Hadis, tujuan syariah, ijma dan realita menunjukkan bahwa wanita tidak dapat menduduki posisi pemerintahan atau hakim berdasarkan hadis Abu Bakrah: bahwasanya Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika mendengar Persia mengangkat wanita menjadi kepala negara beliau bersabda,
” Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang perempuan”
Kata قوم dan امرأة keduanya menggunakan bentuk tak takrif, muncul dalam konteks negasi sehingga bermakna umum. Penetapan hukum didasarkan sifat umum lafal bukannya berdasarkan sebab yang khusus sebagaimana dikenal dalam kaidah ushul fiqih.
Kondisi wanita biasanya identik dengan pendek akalnya, lemah pemikirannya, perasaannya lebih mendominasi, terkekang jalan pikirnya, padahal urusan negara senantiasa memperhatikan rakyat, mengatur urusan publik yang membutuhkan perbaikan, terkadang harus bepergian ke beberapa daerah, dan bercampur baur dengan lapisan masyarakat dan kelompok.
Dalam peperangan terkadang menemui para jenderal, dan menghadapi musuh untuk melakukan komunikasi dan perundingan dan mengambil sumpah setia kepada setiap masyarakat dan kelompok lelaki dan wanita dalam keadaan aman dan perang dan hal-hal yang semisalnya yang tidak sesuai dengan fitrah wanita dan dengan hukum yang disyariatkan guna menjaga harga dirinya dari sikap mengabaikan kehormatan diri dan sikap malu.
Di antara yang dijadikan dalil juga konsesus umat pada masa Khulafa Rasyidin dan para pemuka ulama tiga abad yang dikenal dengan kebaikannya, konsesus praktis yang tidak pernah mengangkat wanita sebagai kepala pemerintahan dan hakim padahal di antara mereka ada yang mempunyai kemampuan dalam ilmu agama yang menjadi sumber rujukan dalam ilmu al-Qur’an, hadis, dan hukum, tetapi pada abad-abad tersebut tidak ada wanita yang menjadi pemimpin pemerintahan dan jabatan lain yang berkaitan dengan kepemimpinan umum.
Di antara yang dijadikan dalil, praktek yang pernah terjadi pada zaman dahulu sebelum umat ini walaupun sedikit tetapi ada yang menjadikan rujukan tentang kepemimpinan Bilqis sebagai ratu di Yaman.
Ia adalah sosok yang lemah mentalnya, kekuatanya runtuh ketika mendapat surat dari Nabi Allah Sulaiman `alaihi ash shalatu wa as salam, padahal para pengikutnya telah menyatakan memiliki kekuatan dan keberanian dalam berperang dan mereka siap memerangi orang yang mengganggu dan memusuhi negara, sebagai bentuk pembelaan kepada ratu dan menjaga kerajaannya, dan mengembalikan kekuasaanya, tetapi ratu tersebut tidak pergi karena kacau dan panik, takut singgasananya dirampas, kehebatan dan kewibawaanya hilang.
Ia tidak berani berperang dan menjaga singgasananya dan mengusir musuh dari negerinya dengan kekuatan senjata. Yang ia lakukan adalah mengutus orang untuk memberikan hadiah kepada Sulaiman dengan harapan Sulaiman senang dan tidak jadi melakukan penyerangan terhadap negerinya, sehingga terwujud kedamaian di kerajaan dan negerinya.
Tetapi Nabi Allah Sulaiman ‘alaihi as-salam adalah sosok perbaikan dan perubahan, dan memiliki keberanian berperang dan kekuatan yang hebat. Ia tidak tertipu dengan hadiah harta. Beliau malah berkata sebagaimana diceritakan dalam al-Quran
“Tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (QS. An Naml: 36)
Kemudian Nabi Sulaiman memerintahkan untuk mendatangkan singgasana dan hal itu terlaksana. Ketika Ratu Bilkis datang, dikatakan kepadanya
“Serupa inikah singgasanamu?” Dia menjawab: “Seakan-akan singgasana ini singgasanaku” (QS. An Naml: 42)
Juga,
“Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana”. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Sulaiman berkata: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca”. Balqis berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam” (QS. An Naml: 44)
Anda telah melihat kisah yang menimpa Bilqis dari perasaan takut ketika menerima surat dari Nabi Sulaiman alaihi as-salam yang di dalamnya ada tantangan dan peringatan dan memerintahkan untuk menyerah. Ia tidak berani melawan di medan perang padahal pengikutnya telah menyatakan bahwa mereka mempunyai kekuatan dan berani berperang padahal kebiasaan para raja adalah merasa tinggi dan keinginan yang luar biasa terhadap kerajaan dan rasa tidak ingin melepasnya.
Yang dilakukan Bilqis adalah memperdaya dengan harta seperti yang dilakukan oleh orang-orang lemah dengan harapan ia selamat dan kerajaannya kembali ke tangannya. Selain itu juga perasaan goncang yang membuat ragu dengan kerajaan yang dimilikinya dan rasa takjub yang berlebihan terhadap kerajaan Nabi Sulaiman alaihi as-salam.
Semua itu menjadikan hati Bilqis tidak berdaya. Kondisinya persis seperti kondisi perempuan yang lain yang terpengaruh oleh sesuatu yang tampak menarik karena dominasi perasaannya, sehingga akhirnya ia tunduk kepada Nabi Sulaiman alaihi as-salam dan memenuhi undangannya kemudian masuk Islam berkat hidayah Allah Tuhan semesta alam.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.