Setelah melakukan pengkajian (terhadap permasalahan yang diajukan) maka Komite menjawab sebagai berikut:
Pertama: berdasarkan penelitian, penamaan masjid-masjid dilakukan dalam beberapa bentuk berikut ini:
1. Nama masjid dikaitkan dengan orang yang membangunnya. Ini merupakan bentuk penyandaran amal kebaikan kepada pelakunya. Itu juga merupakan penyandaran yang nyata, untuk membedakan suatu masjid dari yang lain. Penamaan seperti ini boleh saja, contohnya: Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, disebut juga dengan Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Nama masjid disandarkan pada orang yang salat di dalamnya, atau pada tempat berdirinya. Itu juga bentuk penyandaran yang nyata, guna membedakan masjid tersebut dari yang lain. Penamaan semacam itu boleh dilakukan, seperti: masjid Quba’, dan masjid Bani Zuraiq, sebagaimana terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu `anhuma, dalam hadis tentang berlomba-lomba menuju masjid Bani Zuraiq, dan masjid Suuq sebagaimana diterangkan oleh al-Bukhari -rahimahullah- dengan perkataannya, (Bab: Ulama di Masjid Suuq)
3. Menyandarkan (nama) masjid kepada sifat yang membedakannya dengan masjid-masjid lain, seperti: Masjid Haram, dan Masjid Aqsha, seperti dalam firman (Allah) Ta’ala,
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha” (QS. Al-Isra: 1)
Dalam as-Sunnah, telah diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui banyak jalur sanad,
” Tidak diperbolehkan menempuh perjalanan melainkan ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Aqsha, dan masjidku ini.”
Di antaranya juga adalah: Masjid Kabir. Beberapa masjid yang berada di jalan antara Mekah dan Madinah juga dinamai dengan Masjid Akbar sebagaimana disebut dalam Sahih al-Bukhari. Ada juga yang dinamakan dengan Masjid Kabir.
Kedua: Menamai masjid dengan nama yang bukan sebenarnya agar dapat dibedakan dan dikenal. Hal ini merupakan fenomena yang sudah banyak terjadi sekarang, karena banyaknya pembangunan dan penyebaran masjid alhamdulillah di kota maupun desa, bahkan dalam satu distrik, sehingga masjid dinamai dengan nama yang membedakannya dari masjid lain.
Masjid dinamai dengan nama salah satu tokoh umat Islam, nama-nama para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan generasi setelahnya, yaitu para tabi`in (yang mengikuti mereka) dengan baik, seperti: Masjid Abu Bakar radhiyallahu `anhu, Masjid Umar radhiyallahu `anhu.
Demikianlah sebagai contoh. Penamaan semacam ini boleh saja, apalagi dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kita mengetahui bahwa beliau juga menamai senjata, perabotan, hewan tunggangan, dan pakaian beliau, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-Qayyim -rahimahullah Ta`ala- di awal kitab Zadul-Ma`ad.
Ketiga: Menamai masjid dengan salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti: Masjid ar-Rahman, Masjid al-Quduus, Masjid as-Salam. Sebagaimana diketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman -dan firman-Nya memisahkan antara yang hak dan yang batil,
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin: 18)
Semua masjid adalah milik Allah, tanpa kecuali. Jadi, menamai masjid dengan salah satu nama-nama Allah adalah perkara yang diada-adakan, belum pernah dilakukan sebelumnya. Jadi, sebaiknya tidak dilakukan. Allah adalah Pemberi petunjuk kepada jalan yang benar.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.