Komite menerima pertanyaan yang diajukan oleh Yang Terhormat Syekh Sulaiman, yang berbunyi:
Paman saya, Muhammad bin Sulaiman, wafat dengan meninggalkan seorang putra dan seorang putri. Dia tidak memiliki ahli waris selain keduanya. Dia juga meninggalkan harta berupa dua kebun kurma yang terdapat di Qarinah, dekat daerah Syu'aib. Satu kebun kurma miliknya diberi nama Ummu Saqi, yang terdiri dari tiga puluh sembilan pohon kurma saja. Kebun kurma kedua diberi nama An-Naq'ah, yang berisi sembilan puluh pohon kurma. Harta peninggalan di an-Naq'ah ini termasuk tanah pertanian.
Pada dasarnya, dia pernah mewasiatkan sepertiga hartanya dan menunjuk saya sebagai penanggungjawab wasiat tersebut. Ahli waris ingin memperkirakan dan mengeluarkan sepertiga harta tersebut sehingga mengajukannya ke pengadilan Syu'aib di Huraimala. Pengadilan menugaskan sebuah tim yang khusus menangani masalah ini.
Mereka akhirnya memutuskan bahwa kebun an-Naq'ah masuk dalam sepertiga harta yang diwasiatkan. Sebab, jika Ummu Saqi yang dimasukkan, maka tidak akan sampai sepertiga dari jumlah total peninggalan mendiang. Selain itu, jika harus memisah-misahkan (satu kebun dibagi untuk penerima wasiat dan ahli waris), maka tidak akan baik untuknya dan ahli waris. Ketika kami membaca kembali wasiat tersebut, ternyata kami menemukan surat wasiat lama dengan redaksi berbeda, tetapi maksudnya sudah masuk dalam wasiat terakhir.
Saya sebagai penanggung jawab wasiat melihat ada maslahat dalam pemberian sepertiga harta tersebut, dan berpendapat sama seperti keputusan tim. Sebab, di an-Naq'ah lebih baik dari sisi kualitas tanah maupun pohonnya, mengingat bahwa pohon kurma di an-Naq'ah masih terbilang muda, sedangkan di Ummu Saqi sudah tua. Keterangan yang termuat dalam wasiat pertama dan tidak disebutkan dalam wasiat terakhir sudah diwakili dengan jumlah harta yang sepertiga.
Saya memohon Anda dapat meninjau kembali kedua surat wasiat tersebut dan mengeluarkan fatwa untuk membantu memilih wasiat mana yang harus dilaksanakan. Pengajuan fatwa ini merupakan permintaan hakim pengadilan. Perlu saya sampaikan bahwa pemberi wasiat ini masih hidup sepuluh tahun setelah penulisan wasiat terakhir dan melakukan ibadah kurban, seekor untuk dirinya dan seekor lagi untuk kedua orang tua dan anak-anaknya. Ini saya sampaikan dalam lampiran karena saya mengetahuinya.
Komite telah mengkaji surat wasiat yang dilampirkan bersama pertanyaan, dan dijawab sebagai berikut: Jika kenyataannya demikian, maka hendaklah melaksanakan surat wasiat kedua tahun 1373 H, bahwa dia mewasiatkan sepertiga hartanya dalam bentuk satu hewan kurban bagi dirinya, seekor hewan kurban untuk kedua orang tuanya, putranya–Abdullah–dan saudara-saudaranya, untuk selamanya.
Termasuk dalam sepertiga wasiat itu adalah perkakas yang masih ada di pasar Qalib al-Fuhaid menjadi wakaf untuk Masjid al-Gharib, lalu memberikan sepertiga kebun yang ada di an-Naq’ah sebagaimana yang diputuskan oleh tim pengadilan karena kebun miliknya yang ada di Ummu Saqi tidak mencukupi sepertiga. Sebab, membagi-baginya tidak menjadi maslahat bagi dirinya dan ahli waris.
Selain itu, ada alasan yang disebutkan dalam pertanyaan bahwa kebun di an-Naq’ah lebih bagus dari Ummu Saqi dalam kualitas tanah dan pohonnya karena kebun kurma di an-Naq’ah masih muda sedangkan Ummu Saqi sudah menjadi batang pokok. Selain itu, keterangan di wasiat pertama dan belum disebutkan dalam wasiat kedua bisa diwakili dengan harta wasiat yang sepertiga.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.