Pertama: Mayoritas ulama usul fikih menyatakan bahwa para ulama yang tergabung di dalam Ahlu al-Hall wa al-‘Aqd dapat mengetahui ijmak dari mereka dan mereka juga dapat mengetahui kesepakatan mereka pada hukum suatu kasus.
Contohnya adalah tentang halalnya seorang tuan menggauli budak perempuannya karena perbudakan dan haramnya seorang budak laki-laki menggauli tuan wanitanya baik dengan menyetubuhinya atau pendahuluannya. Mereka berdalil dengan dalil-dalil dari Alquran dan sunah.
Namun terdapat sedikit ulama yang menafikan kemungkinan terealisasinya ijmak dengan alasan bahwa setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meninggal dunia, para ulama telah terpencar dan mereka tinggal di berbagai negeri yang jaraknya berjauhan.
Sehingga, untuk mengetahui hukum dari masing-masing mereka adalah sangat sulit. Pendapat ini dijawab bahwa ia tertolak dengan terwujudnya ijmak dan diketahuinya ijmak tersebut, sebagaimana pada dua contoh yang telah disebutkan dan contoh-contoh lainnya yang disebutkan di dalam kitab Maratib al-Ijma`.
Di antara dalil para ulama yang berpendapat bahwa ijmak dapat terwujud adalah firman Allah Ta’ala,
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami membiarkannya leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami memasukkannya ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu tempat kembali yang paling buruk.” (QS. An-Nisa’: 115)
Lihat juga dalil-dalil yang lain di dalam Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyyah, pada halaman 176 hingga 192 dari jilid 19 dan halaman 10 dan 11 dari jilid 20. Lihat juga dalil mereka dan cara penyimpulannya serta bantahannya dalam masalah ketiga dari masalah-masalah ijmak di dalam juz pertama dari kitab al-Ihkam karya al-Amidi.
Para ulama yang menafikan kemungkinan ini, cuma sedikit. Mereka berargumen bahwa setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meninggal dunia, para ulama umat ini telah terpencar di berbagai negeri yang berjauhan. Maka mengetahui hukum dan ijmak adalah sangat sulit.
Oleh karena itu dinukilkan dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwasanya dia berkata, “Barangsiapa mengklaim terwujudnya ijmak, maka dia telah berdusta.” Pendapat ini dibantah dengan terwujudnya ijmak dan diketahuinya ijmak tersebut dalam dua contoh yang telah disebutkan.
Hal ini juga sebagaimana contoh-contoh yang disebutkan di dalam kitab Maratib al-Ijma` karya Ibnu Hazm dengan komentar dari Ibnu Taimiyyah terhadapnya. Sementara itu, pendapat al-Imam Ahmad di atas, maka jawabannya bahwa perkataan tersebut berangkat dari sifat wara’ dan teguran keras agar tidak terlalu berani mengklaim adanya ijmak tanpa meneliti dan mengkaji pendapat para ulama.
Imam Ahmad bin Hanbal bisa saja mengatakan hal tersebut untuk orang yang tidak memiliki pengetahuan. Dia bisa juga mengingkari ijmak setelah masa sahabat atau setelah tiga masa yang terbaik. Lihat halaman 315 dan 316 dari Musawwadah Alu Taimiyah,
Kesimpulannya: Pendapat yang mengatakan bahwa ijmak terjadi pada masa sahabat adalah pendapat yang mendekati kebenaran, karena sedikitnya jumlah mereka, berdekatannya negeri-negeri mereka secara nisbi, keseriusan dan semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu, serta sedikitnya perbedaan dan kecilnya lingkup perbedaan tersebut.
Seandainya diketahui terwujudnya ijmak setelah masa mereka, maka itu adalah hujah. Berdasarkan inilah dipahami riwayat yang lain dari al-Imam Ahmad radhiyallahu ‘anhu bahwa ijmak dapat terjadi dan dapat diketahui.
Kedua: Hukum yang dikeluarkan oleh Lembaga Fikih Islam yang disepakati oleh seluruh anggotanya tidak terhitung sebagai ijmak yang syar’i, karena para anggotanya bukan seluruh Ahlu al-Hall wa al-`Aqd yang ada di dalam umat ini.
Ketiga: Dalam kebiasaan yang berlaku, sulit untuk mengetahui ijmak Ahlu al-Hall wa al-`Aqd dalam satu masa umat ini, kecuali pada masa sahabat radhiyallahu ‘anhum. Hal ini berdasarkan alasan yang telah disebutkan.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam bukunya al-`Aqidah al-Wasithiyah berkata, “Ijmak yang dapat terwujud dengan benar adalah yang terjadi pada masa salaf saleh, karena pada masa setelah mereka banyak terjadi perbedaan pendapat dan umat pun tersebar.”
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.