Pertama, Dewan Ulama Senior di Kerajaan Arab Saudi telah mengeluarkan keputusan tentang membedah mayat yang isinya:
Masalah ini sebenarnya terbagi menjadi tiga macam:
Pertama, membedah dengan tujuan meneliti tuduhan tindak kriminal.
Kedua, membedah dengan tujuan meneliti penyakit menular untuk mengambil tindakan antisipatif yang cukup dalam mencegah penularannya.
Ketiga, membedah untuk tujuan studi ilmiah dan pendidikan.
Setelah tukar pendapat, diskusi, dan mempelajari kajian yang diajukan oleh Komite tersebut di atas, maka majelis memutuskan hal berikut:
Tentang bentuk pertama dan kedua, majelis melihat bahwa kebolehan hal tersebut dapat mewujudkan banyak maslahat di bidang keamanan dan keadilan serta menjaga masyarakat dari penyakit menular. Mafsadah (kerusakan) akibat melanggar kehormatan mayat yang dibedah terkalahkan oleh maslahat orang banyak yang terwujud dengan bedah tersebut.
Dengan demikian, majelis memutuskan dengan ijmak untuk membolehkan pembedahan demi dua tujuan di atas, baik jasad yang dibedah ini merupakan jasad orang yang kemuliaannya harus dijaga maupun bukan.
Adapun bentuk ketiga, yaitu membedah dengan tujuan studi ilmiah, maka mengingat bahwa syariat Islam datang untuk mewujudkan dan memperbanyak maslahat, mencegah dan mengurangi mafsadah, dan untuk memilih kemudaratan yang lebih ringan guna menghindari kemudaratan yang lebih berat bahwa jika dua kemaslahatan saling bertentangan.
Maka Islam memilih kemaslahatan yang lebih besar dan bahwa membedah hewan tidak bisa menjadi alternatif dari membedah manusia serta banyak maslahat yang diperoleh dengan bedah anatomi dalam kemajuan ilmu pengetahuan di berbagai bidang kedokteran, maka secara umum majelis membolehkan pembedahan tersebut.
Namun, karena perhatian syariat Islam terhadap kehormatan Muslim yang sudah meninggal sama dengan perhatiannya terhadap kehormatan Muslim ketika hidup, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Aisyah radhiyallahu `anha, bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Mematahkan tulang mayat, hukumnya sama dengan mematahkannya saat dia masih hidup.”
dan mempertimbangkan bahwa bedah anatomi menyebabkan penghinaan terhadap kemuliaan jasad orang mati padahal tidak ada keharusan melakukannya (pada mayat Muslim) dan kebutuhan mendesak atas masalah ini bisa diatasi dengan mudahnya mendapatkan jasad-jasad yang halal darahnya, maka dalam kondisi sebagaimana yang disebutkan majelis melihat bahwa bedah mayat yang halal darahnya sudah cukup.
Wallahulmuwaffiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallim.
Kedua, jika memungkinkan bahwa yang memeriksa wanita adalah seorang wanita, maka laki-laki tidak boleh memeriksa wanita. Jika hal demikian tidak memungkinkan dan ada keharusan memeriksa wanita itu, maka dokter Muslim laki-laki boleh memeriksa bagian auratnya yang diperlukan untuk mengetahui jenis penyakit.
Tidak ada larangan memeriksa wanita untuk pembelajaran dan untuk mengetahui penyakit wanita serta untuk mengobatinya jika mayat itu bukan mayat Muslimah dan yang halal darahnya sesuai dengan keputusan yang sudah disebutkan di atas.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.