(Ralat terhadap copas saya tentang keutamaan memandang istri)
✍? Al-Ustadz Muhammmad bin ‘Umar As-Sewed حفظه الله
Alhamdulillaah was sholatu was salam ala Rasulillah wa ala aalihi wa ashhabihi wa man tabi’a hudahu ila yaumil qiyamah.
Tulisan ini sebagai ralat dan penyesalan saya yang mengcopas faidah tanpa merujuk ke kitab aslinya. Hanya karena berhusnudzhan dengan penulis dan grupnya yang notabene ada orang-orang yang lebih berilmu dari saya.
Namun yang juga mendorong saya mengcopas adalah isinya yang sangat menarik dan mendidik.
Agar kita menyalurkan hasrat syahwat kita kepada yang halal.
Agar kita mensyukuri nikmat istri yang telah Allah berikan.
Juga agar kita berbagi keceriaan satu sama lain.
Tetapi karena hadits ini dha’if bahkan maudhu’. Maka tidak bisa dijadikan hujjah.
Sedangkan kita ingin agar faidah yang kita harapkan tetap kita dapati. Karena seringkali sebagian orang mengira jika hadits itu dhaif maka yang benar adalah sebaliknya. Padahal tidak mesti demikian. Kadang hadits itu dha’if, tetapi maknanya benar dan terkandung dalam hadits-hadits shahih.
Maka kita bawakan beberapa hadits yang shahih yang menggantikan bahkan menyempurnakan faidah-faidah yang kita harapkan:
Hadits pertama tentang senyum kita kepada saudara kita merupakan sedekah. Tentunya lebih-lebih lagi senyum istri kepada suami dan suami kepada istri.
فعن أبي ذر ـ رضي الله عنه ـ قال: قال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ: ( تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ ) -رواه الترمذي وصححه الألباني في الصحيحة (ر 572-2/72 )
Diriwayatkan dari Abu Dzar –Radhiyallahu ‘anhu– bahwa
Rasulullah –shalallahu alaihi wa salam– bersabda: “Senyummu ke wajah saudaramu merupakan shadaqah” (H.R Tirmidzi dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 572-2/72)
Maka jelaslah suami memandang istri dengan senyuman atau sebaliknya istri memandang suami dengan wajah tersenyum memiliki keutamaan. Karena yang demikian merupakan shadaqah.
Hadits kedua mengajarkan kita untuk menyalurkan hasrat kita kepada yang halal.
Nabi bersabda:
فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ .(صحيح مسلم)
” Jika salah seorang kalian melihat (terlihat) sesuatu dari seorang wanita maka datangilah istrimu! Karena sesungguhnya yang demikian itu bisa menghilangkan yang ia dapati pada dirinya.” ( H.R Muslim no. 1403)
Maka jelaslah memandang apa yang menarik dari istri dan seterusnya, memiliki keutamaan. Karena yang demikian bisa memalingkan kita dari fitnah wanita. Dan lebih menundukan pandangan mata.
Hadits ketiga menjelaskan bahwa mendatangi istri dengan syahwat merupakan shadaqah. Tentunya dengan semua mukadimah dan pendahuluannya. Seperti memandang, membelai, menggenggam tangannya dan lain-lain.
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
“Dan pada kemaluan kalian ada shadaqah.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulallah -shalallahu alaihi wa salam- apakah salah seorang kami menyalurkan syahwatnya kemudian mendapatkan pahala (shadaqah)?” Beliau -shallallahu alaihi wa salam- menjawab: “(Ya), bukankah kalau dia salurkan syahwatnya kepada yang haram akan mendapatkan dosa?” Demikian pula kalau menyalurkan kepada yang halal, maka ia akan mendapat pahala.” (H.R Muslim no. 1674)
Demikianlah ternyata yang menjadi sebab suami yang menyalurkan syahwatnya pada istrinya mendapatkan pahala adalah karena dia menyalurkannya kepada yang halal.
Demikian pula pandangan. Allah melarang pandangan kita terhadap ajnabiyyah (wanita yang bukan mahramnya).
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat“. (Q.S An-Nur : 30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ ….
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…” ( Q.S An-Nur : 31 )
Maka jika kita memandang yang halal yaitu istri-istri kita, tentu kita mendapatkan pahala. Karena kita menyalurkannya kepada yang halal. Itulah keutamaan memandang istri.
Hadits keempat larangan menyentuh tangan ajnabiyyah. Yang berarti memegang tangan istri adalah menyalurkan kepada yang halal.
Ketika Nabi –shallallahu alaihi wa salam– membaiat kaum muslimin, tibalah giliran para wanita. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah kami para wanita akan membaiat engkau”. Maka Rasulallah –shallallahu alaihi wa salam-pun bersabda:
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلِ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ ـ (رواه مالك وأحمد والنسائيوصححه الألباني في الصحيحة (ر 529-2/28 )
“Sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan wanita. Ucapanku untuk seratus orang wanita sama dengan ucapanku untuk satu orang.” (H.R Malik, Ahmad dan Nasa’i dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 529-2/28).
وقال الشيخ الشنقيطي في أضواء البيان: كونه صلى الله عليه وسلم لا يصافح النساء وقت البيعة دليل واضح على أن الرجل لا يصافح المرأة، ولا يمس شيء من بدنه شيئا من بدنها، لأن أخف أنواع اللمس المصافحة، فإذا امتنع منها صلى الله عليه وسلم في الوقت الذي يقتضيها وهو وقت المبايعة، دل ذلك على أنها لا تجوز، وليس لأحد مخالفته صلى الله عليه وسلم، لأنه هو المشرع لأمته بأقواله وأفعاله وتقريره. اهـ
Berkata Asy-Syaikh Asy-Syinqithi dalam Adhwaul Bayan: “Keadaan Beliau tidak bersalaman dengan wanita ketika bai’at merupakan dalil bahwa seseorang laki-laki tidak boleh bersalaman dengan wanita yang bukan mahram. Tidak pula boleh menyentuh bagian apapun dari dari tubuhnya. Karena yang teringan dari bentuk sentuhan adalah jabat-tangan. Jika Nabi menghindari jabat-tangan dalam perkara yang diperlukan, yaitu bai’at. Tentunya itu menunjukkan dalil tidak bolehnya menyentuh wanita. Maka tidak boleh seorangpun menyelisihinya, karena beliau adalah yang mensyariatkan untuk manusia dengan ucapannya dan perbuatannya.”
Sebaliknya berjabat-tangan dan menyentuh, ataupun meremas tangan istri adalah sesuatu yang memang pada tempatnya. Tentunya menyalurkan sesuatu kepada yang halal akan mendapatkan pahala.
Hadits kelima berkait dengan hadits keempat. Yaitu berjabat tangan akan menggugurkan dosa.
Nabi –shalallahu alaihi wa salam– bersabda:
قال صلى الله عليه وسلم: ..” إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا صَافَحَ أَخَاهُ تَحَاتَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَحَاتُّ وَرَقُ الشَّجَرِ “. رواه البزار، وصححه الألباني في صحيح الترغيب والترهيب ر2721
“Seorang muslim jika berjabat-tangan dengan saudaranya akan berguguran dosa-dosanya seperti gugurnya daun-daunan dari sebuah pohon.” (H.R Al-Bazzar dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat-Tarhib no.2721)
Karena itulah kami tidak terlalu terkejut dengan hadits dhaif tersebut. Yang menyebutkan keutamaan memegang tangan istri. Karena memang berjabat tangan secara umum ada keutamaannya.
Demikianlah ralat dan sedikit faidah yang mudah-mudahan bisa mempererat hubungan suami-istri. Dan menyebabkan turunnya mawaddah dan rahmah dalam keluarga-keluarga kita semua. Aamiin
و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم.