lebih populer dengan sebutan Abu Dawud. Adz-Dzahabi rahimahullah menyatakan bahwa Abu Dawud Al-Azdi As-Sijistani adalah seorang pemuka, pimpinannya para hafizh dan ahli hadits Bashrah. Ia dilahirkan pada tahun 202 H di sebuah daerah yang bernama Sijistan. Abu Dawud mempunyai kesungguhan yang besar dalam menuntut ilmu. Semenjak usia muda, beliau telah melakukan rihlah (perjalanan) ke berbagai penjuru negeri untuk menuntut ilmu. Suatu hal yang bisa dimaklumi karena ia tumbuh di lingkungan keluarga yang mencintai hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayahanda yang bernama Al-Asy’ats bin Syaddad adalah seorang perawi hadits. Selain itu, saudara laki-lakinya yang bernama Muhammad bin Al-Asy’ats juga seorang perawi hadits. Bahkan sempat menjadi teman berkelana dan melanglang buana untuk mencari ilmu hadits. Sehingga, keadaan ini sangat mendukung Abu Dawud untuk menekuni ilmu hadits sejak usia muda. Belum lagi ditunjang semangat besarnya untuk mendalami ilmu hadits dan meriwayatkannya kepada kaum muslimin di zamannya. Abu Dawud banyak menghasilkan karya tulis dalam berbagai cabang ilmu. Sunan Abu Dawud menjadi salah satu karya monumentalnya dan masih eksis hingga saat ini. Bahkan kitab susunan beliau ini menjadi salah satu kitab induk penting dalam masalah hadits. Di antara karya tulisnya adalah Kitab Al-Qadar, An-Nasikh wal Mansukh, Kitab Az-Zuhd, Dala`ilun Nubuwwah, Akhbarul Khawarij dan yang lainnya. Salah satu bukti yang menunjukkan begitu seriusnya Abu Dawud melakukan rihlah menuntut ilmu adalah tersebarnya guru beliau di berbagai penjuru negeri. Di Makkah, ia meriwayatkan hadits dari Al-Qa’naby dan Sulaiman bin Harb. Adapun di Bashrah meriwayatkan hadits dari Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, Abul Walid Ath-Thayalisi, Musa bin Ismail, dan yang lainnya. Sementara di Kufah nama-nama seperti Al-Hasan bin Ar-Rabi’ Al-Burani dan Ahmad bin Yunus Al-Bura’i. Adapun di Harran ia meriwayatkan hadits dari Abu Ja’far An-Nufaili, Ahmad bin Syuaib dan yang lainnya. Adapun di Halab meriwayatkan dari Abu Taubah Ar-Rabi’ bin Nafi’. Ia juga bertemu dan belajar kepada Haiwah bin Syuraih di Hims. Di Damaskus ia menimba ilmu dari Shafwan bin Shalih dan Hisyam bin Ammar. Kemudian di Khurasan meriwayatkan dari Ishaq bin Rahuyah dan yang lainnya. Tidak terlewatkan di Baghdad ia belajar kepada Imam Ahmad bin Hanbaldan di Mesir meriwayatkan dari Ahmad bin Shalih dan selainnya. Demikianlah, Abu Dawud melanglang buana demi untuk menimba ilmu dari para ulama. Masih banyak guru-gurunya yang tersebar di berbagai penjuru negeri yang tidak tercatat dalam biografinya. Dengan perantauan ke berbagai negeri itu membuat Abu Dawud mampu mengoleksi hadits-hadits yang sangat banyak. Dari situlah kemudian ia menyusun kitab Sunan yang sampai sekarang menjadi bagian dari Kutubus Sittah [1]. MURID-MURIDNYA Para ulama yang pernah menimba ilmu dan meriwayatkan hadits dari Abu Dawud cukup banyak. Di antaranya adalah Abu Isa At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, An-Nasai, Ahmad bin Muhammad Al-Khallal, Abu Ahmad Ja’far Al-Ashbahani, Harb bin Ismail Al-Kirmani, Ishaq bin Musa Ar-Ramli, Ahmad bin Ali bin Al-Hasan Al-Bashri dan masih banyak yang lainnya. PUJIAN PARA ULAMA Pembaca yang budiman, kepakaran Abu Dawud dalam bidang hadits telah diakui oleh sekian banyak ulama besar di masanya maupun setelahnya. Ia menguasai kurang lebih lima ratus ribu hadits, Subhanallah! Ini menggambarkan hafalannya yang sangat kuat. Secara karakter, ia disebut-sebut sebagai ulama sangat mirip dengan Imam Ahmad yang merupakan salah satu gurunya. Sebagian ulama yang menyatakan bahwa Abu Dawud mempunyai kemiripan dengan Imam Ahmad. Suatu hal yang wajar karena Imam Ahmad adalah salah satu guru besarnya di Baghdad. Adz-Dzahabi menyatakan dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala, “Abu Dawud adalah seorang imam dalam ilmu hadits dan cabang ilmu yang lainnya. Bahkan ia termasuk ulama besar dalam bidang ilmu fikih. Ia adalah salah satu murid Imam Ahmad yang cerdas. Ia telah menetapi majelis Imam Ahmad selama beberapa tahun dan bertanya kepadanya tentang berbagai permasalahan rumit terkait furu’ (cabang ilmu, seperti fikih dan lainnya, red.) dan ushul (pokok ajaran agama, yakni akidah, red.).” Simaklah pujian dan sanjungan dari para ulama besar berikut ini. Abu Bakar Al-Khallal rahimahullah berkata, “Abu Dawud adalah seorang imam yang menonjol di zamannya.” Ahmad bin Muhammad bin Yasin berkata, “Abu Dawud adalah salah seorang penghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kandungannya, penyakit dalam riwayatnya, dan sanadnya. Beliau memiliki ibadah, kehormatan diri, kebaikan, dan sikap wara’[2] yang tinggi.” Ibrahim Al-Harabi rahimahullah berkata, “Tatkala Abu Dawud menulis kitab Sunan, hadits telah dilunakkan (yakni dimudahkan,red.) bagi Abu Dawud sebagaimana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud.” Sungguh ungkapan yang tidak berlebihan, Allah telah memudahkan Abu Dawud untuk menyusun kitab Sunannya hingga manfaatnya bisa dirasakan oleh kaum muslimin sampai detik ini. Muhammad bin Makhlad berkata, “Tatkala Abu Dawud selesai menulis kitab Sunan kemudian dibacakan kepada kaum muslimin, sejak saat itulah kitabnya seolah-olah menjadi mushaf bagi para ahli hadits. Mereka menyetujui keberadaan kitab tersebut dan tidak menyelisihinya. Mereka juga mengikrarkan pengakuan terhadap hafalan dan keunggulannya.” Al Hafizh Musa bin Harun berkata, “Abu Dawud tercipta di dunia untuk hadits dan di akhirat untuk surga[3]. Aku belum pernah melihat ulama yang semisal dengannya.” Ibnu Hibban berkata, “Abu Dawud adalah salah seorang ulama [yang menguasai ilmu seluruh] dunia secara kefakihan, keilmuan, hafalan, ibadah, dan sikap wara’nya. Ia mengumpulkan hadits, membuat karya tulis dan membela sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Abdillah Al-Hakim berkata, “Abu Dawud adalah imamnya ahli hadits pilih tanding di zamannya.” KEPRIBADIAN DAN AKHLAKNYA Dalam hal berpakaian, Abu Dawud mempunyai kebiasaan yang cukup unik. Ia mempunyai baju yang salah satu lengannya lebar dan yang satunya sempit. Apabila ada yang bertanya mengenai hal itu, ia pun menjawab, “Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab. Adapun yang satunya tidak diperlukan untuk itu.” Abu Dawud adalah seorang figur ulama yang sangat memuliakan ilmu dan para penuntut ilmu. Adalah Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud yang setia ini pernah menjadi saksi sifat terpuji yang dimiliki Abu Dawud tersebut. Abu Bakar berkisah, “Aku pernah menemani Abu Dawud di kota Baghdad. Tatkala kami usai mengerjakan shalat Maghrib, datanglah amir (penguasa) Abu Ahmad Al-Muwaffaq ke rumahnya. Setelah masuk rumah, Abu Dawud pun datang menemuinya. Abu Dawud bertanya, ‘Apa gerangan yang mendorong amir datang malam-malam begini?’ Amir pun menjawab, ‘Ada tiga urusan yang mendorongku datang ke sini.’ ‘Urusan apa?’ tukas Abu Dawud. Ia pun berkata, ‘Hendaknya anda pindah ke Bashrah lalu menjadikannya sebagai tempat tinggal supaya para penuntut ilmu berdatangan kepada anda. Dengan demikian, Bashrah akan menjadi makmur lagi karena sesungguhnya kota tersebut telah hancur dan ditinggalkan penduduknya karena peristiwa Zanji. Ini yang pertama.’ Katanya. ‘Kemudian yang kedua anda meriwayatkan kitab sunan kepada anak-anakku.’ ‘Baik, coba sebutkan yang ketiga.’ Pinta Abu Dawud. Amir pun berkata, ‘Anda membuat majelis tersendiri untuk mereka. Karena anak-anak penguasa tidak pantas duduk-duduk bersama rakyat jelata.’ Mendengar permintaan itu, Abu Dawud dengan tegas menyatakan, ‘Adapun permintaan yang ketiga ini tidak bisa aku penuhi. Karena seluruh manusia itu sama statusnya dalam menuntut ilmu.’” Ibnu Jabir menuturkan, “Sejak saat itu, anak-anak penguasa itu hadir di majelis kerumunan orang-orang awam dengan tirai pemisah dan mendengarkan hadits bersama mereka.” Beliau pun tinggal di Bashrah setelah tewasnya Az-Zanji dan menyebarkan ilmu agama di tempat tersebut. Namun demikian, ia sering mengunjungi Baghdad untuk bersua dengan Imam Ahmad. Abu Dawud pernah memaparkan kitabnya kepada Imam Ahmad dan dinilai baik olehnya. Abu Dawud adalah seorang ahli hadits dan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mengenai hal ini Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Abu Dawud di atas manhaj (jalan) salaf terutama dalam hal mengikuti sunnah.” Hal ini juga terbukti dengan bantahannya terhadap beberapa kelompok sesat yang telah muncul saat itu. Seperti Qadariyah dan Khawarij yang bantahannya termaktub dalam Sunan Abu Dawud. Selain itu juga terdapat bantahan terhadap kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Murji’ah. Abu Dawud juga pernah menyatakan, “Umair bin Hani’ adalah seorang Qadary (pengikut paham Qodariyah).” Abu Dawud meninggal dunia di kota Bashrah pada tanggal 16 Syawal 275 H. Hal ini diungkapkan oleh muridnya yang bernama Abu Ubaid Al-Ajurri. Beliau meninggalkan seorang putra yang bernama Abu Bakar Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats. Ia juga merupakan seorang pakar hadits dan imam di kota Baghdad. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan keridhaan-Nya kepada Imam Abu Dawud. Allahu a’lam. _________ [1] Enam induk kitab hadits: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah. [2] Wara’: Bersikap hati-hati dalam memilih sesuatu [3] Di antara pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kita tidak boleh memastikan seseorang masuk surga atau neraka tanpa ada dalil yang benar dari Al-Quran maupun hadits. Meskipun orang tersebut adalah orang yang paling taat beribadah, atau orang yang paling fajir. Karena kita tidak tahu akhir hayat dari orang tersebut. Sumber: Majalah Qudwah, edisi 17 vol. 2 1435 H/ 2014 M, rubrik Biografi. |http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2014/05/abu-dawud.html?m=1 "Leave writing tools" via Pixabay
7 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi abdullah bin mubarak

Abdullah bin Mubarak rahimahullah (Ulama yang Kaya) Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah merupakan salah seorang ulama yang sangat terkenal di masanya. Seorang ulama dengan seabrek keutamaan yang telah Allah karuniakan kepada beliau. Betapa tidak, sekian banyak gelar yang beliau dapat dari para ulama yang sezaman dengan beliau atau setelahnya. Baik terkait dengan kapasitas keilmuan beliau, zuhudnya, kedermawanannya, keberaniannya dalam berperang melawan orang-orang kafir dan lain sebagainya. Seorang figur ulama yang dikenal sering melakukan perjalanan jauh dalam rangka untuk mencari hadits, berhaji, berdagang atau berjihad fi sabilillah. Dalam sejarah tercatat beliau pernah melakukan perjalanan ke Haramain, Syam, Mesir, Irak, Khurasan dan negeri lainnya. Perjalanan beliau dalam menimba ilmu dan meriwayatkan hadits dimulai sejak usia dua puluh tahun. Namun hal itu bukan faktor yang menghalangi beliau untuk mengungguli ulama-ulama di zamannya. Itulah keutamaan yang Allah berikan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya. Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadhih. Adapun kuniah [1] beliau adalah Abu Abdurrahman Al-Hanzhali. Beliau dilahirkan pada tahun 118 H dari ibundanya yang berasal dari Khawarizmi, sebuah kota di Persia. Adapun ayah beliau berasal dari Turki yang merupakan budak milik seorang pedagang Hamadzan dari kabilah Bani Hanzhalah. Sehingga jika Ibnul Mubarak datang ke Hamadzan, beliau pun sangat menghormati dan memuliakan kedua orang tuanya. Beliau sangat aktif dalam melakukan jihad di medan perang, berdagang, berinfak untuk saudara-saudara seiman dan melayani kebutuhan jama’ah haji. Sungguh beliau menghabiskan usia untuk melakukan berbagai ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena seringnya melakukan rihlah (perjalanan jauh, red), maka tidak mengherankan jika beliau mempunyai guru yang sangat banyak dari berbagai penjuru negeri. Guru yang pertama kali beliau temui adalah Ar-Rabi’ bin Anas Al-Khurasani. Meskipun saat itu Ar-Rabi’ tengah dipenjara oleh penguasa, namun Ibnul Mubarak tetap berupaya untuk menimba ilmu darinya. Hingga di penjara tersebut, beliau berhasil meriwayatkan sekitar empat puluh hadits darinya. Subhanallah dalam kondisi sedemikian sulitnya beliau tetap berusaha untuk belajar dan menuntut ilmu agama. Selanjutnya beliau melakukan rihlah pada tahun 141 H dan meriwayatkan dari para tabi’in yang masih hidup saat itu. Sederet nama-nama tenar pernah beliau temui seperti Sulaiman At-Taimi, Ashim Al-Ahwal, Humaid Ath-Thawil, Hisyam bin Urwah, Al-A’masy, Khalid Al-Hadzdza’, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Al-Auzai, Haiwah bin Syuraih Al-Misri, Sufyan Ats-Tsauri, Malik, Laits bin Sa’d Al-Misri, Abu Hanifah, dan masih banyak yang lainnya. Bahkan diriwayatkan dari Ibrahim bin Ishaq Al-Bunani bahwa Ibnul Mubarak pernah berkisah, “Aku telah belajar dari 4.000 guru dan meriwayatkan dari 1.000 ulama.” Al-Abbas bin Mush’ab rahimahullah berkata, “Maka aku pun meneliti guru-gurunya dalam periwayatan hadits, ternyata aku menjumpai gurunya ada 800 ahli hadits.” Demikian halnya dengan muridnya yang sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Murid beliau tersebar di seluruh penjuru negeri dan tak terhitung jumlahnya. Sebut saja nama Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Wahb, Abdurrazzaq bin Hamam, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ali bin Hujr dan sederet ulama ternama yang lainnya. Di antara keutamaan yang telah Allah anugerahkan kepada Abdullah bin Mubarak adalah harta yang sangat banyak. Beliau adalah hartawan yang sangat ringan dalam mengalokasikan harta untuk membantu orang-orang yang membutuhkannya. Berikut ini adalah salah satu potret gambaran kedermawanan beliau yang sangat luar biasa. Adz-Dzahabi rahimahullah mengisahkan dalam ensiklopedi beliau [2] bahwa apabila telah datang musim haji, maka sebagian kaum muslimin dari penduduk Marwa datang menemuinya seraya menyatakan bahwa mereka ingin berhaji bersama beliau. Mendengar hal itu, Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Kalau begitu, berikan uang yang kalian alokasikan untuk haji kepadaku.” Tentu orang yang berhaji sudah mempersiapkan uang guna melakukan ibadah tersebut. Kemudian beliau mengambil uang tersebut. Lalu beliau masukkan dalam sebuah kotak lantas menguncinya. Selanjutnya beliau menyewakan kendaraan yang bisa membawa mereka dari Marwa ke Baghdad. Sejak saat itu beliau senantiasa memberikan makanan yang paling enak dan membawa mereka keluar dari kota Baghdad dengan penampilan yang sangat indah nan berwibawa. Setibanya di kota Madinah, maka setiap orang yang turut dalam rombongan ditanya oleh beliau, “Barang apa yang menjadi pesanan keluargamu supaya engkau membelinya di kota Madinah?” Masing-masing dari mereka menyebutkan sesuai dengan pesanan keluarganya. Maka beliau berbelanja memenuhi semua pesanan dan kebutuhan tersebut. Selanjutnya mereka bertolak ke kota Makkah dan setelah mereka menunaikan ibadah haji, lagi-lagi beliau berkata, “ Barang apa yang menjadi pesanan keluargamu supaya engkau membelinya di kota Makkah?” Masing-masing dari mereka menyebutkan sesuai dengan pesanan keluarganya. Maka beliau berbelanja memenuhi semua pesanan dan kebutuhan tersebut. Kemudian mereka kembali ke Marwa dan di sepanjang perjalanan beliau terus memenuhi kebutuhan kepada mereka. Bahkan setibanya di Marwa, beliau merenovasi rumah-rumah mereka. Tidak cukup sampai di situ, bahkan tiga hari setelah pelaksanaan haji tersebut beliau mengundang mereka untuk makan bersama dan memberi pakaian kepada mereka. Nah setelah mereka selesai makan dan merasa senang, Ibnul Mubarak mengambil kotak tempat penyimpanan uang haji mereka lantas dikembalikan kepada pemiliknya. Setiap kantong telah tertulis nama pemiliknya. Allahu akbar, sebuah teladan yang sangat indah bagi orang-orang yang berharta. Hendaknya mereka termotivasi untuk memberangkatkan dan membiayai para fakir miskin dalam berbagai amal kebajikan, baik untuk berhaji, menuntut ilmu, jihad, dan lain sebagainya. Pembaca yang budiman, menyelami perjalanan hidup Abdullah bin Mubarak rahimahullah sungguh akan memompa semangat kita untuk berhias dengan keutamaan yang beliau miliki. Telah dipaparkan di atas bahwa beliau merupakan salah satu ulama multitalenta yang Allah berikan keutamaan yang sangat banyak. Namun tengoklah bagaimana kerendahan hati ulama sekaliber beliau di hadapan ulama yang lain. Beliau sangat bersahaja di hadapan para ulama terutama guru-guru beliau. Suatu saat, Ibnul Mubarak menghadiri majelis salah seorang gurunya yang bernama Hammad bin Zaid, maka para pakar hadits berkata kepada Hammad, “ Mintalah Abu Abdirrahman (Ibnul Mubarak) supaya meriwayatkan hadits kepada kami.” Sang guru berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, riwayatkanlah hadits kepada para hadirin. Sungguh mereka telah memohon kepadaku supaya engkau melakukannya.” Maka dengan penuh kerendahan sang murid mengatakan, “Subhanallah! Wahai Abu Ismail (kuniah Hammad bin Zaid). Bagaimana mungkin aku meriwayatkan hadits kepada mereka sementara Anda ada di sini?” Mendengar jawaban tersebut, akhirnya Hammad bin Zaid berkata, “Aku bersumpah kepadamu agar kamu melakukannya.” Sumpah inilah yang membuat sang murid melaksanakan hal itu, maka Ibnul Mubarak berkata, “Ambillah oleh kalian, telah meriwayatkan hadits kepada kami Abu Ismail Hammad bin Zaid.” Sehingga tidak satu pun hadits yang beliau sampaikan melainkan pasti dari gurunya, Hammad bin Zaid rahimahullah.” Selain keilmuan dan kedermawanan Abdullah bin Al-Mubarak, beliau juga dikenal sebagai pejuang sejati di medan tempur. Simak kisah berikut ini, dalam kitab Talbis Iblis karya Ibnu Jauzi rahimahullah, dinukilkan sebuah kisah nyata yang dialami oleh Abdah bin Sulaiman rahimahullah. Ia berkisah, “Kami pernah tergabung dalam sebuah rombongan pasukan bersama Abdullah bin Mubarak ke negeri Romawi. Saat itu kami bertemu dengan musuh dan ketika kedua pasukan sudah saling berhadapan, tiba-tiba ada seorang lelaki dari pasukan musuh yang tampil ke depan untuk mengajak perang tanding (satu lawan satu). Maka bangkitlah seorang lelaki dari pasukan kami lalu menerjangnya, namun dalam sekejap sang musuh mampu menusuk lalu membunuhnya. Lalu bangkitlah prajurit muslim berikutnya namun ia pun terbunuh dan disusul oleh prajurit berikutnya namun ia juga terbunuh. Demikianlah, tiga prajurit muslim meninggal secara beruntun di tangannya hingga akhirnya majulah seorang laki-laki yang dengan sekali tebas mampu membunuh prajurit Romawi tersebut. Serentak kaum muslimin pun berdesak-desakan mengelilinginya dan aku termasuk di antara mereka. Namun anehnya laki-laki tersebut segera menutup wajah dengan lengan bajunya, maka kupegang dan kutarik ujung lengan bajunya. Ternyata dia adalah Abdullah bin Mubarak, ia pun berkata kepadaku, ‘Dan engkau wahai Abu Amr (kuniah Abdah bin Sulaiman) hendak berbuat jelek terhadapku?’ . Abdullah bin Al-Mubarak memang dikenal sebagai ulama sekaligus mujahid yang sangat bersahaja. Beliau sangat tidak ingin amal kebaikannya diketahui oleh orang lain. Kisah di atas menjadi salah satu buktinya, lihatlah bagaimana tawadhu’ Ibnul Mubarak di medan perang dan upaya beliau dalam menjaga diri dari pujian manusia dan popularitas. Ini merupakan salah satu tanda yang menunjukkan keikhlasan beliau dalam berjihad fi sabilillah. Meskipun sering terlibat langsung dalam berbagai jihad melawan musuh-musuh Islam, namun beliau meninggal di atas ranjang. Peristiwa ini terjadi sesuai peperangan melawan pasukan Romawi pada bulan Ramadhan tahun 181 H. Semoga Allah merahmati Abdullah bin Al-Mubarak dan membalas jasanya dengan balasan yang terbaik. Allahu a’lam. ________________ [1] Nama yang didahului dengan Abu atau Ummu. Biasanya nama ini digunakan untuk memuliakan yang dipanggil. [2] Yakni Siyar A’lamin Nubala. Sumber: Majalah Qudwah, edisi 13 vol. 02 2013, rubrik Biografi, pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah. | http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2013/12/abdullah-bin-mubarak-rahimahullah.html Foto : Mountains Red Earth Desert | Sumber: Pexels.com
7 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi abu ayyub al anshari

Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu Nama beliau tentu tidak asing bagi keumuman kaum muslimin. Beliau adalah bagian dari kaum Al Anshar namun masih memiliki tali kekerabatan dengan Nabi dari jalur nenek beliau. Beliaulah Abu Ayyub Al Anshari. Nama beliau adalah Khalid bin Zaid bin Kulaib bin Tsa’labah bin Abdu ibnu Auf bin Ghanam bin Malik Abu Ayyub An Najjari. Ibunya adalah Hindun binti Saad bin Amr bin Imrilqais bin Malik bin Tsa’labah bin Kaab bin Al Khazraj bin Al Harits bin Al Khazraj Al Akbar. Beliau termasuk As Sabiqunal Awwalun, muslimin yang terdahulu dalam Islam dari kalangan Anshar. Beliau juga termasuk kaum Anshar yang mengikuti Baiat ‘Aqabah. Di saat peristiwa hijrah Rasul, sesampainya di negeri Madinah, di rumah beliaulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal sementara, setelah sebelumnya beliau singgah di perkampungan Bani Amr bin Auf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di rumah tersebut beberapa bulan hingga beliau sudah memiliki rumah sendiri yang dibangun bersamaan dengan membangun masjid. Sebagaimana shahabat Anshar yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempersaudarakan beliau dengan seorang Muhajirin, yaitu Mushab bin Umair, dai Islam pertama yang dikirim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke negeri Yatsrib. Di antara bentuk kecintaan Abu Ayyub terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang beliau ceritakan sendiri: نَزَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِنَا الْأَسْفَلِ وَكُنْتُ فِي الْغُرْفَةِ فَأَهْرِيقُ مَاءً فِي الْغُرْفَةِ فَقُمْتُ أَنَا وَأُمُّ أَيُّوبَ بِقَطِيفَةٍ تَتَّبِعُ الْمَاءَ شَفْقَةً أَنْ يَخْلُصَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْهُ شَيْءٌ “Rasulullah tinggal di rumah kami di bagian bawah, dan ketika itu aku di dalam kamar (bagian atas) maka tumpahlah air yang berada di kamar, maka aku dan Ummu Ayyub pun bergegas mengelap bekas-bekas air dengan sebuah kain supaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tertimpa dengan tetesan air tersebut.” Tak sedikit pun beliau ingin menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walau dengan sesuatu yang remeh. PEPERANGAN YANG DIIKUTI Beliau termasuk shahabat yang senantiasa mengikuti peperangan dalam Islam. Beliau mengikuti perang Badar, Uhud, Khandaq, dan peperangan setelahnya. Hampir semua peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau ikuti. Seorang yang terkenal pemberani, penyabar, bertakwa, dan suka berjihad ini adalah keutamaan yang ada pada diri beliau. Di saat kekhalifahan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib, beliau termasuk jajaran shahabat yang berperang di bawah bendera Ali bin Abi Thalib dan termasuk shahabat dekat Ali bin Abi Thalib. Beliau bersama Ali bin Abi Thalib dalam Perang Jamal, perang menghadapi kaum khawarij dan pernah menjadi pengganti Ali saat Ali berangkat menuju ke Negeri Irak dan memindahkan pusat pemerintahan di sana. Di antara hal yang menunjukkan semangat beliau dalam berjihad adalah riwayat yang disebutkan oleh Abu Yazid Al Madini, ia mengatakan, “Dahulu Abu Ayyub dan Miqdad bin Aswad mengatakan, ‘Kami diperintahkan untuk berperang dalam segala keadaan.’” Dan keduanya berdalih dengan ayat ٱنفِرُوا۟ خِفَافًا وَثِقَالًا “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.” [Q.S. At Taubah:41] Di saat umur beliau senja, tepatnya saat kepemimpinan kaum muslimin berada di tangan Muawiyyah, Allah takdirkan beliau ikut serta berperang bersama-sama anak-anak beliau ke Negeri Romawi. Saat itu pasukan dipimpin oleh Yazid bin Muawiyyah. Suatu ketika beliau terluka dalam peperangan sehingga menyebabkan beliau sakit. Maka tatkala sakitnya bertambah parah, Yazid pun meminta kepada beliau sebuah wasiat. Maka beliau pun berpesan, "Jika aku mati, kafanilah aku, kemudian perintahkan manusia untuk memacu hewan-hewan (untuk beperang) menuju ke daerah musuh. Apabila kalian telah bertemu dengan musuh maka kuburkanlah aku di bawah kaki-kaki kalian." Maka Yazid pun memenuhi wasiat beliau itu sehingga beliau pun dikuburkan berada di dekat benteng mereka. Beliau meninggal di negeri Konstantinopel berkisar tahun 50, 51, atau 52 Hijriah dengan umur 80 tahun. SEMANGAT BELAJAR Di antara semangat beliau dalam menimba ilmu adalah apa yang disebutkan dari Juraij ia berkata, “Aku mendengar seorang syaikh dari Madinah menyebutkan hadis kepada ‘Atha bahwa Abu Ayyub melakukan safar ke Mesir menuju ‘Uqbah bin Amir demi mendapatkan sebuah hadis maka tatkala ‘Uqbah bin Amir mendengar kedatangan Abu Ayyub, maka beliau pun keluar menyambut demi memuliakan beliau. Maka beliau berkata kepadanya, ‘(Sebutkanlah) sebuah hadis yang engkau pernah dengar dari Rasulullah tentang menutupi rahasia muslim.’ Maka Uqbah pun mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda مَنْ سَتَرَ عَلَى مُؤْمِنٍ خَزِيَّةً فِي الدُّنْيَا سَتَرَ اللهُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ‘Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat.’ . Setelah mendengar hadis tersebut, maka Abu Ayyub pun menuju tunggangannya lalu pulang. Beliau adalah seorang shahabat yang meriwayatkan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung atau melewati riwayat Ubay bin Kaab dan lainnya. Tercatat pula murid-murid yang meriwayatkan dari beliau dari kalangan shahabat seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Zaid bin Khalid, Jabir bin Samurah, Al Barra bin Azib, Miqdam bin Ma’dikarib. Sedang di kalangan tabiin seperti Abdullah bin Yazid al-Khathami, Jubair bin Nufair, Sa’id bin Al Musayyib, Musa bin Thalhah, Urwah bin Zubair, Atha’ bin Yazid Al Laits, Aflah maula Atha’ bin Yazid Al Laitsi, Abu Rumam As Sima’i bin Abdirrahman, Abu Salamah bin Abdirrahman, Abdurrahman bin Abi Laila, Qartsa’ Adh Dhubai, Muhammad bin Ka’ab, Al Qasim Abu Abdirrahman, dan lain-lain. KEDERMAWANAN Di antara keutamaan beliau adalah sifat dermawan. Beliau senantiasa menyediakan makan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama beliau tinggal di rumahnya. Bahkan sifat dermawan juga tampak pada beliau sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Abbas, “Suatu hari, Abu Bakar keluar di siang hari. Saat matahari sedang panas-panasnya. Umar melihat Abu Bakar, kemudian ia bertanya, ‘Apa yang menyebabkanmu keluar di jam-jam seperti ini, Abu Bakar?’ ‘Tidak ada alasan lain yang membuatku keluar (rumah), kecuali aku merasa sangat lapar,’ jawab Abu Bakar. Umar menanggapi, ‘Aku pun demikian -demi Allah- tidak ada alasan lain yang membuatku keluar kecuali itu.” Saat keduanya dalam keadaan demikian Rasulullah keluar dan menghampiri keduanya. Beliau bersabda, ‘Apa yang menyebabkan kalian keluar pada waktu seperti ini?’ Keduanya mengatakan, “Tidak ada yang menyebabkan kami keluar kecuali apa yang kami rasakan di perut kami. Kami merasa sangat lapar.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku juga -demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya- tidak ada hal lain yang membuatku keluar kecuali itu. Ayo berangkat bersamaku.” Ketiganya pun beranjak. Mereka menuju rumah Abu Ayyub Al Anshari. Kebiasaan Abu Ayyub, beliau senantiasa menyediakan makanan untuk Rasulullah. Jika istri-istri beliau tidak punya sesuatu untuk dimakan, beliau biasa ke rumah Abu Ayyub. Ketika ketiganya sampai di rumah Abu Ayyub, istri Abu Ayyub, Ummu Ayyub, mengatakan, “Selamat datang Nabi Allah dan orang-orang yang bersama Anda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Di mana Abu Ayyub?” Abu Ayyub yang sedang bekerja di kebun kurma mendengar suara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia bersegera menuju rumahnya dan mengatakan, “Marhaban untuk Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya.” Abu Ayyub berkata, “Wahai Rasulullah, waktu ini bukanlah waktu kebiasaan Anda datang ke sini.” “Benar,” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Ayyub segera memetikkan beberapa tangkai kurma kering, kurma basah, dan kurma muda. Kemudian menawarkannya kepada Rasulullah, “Rasulullah, makanlah ini. Aku juga akan menyembelihkan hewan untukmu,” kata Abu Ayyub. “Kalau engkau mau menyembelih, jangan sembelih yang memiliki susu,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Ayyub kemudian menghidangkan masakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sepotong daging dan meletakkannya pada roti. Kemudian beliau meminta Abu Ayyub, “Wahai Abu Ayyub, tolong antarkan ini untuk Fatimah karena telah lama ia tidak makan yang seperti ini.” Setelah kenyang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma muda.” Beliau menitikkan air mata. Kemudian bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Ini adalah kenikmatan, yang nanti akan ditanyakan di hari kiamat.” Demikian sekelumit kisah tentang Abu Ayyub Al Anshari, semoga bisa menjadi teladan bagi kita semua. Amin. [Ustadz Hammam] Sumber: Majalah Tashfiyah vol.06 1438H-2017M edisi 71 rubrik Figur. | http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2017/09/abu-ayyub-al-anshari-radhiyallahu-anhu.html Foto : Swaziland Africa Natural Savannah | Sumber: Pixabay
7 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi ali bin abi thalib, pemuda yang dicintai allah dan rasul-nya

'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, Pemuda yang Dicintai Allah dan Rasul-Nya Ali bin Abi Thalib bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdil Manaf Al Qurasyi Al Hasyimi, berkuniah Abul Hasan atau Abu Turab. Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hasyim. Dahulu ibunya menamakan beliau dengan Haidarah. Beliau termasuk kalangan anak-anak yang pertama kali masuk Islam. Yaitu di usianya yang masih berumur sekitar 10 sampai 11 tahun. Umur yang masih sangat muda untuk bisa memilih jalan hidayah yang mesti ditempuh. Beliau lahir sepuluh tahun sebelum Rasulullah diutus sebagai rasul. Beliau pun tumbuh dalam asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak umur 6 tahun, dan hampir-hampir tidak pernah berpisah dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pemuda Ali adalah seorang yang memiliki tubuh yang kekar dan lebar. Badan padat berisi dengan postur tubuh yang tidak tinggi. Warna kulit sawo matang, berjenggot tebal, kedua matanya sangat tajam, murah senyum, berwajah tampan, dan memiliki gigi yang bagus. Bila berjalan sangat cepat. Selain fisik yang baik, beliau juga dikaruniai akal dan kejeniusan. Sangat cepat dalam memecahkan permasalahan yang rumit. Sampai Khalifah Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah, untuk mendapatkan masalah pelik, di saat tidak ada Abul Hasan.” Umar selalu meminta pertimbangan beliau. Ditambah keluhuran akhlak yang tertempa dengan banyaknya bergaul bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadikan Ali sebagai pemuda yang pilih tanding. Ali bin Abi Thalib mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali perang Tabuk. Ketika itu, Rasulullah memerintahkan beliau untuk tetap berada di Madinah. Walaupun beliau sangat ingin berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidakkah engkau ridha apabila kedudukanmu di sisiku adalah sebagaimana kedudukan Harun terhadap Musa?” Sebuah ucapan indah yang menunjukkan tingginya kedudukan beliau. Beliau ditugasi sebagai pengganti Rasulullah dalam mengurusi keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan maksudnya sebagai wakil pengurusan kota Madinah secara umum. Sebab yang ditunjuk untuk melakukan tugas ini adalah Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu. Di antara yang menunjukkan keutamaan Ali bin Abi Thalib, dalam peperangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bendera perang seringnya diserahkan kepada beliau. Hal ini menunjukkan kemampuan, keberanian, dan kedudukan beliau radhiyallahu ‘anhu. Bahkan seringkali Rasulullah menugaskan beliau berduel satu lawan satu dengan musuh sebelum pecah peperangan. Beliau juga seorang yang lihai berkuda, kuat dan pandai dalam taktik peperangan. Disebutkan dalam banyak kitab biografi, bahwa beliau memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah beliau termasuk muhajirin, mengikuti perang badar, uhud, mengikuti baiatur ridwan, dan beberapa peristiwa penting yang memiliki keutamaan janji bagi yang mengikutinya. Demikian pula beliau adalah salah satu Khulafaur Rasyidun. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Di antara keutamaannya, beliau merupakan salah satu dari sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga dan paling dekat hubungan nasabnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegaskan keutamaan beliau. Dalam satu khutbah beliau, di hari kedelapan belas Dzulhijjah pada haji wada’, di tempat yang bernama Ghadir Khum, beliau bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai walinya, maka sesungguhnya ia telah menjadikan Ali sebagai walinya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Ali yang artinya, “Engkau bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” Ketika perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sungguh besok bendera perang ini akan aku berikan kepada seseorang yang ia mencintai Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Bendera itu pun beliau serahkan kepada Ali. Keutamaan beliau ini pun diakui oleh para shahabat. Cukuplah kesaksian Umar, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan beliau meridhainya.” [Al Bukhari]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan beliau dengan Fathimah radhiyallahu ‘anha, tepatnya setelah peristiwa perang Badar. Dari pernikahannya dengan Fatimah ini beliau mendapat putra Al Hasan, Al Husain, Ummu Kultsum Al Kubra, yang dinikahi oleh Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan Zainab Al Kubra. Setelah meninggalnya Fatimah radhiyallahu ‘anha, beliau menikah dengan beberapa wanita. Anak beliau berjumlah empat belas orang putera dan tujuh belas atau sembilan belas orang puteri. Di antara putra putri beliau ini yang menjadi generasi penerus adalah Al-Hasan, Al-Husain, Muhammad bin al-Hanafiyah, Al-Abbas Al-Kilabiyah, dan Umar bin At-Taghlibiyah. Beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun para shahabat yang menimba ilmu dari beliau di antaranya: Dua anak beliau Al Hasan dan Al Husain, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa, Ibnu Abbas Abu Rafi’, Ibnu Umar, Abu Said Al Khudri, Zaid bin Arqam Abu Umamah, Al Bara` bin Azib, dan masih banyak yang lainnya. Adapun dari kalangan tabiin (generasi setelah shahabat): Thariq bin Syihab, Marwan bin Hakam, Abdurrahman bin Al Harits, dan lainnya. MASA KEKHALIFAHAN Pada masa kekhalifahan beliau inilah timbul perang saudara. Dikarenakan adanya perbedaan pendapat di kalangan para shahabat tentang sikap dan usaha yang ditempuh menghadapi kejahatan pembunuhan Amirul mukminin Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Sehingga terjadilah perang Jamal serta perang Siffin. Masing-masing berijtihad dalam menyikapinya. Apalagi ada dalang pihak ketiga yang berupaya mengadu domba antar kaum muslimin. Allah Maha Tahu sejauh mana fitnah ini terjadi. Kaum muslimin yang datang setelah mereka radhiyallahu ‘anhum telah Allah selamatkan untuk tidak ikut mengangkat pedang memerangi para shahabat. Sekarang, tinggal bagaimana menyelamatkan lisan agar tidak mencela mereka secara umum. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga lisan kita hingga kita menghadap kepada-Nya. Beliau memegang kekhalifahan selama empat tahun lebih beberapa bulan. Di waktu subuh tahun 40 H, ketika beliau keluar untuk menunaikan shalat subuh di masjid Kufah, tiba-tiba seorang yang celaka bernama Abdurrahman bin Muljam Al Khariji menusuk beliau dengan pisau tajam dan beracun. Tepat di kening beliau yang senantiasa sujud kepada Allah. Inna lillah wa inna ilaihi raji’un. Persis sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan yang artinya, “Orang yang paling binasa dari umat terdahulu adalah penyembelih unta (kaum nabi Shalih). Dan manusia yang paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu wahai Ali.” Seraya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk kening Ali yang akan tertikam. Pada malam Ahad, di hari yang kesembilan belas bulan Ramadhan, umat Islam berduka dengan kepergian pemimpin mereka. Semoga Allah menempatkan beliau di surga-Nya yang luas, bersama kekasih beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahul Musta’an. [Hammam]. Referensi: Al Bidayah Wan Nihayah oleh Ibnu Katsir rahimahullah Al Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab oleh Ibnu Abdil Bar rahimahullah Al Ishabah fii Tamyiz Ash Shahabah oleh Ibnu Hajar rahimahullah Sumber: Majalah Tashfiyah, edisi 19 vol.02 1433H-2012M, rubrik Figur | .http://ismailibnuisa.blogspot.co.id/2013/12/ali-bin-abi-thalib-radhiyallahu-anhu.html Foto : Black-steel-helmet-near-black-and-gray-handle-sword  | Sumber: Pexels.com
7 tahun yang lalu
baca 6 menit