Dalam Islam sudah ditetapkan hukuman rajam bagi pelaku zina yang berstatus muhshan, baik laki-laki atau wanita, berdasarkan kepada sabda dan tindakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari segi tindakan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara langsung pernah merajam Maiz, al-Ghamidiyyah, dan dua orang Yahudi yang berstatus muhshan karena mereka melakukan perzinahan. Dari segi ucapan, hal ini telah diriwayatkan dalam hadis `Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Ambillah dariku, ambillah dariku (had zina), sesungguhnya Allah telah menjadikan jalan bagi mereka. Jika orang yang belum menikah berzina dengan orang yang belum menikah, maka dia dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Jika orang yang sudah menikah berzina dengan orang yang sudah menikah, maka dia dicambuk seratus kali dan dirajam.”
Dan juga telah disebutkan dalam hadis Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid radhiyallahu ‘anhuma, mereka berdua berkata,
“Ketika kami berada dekat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada seorang lelaki berdiri lalu berkata, “Saya meminta atas nama Allah agar Anda memutuskan permasalahan kami dengan Kitab Allah.” Lawannya pun berdiri dan dia lebih pandai dari yang pertama lalu berkata, “Putuskanlah permasalahan kami dengan Kitab Allah dan izinkan saya untuk bicara.” Lantas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Berbicaralah.” Dia berkata, “Anak lelaki saya bekerja di tempat orang ini dan anak saya tersebut berzina dengan istrinya. Kemudian saya menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak. Lalu saya bertanya kepada beberapa orang yang berilmu dan mereka memberitahu saya bahwa anak saya harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun sedangkan istri orang ini harus dirajam.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi jiwaku yang ada di dalam genggaman-Nya, sungguh saya akan memutuskan permasalahan kalian berdua dengan Kitab Allah Ta’ala. Seratus ekor kambing dan seorang budak yang kamu berikan dikembalikan kepadamu. Anakmu harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Pergilah, Unais, dan temui istri orang ini. Jika dia mengaku telah berzina, maka rajamlah dia.” Lalu Unais menemui istri orang tersebut dan dia pun mengakui perbuatannya kamudian Unais merajamnya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Atas dasar ini juga, hukuman rajam tetap diterapkan pada masa pemerintahan empat orang khalifah, tanpa ada yang menentang. Ini menunjukkan bahwa hukum rajam tidak pernah dihapus, bahkan justru sebaliknya telah disepakati sebelum kelompok Khawarij dan Muktazilah muncul sehingga orang yang tidak setuju berarti telah keluar dari teks agama dan ijmak. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang berasal dari Umar Ibnu al Khaththab, ia berkata,
“Saya khawatir, kelak setelah sekian lama akan ada orang yang berkata, “Kami tidak menemukan hukum rajam di dalam Kitab Allah.” Akibatnya, orang-orang tersesat karena meninggalkan sebuah kewajiban yang diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah kewajiban yang ada di dalam Kitab Allah bagi orang yang berzina dan dia telah menikah jika terdapat saksi, terjadi kehamilan atau adanya pengakuan.” (Muttafaq ‘Alaih)
Selain itu, Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata saat seorang wanita dirajam di hari Jumat: “Saya merajam wanita ini berdasarkan sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” dan dalam riwayat lain disebutkan: “Saya mencambuknya berdasarkan perintah Alquran.” Ia mengucap hal ini untuk membantah ucapan orang yang mengatakan bahwa dirinya menerapkan dua hukuman untuk wanita tersebut.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.