Pertama, amalan bagi orang yang menunaikan haji ifrad di hari kurban ada tiga: melempar jamrah ‘aqabah, memotong rambut atau mencukurnya, thawaf ifadhah dan sai jika belum melakukan sai setelah thawaf qudum. Adapun bagi yang melakukan haji tamatuk dan haji kiran, selain ketiga ha itu, ditambah dengan memotong sembelihan. Bagi haji tamatuk ditambah dengan melakukan sai setelah thawaf ifadhah.
Kedua, semua rangkaian amalan ini dilaksanakan secara tertib. Mulai dari melempar jamrah, menyembelih, memotong atau mencukur rambut, kemudian thawaf dan sai. Inilah yang paling utama demi mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau melempar jamrah kemudian menyembelih kurban, mencukur rambutnya lalu diberi wewangian oleh Aisyah kemudian melakukan thawaf ifadhah. Rasulullah ditanya tentang urutan ini dan mendahulukan antara yang satu dengan yang lainnya, beliau bersabda, “Tidak mengapa, tidak mengapa.”
Ketiga, barangsiapa yang melakukan dua hal di atas selain menyembelih maka dia telah selesai melakukan tahalul awal. Dia boleh melakukan semua yang dilarang saat berihram kecuali melakukan jimak.
Jika telah melakukan semua yang disebutkan di atas maka ia boleh melakukan semua yang dilarang saat berihram termasuk berjimak. Banyak hadits yang menjelaskan apa yang telah kami katakan.
Adapun hadits yang dijadikan dalil bahwa orang yang belum berthawaf ifadah pada hari lebaran hingga terbenam matahari maka harus kembali melakukan ihram adalah hadits lemah. Ia termasuk dalam riwayat Muhammad bin Ishaq dari Abu Ubaidah bin Abdullah bin Zam`ah.
Abu Ubaidah yang disebutkan tadi tidak diketahui kondisinya dan tidak dijadikan hujjah sebab sebagaimana yang kami ketahui ia tidak dipercayai oleh para ulama. Demikian juga dijelaskan dalam kitab “Tahzib at-Tahzib.”
Karena Muhammad bin Ishaq meskipun menyatakan bahwa ia mendengar periwayatan hadits tersebut, tetap tidak bisa dipercaya dalam masalah-masalah asasi yang sangat penting selama periwayatan tersebut tidak diikuti oleh yang lain.
Imam Baihaqi rahimahullah berkata, “Saya tidak mengetahui satupun ahli fikih yang berkata seperti ini.” Dalam kitab at-Talkhis dikatakan: telah dinukil oleh Ibnu Hazm dari `Urwah bin az-Zubair.
Andaikan benar penukilan itu dari `Urwah maka perkataannya pun tidak bisa dijadikan hujjah sebab bertentangan dengan dalil-dalil syar’i dan kesepakatan para ulama dari golongan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelahnya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.