Setelah wahyu agama sempurna dan hukum-hukum syariat telah stabil dengan wafatnya Nabi Shallalllahu `Alaihi wa Sallam, maka hukum-hukum Islam harus dipahami dan dipraktikkan secara akumulatif (keseluruhan) dan ketundukan kepada hukum-hukum syariat tidak boleh bertahap atau berangsur-angsur, sebagaimana dulu terjadi pada masa awal Islam.
Misalnya khamar (minuman keras), setiap muslim wajib meyakini sejak awal bahwa hukum meminumnya adalah haram. Barangsiapa tidak meyakini demikian, padahal dia tahu pengharamnya, maka dia murtad (keluar dari Islam) karena dia mengingkari perkara haram yang sudah maklum dalam agama Islam dan sudah ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat dan ijmak para ulama.
Perintah untuk melaksanakan syariat dalam Islam bergantung kepada kemampuan orang yang dikenai kewajiban (mukalaf) sehingga seorang mukalaf tidak wajib melaksanakan perbuatan-perbuatan di luar kemampuannya atau yang akan membuatnya sulit dan susah. Setiap permasalahan sesuai konteksnya (kemampuannya).
Jihad, misalnya, diwajibkan terhadap seseorang (individu) dan dalam kondisi-kondisi umum. Semua itu menurut tingkatan motif (sebab) dan kondisi, tetapi tidak bisa disebut termasuk dalam masalah (bab) berangsur-angsur dalam penetapan hukum Islam. Allah Ta’ala telah berfirman,
” Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghaabun : 16)
Dalam riwayat sahih, Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu. Jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.