Salafy Cirebon
Salafy Cirebon oleh Abu Reyhan

hukum puasa pada sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah

2 tahun yang lalu
baca 2 menit

Asy-Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Fadhilatu Syaikh, apakah ada keterangan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau berpuasa penuh pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah?

Jawaban:

Telah datang dari Nabi ﷺ keterangan yang lebih tinggi dari sekedar perbuatan beliau berpuasa pada hari-hari tersebut. Nabi ﷺ telah menganjurkan untuk berpuasa padanya dengan sabda beliau ﷺ: “Tiada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih Allah cintai daripada 10 hari ini (10 hari pertama Dzulhijjah)”. Para sahabat berkata : “Wahai Rasulullah, tidak juga dengan berjihad di jalan Allah?”

Beliau bersabda : “Tidak juga dengan berjihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang berjihad dengan jiwa dan hartanya lalu ia tidak kembali lagi dengan suatu apapun(meninggal di medan perang).”

Sudah diketahui bersama bahwa puasa termasuk amalan sholeh yang paling utama, sehingga Allah ta’ala berfirman dalam hadits qudsi: “Semua amalan anak Adam adalah untuknya, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat hingga tujuh puluh kali lipat kecuali puasa. Karena puasa adalah untuk-Ku saja, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”

Maka puasa masuk pada keumuman sabda beliau: “Tidak ada hari-hari yang amal sholeh di dalamnya lebih Allah cintai dst … ”

Adapun perbuatan beliau sendiri, telah datang dua hadits, yaitu hadits Aisyah dan hadits Hafshoh. Adapun hadits Aisyah, ia berkata: “Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah berpuasa sepuluh hari”. Sedangkan hadits Hafshoh, ia berkata:

“Sungguh Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkan puasa sepuluh hari”.

Apabila dua hadits bertentangan, yang pertama menetapkan dan yang keduanya meniadakan, maka yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang meniadakan. Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Hadits Hafshoh menetapkan, sedangkan hadits Aisyah meniadakan, maka yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang meniadakan.”

Saya akan sampaikan kepadamu satu kaidah, yaitu: Apabila datang sunnah dengan satu lafaz maka ambillah sesuai dengan makna yang ditunjukkan lafaz tersebut.

Adapun mengamalkannya, tidak disyaratkan bagi kita untuk mengetahui sudahkah Rasulullah atau para sahabat mengamalkannya. Seandainya kita ucapkan: “Kita tidak akan mengamalkan dalil kecuali apabila sudah mengetahui bahwa para sahabat telah mengamalkannya,” niscaya akan luput sekian banyak ibadah atas kita. Hanya saja di hadapan kita ada satu lafaz hadits dan itu adalah hujjah kuat yang sampai kepada kita, sehingga wajib bagi kita untuk mengamalkannya sesuai dengan yang disampaikan, sama saja apakah kita mengetahui dahulu manusia sudah mengamalkannya atau belum.

Sumber: Silsilah Liqo-at Babil Maftuh (92)

➖➖➖

WhatsApp Salafy Cirebon
Gabung di Channel Telegram :
http://t.me/salafy_cirebon

Menyajikan artikel dan audio kajian ilmiyah