Jawaban 1: Jika persoalannya seperti yang disebutkan oleh penanya, bahwa dia menikahkan putrinya dengan laki-laki yang keadaannya tidak dia ketahui, tetapi kemudian dia tahu bahwa menantunya itu peminum khamar dan tidak memperhatikan hukum-hukum syariat, maka kondisi menantunya tersebut tidak lepas dari dua hal. Bisa jadi dia sering meninggalkan hukum-hukum syar`i itu karena meremehkan dan tidak mengimani kewajibannya.
Jika begini kita berlindung Allah darinya, maka dia telah kafir. Nah, karena suami telah kafir dan murtad, maka akad nikahnya dengan sang istri harus dibatalkan. Namun, itu dilakukan melalui hakim agama.
Jika perbuatan meminum khamar dan sering meninggalkan hukum-hukum syar`i itu karena menggampangkan dan dia masih mengimani kewajibannya, maka dia fasik dan tidak menyebabkannya keluar dari agama Islam.
Perbuatan fasik merupakan aib syar`i yang membolehkan seorang istri meminta cerai kepada suami yang jelas melakukan kefasikan dan tidak mau berubah. Namun, itu juga dilakukan melalui hakim agama.
Jawaban 2: Allah Ta`ala melarang minum khamar dan mengharamkannya dalam Al-Qur’an dan melalui lisan Rasul-Nya. (Allah) Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maaidaah: 90)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menafikan kesempurnaan iman yang seharusnya dari orang yang minum khamar. Ia bersabda,
“Seorang pezina tidaklah ia berzina dalam keadaan beriman. Seorang pencuri tidaklah mencuri dalam keadaan beriman. Seorang peminum khamar tidaklah meminumnya dalam keadaan beriman”
Jadi, peminum khamar adalah seorang mukmin karena keimanannya, tetapi dia fasik karena perbuatan dosa besarnya. Nasibnya tergantung kepada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak menyiksanya, maka Dia akan menyiksanya. Jika berkehendak mengampuninya, maka Dia akan mengampuninya. (Allah) Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.