LENDAH, pagimu adalah senyuman. Membuka lembar hari dengan mengaji. Lalu mengkaji ilmu di sebuah surau. Tak lama paman petani mulai beraksi. Menganyam sawah. Mengayunkan pacul kehidupan. Mengulang hafalan buku musim dan cuaca.
Anak-anak desa pergi mengejar bangku sekolah. Melewati kuntul-kuntul yang asyik sarapan. Pagi itu pelangi berbinar. Di atas hamparan bulir harapan. Hijau membentang. Seluas mata memandang. Masya Allah, indah nian!
Kami berangkat. Bergegas mengejar enam tiga puluh. Pertemuan penting menanti di satu sudut Kota Angkringan. Tadi malam langit cerah. Gemerlap bintang memayungi atap perpustakaan. Ingin menikmati malam lebih larut. Namun mata mesti dikatupkan. Boleh dong, nanti mampir lagi. Mengakrabi langit senja –yang katanya– lebih indah dari langit di tempat lain (senyum).
Lendah, aku beritahu padamu. Kami tidak sedang memanah matahari. Ancaman ideologi yang tak syar’i mesti disoroti. Jejak komunis gaya baru di depan mata. Bau busuk makar syiah rafidhah begitu nyata. Belum lagi langkah khawarij –si anjing-anjing neraka– sudah terdeteksi.
Nabi shallallahu’alahi wasallam telah berpesan, pasukan terakhir khawarij (teroris) akan bergabung dengan Dajjal jelang kiamat. Kaum muslimin memerangi mereka dan Allah menangkan. Artinya, khawarij bakal eksis sampai ujung dunia nanti. Wallahul musta’an.
Gerakan komunis gaya baru pun bukan sekadar ilusi. Atau cerita pengantar tidur siang hari. Aktivis kiri dan biri-biri gembalannya setia jati diri. Mereka rajin membuka diari. Berjuang tanpa henti. Melebur dan menyusup ke pelbagai lini. Berupaya merubah histori menjadi revolusi.
Penemuan simbol palu-arit di banyak daerah adalah aksi permukaan. Lebih menukik, kalau mau diselami, mereka ikut berperan menggerakan gerbong perubahan negeri. Bahkan di antaranya membaur dalam proses suksesi kepemimpinan nasional. Kita yang kurang peka. Tidak sadar. Atau pura-pura tidak mau tahu. Karena angin segar reformasi begitu melenakan. Semua persoalan selesai di tangan suara terbanyak.
Lendah, aku bisikkan kepadamu: kiri itu candu! Aktivisnya mabuk pemikiran Marx, Lenin, Trotski, Mao, dan sejenisnya. Mereka simpati pemberontakan Muso dan Aidit. Menaruh hati pada kebesaran Partai Komunis Indonesia di zamannya. Agenda tuntutan selalu disuarakan. Minta keadilan eksekusi massal. Perburuan kaum komunis.
Begitulah mereka. Tergiur kelas pekerja di puncak kuasa. Tahap awal mengumbar retorika. Berikutnya menggencarkan agitasi. Ada kesempatan, serangan dilancarkan. Tak peduli kelompok kontra-revolusi dihabisi. Tak hirau sosok santri dan aparat negeri digergaji.
Tidak heran membaca interview di sebuah portal berita. Narasumber ditulis seorang tokoh revolusioner. Hafal luar kepala momen revolusi Bolshevik. Fasih mengutip Lenin di sana sini. Aktif mengorganisir buruh. Hingga satu waktu masuk bui rezim orde baru.
“Jangan dikira doktrin Lenin tidak fleksibel. Lenin sangat percaya dua taktik: taktik perjuangan di luar dan di dalam,” katanya.
Dia menegaskan Lenin telah mengajarkan kapan harus maju, kapan harus mundur. Kapan harus mendukung parlemen, kapan harus ikut pemilu. Lihat momentum kapan harus bikin tentara, kapan harus perang dengan masyarakat sipil. “Itu step-step perjuangannya,” ujarnya. (selesai)
Terang benderang. Bagi kaum kiri, darah massa-rakyat halal. Demi mengantarkan kaum buruh di tampuk kekuasaan. Sungguh absurd dan kontradiktif! Di masa perjuangan awal, mereka menjual nama massa-rakyat. Begitu kesempatan di depan mata, massa-rakyat dikorbankan. Sangat jelas, mereka berjuang demi kelompok sendiri; para elit partai dan kaum intelek partai.
Pada puncaknya, mereka menganggap pembunuhan siapapun hal biasa. Termasuk keluarga sendiri. Ini lumrah di negeri komunis. Paling mutakhir di Korea Utara. Pemimpin negeri Ginseng Besi dengan mudah mengesekusi paman atau kakak tiri yang dianggap pengkhianat.
Perlu juga kita lihat, catatan akhir Leon Trotski. Dia adalah inisiator revolusi Bolshevik 1917 bersama Lenin. Seorang Panglima Tentara Merah Soviet. Berseberangan “manhaj” sosialisme-komunisme dengan Stalin, membuatnya hidup dalam pelarian hingga terbunuh di Meksiko pada 1940.
Dalam Trotsky’s Testament yang terungkap1949, Trotski menyatakan, telah berjuang di bawah bendera Marxisme. “Saya akan meninggal sebagai seorang proletar revolusioner, seorang Marxis, seorang dialektika-materialis, dan seorang ateis,” ucapnya.
Sungguh hina dan menyedihkan. Penganut Marxisme itu mati di atas kebatilan. Jauh dari fitrah kemanusiaan yang pasti mengesakan Tuhan. Itulah candu sebenarnya. Mereka overdosis menenggak kesesatan berpikir Karl Marx sampai maut menjemput. Wal ‘iyyadzubillah. Memang tepat, mereka yang mengakrabi kesesatan dan penyimpangan, akan sulit menerima kebenaran. Sekalipun kebenaran itu sesuai akal dan logika.
Lendah, kami bertemu petang di tepi pantai. Perpisahan semakin dekat. Pagar batang kelor jadi buah tangan. Pemberian paman petani. Kami peluk erat debur ombak Trisik dan Glagah. Allah Maha Besar. Angin laut berembus kencang. Di antara tajam batu karang dan celoteh camar, terngiang selalu: kiri itu candu! Pamit pakde…Njiiihhh…
*) Catatan kunjungan ke Desa Lendah, Kulonprogo, DIY. Sabtu, 21 Jumadal ‘Ula 1438 H / 18 Februari 2017. Saya, akh Arif, kang Herman dan Aa Yanto, bermalam di bangunan khas eks Perpustakaan Islam Lendah, milik ustad Mukhtar “Iben” Rifa’i.
Sebelum tidur, kami di ajak ustad Mukhtar menuju satu sudut perkampungan. Menikmati mi lethek. Ramai pengunjung. Padahal itu pelosok. Mendekati jam 00.00. Di tengah kondisi mata merem-melek, kami ganyang mi dengan telur dan ayam kampungnya. Mantappss!
“Seperti hal kematian, akan mendatangi kita dimanapun berada. Rezeki pun akan menemui kita, dimanapun,” kata ustad Mukhtar. Di lubang perkampungan sekalipun yang tak terdeteksi Google Map hehe.. (abu ali)
Baca juga: