Perempuan ini dihukumi sebagai perempuan mustahadah (yang mengeluarkan darah istihadah) biasa, karena ia memiliki siklus haid yang teratur sebelum melakukan operasi-operasi itu sehingga ia mengetahui waktu kebiasaan siklus haidnya dan waktu sucinya. Oleh karena itu, ia cukup berpegang pada kebiasaan siklus haidnya yang lalu dan tidak mengerjakan shalat serta puasa pada waktu itu.
Jika jumlah hitungan hari haidnya sudah terlewati maka ia harus mandi dan sedapat mungkin membalut kemaluannya dengan kapas atau sejenisnya guna menghalangi darah yang keluar. Lalu ia melaksanakan salat dan puasa jika mampu berpuasa. Ia juga harus mengqada puasa yang ditinggalkan selama hari-hari haidnya. Ia dihukumi seperti perempuan suci lainnya sehingga dibolehkan digauli oleh suaminya meskipun masih keluar darah atau tetesan darah.
Itu karena darah yang dijumpai setelah hari haidnya merupakan darah istihadah. Namun, ia wajib berwudu untuk setiap waktu salat jika ada sesuatu yang keluar setelah wudu sebelumnya.
Lalu jika setelah melakukan beberapa operasi perempuan ini merasa kesusahan untuk berpuasa atau bisa mendapatkan bahaya jika tidak mengkonsumsi obat pada siang hari, atau dapat bertambah penyakitnya jika tidak mengkonsumsinya atau memberlambat kesembuhannya sebagaimana disebutkan oleh dokter yang memeriksanya, maka berarti ia dihukumi sebagai orang sakit yang dibolehkan untuk tidak berpuasa selama puasa Ramadan.
Jika penyakitnya itu merupakan penyakit yang umumnya dapat disembuhkan maka ia harus menunggu hingga sembuh dengan izin Allah untuk mengqada hari-hari yang ia tinggalkan selama Ramadan.
Namun, jika penyakitnya itu tidak dapat disembuhkan pada umumnya dan akan terus ada bersamanya yang hal itu dinyatakan oleh para dokter maka ia harus memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Jumlah makanan yang diberikan adalah setengah sha` dari gandum, kurma, beras atau makanan lain yang menjadi makanan pokok penduduk negerinya.
Adapun beratnya dengan timbangan adalah kurang lebih satu setengah kilogram. Dalam keadaan ini maka ia tidak apa-apa tidak berpuasa dan tidak mengqadanya. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Dan firman-Nya,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Juga firman Allah,
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempitan untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78)
Adapun haji dan umrah perempuan ini, jika hari-hari teratur dari siklus haidnya yang ia ketahui bertepatan dengan hari-hari pelaksanaan haji dan umrah maka disunahkan baginya untuk mandi dan melaksanakan ihram haji atau umrah.
Hal ini karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan Aisyah untuk mandi guna berihram haji padahal ia sedang dalam keadaan haid.
Dalam riwayat yang sahih, beliau juga pernah memerintahkan Asma’ binti `Umais yang sedang nifas untuk mandi. Perempuan ini juga hendaknya melakukan semua apa yang dilakukan oleh jamaah haji kecuali melakukan tawaf di Ka`bah selama hari-hari siklus haidnya.
Jika hari-hari tersebut telah lewat atau tidak bertepatan dengan hari-hari haji atau umrah yaitu ketika ia berihram dengan keduanya maka ia dihukumi sebagai perempuan mustahadah, yaitu ia harus menutup kemaluannya dengan kapas atau sejenisnya agar tidak mengotori masjid.
Lalu melakukan tawaf. Itu tidak apa-apa ia lakukan. Kemudian ia menyempurnakan ritual-ritual ibadah haji dan umrah lainnya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.