Pertanyaan ini mengharuskan kami untuk menyebutkan jawaban secara detail terkait hubungan anak dengan orang tuanya dan itu dapat dijelaskan pada hal-hal berikut:
Pertama, kaidah syariat mengatakan bahwa berbuat kebajikan kepada kedua orang tua, menaatinya dalam kebaikan, dan berbuat baik kepada mereka hukumnya fardu ain (wajib). Caranya adalah dengan berkata lemah lembut, bersikap ramah, mencintai dan memperhatikannya, memenuhi kebutuhan agama dan dunia mereka, melayani mereka, dan menyambung tali silaturahmi dengan mereka dan orang-orang yang dicintainya.
Itulah bentuk sempurna dari sebuah kebaktian terhadap kedua orang tua. Orang tua mencakup setiap ayah dan semakin ke atas, yaitu kakek dan nenek setiap anak laki-laki dan perempuan dan semakin ke bawah. Ini adalah masalah-masalah agama yang status hukumnya sudah diketahui oleh kaum Muslimin pada umumnya. Banyak dalil Al-Qur’an, sunah, dan ijmak yang menjelaskan masalah ini. Allah Ta’ala berfirman,
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (QS. An-Nisaa’: 36)
Allah Subhanahu juga berfirman,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa’: 23)
Itu adalah wasiat Allah kepada para hamba-Nya, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.” (QS. Luqman: 14)
Sampai firman-Nya,
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15)
Dalam hadis sahih muttafaq ‘alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
“bahwa seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu bertanya, “Rasulullah, siapa orang yang paling berhak mendapatkan bakti saya?” Ia menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Ia menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Ia menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi, “lalu siapa?” Ia menjawab, “Ayahmu”.”
Dan Muslim menambahkan,
“Kemudian orang yang dekat denganmu dan seterusnya.”
Oleh karena itu, nas-nas Al-Qur’an dan sunah mengharamkan durhaka kepada kedua orang tua dan menyakiti mereka. Keharaman hal ini telah menjadi ijmak kaum muslimin dan itu termasuk dosa paling besar dan kesalahan yang paling besar. Di antara perbuatan durhaka kepada mereka adalah tidak berbuat baik kepada mereka, merasa bosan, marah, dan mencemarkan nama baik mereka, terutama ketika mereka sudah lanjut usia. Semoga Allah Ta’ala memberi keselamatan kepada kita semua.
Itu juga menjadi alasan mengapa seorang anak tidak boleh membalas tindakan buruk ayahnya dengan tindakan serupa, tetapi hendaklah dia membalasnya dengan sikap yang baik. Hal itu sesuai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fush shilat: 34)
Berbakti kepada kedua orang tua lebih utama daripada berbuat baik kepada selain mereka. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa’: 23)
Kedua, menaati kedua orang tua dalam kebaikan adalah wajib bagi seorang anak selama mereka tidak menyuruh melakukan maksiat. Jika mereka menyuruh melakukan maksiat,
“Tidak ada kepatuhan kepada makhluk untuk berbuat maksiat kepada Sang Pencipta.”
Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut: 8)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Luqman: 15)
Ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya ia bersabda,
“Tidak ada kepatuhan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.” (HR. al-Imam Ahmad)
Oleh karena itu, apabila kedua orang tua menyuruh anak mereka berbuat maksiat, seperti menyekutukan Allah ‘Azza wa Jalla, minum khamar, membuka aurat, dan menyerupai orang kafir Yahudi, Nasrani dan lain-lain, menyuruh anak mereka untuk meninggalkan lima salat yang fardu atau melarang anak laki-lakinya menunaikan salat di masjid dan hal-hal lain yang diwajibkan oleh Allah, maka seorang anak tidak boleh menaati mereka dalam kemaksiatan tersebut.
Namun, kedua orang tua tetap mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik oleh anaknya, tanpa harus menaati mereka dalam kemaksiatan atau meninggalkan perkara yang diwajibkan oleh syariat. Adapun terkait dengan masalah menaati mereka dalam perkara yang status hukumnya boleh dan perkara-perkara umum, seperti menikah dan talak, maka hal ini bergantung kepada maslahat dan mudarat serta memperhatikan kepada nilai-nilai positif dan negatifnya.
Oleh karena itu, apabila kedua orang tua melarang atau mewajibkan anaknya untuk melakukan suatu perkara sementara kemaslahatan yang ada hanya diperoleh dengan tidak menaatinya, maka sang anak tidak apa-apa (boleh) tidak mengikuti perkataan mereka, tetapi hal itu dijelaskan dengan lemah lembut dan sikap yang baik. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
Dalam hal ini, seorang anak tidak dianggap durhaka kepada kedua orang tuanya. Namun, apabila menaati perkataan kedua orang tua terkait masalah di atas maslahatnya lebih kuat, maka ketaatan seorang anak kepada orang tuanya di saat itu akan mendapatkan nilai kebaikan, keberkatan, kebajikan, dan kebaktiannya. Kedua orang tua adalah orang yang lebih berhak menasihati dan memberikan hal yang bermanfaat untuk anak mereka.
Ketiga, jika seorang anak melihat orang tuanya menyimpang dari ajaran agama, seperti mengabaikan salat, melakukan perbuatan haram, dan melakukan usaha haram, maka hendaklah dia menasihati mereka agar mau menunaikan perintah Allah dan berkomitmen menjalankan perintah syariat. Nasihat itu disampaikannya dengan cara yang ramah dan lemah-lembut, di samping mendoakan keduanya untuk mendapat hidayah.
Dalam hal ini, seorang anak juga dianjurkan untuk bekerja sama dengan orang yang dapat membantunya, baik kerabat atau temannya, sesuai keadaan. Jika orang tua mau menerima nasihat, maka alhamdulillah. Jika mereka enggan, maka hendaklah sang anak meminta tolong kepada Allah, tidak menerima hasil usaha mereka, dan tidak tinggal bersama mereka.
Namun, dia harus tetap memperlakukan mereka di dunia secara baik dengan mencontoh kepada orang saleh yang berjalan menuju Allah. Sikap demikian tidak dianggap sebagai perbuatan durhaka. Namun, sikapnya tersebut tidak boleh menggiring dirinya untuk berbuat durhaka dan memutuskan hubungan silaturahmi dengan mereka.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.