“ADA orang…” seru Muhammad, seraya menunjuk arah sebelah kanan. Posisi mereka terlihat jelas. Tidak terlalu jauh. Tapi dekat sekali, juga tidak.
“Itu puncak Palutungan dan Apuy,” teriak saya.
Sementara puncak jalur Sadarehe di depan kami, hanya tinggal beberapa langkah saja. Sudah sangat dekat. Muhammad, bocah tujuh tahun itu, paling depan. Langkahnya sempat gontai. Tanjakan terjal berpasir jelang puncak, begitu menantang. Seolah berkata: “Taklukkan daku, puncak kau gapai…”
Alhamdulillah, kami sampai pukul 09.19 WIB, Ahad (6 November 2022). Langit cerah. Dasar kawah puncak Ciremai berwarna hijau tosca. Tidak berubah seperti saat 16 Agustus 2022, kami mencapai puncak lewat jalur Palutungan.
Berurutan memasuki area puncak: Muhammad, si kembar Zaid (12) dan Ali (12), serta ayahnya. Menempel kami, dua pendamping (ranger), yang memang diwajibkan menyertai tim pendaki yang menjajal rute Trisakti Sadarehe: Ade (20) dan Arif (19).
Perbedaan mencolok antara puncak Palutungan dan Sadarehe adalah begitu tiba di ujung puncak. Jalur Palutungan dan Apuy, menyediakan tepian datar berpasir. Bisa duduk-duduk. Posisi aman memandang kawah. Selama tidak nangkring di bibir kawah. Terus berjalan, akan sampai di pelataran lebih luas, yang biasa dipakai upacara bendera 17-an.
Sedangkan puncak Sadarehe, ujung tanjakan setapak berpasir, langsung bertemu tebing curam, setinggi lebih satu meter. Muhammad perlu jinjit dan mendongakkan kepala, saat ingin melihat dasar kawah. Ngeuri… Dalem banget…
Tentu, bukan pilihan yang baik untuk duduk-duduk di pinggir batuan bibir kawah. Super bahaya! Apalagi pagi itu, angin kencang rajin menyapa. Perjalanan dari pos 7 (Tanjakan Cita-cita), sampai ke pos 8 (Kawah Burung), lanjut menyusuri punggungan terjal menuju puncak, angin menerpa kencang. Gemuruh suaranya kami hadapi dengan doa dan sholawat kepada nabi.
Kami santai di bawah tiang papan puncak Sadarehe. Menikmati camilan. Pemandangan langit biru. Awan bergumpal. Di kejauhan savana Kawah Burung tampak kecokelatan. Bagai setapak ceruk di antara hijau punggungan perbukitan.
Memang, perlu pembatasan ketat jumlah pendaki yang ingin naik lewat Sadarehe. Sulit membayangkan jika ratusan pendaki diakomodir, semisal momen 17-an atau tahun baru, bagaimana jika sampai di puncak bersamaan?
Tidak akan cukup.
Puncak Ciremai via Sadarehe, dijejali 20 pendaki saja sudah akan saling berimpitan. Area puncaknya sempit. Hanya setapak yang mengantar ke tiang papan penunjuk puncak. Selebihnya tebing curam berujung jurang.
Paling memungkinkan, bila jumlah pendaki membludak berbarengan tiba di puncak, sebagian harus mau melipir setapak menantang ke arah kanan. Meringankan langkah menuju puncak Palutungan. Ranger kami, Ade, sempat menawari saya mampir ke sana. Saya mencukupkan di puncak Sadarehe saja, karena tak ingin meninggalkan anak-anak.
Selain savana Kawah Burung yang eksotis, tempat di mana dua ekor kijang gunung turun ke sumber air. Keindahan jalur Sadarehe adalah padang edelweisnya yang luas. Mulai Pos 7 (Tanjakan Cita-cita) hingga ke puncak, kita membelah kebun edelweis yang hijau cantik memanjakan pandangan.
Belum lagi naungan hutan mati di trek terjal berpasir jelang puncak, menambah kesan tersendiri bagi pendaki rute Sadarehe. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Sujud syukur hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Lengkap sudah nanjak-turun puncak Ciremai di semua jalur resmi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Saya rintis sejak 2001 saat masih remaja putih abu-abu, sampai sekarang jadi ayah lima anak. Walhamdulillah, dua pendakian terakhir ke Ciremai, dilalui bersama tiga jagoan anak lanang.
Palutungan, Linggarjati, Apuy, Linggasana dan Sadarehe. La hawla wala quwwata illa billah… Allahuakbar… (abu ali)
Baca juga: