Kaum perempuan diperintahkan menutup tubuhnya di hadapan lelaki yang bukan mahram, termasuk di dalamnya wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini berdasarkan dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Adapun dalil dari al-Quran adalah:
Pertama: (Allah) Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” (QS. An-Nuur: 31)
Bentuk pengambilan dalil: Jika perempuan diperintahkan menutupkan kerudung dari kepala sampai ke dada untuk menutupi dadanya maka dari dalil mengandung makna bahwa dia harus menutup sesuatu yang ada antara kepala dan dada, yaitu wajah dan leher. Hal ini diejlaskan oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Sahihnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya ia berkata
“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada istri kaum Muhajirin, ketika firman Allah Ta’ala dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya turun, mereka merobek sarung dan menjadikannya jilbab”
Jilbab: Sesuatu yang dipakai perempuan untuk menutup kepala. Menutupkan kain kudung ke dadanya adalah dari arah muka dan bukannya dari belakang (sehingga kain kudung tersebut menutup wajah, editor).
Kedua: firman Allah Ta’ala,
” Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 60)
Ar-Raghib dalam kitab al-Mufradat dan Ibnu Farisdalam kitab al-Mu’jam berkata, Kata al-qa`idah (yang dalam ayat berbentuk jamak al-qawa`id, editor) adalah perempuan yang telah berhenti haid dan tidak ingin menikah. Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya berkata, Rabi`ah ar-Ra’yi berkata, “Yang dimaksud dengan perempuan-perempuan tua itu adalah mereka yang tidak mempunyai daya tarik lagi di mata kaum lelaki. Adapun perempuan yang masih menyisakan kecantikan dan menimbulkan syahwat maka tidak masuk dalam kategori ayat ini”. Selesai perkataan al-Baghawi.
Adapun maksud memperlihatkan perhiasan adalah: Perempuan memperlihatkan perhiasaan dan kecantikannya kepada lelaki yang bukan mahram. Hal ini disebutkan oleh penulis Lisan al-`Arab dan al-Qamus dan selain mereka berdua.
Bentuk pengambilan dalil dari ayat ini: Manthuq ayat (makna lafal ayat tanpa mempertimbangkan simpulannya) menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memberikan rukhshah (keringanan) kepada perempuan tua yang tidak lagi ingin menikah untuk meletakkan pakaiannya. Dia boleh tidak memakai jilbab dan tidak pula cadar. Hal itu karena keburukan seperti yang mengancam perempuan-perempuan yang masih muda, tidak ada lagi bagi perempuan-perempuan tua ini.
Akan tetapi jika dia menutup tubuhnya seperti yang masih muda maka ini lebih baik baginya. Al-Baghawi berkata: “Jika mereka menjaga diri dan memakai jilbab serta kain panjang. ini lebih baik bagi mereka”. Abu Hayyan berkata: “Jika mereka menahan diri untuk tidak meletakkan pakaian dan menutup tubuhnya seperti yang yang dilakukan oleh mereka yang masih muda, maka ini lebih baik bagi mereka”. Selesai perkataan Abu Hayyan.
Mafhum mukhalafah (pengertian balik) ayat ini bahwa perempuan yang masih ada keinginan untuk menikah dan dia masih menyisakan sisa-sisa kecantikan serta memiliki syahwat kepada lelaki maka dia bukanlah termasuk perempuan tua (al-qawa’id) dan dia tidak boleh menanggalkan pakaian penutup auratnya di hadapan lelaki yang bukan mahram, karena tidak ada jaminan mereka tidak saling terpesona.
Ketiga: (Allah) Ta’ala berfirman,
” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang” (QS. Al-Ahzab: 59)
Bentuk pengambilan dalil: Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dalam kitab tafsir mereka dengan sanad-sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhuma dan `Ubaidah as-Salmani radhiyallahu `anhu berkata: “”Allah memerintahkan kepada wanita muslimah untuk menutup wajah mereka dari atas kepala dengan kerudung ketika keluar rumah untuk suatu keperluan”. Selesai perkataan mereka berdua.
Dan firman-Nya ‘alayhinna (atas mereka) artinya: Atas wajah mereka, karena yang tampak dari mereka pada masa Jahiliyah adalah wajah. Jalabib (kerudung) bentuk jamak dari jilbab artinya kerudung. Ibnu Manzhur dalam Lisan al-‘Arab `berkata, menukil dari Ibnu as-Sikkit bahwasanya dia berkata: al ‘Amiriah berkata: “Jilbab adalah kerudung penutup kepala”. Ibnu al-A`rabi berkata, “Jilbab adalah kain”.
Al-Azhari berkata, “Maksud perkataan Ibnu al-A`rabi Jilbab adalah sarung yang dimaksudkannya bukan kain yang di biasa digunakan di pinggul akan tetapi yang dimaksudnya adalah kain yang menutupi seluruh tubuh. Demikian juga kain untuk malam hari, yaitu seperti pakaian yang dipakai orang tidur untuk menutupi seluruh badannya”. Selesai perkataan Ibnu Manzhur.
Dalam kitab Sahih Muslim dari Ummu `Athiyyah radhiyallahu `anha, ia berkata
“Ya Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab”. Beliau bersabda: “Hendaknya saudara perempuannya memakaikan jilbabnya.”
Abu Hayyan berkata dalam kitab Tafsirnya: “Kebiasaan Jahiliyah adalah perempuan merdeka dan budak keluar dalam keadaan wajah mereka terbuka dari dada sampai kepala. Dan para pezina menghadang para perempuan itu ketika keluar dari rumah untuk membuang hajat di pepohonan atau di kebun bagi budak dan terkadang mereka menghadang perempuan merdeka dengan alasan mereka budak.
Mereka berkata: Kami mengira dia seorang budak. Maka mereka diperintahkan memakai pakaian yang berbeda dengan budak, yaitu dengan memakai pakaian lebar, jubah serta penutup kepala dan wajah agar mereka disegani sehingga tidak diapa-apakan. Kita cukupkan untuk menyebutkan dalil-dalil dari al-Quran.
Adapun dalil dari as-Sunnah adalah:
Pertama: Dari Ummu Salamah radhiyallahu `anha,
“Bahwasanya ia (Ummu Salamah) berada di sisi Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersama Maimunah. Ia (Ummu Salamah) berkata: “Ketika kami dalam keadaan itu, Ibnu Ummi Maktum datang menghadap. Peristiwa ini terjadi setelah kami diperintahkan berhijab. Lalu Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda; “Berhijablah kalian daripadanya!” Lalu aku berkata; “Wahai Rasulullah, bukankah dia buta dan tidak dapat melihat dan mengenal kami?” Beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Apakah kalian juga buta? Bukankah kalian dapat melihatnya?”
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan yang lainnya. Setelah meriwayatkannya dia berkata: Hadis Hasan Sahih dan Ibnu Hajar berkata bahwa sanadnya kuat.
Kedua: Dari Anas radhiyallahu `anhu, ia berkata,
“Umar bin al-Khaththab radhiyallahu `anhu berkata: “Ya Rasulullah, sungguh isteri-isterimu, ditemui oleh orang yang berniat baik dan buruk, maka tidakkah engkau perintahkan para Umm al-Mukminin untuk berhijab”. Kemudian Allah menurunkan ayat hijab” Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Ketiga: Dari Aisyah radhiyallahu `anha, ia berkata,
“Orang-orang yang berkendara melewati kami ketika sedang berihram bersama Rasulullah shallallahu `alaih wa sallam. Tatkala mereka mendekati kami, salah seorang dari kami menjulurkan jilbabnya dari kepala ke wajahnya, dan tatkala mereka telah pergi, maka kami pun membukanya” Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dan Ibnu Majah dan selain mereka.
Keempat: Dari `Uqbah bin `Amir radhiyallahu ta’ala `anhu,
“Bahwasanya ia bertanya kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam tentang saudara perempuannya yang bernazar untuk berhaji dengan berjalan kaki tanpa memakai kerudung. Kemudian beliau menyuruhnya berhaji dan berkurudung.” Hadits.
Bentuk pengambilan dalil dari hadis ini: Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkannya untuk berkerudung karena nazar tidak terlaksana dalam hal ini dan karena hal itu maksiat dan perempuan diperintahkan berkerudung dan menutup badannya.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mempunyai pendapat yang komprehensif tentang masalah ini. Kami sebutkan teksnya, beliau berkata:
“Ulama salaf berbeda pendapat tentang perhiasan yang tampak ini dan terbagi menjadi dua pendapat. Ibnu Mas`ud dan orang yang sependapat dengannya berkata: “Maksudnya adalah pakaian”” .
Ibnu Abbas dan orang yang sependapat dengannya berkata: “Maksudnya adalah apa yang terdapat pada wajah dan kedua telapak tangan, seperti celak dan cincin”. Dia berkata: Pada hakikatnya Allah menjadikan perhiasan itu dua jenis: Perhiasan yang tampak dan perhiasan yang tidak tampak. Dia diperbolehkan memperlihatkan perhiasan yang tampak kepada selain suami dan mahram.
Adapun perhiasan yang tersembunyi tidak boleh diperlihatkan kecuali kepada suami dan para mahram. Sebelum ayat tentang hijab diturunkan kaum perempuan keluar rumah tanpa memakai kerudung sehingga kaum lelaki bisa melihat wajah dan telapak tangannya.
Dan ketika itu dia diperbolehkan memperlihatkan wajah dan telapak tangan dan ketika itu kaum lelaki diperbolehkan juga melihatnya karena kaum wanita diperbolehkan memperlihatkannya. Kemudian Alllah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat tentang hijab dengan firman-Nya,
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Kaum perempuan berhijab dari kaum lelaki. Dan ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy, beliau shallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan kain penutup dan melarang kaum perempuan melihatnya. Dan ketika beliau memilih Shafiyyah binti Huyay setelah itu tepatnya pada perang Khaibar, orang-orang berkata: Jika beliau mengenakan hijab kepadanya, maka dia adalah bagian dari Ummahat al-Mukminin (isteri-isteri Nabi) dan jika tidak maka dia adalah budaknya.
Lalu Rasul pun menyuruhnya berhijab. Maka Allah memerintahkan para sahabat tidak boleh meminta sesuatu dari para isteri nabi kecuali dari balik hijab, dan memerintahkan istri-istrinya, anak-anaknya dan istri-istri orang beriman untuk mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh. Jilbab adalah: Jubah dan inilah yang dinamakan oleh Ibnu Mas`ud dan yang lainnya sebagai selendang.
Orang awam menyebutnya kain yaitu kain lebar untuk menutup kepala dan seluruh tubuh. Diceritakan dari Ubaidah dan yang lainnya bahwa seorang perempuan mengulurkannya dari atas kepala sehingga tidak terlihat dari dia kecuali mata. Dan di antara jenisnya adalah niqab (cadar). Maka kaum perempuan pun memakai niqab. Diriwayatkan dalam kitab Sahih bahwa perempuan yang berihram tidak memakai niqab dan tidak pula memakai sarung tangan.
Jika mereka diperintahkan memakai jilbab agar mereka tidak dikenali, yaitu penutup wajah atau menutup wajah dengan cadar, maka karena ketika itu wajah dan telapak tangan termasuk perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kepada yang bukan mahram. Selebihnya boleh dilihat oleh orang yang bukan mahram kecuali perhiasan yang tampak. Ibnu Mas`ud menyebutkan yang terakhir dari dua masalah tersebut dan Ibnu Abbas menyebutkan yang pertama.
Selesai perkataan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Maksudnya adalah bahwasanya dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya membuka wajah dan telapak tangan adalah dalil asal sebelum turunnya dalil-dalil al-Quran dan adanya dalil-dalil dari as-Sunnah yang memerintahkan untuk menutupnya. Berdasarkan ini, dapat diketahui bahwa dalil yang mewajibkan menutup wajah dan telapak tangan telah menghapus dalil yang membolehkan hal itu.
Ya, benar, jika ada suatu kebutuhan yang menuntut perempuan membuka wajah dan telapak tangannya maka hal ini dibolehkan. Di antara hal yang menuntut untuk membukanya seperti mengobati penyakit yang ada di wajah atau kedua telapak tangannya. Begitu juga ketika ingin memberikan kesaksian kepadanya dan dia tidak bisa dikenal kecuali dengan membuka wajahnya maka dia boleh membukanya dan hal-hal lain yang serupa.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.