HUKUM MENJABAT TANGAN WANITA AJNABIYYAH (ASING)
Tanya:
Apa hukum menjabat tangan wanita ajnabiyyah (asing), saudari istri, istri saudara laki-laki, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu—yakni istri paman, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu?
Dijawab oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah :
Tidak boleh berjabat tangan dengan mereka. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, sebagaimana dalam Jami’ at-Tirmidzi, dari hadits Umaimah bintu Ruqaiqah,
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan para wanita.”
Disebutkan dalam ash-Shahih, dari hadits ‘Aisyah , dia berkata, “Demi Allah, tidak pernah tangan beliau menyentuh tangan wanita sama sekali.” Yang dia maksud adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
Para wanita yang telah disebutkan, yaitu saudari istri, istri saudara laki-laki, istri paman dari pihak ayah, dan istri paman dari pihak ibu, mereka atau salah seorang dari mereka ini boleh dinikahi oleh seorang pria apabila mereka telah diceraikan oleh suami-suami mereka.
Kesimpulannya, tidak boleh berjabat tangan dengan mereka.
Lalu, siapa wanita yang Anda boleh berjabat tangan dengannya? Wanita yang Anda boleh berjabat tangan dengannya adalah yang haram selama-lamanya untuk Anda nikahi, seperti saudari, ibu, bibi dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ayah Anda. Mereka dan orang-orang yang haram selama-lamanya untuk Anda nikahi, halal bagi Anda berjabat tangan dengan mereka. Adapun dengan selain mereka, berjabat tangan menimbulkan fitnah (kejelekan). Anda boleh menjabat tangan mereka itu, kecuali wanita mula’anah. Wanita mula’anah haram selama-lamanya untuk Anda nikahi, menurut pendapat yang shahih. Akan tetapi, Anda tidak halal berjabat tangan dengannya.
Mula’anah adalah wanita yang dilaknat oleh suaminya. Suaminya menuduhnya berbuat keji (zina, -ed.), tetapi tidak memiliki bukti, kemudian dia melaknat istrinya. Hukum hal ini telah dijelaskan dalam surat an-Nur. Wanita ini diharamkan atas suaminya selama-lamanya dan tidak halal bagi suaminya menjabat tangannya.
Berjabat tangan adalah fitnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak mau berjabat tangan (dengan wanita) tidak lain karena pada perbuatan ini ada fitnah. Nabi bersabda,
لَأَنْ يُطْعَنَ أَحَدُكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ فِي رَأْسِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
“Sungguh kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda,
مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan ujian yang lebih bermudarat atas pria daripada wanita.” Atau yang semakna dengan ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Tidak pernah aku melihat orang-orang yang kurang akal dan agamanya, yang lebih mampu menghilangkan akal seorang pria yang teguh, daripada kalian (wanita).”
Bagaimana seorang pria menjabat tangannya? Dia akan menjabat tangannya dan melihat kepadanya, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah berkata,
كُتِبَ عَلَى اْبنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَامَحَالَةَ: اَلْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْمَشْيُ، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَ يُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis atas anak Adam bagiannya dari zina, dan dia pasti mendapatinya. Zina kedua mata adalah dengan melihat, zina kedua telinga dengan mendengar, zina tangan dengan memegang, zina kaki dengan melangkah, dan hati berkeinginan dan berangan-angan. Kemudian, hal itu akan dibenarkan atau didustakan oleh kemaluannya.”
Berjabat tangan dengan wanita dan duduk bersamanya adalah kejelekan besar yang menimpa kaum muslimin. Semoga Allah tidak memberikan balasan kebaikan kepada orang yang memasukkan perbuatan ini ke negeri-negeri kaum muslimin. Anda masuk ke suatu daerah, kemudian mendapati seorang perempuan menjadi pegawai di sana, baik menjadi juru tulis maupun mengerjakan pekerjaan lain.
Kebanyakan hal ini datang dari Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Keduanyalah yang menjadi sebab lemahnya kaum muslimin. Ketika mereka merusak (Universitas) al-Azhar, menjadi rusaklah kaum muslimin. Sebab, al-Azhar teranggap sebagai tempat belajar dan referensi kaum muslimin. Ketika mereka merusaknya, rusak pulalah kaum muslimin. Wallahul Musta’an (hanya Allah yang dimintai pertolongan).
Barang siapa memasukkan dan mencontohkan kejelekan ini, dia akan menanggung dosa orang-orang yang dia sesatkan tanpa ilmu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا
“Barang siapa menetapkan satu contoh yang jelek dalam Islam, dia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya hingga hari kiamat, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.”
(Ijabatus Sa’il hlm. 193)
PRIA BERDUAAN DENGAN BIBI ISTRI, PUTRI PAMAN, ATAU SAUDARI ISTRINYA
Tanya:
Apakah boleh seorang pria berduaan dengan bibi istrinya? Apakah boleh seorang pria berduaan dengan putri pamannya atau dengan saudari istrinya? Berilah kami faedah, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan!
Dijawab oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah :
Terkait dengan pertanyaan apakah seorang pria boleh berduaan dengan bibi istrinya, jawabnya adalah tidak boleh. Sebab, mereka berdua haram menikah dengan keharaman yang muaqqat (berbatas waktu). Nabi n bersabda,
لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا
“Tidak boleh dikumpulkan (dimadu) seorang wanita dengan bibinya dari pihak ibunya, dan seorang wanita dengan bibinya dari pihak bapaknya.”
Akan tetapi, pengharaman ini bersifat muaqqat. Seandainya seorang pria menceraikan istrinya, ia boleh menikahi bibi bekas istrinya. Apabila istrinya meninggal, ia juga boleh menikahi bibi si istri. Ia juga tidak boleh berduaan dengan putri pamannya. Sebab, ia boleh menikahinya (sepupu bukan mahram, -ed.). Wanita yang boleh ia berduaan dengannya adalah wanita yang haram ia nikahi dengan keharaman yang muabbad (selamanya). Adapun apabila pengharamannya muaqqat, ia tidak boleh berduaan dengan wanita tersebut. Putri pamannya halal untuk ia nikahi dengan penghalalan yang muabbad, kecuali apabila telah bersuami.
Bolehkah seorang pria berduaan dengan saudari istrinya? Ini pertanyaannya. Tidak boleh baginya berduaan dengan saudari istrinya karena keharaman mereka menikah bersifat muaqqat. Seandainya dia menceraikan istrinya atau istrinya meninggal, boleh baginya menikahi saudari istrinya. Ini perkara yang jelas. Walhamdulillah.
(Ijabatus Sa’il hlm. 189)
SUARA WANITA ADALAH AURAT?
Tanya:
Apakah suara wanita adalah aurat?
Dijawab oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah:
Ya, wanita diperintah untuk menjauhi perkara dosa. Apabila mendengar suara wanita menyebabkan pria tergoda, wanita tersebut tidak mengangkat suaranya. Oleh karena itu, dia tidak mengangkat suaranya ketika bertalbiah. Hendaknya dia bertalbiah dengan suara yang pelan.
Apabila dia shalat di belakang para pria lalu imam tertimpa sesuatu (kesalahan atau lupa, –pent.) pada shalatnya, wanita menepuk tangannya untuk mengingatkan imam. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berkata, “Apabila kalian tertimpa sesuatu pada shalat kalian, hendaknya kaum pria bertasbih dan kaum wanita menepuk (tangan).”
Lebih utama lagi wanita dilarang melembutkan dan memperbagus suaranya ketika berbicara dengan pria untuk suatu hajat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٣٢
“Dan janganlah kalian (para wanita) tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)
Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah ,, “Maknanya, seorang wanita berbicara dengan pria asing tanpa kata-kata yang lemah lembut, yakni dia tidak berbicara kepada pria asing dengan cara bicaranya kepada suaminya.”
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 250)
USIA MINIMAL ANAK PEREMPUAN MEMILIKI AURAT
Tanya:
Berapakah usia minimal anak perempuan (memiliki aurat)?
Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh t:
Sesungguhnya anak perempuan yang masih kecil dan belum mencapai usia tujuh tahun belum memiliki aurat. Apabila sudah mencapai usia tujuh tahun, dia memiliki aurat, sebagaimana ditegaskan oleh para fuqaha, tetapi auratnya berbeda dengan aurat wanita yang lebih tua daripadanya. Wallahul muwaffiq.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 608)
HUKUM MENGGUNAKAN PIL PENCEGAH KEHAMILAN UNTUK MENJAGA PENDIDIKAN ANAK-ANAK
Tanya:
Kapankah syariat membolehkan penggunaan pil pencegah kehamilan untuk wanita dengan tujuan menjaga pendidikan anak-anak yang masih kecil?
Dijawab oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah:
Tidak boleh menggunakan pil pencegah kehamilan, kecuali pada keadaan darurat. Yang demikian itu apabila ditetapkan oleh para dokter bahwa kehamilan akan menyebabkan kematian sang ibu. Adapun menggunakan pil untuk menunda kehamilan, tidak mengapa apabila sang wanita membutuhkannya, yaitu apabila kondisi kesehatannya tidak memungkinkannya untuk hamil dengan jarak berdekatan, atau apabila kehamilan memudaratkan anak yang sedang dia susui. Pil tersebut bukan untuk memutus kehamilan, melainkan untuk menundanya saja. Tidak mengapa menggunakannya sesuai dengan hajat, dan hal itu dilakukan setelah berkonsultasi kepada dokter spesialis.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 606)
KEBIASAAN MELAKNAT DAN MEMUKUL ANAK-ANAK
Tanya:
Istri saya memiliki kebiasaan melaknat dan memaki anak-anaknya. Dia juga biasa menyakiti mereka, sesekali dengan ucapan dan sesekali dengan pukulan, baik kepada anak yang kecil maupun kepada anak yang besar. Sungguh, saya sudah menasihatinya berulang-ulang agar meninggalkan kebiasaan ini. Namun, dia membantah dengan mengatakan, “Kamu memanjakan mereka. Mereka anak-anak celaka.” Akibatnya, anak-anak benci kepadanya dan tidak mau memerhatikan ucapannya sama sekali. Sebab, mereka tahu bahwa puncaknya hanyalah makian dan pukulan. Bagaimana pandangan agama secara terperinci tentang sikap saya kepada istri saya agar dia mau mengambil pelajaran? Apakah saya jauhi dia dengan talak dan anak-anak tinggal bersamanya, atau apa yang harus saya lakukan? Berilah kami faedah, semoga Allah memberikan taufik kepada Anda.
Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah :
Melaknat anak-anak termasuk dosa besar, demikian pula melaknat orang-orang yang tidak berhak mendapatkan laknat. Sungguh telah shahih dari Nabi bahwasanya beliau bersabda,
لَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ
“Melaknat seorang mukmin itu seperti membunuhnya.”
Beliau juga bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.”
Beliau juga bersabda,
إِنَّ اللَّعَّانِيْنَ لَا يَكُونُونَ شُهَدَاءَ وَلَا شُفَعَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka melaknat tidak akan menjadi saksi ataupun pemberi syafaat pada hari kiamat.”
Wajib baginya bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menjaga lisannya dari mencaci anak-anaknya. Disyariatkan baginya memperbanyak doa agar mereka diberi hidayah dan kesalihan.
Adapun bagi Anda, wahai suami, disyariatkan menasihati dan memperingatkannya agar tidak mencaci anak-anaknya. Disyariatkan pula bagi Anda memboikotnya apabila nasihat tidak bermanfaat baginya. Namun, pemboikotan ini harus Anda yakini bermanfaat untuknya, diiringi dengan kesabaran dan harapan akan pahala. Jangan tergesa-gesa untuk menjatuhkan talak. Kami meminta kepada Allah hidayah untuk kami, Anda, dan istri Anda. Selain itu, didik dan arahkan anak-anak kepada kebaikan sehingga akhlak mereka lurus.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 612)