Jika posisi Anda adalah sebagai wakil dalam membeli barang dagangan yang diinginkan pelanggan, maka tidak mengapa mengambil seluruh atau sebagian uang pembelian barang itu dari orang yang mewakilkan kepada Anda. Setelah itu, Anda membelikan barang dagangan sesuai dengan pesanannya. Dan, hal ini tidak dinamakan jual beli karena Anda tidak memiliki barang dagangan saat terjadi akad taukil.
Transaksi ini juga tidak dinamakan “as-salam” karena as-salam merupakan transaksi terhadap suatu barang yang ciri-cirinya telah ditentukan dan menjadi tanggungan penjual. Artinya, transaksi dilakukan berdasarkan ciri-ciri yang telah disepakati dan pesanan harus diserahkan dalam tempo tertentu. Syarat akad as-salam adalah penerimaan uang pembayaran secara penuh di awal transaksi.
Adapun jika akad yang Anda lakukan dengannya itu bertujuan menjual barang dagangan kepadanya, dan baru Anda beli setelah akad, maka hal ini tidak boleh karena Anda dilarang menjual sesuatu yang tidak Anda miliki. Untuk itu, transaksi yang Anda lakukan dengannya itu tidak diperbolehkan. Anda juga tidak boleh mengambil sebagian harga barang atau uang muka, kecuali setelah Anda membeli, menerima, dan membawa barang dagangan itu.
Jual beli ‘urbun hukumnya boleh dan sah bagi penjual yang telah memiliki barang dagangan, asalkan kedua pihak (penjual dan pembeli) sepakat akan hal itu. Jual beli ‘urbun (uang muka) berarti bahwa pembeli membayarkan uang yang jumlahnya lebih rendah dari harga barang dagangan kepada penjual atau wakilnya setelah terjadi akad jual beli, sebagai jaminan atas barang dagangan agar tidak diambil orang lain. Jika pembeli jadi mengambil barang dagangan, maka uang muka tersebut dianggap sebagai bagian dari nilai pembayaran.
Namun jika pembeli tidak jadi mengambilnya, maka penjual berhak mengambil uang itu dan menjadi miliknya. Yang menunjukkan kebolehan ‘urbun adalah praktik yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Imam Ahmad berkata dalam masalah jual beli ‘urbun, “Boleh saja, karena dianggap halal oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.” Adapun hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan redaksi,
“Rasulullah melarang jual beli ‘urbun (jual beli dengan sistem uang muka).”
Adalah hadits daif, yang dianggap lemah oleh Ahmad dan ulama lainnya sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujah (dalil).