Para ulama sepakat tentang wajibnya zakat pada unta, sapi dan kambing yang saa`imah, jika telah mencapai nisab. Untuk unta, jumlah terendah yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah lima ekor, untuk sapi adalah tiga puluh ekor dan untuk domba adalah empat puluh ekor.
Hewan saa’imah adalah yang digembalakan di rerumputan dan sejenisnya tanpa mengeluarkan biaya. Berbeda dengan ma’luufah, yaitu hewan yang diberi makan dengan mengeluarkan biaya, dan unta-unta yang digunakan untuk bekerja.
Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban zakat pada unta-unta yang diberi makan dengan mengeluarkan biaya dan unta-unta yang digunakan untuk bekerja.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa kedua jenis unta ini tidak wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, dan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: “Pada setiap empat puluh unta yang digembalakan harus dikeluarkan zakat satu ekor bintu labun (anak unta betina yang genap berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga).”
Maka kewajiban mengeluarkan zakat dalam unta dibatasi pada unta yang saa’imah saja, sehingga tidak diwajibkan atas unta yang ma’luufah. Adapun tidak adanya kewajiban zakat dari unta-unta yang digunakan untuk bekerja adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali radhiyallahu `anhu
“Tidak ada zakat pada hewan-hewan yang dipekerjakan”
Sedangkan Malik dan sejumlah ulama berpendapat bahwa zakat wajib dikeluarkan dari unta-unta yang diberi makan dengan biaya dan unta-unta yang digunakan untuk bekerja, berdasarkan keumuman hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu `anhuma
“Bahwasanya Abu Bakar radhiyallahu `anhu menulis catatan berikut ini ketika mengutusnya ke Bahrain:
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini merupakan kewajiban zakat yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada kaum Muslimin dan diperintahkan oleh Allah kepada Rasul-Nya shallallahu `alaihi wa sallam. Maka barangsiapa diminta mengeluarkan zakat sesuai dengan isi catatan ini, maka hendaknya dia mengeluarkannya. Namun jika diminta untuk melebihinya, maka hendaknya dia tidak memberikannya. Dalam lima hingga dua puluh empat ekor unta yang wajib dikeluarkan adalah seekor kambing. Jika jumlahnya dua puluh lima ekor hingga tiga puluh lima ekor unta, maka yang harus dikeluarkan adalah seekor unta bintu makhadh (unta betina yang genap setahun dan memasuki dua tahun). Jika tidak ada maka seekor unta ibnu labun jantan. Jika jumlahnya mencapai tiga puluh enam hingga empat puluh lima ekor unta, maka yang wajib dikeluarkan adalah seekor unta bintu labun (unta betina yang genap berusia dua tahun). Jika jumlahnya mencapai empat puluh enam hingga enam puluh ekor unta, maka yang wajib dikeluarkan adalah seekor hiqqah (yang memasuki usia empat tahun) yang mulai didatangi oleh pejantan. Jika jumlahnya mencapai enam puluh hingga tujuh puluh lima ekor unta, maka yang wajib dikeluarkan adalah seekor unta jadza`ah (yang genap berusia empat tahun dan memasuki lima tahun). Jika mencapai tujuh puluh enam hingga sembilan puluh ekor, maka yang wajib dikeluarkan adalah dua ekor bintu labun. Jika mencapai sembilan puluh satu hingga seratus dua puluh ekor, maka yang wajib dikeluarkan adalah dua ekor unta hiqqah yang mulai didatangi oleh pejantan. Jika jumlahnya lebih dari seratus dua puluh ekor, maka dalam setiap tambahan empat puluh ekor unta, yang harus dikeluarkan adalah seekor unta bintu labun (unta betina yang berusia dua tahun), dan dalam setiap tambahan lima puluh ekor unta, yang harus dikeluarkan adalah seekor unta hiqqah (yang memasuki usia empat tahun). Dan barang siapa hanya memiliki empat ekor unta, maka tidak ada kewajiban zakat di dalamnya, kecuali jika pemiliknya menghendakinya.”
Dan Abu Bakar radhiyallahu `anhu tidak menyebutkan saa’imah, yaitu yang digembalakan di rerumputan umum. Dan pendapat yang benar adalah pendapat jumhur ulama, karena hadits Anas ini bersifat mutlak, sedangkan hadits Bahz dan hadits Ali adalah muqayyad.
Teks yang bersifat mutlak difahami berdasarkan teks yang muqayyad, sebagaimana ditetapkan di dalam kaedah yang terkenal di kalangan ulama ushul fikih.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.