Adab & Akhlak

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

walau sebatas ingin bederma

 .(125) Walau Sebatas Ingin Bederma Dia punya seorang teman. Dia ingin seperti temannya. Suka bederma. Senang berbagi. Apalagi buat agama. Dia hanya bisa berandai-andai, " Semoga aku bisa seperti dia. Suka bederma. Senang berbagi. Apalagi untuk agama " Kamus Bahasa Indonesia mengartikan iri; sebagai sikap kurang senang melihat kelebihan orang lain. Sementara hasad, disebut dengan dengki. Dia iri kepada temannya. Tapi, bukan iri karena benci. Bukan sebab tidak suka. Apalagi membayangkan temannya itu kehilangan atau berkurang kenikmatan. Nabi Muhammad ﷺ menerangkan  (HR Bukhari 5025 Muslim 815 dari sahabat Ibnu Umar) : لا حسدَ إلا على اثنتينِ  " Tidak boleh hasad kecuali terhadap dua orang "  Nabi Muhammad ﷺ membahasakan dengan hasad. Namun, bukan dalam arti yang tercela atau terlarang. Tidak disebabkan benci atau kurang suka. Siapa mereka? Kenapa hasad diperbolehkan terhadap mereka? Satu dari dua jenis orang itu adalah : رجلٌ آتاه اللهُ مالًا فهو ينفقُ منه آناءَ الليلِ وآناءَ النهارِ " Seseorang. Allah memberinya harta. Ia berinfak sepanjang malam, sepanjang hari, dengan harta itu " Bukan semata-mata kaya raya. Tidak hanya karena banyak harta. Tapi, tidak dipakai buat kebaikan. Buat dihabiskan untuk foya-foya dan sia-sia. Terhadap orang semacam itu, buat apa iri? Adakah gunanya? Tapi, iri lah kepada seorang dermawan. Ia berharta dan harta itu ia pakai buat infak, sedekah, wakaf, hibah, dan amal kebaikan lainnya. Iri lah kepada orang dermawan. Tidak hanya memikirkan diri sendiri. Bukan ingin memuaskan diri. Justru ia kurang tenang dan tidak senang, bila tidak bisa berbagi. Nabi Muhammad ﷺ bersabda : لَوْ كانَ لي مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا ما يَسُرُّنِي أنْ لا يَمُرَّ عَلَيَّ ثَلاثٌ، وعِندِي منه شيءٌ إلَّا شيءٌ أُرْصِدُهُ لِدَيْنٍ " Andai aku punya emas sebanyak gunung Uhud, aku tidak merasa tenang, berlalu 3 hari kemudian masih ada yang tersisa. Kecuali yang aku siapkan untuk melunasi utang " (HR Bukhari 2389 Muslim 991 dari sahabat Abu Hurairah) Subhanallah!  Sedemikian dermawan Nabi Muhammad ﷺ. Beliau hanya ingin memberi, memberi, dan memberi. Berbagi, berbagi, dan terus berbagi. Lebih-lebih, Nabi Muhammad ﷺ menyatakan : وإنَّما أنا قاسِمٌ ويُعْطِي اللَّهُ " Saya hanya sebatas membagi. Allah lah yang memberi " (HR Bukhari 71 Muslim 1037 dari sahabat Muawiyah) Artinya? Beliau mengingatkan bahwa harta yang ada, harta yang dipunya, hakikatnya milik Allah. Dia-lah yang memberikan dan menitipkan. Tugas hamba adalah membagikan dan menyalurkan di jalan- Nya. 0000____0000 Dia punya seorang teman. Dia ingin seperti temannya. Suka bederma. Senang berbagi. Apalagi buat agama. Dia hanya bisa berandai-andai, " Semoga aku bisa seperti dia. Suka bederma. Senang berbagi. Apalagi untuk agama " Dia juga susah hati. Sedih. Menangis. Bahkan seolah-olah tersiksa.  Ingin rasanya bederma. Maunya ia saja yang membangun masjid, mendirikan pesantren, membebaskan lahan, membiayai santri-santri, menanggung operasional pendidikan, dan mewakafkan apa yang diperlukan untuk berdakwah. Tapi, dia tidak bisa. Sebab, ia tak berharta. Atau terkadang ada harta, namun belum bisa berlapang dada. Kadang dia berpikir, apakah pantas sederajat di surga dengan Nabi Muhammad ﷺ yang terdepan dalam berinfak? Bisakah ia sederajat di surga dengan Abu Bakar Ash Shidiq yang berinfak dengan semua harta? Umar bin Khattab yang berinfak separuh harta? Atau Utsman bin Affan yang sedekahnya tidak terhitung karena saking sering dan begitu banyaknya? Maunya berjumpa dan dihimpun di surga bersama Rasulullah ﷺ , bersama Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun apakah itu hanya angan-angan tanpa kenyataan? Sementara, pikirnya, dia masih belum bisa seperti Rasulullah ﷺ yang memberi seperti orang yang tidak takut miskin. Sebab, tidak ada orang dermawan jatuh miskin. Lendah, 28 Dzulqa'dah 1443 H/27 Juni 2022  (Tentang teman yang berkenan wakaf tanah. Baarakallah fiik) t.me/anakmudadansalaf
2 tahun yang lalu
baca 3 menit
Thoriqussalaf
Thoriqussalaf oleh admin

hakikat seorang lelaki

2 tahun yang lalu
baca 1 menit
Thoriqussalaf
Thoriqussalaf oleh admin

menjaga lisan dari mencela

2 tahun yang lalu
baca 1 menit
Thoriqussalaf
Thoriqussalaf oleh admin

doa untuk gurumu

2 tahun yang lalu
baca 1 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

inilah 6 akibat maksiat

AKIBAT MAKSIAT Kemaksiatan akan menimbulkan efek buruk, tercela, dan berbahaya. Baik bagi qalbu maupun badan, di dunia sekaligus di akhirat. Hanya Allah lah yang Maha Mengetahui keseluruhan akibat-akibat kemaksiatan. Yang pasti, efek negatif tersebut sangat banyak sekali. Diantaranya adalah : 1. Akibat buruk bagi qalbu, pelakunya akan dihalanginya dari ilmu yang bermanfaat, lebih khusus ilmu agama. Karena ilmu adalah cahaya yang Allah berikan ke dalam qalbu manusia. Sedangkan perbuatan maksiat memadamkan cahaya tersebut. Imam Asy Syafi'i pernah bersyair yang maknanya : "Aku mengadu kepada Waki' kenapa diri ini lemah dalam hafalan. . Ia menasihatiku agar meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. Ia mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya. Sementara cahaya Allah bukan untuk yang bermaksiat kepada-Nya" 2. Perasaan khawatir dan was-was terhadap hukuman dan azab Allah. Ketakutan itu tidak sebanding dengan kelezatan yang ia rasakan dalam kemaksiatan. Seandainya seluruh kenikmatan yang ada di dunia ini terkumpul padanya, seluruhnya tidak akan mampu mengobati was-was yang ia rasakan ini. Namun, hal ini hanyalah dirasakan oleh mereka yang qalbunya hidup. Masih memiliki sisa keimanan. 3. Perasaan khawatir dan was-was yang timbul dalam qalbunya ketika ia bertemu dengan orang lain. Terlebih jika mereka adalah orang-orang yang shalih. Pasti perasaan ini akan muncul di qalbunya. Setiap perasaan ini menguat, maka ia pun akan berusaha menjauhi orang-orang tersebut. Berusaha untuk menghindar, tidak  mau duduk dengan mereka, hingga akhirnya terlewatkan dari berkah ilmu dan pengajaran mereka. Selanjutnya, ia akan semakin dekat dengan gerombolan syaithan. Dan terus perasaan ini akan muncul hingga benar-benar menguasai qalbunya. Akhirnya, ia pun merasa was-was terhadap istrinya, anaknya, karib kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. 4. Lemahnya kepekaan qalbu. Ia akan merasakan qalbunya hitam pekat, bak gelap malam yang gulita. Jadilah kegelapan maksiat yang ada dalam qalbunya, membuat hilang kepekaannya. Yang mestinya kepekaan qalbunya menuntun ke jalan yang lurus, itu telah hilang darinya. Seperti kegelapan malam yang yang membutakan matanya. Ketaatan adalah cahaya dan maksiat merupakan kegelapan. Setiap kali kegelapan itu bertambah, pasti akan bertambah pula kelinglungannya. Hingga ia pun terjatuh dalam berbagai kemaksiatan, kesesatan, dan perkara-perkara yang membinasakan dalam keadaan ia tidak menyadarinya. 5. Melemahkan qalbu dan badan sekaligus. Bahkan berbagai kemaksiatan selanjutnya akan mematikan qalbunya. Adapun melemahnya badan, karena kekuatan seorang mukmin itu ada dalam qalbunya. Semakin menguat qalbunya, semakin menguat pula badannya. Seorang pendosa, walaupun ia seorang yang kuat tubuhnya, akan tetapi sebenarnya mereka adalah orang yang paling lemah. Perhatikanlah kekuatan Persia dan Romawi, kekuatan badan yang dimilikinya tidak mampu menolong mereka pada saat mereka benar-benar membutuhkan kekuatan. Ternyata, mereka mampu dikalahkan oleh orang-orang yang beriman dengan kekuatan qalbu dan badan yang mereka miliki. 6. Perbuatan maksiat akan melemahkan keinginan qalbu untuk bertaubat kepada Allah. Sebaiknya, dorongan untuk berbuat maksiatlah yang semakin menguat. Keinginannya untuk bertaubah sedikit demi sedikit melemah hingga benar-benar hilang dari qalbunya. Lebih jauh, terkadang ia bertaubat dengan lisannya hanya untuk mencari ridha manusia, sementara hatinya telah terikat dengan perbuatan maksiat, selalu bertekad untuk kembali mengulanginya, kapan ia mampu melakukannya. Ia lancang berdusta kepada Allah. Dan ia, sungguh penyakit yang paling berbahaya. Paling cepat menyeret pelakunya dalam jurang kebinasaan. Wallahu a'lam. [Sufyan] [Disarikan dari kitab Ad Da' wad Dawa' karya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah] Sumber : Majalah Tashfiyah Edisi 15 Vol.02 Th 2012
2 tahun yang lalu
baca 3 menit

Tag Terkait