Contoh praktik yang disebutkan dalam pertanyaan dikenal oleh para ulama fikih sebagai “dha’ wa ta’ajjal (pengurangan utang karena ada percepatan pembayaran)”. Ulama memiliki perbedaan terkait boleh-tidaknya hal ini. Yang benar dari dua pendapat ulama terkait hal ini adalah boleh. Ini berdasarkan riwayat Imam Ahmad, dan merupakan pendapat yang dipilih (karena lebih kuat) oleh dua ulama, Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim, dan disandarkan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Kami mengutip pernyataan Ibnu al-Qayyim rahimahullah yang menyatakan kebolehan melakukannya: “(Ini dibolehkan) karena merupakan kebalikan dari riba, dimana riba adalah penambahan pada salah satu dari dua alat tukar (barang dan uang) sebagai kompensasi dari perpanjangan waktu. Sementara praktik ini mengandung pembebasan sebagian utang sebagai kompensasi atas pengurangan waktu pembayaran.
Dengan demikian, pengurangan waktu berbanding lurus dengan pengurangan utang, dan masing-masing pihak menerima manfaat dari hal itu. Dalam praktik ini tidak ada riba, baik menurut hakikat, bahasa, atau tradisi, karena riba adalah penambahan dan itu tidak ada di sini.
Mereka mengharamkannya karena mengiaskan kepada riba, padahal sangat jelas perbedaan dalam perkataan ‘apakah Anda akan membuat utang bertambah, atau akan melunasinya sekarang?’ jika dibandingkan dengan kalimat ‘percepat pelunasan tanggungan Anda kepada saya, maka saya akan memberi Anda (potongan) seratus’. Sungguh, ini sangat berbeda! Intinya, tidak ada dalil (Alquran dan hadits), ijmak, atau kias sahih, yang mengharamkan hal itu.” Demikian pendapat Ibnu al-Qayyim.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.